Kamis, 29 Desember 2011

Keluarga

Relasi Antara Mertua dan Menantu, Belajar dari Naomi dan Ruth
Stanislaus Nugroho

Pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya sangat dipengaruhi oleh relasi antar manusia, maka berbicara tentang relasi antar manusia sangat menarik dan mengasyikkan, begitu penuh dengan dinamika dan warna-warni kehidupan. Tidak heran tema relasi antar manusia juga menjadi perbincangan hangat dalam refleksi filsafat. Dalam sejarah filsafat abad 20 ada dua tokoh – sejauh saya kenal – yang berbicara tentang relasi antar manusia secara bertolak-belakang. Yang satu bernama Gabriel Marcel (1889-1973) dan yang yang lain bernama Jean-Paul Sartre (1905-1980). Bagi Gabriel Marcel relasi antar manusia ditandai dengan cinta. Oleh cinta maka antara aku dan kamu menjadi kita. Manusia mengutuh lewat intersubyektivitas. Sebaliknya bagi Sartre relasi antar manusia ditandai dengan konflik. Salah satu kata-kata Sartre yang sangat terkenal adalah Neraka adalah orang lain .
Berbicara tentang relasi antara mertua dan menantu, secara khusus antara mertua perempuan dan menantu perempuan – sejauh pengalaman di ruang konseling – maka sangat diwarnai oleh konflik. Salah satu contoh yang saya peroleh dalam ruang konseling adalah keluhan dari seorang ibu muda sebagai berikut ”.....mertua perempuan dan adik perempuan suami sering datang dan menginap di rumah. Awalnya saya senang, mereka banyak membantu dan menemani hari-hari saya mengasuh bayi dan melakukan pekerjaan rumah tangga .... 6 bulan berlalu, percikan-percikan di antara kami mulai menyala .... beberapa kali kami terlibat perdebatan pendapat. Hal ini pernah saya keluhkan kepada suami, tetapi suami mengatakan tidak perlu dibesar-besarkan, konflik itu hal yang biasa.....”. Memang konflik merupakan sesuatu yang biasa dalam hidup relasional, maka masalahnya adalah bagaimana kita dapat mengelola atau menanganinya dengan tepat. Di sini dibutuhkan suatu proses pembelajaran terus menerus lewat aksi dan refleksi. Sebagaimana sudah diajarkan oleh Sokrates (470-399) hidup itu harus direfleksikan.
Kasus-kasus sejenis sering kita jumpai dalam hidup sehari-hari, se-olah-olah apa yang dipikirkan oleh Sartre adalah benar adanya, namun bila kita membaca kitab Ruth, khususnya pada bab 1, maka apa yang dipikirkan oleh Sartre tidaklah benar, orang lain bukan neraka bagi kita. Kita mungkin perlu belajar dari relasi yang dibangun antara Ruth (menantu perempuan) dan Naomi (mertua perempuan).
Tulisan ini merupakan hasil refleksi atas kitab Ruth, khususnya bab 1. Kitab Ruth merupakan sebuah cerita pendek (cerpen), terdiri dari 4 bab dengan 85 ayat. Isinya sangat menarik, enak dibaca, tersusun dengan cukup baik, ceritanya lancar dan mempesona, bila kita membacanya maka kita ingin segera menyelesaikannya. Maksud dari kitab ini jelas yaitu membina umat Allah dalam kaitan dengan keindahan cinta, kesetiaan dan pengabdian. Kehidupan yang dihiasi oleh cinta kasih, kesetiaan dan pengabdian – dalam arti selalu berusaha menomorsatukan orang-orang yang kita cintai – merupakan kebahagiaan, dan kebahagiaan itu adalah indah. Dengan membaca kitab ini maka pembaca (sekurang-kurangnya saya pribadi) akan terhibur, muncullah harapan karena iman kepada Allah dipertebal, sebab Allah yang selalu siap menolong orang-orang yang terpinggirkan.
Kitab ini bercerita tentang seorang perempuan Yahudi yang bernama Naomi (yang berarti menyenangkan, lincah ) bersama suaminya serta kedua anak laki-lakinya terpaksa mengungsi ke luar negeri, ke suatu negeri yang bernama Moab. Pada masa pengungsian tersebut Naomi kehilangan suaminya dan kedua anaknya, mereka semua meninggal. Biarpun kedua anaknya sudah menikah namun tidak memiliki anak. Maka Naomi tinggal bersama kedua menantunya. Yang satu bernama Orfa dan yang lain bernama Ruth.
Waktu Naomi mendengar negara asalnya sudah tidak mengalami wabah kelaparan, maka Naomi memutuskan untuk kembali ke negara asalnya, ke kampung halamannya di Betlehem. Nah, mulailah sesuatu yang menarik, betapa tidak. Kita bisa mengikuti suatu pembicaraan yang berdaya-guna, suatu komunikasi yang produktif, suatu komunikasi antara subyek dengan subyek (suatu komunikasi intersubyektif) antara Naomi dan kedua menantunya. Biarpun pada akhirnya hanya Ruth yang memutuskan untuk tetap bersama mertuanya. Jawaban Ruth yang paling terkenal – khususnya untuk mereka yang pernah mengikuti week-end Marriage Encounter – “….. ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam; bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, akupun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan” (Ruth, 1:16-17). Suatu bentuk ungkapan solidaritas yang luar biasa, solider kepada sesamanya, khususnya mertuanya yang sudah sendirian dan yang telah kehilangan semuanya, suami, anak-anak, harta.
