Bersikap proaktif: belajar dari Bunda Maria.
Salah satu usaha untuk membangun habitus baru.
Dewasa ini kita sering mendengar istilah proaktif. Apa itu bersikap proaktif? Untuk mengerti makna dari bersikap proaktif mungkin lebih mudah bila kita melihat sikap sebaliknya, yaitu bersikap reaktif. Bersikap reaktif adalah kecenderungan spontan yang muncul dalam diri kita terhadap suatu rangsangan tertentu. Dengan perkataan lain bersikap reaktif tidak lain adalah reaksi kita yang mengikuti perasaan yang secara spontan muncul dalam diri kita berkaitan dengan suatu rangsangan tertentu. Menurut Stephen R. Covey orang yang reaktif adalah orang yang semata-mata digerakkan oleh perasaannya, oleh situasi dan kondisi tertentu, atau oleh lingkungan yang ada di sekitarnya. Sedang orang yang proaktif adalah orang yang digerakkan oleh nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang sudah dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Orang yang proaktif adalah orang yang dikuasai oleh kesadaran diri yang kuat, digerakkan oleh kehendak bebas dan dikendalikan oleh suara hatinya. Maka Stephen R. Covey secara tegas menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sikap proaktif tidak lain adalah sikap bertanggungjawab atas hidup kita sendiri, karena kita melakukannya setelah melalui proses pengambilan keputusan secara sadar. Maka ada kata-kata bijak yang berbunyi ”jangan pernah mengambil keputusan dalam kondisi diri sedang berperasaan negatif”. Masalahnya bagaimana kita bisa bersikap proaktif? Kita bisa belajar dari Bunda Maria.
Bila kita membaca Injil Lukas 2: 41-52, kita dapat menemukan sikap Bunda Maria yang mengacu pada sikap proaktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Betapa tidak! Dalam perikopa tersebut di atas – yang saya pikir tidak asing bagi kita – diceritakan bahwa setiap tahun orang tua Yesus, sebagai orang Yahudi yang saleh, pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Pada saat Yesus berusia 12 tahun, Yesus diajak oleh orangtuanya untuk merayakan Paskah di Yerusalem . Setelah selesai melaksanakan ziarah, maka para peziarah kembali ke tempat asal mereka masing-masing. Pada waktu itu menjadi suatu kebiasaan bahwa rombongan peziarah terbagi dua, para perempuan dan anak-anak berjalan bersama dan ada di depan rombongan laki-laki. Maka tidak mengherankan bila ayah Yesus berpikir Yesus berada bersama Maria atau dengan sanak keluarga yang lain, begitu pula Maria berpikir bahwa Yesus berada bersama ayahNya atau dengan sanak keluarga yang lain. Setelah melakukan perjalanan beberapa jam maka orangtua Yesus baru menjadi sadar bahwa Yesus tidak berada bersama mereka atau sanak saudaranya, maka akhirnya orangtua Yesus kembali ke Yerusalem untuk mencari Yesus. Setelah mencari sampai hari ketiga mereka baru bisa menemukan Yesus. Ternyata Yesus sedang bersoal jawab dengan para pemuka agama Yahudi, dan ternyata kehadiran Yesus membuat banyak orang terkagum-kagum . Saya pikir orangtua Yesus sangat gembira karena telah menemukan Yesus, namun di lain pihak orangtua Yesus juga terheran-heran dengan anaknya yang pada usia muda telah dapat bersoal jawab dengan para pemuka agama Yahudi. Dalam suasana tersebut, akhirnya ibu Yesus mengajukan pertanyaan ”Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? bapaMu dan aku dengan cemas mencari Engkau”. Sebuah pertanyaan yang sangat wajar diajukan oleh orangtua kepada anaknya, namun jawaban Yesus sungguh mengherankan, betapa tidak. Lukas mencatat jawaban Yesus sebagai berikut ”Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah BapaKu?” Berkaitan dengan jawaban Yesus maka kedua orangtua Yesus tidak bisa mengerti, dan itu sangat wajar. Seandainya kita yang mendapat jawaban seperti itu dari anak kita, maka saya pikir reaksi kita adalah akan marah. Namun, Lukas mencatat dalam Injilnya sebagai berikut ”Dan ibuNya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya” , dengan demikian ibu Yesus tidak bersikap reaktif, tidak terperangkap pada perasaan-perasaannya belaka.
Kita juga memiliki kesadaran diri, kehendak bebas dan hati nurani, maka tidaklah tertutup kemungkinan kita mencontoh Bunda Maria. Kita perlu membangun sikap proaktif dan tidak reaktif, bila kita mampu membangun sikap proaktif maka kita tidak akan perangkap dan hanya dikendalikan oleh perasaan-perasaan kita. Perasaan memang penting, karena perasaan merupakan tanda atau signal yang menandakan situasi diri kita. Perasaan memberi tanda bahwa diri kita sedang mengalami ketidakstabilan, karena kebutuhan-kebutuhan pokok batiniah kita goncang. Namun, orang yang proaktif adalah orang yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan pokok batiniahnya, namun kebutuhan tersebut tetap menjadi tanggungjawabnya sendiri dan tidak dituntut dari orang lain, sebagaimana Bunda Maria telah memberikan contoh secara konkret.
Masalahnya kenapa Bunda Maria mampu, dan kenapa kita jarang sekali mampu bersikap proaktif. Dalam konteks ini jawabannya jelas, yaitu karena Bunda Maria menempatkan pengalaman-pengalaman hidupnya selalu dalam konteks hubungannya dengan Allah. Dengan perkataan lain Bunda Maria sungguh orang beriman, orang yang selalu dapat meletakkan pengalamannya dalam konteks penyelenggaraan ilahi. Untuk itu baik bila pada bulan Mei ini kita banyak berdoa melalui Bunda Maria agar kita diberi iman yang sungguh oleh Putranya. Amin. (St. Nugroho, Komisi Keluarga Keuskupan Bogor)
Sebaiknya sikap proaktif dibarengi dengan semangat 'keluar' dari kepentingan diri ya pak. biar lebih apdol
BalasHapusPak Nug harus sering-sering nulis. Jadi waktu terisi dengan tulisan-tulisan baik seperti di atas
BalasHapus