Masalahnya bagaimana komunikasi bisa menjadi produktif, bagaimana komunikasi bisa menjadi intersubyektif, dan bukan komunikasi antara subyek dan ’obyek’. Untuk mampu menciptakan komunikasi intersubyektif sejauh saya bisa peroleh dari kisah antara Naomi dan kedua menantunya sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Komunikator yang baik seharusnya mampu bersikap – saya ingin meminjam istilah Jawa – ’empan papan’ (= komunikator mampu ’menempatkan diri’ secara tepat dan memiliki motivasi yang positif dan berorientasi pada komunikan). Perhatikan pernyataan-pernyataan Naomi, pernyataannya mengacu kepada kebahagiaan dan kesejahteraan menantunya. Sebagai contoh saya kutip sebagian dari ayat 8-9 ”Pergilah, pulanglah masing-masing ke rumah ibunya; Tuhan kiranya menunjukkan kasihNya kepadamu, seperti yang kamu tunjukkan kepada orang-orang yang telah mati itu dan kepadaku; kiranya atas karunia Tuhan kamu mendapat tempat perlindungan, masing-masing di rumah suaminya”. Seorang komunikator yang dapat bersikap empan papan akan dapat menyentuh komunikan, sebagaimana menjadi nyata dalam ayat 9b-10 ’.......tetapi mereka menangis dengan suara keras dan berkata kepadanya ”Tidak, kami ikut dengan engkau pulang kepada bangsamu”.
2. Komunikan hendaknya mampu menyiapkan hati yang subur dan terbuka (= pendengar yang baik, mampu mendengarkan dengan hati), atau kalau meminjam istilah yang dipakai oleh Mateus dalam Injilnya bab 13: 1-23 khususnya ayat 8 komunikan mampu menyiapkan ’tanah yang baik’ atau dengan kata lain tanah yang subur, maka hasilnya ’ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tigapuluh kali lipat’. Perhatikan pernyataan Ruth sebagaimana dapat kita baca pada ayat 16-17a. Sikap solider yang ditunjukkan oleh Ruth membuahkan rahmat yang berlimpah baginya, Ruth menjadi nenek moyang dari Yesus sang Mesias, namanya tercantum dalam silsilah Yesus Kristus sebagaimana dicatat oleh Mateus dalam Injilnya bab 1 ayat 5b.
Apa yang kita temukan dalam kisah Ruth merupakan sesuatu yang sangat relevan dewasa ini. Lewat bukunya yang berjudul The 7 Habits of Highly Effective Families (1997) Stephen R. Covey menguraikannya pada kebiasaan yang ke lima (halaman 201-246) yang berjudul ‘Seek first to understand ….. then to be understood’ (berusahalah untuk memahami dulu ….. baru kemudian dipahami). Covey mengawali uraiannya dengan mengutip apa yang dikatakan oleh se ekor rubah dalam cerita klasik yang berjudul The Little Prince: ’and now here is my secret, a very simple secret: It is only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye’ (…. inilah rahasiaku, suatu rahasia yang sangat sederhana: hanya dengan hatilah seseorang dapat melihat dengan tepat – apa yang tidak dapat dilihat oleh mata – sesuatu yang hakiki).
Dengan demikian menjadi jelas bahwa konflik atau kesalahpahaman memang merupakan sesuatu yang biasa dalam kehidupan bersama, hal ini merupakan konsekuensi dari keunikan setiap pribadi, ditambah dengan latar belakang yang berbeda-beda entah itu budaya, pendidikan, pemikiran, minat dan lain-lain. Lebih-lebih dalam keluarga, karena biasanya kita sudah terjebak pada pengandaian bahwa pasanganku, mertuaku, saudara iparku mencintaiku, maka mereka pasti bisa memahami aku. Pengandaian ini seringkali menjerumuskan, maka apa yang dikatakan oleh Covey menjadi suatu nasehat yang perlu diingat bahwa kita harus mulai dengan ’memahami orang lain dulu dan baru kita dipahami’, atau dengan kata lain kita selalu harus bersikap empan papan.
Masalahnya bagaimana kita bisa memiliki sikap empan papan dan mampu memiliki hati yang subur dan terbuka? Dari pengalaman: sikap empan papan dan hati yang subur dan terbuka dapat dibangun dengan selalu berusaha untuk mengenal diri sendiri sebaik mungkin, dan kemudian berani menerima diri sendiri apa adanya (bukan dalam arti pasrah pasif, namun justru pasrah aktif: menerima adanya kelemahan-kelemahan namun berusaha mengurangi sedikit demi sedikit, di lain pihak bersyukur akan kekuatan-kekuatan yang dimiliki serta berusaha untuk menumbuhkembangkanNya ). Jika kita bisa mengenal diri sendiri sebaik mungkin dan mampu menerima diri sendiri apa adanya maka kita menjadi bahagia, salah satu aspek kecil dari kebahagiaan tidak lain bahwa kita bisa menempatkan posisi diri kita pada tempat dan waktu yang tepat, karenanya kita diterima oleh yang lain.
Jelaslah ini bukan masalah mudah – kalau tidak mau mengatakan sangat sulit – maka kita tidak pernah boleh berhenti melakukan pembelajaran – dalam arti melakukan proses aksi dan refleksi kehidupan kita.


Bogor, 29 Desember 2011

Selasa, 29 November 2011

keluarga

Keluarga: salah satu jalan menuju ke kesucian
Stanislaus Nugroho

Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (selanjutnya akan digunakan singkatan LG) art. 40 menyatakan bahwa ”..... semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih”. Atau dengan kata lain semua orang kristiani dipanggil untuk menjadi suci. Menjadi suci berarti suatu proses menjadi ”sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mt.5:48).
Dalam kehidupan Gereja Katolik dikenal apa yang disebut klerikus, maksudnya para pelayan suci (para uskup, para pastor dan para diakon) dan kaum awam (yang merupakan bagian terbesar anggota Gereja Katolik). Kaum awam sendiri terdiri dari mereka yang berkeluarga dan mereka yang memilih menjadi anggota dari tarekat-tarekat hidup-bakti. Tulisan ini akan memfokuskan diri pada ”keluarga sebagai salah satu jalan menuju ke kesucian”.
Pada suratnya kepada jemaat di Efesus Rasul Paulus menulis dalam konteks kehidupan suami isteri, sebagai berikut: ”......Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya untuk menguduskannya, .....” (5:25-26). Dengan demikian kesucian merupakan sesuatu yang hakiki dari hidup Gereja. Sebagaimana dikatakan oleh Konsili Vatikan II ”..... Gereja ditandai kesucian yang sesungguhnya meskipun tidak sempurna.” (LG art. 48). Atau dengan perkataan lain ”..... Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (LG 1).
Dalam konteks keluarga proses menjadi suci merupakan hasil – salah satunya – dari interaksi antar anggota keluarga, yang diawali dengan seorang laki-laki dan perempuan yang sepakat untuk membangun keluarga baru. Waktu saya masih aktif ’menjadi fasilitator di kursus persiapan perkawinan’ maka saya tidak pernah lupa bertanya kepada calon pengantin, ’apa tujuan anda berdua menikah?’, pada umumnya jawaban mereka selalu ’ingin punya anak’. Jawaban tersebut tidak sama sekali salah, karena sebagaimana kita temukan pada halaman-halaman pertama Kitab Kejadian ada tertulis ’Beranak cucuclah dan bertambah banyak; ....” (Kej. 1:28).
Kemudian pertanyaan saya lanjutkan dengan ’Mengapa Tuhan Yesus tidak mengutip ayat tersebut, tetapi mengutip yang tertulis di Kej. 2:24 ”Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (lihat Mt. 19:4 dan Mk. 10:7). Jawaban pada umumnya ”Tidak tahu”. Saya pikir bagi Yesus tujuan perkawinan pertama-tama adalah ’menjadi satu daging’ atau dengan kata lain menjadi sejoli, akibat kesejolian kita salah satunya adalah mempunyai anak. Sebagai pengikut dan murid Tuhan Yesus maka kita harus mengamini dan menghayati pandangan Yesus tersebut. Itulah rencana Allah yang harus kita realisasikan.
Apa artinya menjadi sejoli? Dalam bahasa Jawa dikenal istilah ”garwa” atau dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai belahan jiwa. Istilah garwa atau belahan jiwa mungkin merupakan penjelasan yang tepat untuk memaknai istilah ’sejoli’. Tapi apakah itu mungkin? Dalam psikologi dikatakan bahwa setiap manusia itu unik, tidak ada duanya. Berarti setiap manusia berbeda, tidak ada yang sama, lebih-lebih antara laki-laki dan perempuan. Apakah bila berbeda tidak mungkin terjadi kesejolian? Yang penting jangan mengartikan kesejolian sebagai kesamaan. Itulah sebabnya – saya pikir – Kitab Suci menggunakan istilah ’menjadi satu daging’. Kesejolian harus dimengerti sebagai saling melengkapi (= komplementer) karena tidak ada manusia yang sempurna. Maka kita sebenarnya harus bersyukur bahwa setiap manusia itu unik, karena lewat relasi yang berdayaguna kita akan menjadi semakin diperkaya dan dapat bertumbuhkembang bersama menjadi pribadi yang semakin mengutuh. Sekarang banyak digunakan istilah’ pasangan suami isteri’ untuk menterjemahkan istilah ’marriage couple’, dan terjemahan itu saya pikir sangat tepat. Menjadi sejoli tidak lain berarti menjadi pasangan suami isteri. Dengan demikian menjadi jelas bahwa ’menjadi pasangan suami isteri’ tidak lain berarti suatu proses, suatu perjalanan panjang yang sangat menantang. Wedding atau pesta nikah itu tidak lain merupakan titik awal perjalanan sebagai pasangan.
Sedang marriage tidak lain berarti suatu perjalanan bersama untuk merealisasikan impian mereka waktu pacaran yang seharusnya sesuai dengan rencana Allah yang sebagaimana kita imani. Maka sering kita perlu melakukan pemurnian terus menerus dalam usaha menjadi pasangan suami isteri. Rasul Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi memberi nasehat yang sangat bagus – maka perlu kita camkan dalam-dalam dalam hati kita. Nasehatnya berbunyi sebagai berikut ”.....hendaklah kamu sehati sepikir dalam satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri, dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Fil. 2:2-4). Hal ini bisa kita realisasikan bila pasangan-pasangan suami isteri dari awal perkawinannya berusaha keras membangun ’budaya keluarga’ lewat dialog. Stephen R. Covey dalam bukunya yang berjudul The 7 Habits of Highly Effective Families (1999) merumuskan apa yang dimaksudnya dengan budaya keluarga sebagai berikut “Kalau saya berkata budaya, yang saya maksud adalah jiwa keluarga itu – perasaannya, getarannya, proses kimianya, iklim atau suasananya di rumah. Ini adalah karakter dari keluarga – kedalaman, kualitas dan kedewasaan dari hubungan-hubungannya”. Dengan perkataan lain, budaya keluarga merupakan kebiasaan-kebiasaan positif yang mewarnai keluarga yang bersangkutan, selain itu budaya keluarga juga merupakan komitmen-komitmen yang disepakati oleh seluruh anggota keluarga dalam mengelola keluarga tersebut untuk merealisasikan impian-impiannya. Dialog bukan sekadar diskusi, bukan tawar menawar, dialog merupakan komunikasi hati.
Apa yang dimaksud komunikasi hati? Komunikasi yang positif dan asertif (= tegas tapi tidak menyakitkan) karena berlandaskan kasih (kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu, ......., 1 Kor.13: 4-7). Hal ini tidaklah mudah, perlu banyak latihan, dan perlu ketekunan. Namun, jangan kawatir, pasangan suami isteri katolik telah diteguhkan dengan sakramen perkawinan, lewat peneguhan tersebut maka pasangan suami isteri katolik telah memperoleh rahmat, pasangan suami isteri katolik telah dikuatkan, mereka telah memperoleh ’kekuatan sebagai pasangan’ (couple power). Maka perlu tetap berusaha keras membangun ’budaya keluarga’ sambil tetap berdoa mohon rahmat. ”Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di-tengah-tengah mereka” (Mt. 18:20).
Perjalanan panjang pasangan suami isteri itu menuju ke mana? Beato Yohanes Paulus II – dalam Familiaris Consortio (1981) memberikan 4 tujuan umum, artinya semua pasangan suami isteri katolik, harus berusaha keras mencapai ke empat tujuan tersebut. Ke empat tujuan itu meliputi:
1) membentuk persekutuan pribadi;
2) mengabdi kepada kehidupan;
3) ikut serta dalam pengembangan masyarakat, dan
4) berperan serta dalam kehidupan dan misi Gereja.
Ke empat tujuan tersebut amat relavan, di mana keluarga saat ini sedang mengalami tantangan yang sangat berat.
Anthony Giddens – seorang sosiolog dunia – dalam bukunya yang berjudul Runaway World (1999) merumuskan tantangan tersebut sebagai berikut ”Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi kita – dalam seksualitas, hubungan pribadi, perkawinan, dan keluarga. Ada sebuah revolusi global yang tengah berlangsung mengenai bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita membangun ikatan dan hubungan dengan orang lain. Inilah revolusi yang merebak dalam takaran yang berbeda-beda di berbagai wilayah dan budaya, dengan banyak perlawanan terhadapnya”.
Membentuk keluarga sebagai persekutuan pribadi merupakan suatu tugas yang sangat peting, mengingat keluarga merupakan ’benteng yang pertama dan yang terakhir’ bagi tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar, seperti kasih, keadilan, kepedulian, kedamaian, penghargaan, kebahagiaan, kebebasan, kejujuran, kerendahan hati, toleransi, kerjasama, tanggungjawab, kesederhanaan, persatuan, dan lain-lain.
Dewasa ini salah satu tantangan yang ada di depan kita adalah munculnya ’budaya kekerasan dan budaya kematian’, penghargaan pada martabat manusia telah mengikis, hidup manusia telah dilecehkan dan direndahkan, hari minggu yang lalu (25 September 2011) ada bom diri, di mana sasarannya adalah tempat ibadat yang sedang penuh dengan jemaat. Maka membangun keluarga yang ’mengabdi kepada kehidupan’ menjadi sangat relevan.
Salah satu tantangan lain yang dewasa ini ada di sekitar kita adalah kemiskinan, kemiskinan membuat sesama kita tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Maka membangun keluarga yang peduli dan mau ikut ambil bagian dalam pengembangan masyarakat, khususnya mereka yang terpinggirkan, merupakan sesuatu yang sangat mulia.
Sebagai orang kristiani (katolik) maka kita dipanggil untuk menjadi ’saksi karya keselamatan Allah’. Konsili Vatikan II lewat Dekrit tentang Kerasulan Awam (art 2) menyatakan sebagai berikut ”Sebab panggilan kristiani menurut hakekatnya merupakan panggilan untuk merasul juga. Seperti dalam tata-susunan tubuh yang hidup tidak satupun anggota bersifat pasif melulu, melainkan beserta kehidupan tubuh juga ikut menjalankan kegiatannya, begitu pula dalam tubuh Kristus, yakni Gereja, seluruh tubuh ’menurut kadar pekerjaan masing-masing anggotanya mengembangkan tubuh’ (Ef.4:16)”.
Itulah panggilan kita sebagai pasangan suami isteri dan para anggota dari keluarga tersebut. Memang seperti dikatakan oleh Beato Yohanes Paulus II, tujuan yang harus dicapai adalah suatu tujuan umum, artinya bagi semua orang katolik yang berkeluarga. Dalam usaha untuk merealisasikannya tentu harus disesuaikan dengan kemampuan keluarga kita masing-masing. Dalam manajemen dikenal istilah smart, merupakan singkatan dari kata specific, measurable, realistic and time. Dengan kata lain tujuan umum tersebut harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi keluarga kita masing-masing.
Akhirnya bila ini semua sudah kita jalani dengan konsisten, maka saya pikir kita telah menempuh jalan Tuhan, dan dengan demikian kita akan sampai pada tujuan akhir kita yaitu bersatu dalam komunitas kudus di sorga. Mari kita bergandengan tangan berjalan bersama untuk memenuhi panggilan kita sesuai dengan situasi dan kondisi kita masing-masing, dan tentunya jangan lupa untuk ’berdoa sebagai keluarga’.




Bogor, 27 September 2011

Sabtu, 22 Oktober 2011

refleksi ttg harapan

Pengharapan Kristiani, ungkapan penantian yang indah dan menantang, belajar dari Abraham
Stanislaus Nugroho

”....... ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus dihadapan Allah dan Bapa kita” (1Tes.1:3).

Dewasa ini banyak orang – sejauh kita mengikuti media massa, entah itu TV, surat kabar – mengeluh bahwa hidup menjadi semakin sulit, biaya hidup semakin tinggi. Maka tidak heran fenomena ’mengakhiri hidup sebelum waktunya’ (= bunuh diri) semakin banyak. Kemarin siang, 21 Oktober 2011 saya mendengar berita di Metro TV ada seorang laki-laki yang ditinggal oleh pasangannya bekerja sebagai TKW di luar negeri bunuh diri bersama anak bayinya.
Salah satu alasannya tidak lain adalah ’kemiskinan’, memang kemiskinan merupakan salah satu penyakit sosial yang bertentangan dengan martabat manusia, mereka menjadi putus harapan atau putus asa akan masa depannya. Mengapa seorang manusia bisa putus asa, kehilangan pengharapan?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , kita dapat menemukan penjelasan tentang ’pengharapan sebagai harapan’, sedang harapan sendiri dijelaskan sebagai: (1) sesuatu yang (dapat) diharapkan; (2) keinginan supaya menjadi kenyataan; (3) orang yang diharapkan atau dipercaya. Dengan demikian pengharapan atau harapan berkaitan dengan masa depan, berkaitan dengan sesuatu yang belum menjadi fakta, berkaitan dengan sesuatu yang kita nantikan kenyataannya.
Dalam kaitan dengan pengharapan, apa bedanya dengan optimisme. John Macquarrie tidak menyamakan antara pengharapan dan optimisme. Bagi John Macquarrie, optimisme merupakan suatu sikap percaya akan masa depan dengan alasan dan perhitungan yang pasti, sedang pengharapan merupakan suatu keutamaan teologis dan berkaitan dengan kehidupan religius. Di samping itu ada dua keutamaan teologis yang lain, yaitu: iman dan kasih.Berkaitan dengan itu maka St. Thomas Aquinas merumuskannya sebagai berikut: ”Pengharapan merupakan suatu keutamaan. Disebut sebagai pengharapan sejauh memiliki Allah sebagai tujuan masa depannya dan dengan tekun dapat dicapainya dengan bantuan Allah” . Selanjutnya St. Thomas Aquinas menulis ”Pengharapan mengarah kepada Tuhan sebagai prinsip kebaikan sempurna dalam kita. Tujuan pengharapan ialah tercapainya kebaikan sempurna” . Dengan demikian pengharapan berciri eskatologis, mengacu pada masa depan, jaitu: akhir Jaman. Salah satu kritik Karl Marx berkaitan dengan soal ini, ’agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasarnya. Keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam. Agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri” .
Pengharapan mengandaikan adanya keutamaan iman akan adanya Penjamin yang bisa dipercaya. Tapi bagaimana itu harus kita mengerti, agar dengan demikian kita dapat menghayatinya dengan tepat, agar kita tidak terkena kritik Karl Marx tersebut di atas. Untuk itu maka marilah kita belajar dari seorang tokoh perjanjian lama yang bernama Abraham, yang awalnya bernama Abram , yang kita kenal sebagai ’bapak orang-orang beriman’.
Kisah tentang Abram (Abraham) merupakan kisah seorang beriman dan sekaligus berpengharapan, dapat kita baca dan renungkan pada Kej.11:26 – 25:18. suatu kisah yang inspiratif dan menantang. Bila kita telah membaca dan merenungkan kisah tersebut di atas maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa orang beriman dan berpengharapan merupakan kisah orang yang mampu ’melampaui’ dirinya sendiri, artinya mampu melepaskan perhitungan-perhitungan manusiawi, dan mampu berpasrah diri pada penyelenggaraan ilahi, mampu hidup berdasrkan janji Allah. Betapa tidak! Pada waktu Abram (Abraham) dipanggil Allah usianya sudah 75 tahun (Kej.12:4), sudah tinggal dan mapan di Haran (Kej.11:31), dan isterinya – Sarai (Sara) – mandul (Kej.11:30), dan diminta untuk meninggalkan Haran untuk pergi ’ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu’, serta dijanjikan ’Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu mashur; dan engkau akan menjadi berkat’ (Kej. 12:1-2). Janji Allah sungguh di luar perhitungan manusiawi, namun Abraham percaya pada janji Allah tersebut, sehingga ”Lalu pergilah Abram seperti yang difirmankan Tuhan kepadanya, ....” (Kej.12:4). Biarpun janji itu tidak segera terjadi sehingga Abram sempat mengeluh kepada Allah ”...., apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, ....” (Kej.15:2). Keluhan Abram dijawab oleh Allah ”.....anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu” (Kej. 15:4). Selanjutnya penulis Kitab Kejadian menulis ”Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran” (Kej. 15:6), atau bahasa Rasul Paulus ’karena imannya maka Abraham dibenarkan oleh Allah’ (bdk. Rom. 4:1-25). Namun, jawaban Allah masih perlu dinantikan .... sampai akhirnya Sara ’melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abraham dalam masa tuanya’ (Kej.21:2).
Namun, tiba saatnya iman Abraham diuji, Allah berfirman ”Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu” (Kej. 22: 2). Pasti dengan perasaan sangat sedih dan dengan pikiran kosong karena tidak mampu memahami firman tersebut, ”Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham ..... lalu berangkatlah ia dan dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya” (Kej. 22: 3). Akhir cerita Abraham lulus ujian iman (Kej. 22:12).
Pada perikop 22 ini ada teks yang sangat mengesan bagi saya, teks yang saya maksud adalah ”Aku bersumpah demi diriKu sendiri – demikianlah firman Tuhan – karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu, maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firmanKu” (Kej. 22: 16-18). Bandingkan teks tersebut dengan teks yang berasal dari tradisi yang berbeda, yaitu dari Ulangan. ”.... supaya baik keadaanmu dan engkau memasuki dan menduduki negeri yang baik, yang dijanjikan Tuhan dengan sumpah kepada nenek moyangmu .....” (Ul. 6:18) dan ”..... kita dibawaNya keluar dari sana, supaya kita dapat dibawaNya masuk untuk memberikan kepada kita negeri yang telah dijanjikanNya dengan sumpah kepada nenek moyang kita” (Ul. 6: 23).
Kesaksian Perjanjian Lama ini mau menampilkan Tuhan sebagai Pembuat janji yang berkuasa dan dapat diandalkan, Tuhan adalah jaminan hidup kita, sebagaimana dikidungkan oleh pemazmur (Mzm, 119:122) dan sebagaimana dikidungkan oleh Hizkia (Yes. 38: 14).
Pada kutipan Kej. 22: 16-18 dan Ul. 6: 18, 23 ada tiga kata yang dengan sengaja saya tulis dengan huruf italic, karena kata-kata itu sangat menarik bagi saya, yaitu bersumpah, memberkati dan memberikan. Betapa tidak! Biasanya dalam kehidupan sehari-hari seseorang bersumpah/sumpah pasti demi sesuatu yang melampaui dirinya, demi sesuatu yang transenden. Maka bersumpah/sumpah pada kutipan teks tersebut ingin menunjuk pada kekuasaan Allah.
Kata memberkati dalam hidup Kamus Besar Bahasa Indonesia diberi penjelasan sebagai berikut: ’memberi berkat (tentang Tuhan); mendoa supaya Tuhan mendatangkan berkah; mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan sebagainya’ . Dalam hal ini Allah ingin menganugerahkan keturunan, tanah, penyertaan kepada Abraham dan keturunannya, baik keturunan menurut darah maupun keturunan menurut iman (lihat Kej. 26:3-5, ). Begitu pula dengan kata ’memberikan’, Allah berjanji untuk memberikan atau menyerahkan dengan rela negeri yang telah dijanjikan.
Iman Abraham diungkapkan dalam pergulatan hidupnya tanpa putus asa, tanpa putus harapan akan janji Allah lewat sumpahNya (lihat Kej.22:16). Abraham tidak ragu-ragu akan Allah yang berjanji, biarpun realisasi janji itu tertunda-tunda, tetapi Abraham percaya bahwa Allah itu setia. Iman dan harapan demikian yang diwariskan Abraham kepada kita sebagai pengikut dan murid Kristus Yesus. Sebagai ahli waris iman-Abraham, maka kita perlu mengungkapkannya dalam hidup kita sehari-hari. Selain daripada itu sebagaimana diungkapkan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma (lihat Rm.4:1-25), bahwa janji Allah tidak didasarkan pada prestasi Abraham, melainkan semata-mata karena Allah itu kasih.
Akhirnya, kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa ’berharap’ itu hanya mungkin bila kita ’beriman’ dan kita harus rela untuk bergulat dalam hidup kita sehari-hari tanpa pernah putus asa. Perjuangan seperti itulah yang memberi ’makna’ bagi hidup kita.
Bogor, 23 Oktober 2011

Selasa, 16 Agustus 2011

Etos Kerja

MEMBANGUN ETOS KERJA YANG EFEKTIF

Pendahuluan
Sejak John Locke (1632-1704) pekerjaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Bagi Locke lewat pekerjaannya manusia melegitimasi miliknya. Lebih-lebih bagi Locke milik merupakan salah satu dari tiga hak kodrati yang dimiliki manusia, dua lainnya adalah kehidupan dan kebebasan. Selanjutnya Adam Smith (1723-1790) beranggapan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari kerja manusia. Kemudian Hegel (1770-1831) mengembangkan suatu filsafat tentang pekerjaan yang nantinya akan menjadi titik tolak bagi filsafat tentang pekerjaan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Sebelum itu pekerjaan kurang mendapat perhatian bahkan dianggap rendah. Dewasa ini pekerjaan merupakan suatu gejala yang biasa, bahkan bisa dikatakan bahwa bekerja merupakan sesuatu yang khas manusiawi. Dewasa ini orang harus mempersiapkan diri bertahun-tahun dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit agar mendapat pekerjaan yang layak. Oleh karena itu ada baiknya bila kita merenungkan sejenak gejala manusiawi ini, agar kita semakin menyadari apa yang kita lakukan selama lebih kurang 10 jam per hari.

Apa tujuan kita bekerja?
Mengawali renungan ini maka ada baiknya bila kita mencoba menjawab pertanyaan tersebut di atas. Pada umumnya secara spontan kita akan menjawab bahwa kita bekerja agar mendapat uang? Jawaban ini tentunya tidak salah, namun apakah jawaban seperti ini sudah cukup memadai. Sebagai tujuan antara, kita harus menjawab secara afirmatif, namun pasti bukan sebagai tujuan akhir (bila kita meminjam istilah yang dipakai Aristoteles untuk membedakan antara tujuan antara dan tujuan akhir). Tujuan antara adalah tujuan yang dikejar bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi batu loncatan ke tujuan lebih lanjut, sedang tujuan akhir adalah tujuan yang dikejar demi dirinya sendiri.
Namun dewasa ini terdapat kecenderungan kuat bahwa mencari uang merupakan tujuan akhir (uang harus dimengerti sebagai harta/kekayaan). Dewasa ini orang cenderung melakukan segala hal agar dapat mengakumulasi harta/kekayaan (lihat lampiran 1). Bahkan sering dengan sedikit bercanda saya berkata bahwa sila pertama dari Pancasila kita yang berbunyi “Ketuhanan yang mahaesa” telah bermetamorfosa menjadi “keuangan yang mahakuasa”. Lalu, apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari bekerja itu? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut alangkah baiknya bila kita menjawab pertanyaan yang lebih mendasar yaitu “apa itu pekerjaan?” Pekerjaan merupakan sesuatu yang sangat serius, karena bekerja merupakan suatu kegiatan yang seharusnya betul-betul direncanakan agar dapat mencapai suatu tujuan tertentu. Selain daripada itu pekerjaan merupakan suatu kegiatan yang serius karena melibatkan seluruh aspek kemanusiaan kita, baik itu sikap, penalaran, emosi, bakat, ketrampilan, pengalaman, pengetahuan maupun kemauan kita. Dalam kaitan ini ada baiknya bila kita sedikit merenungkan apa yang dikatakan oleh Konfusius, ketika ada orang bertanya kepada Konfusius, “apa yang paling mengherankan anda mengenai kemanusiaan?” Jawaban Konfusius adalah sebagai berikut “manusia kehilangan kesehatannya untuk menghasilkan uang dan kemudian kehilangan uang mereka untuk mengembalikan kesehatannya. Dengan khawatir mereka memikirkan mengenai masa depan, namun mereka melupakan masa kini, seolah-olah mereka tidak hidup untuk masa kini maupun untuk masa depan dan mereka hidup seolah-olah mereka tidak akan pernah mati, dan mereka mati seolah-olah mereka belum pernah hidup”.
Bila bekerja merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seluruh kemanusiaan kita maka pasti tujuan akhir dari bekerja bukanlah uang, melainkan bertumbuhkembangnya kemanusiaan kita, atau kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Abraham Maslow maka tujuan bekerja adalah agar manusia bisa mengaktualisasikan dirinya secara utuh dengan mengelola bumi dan segala isinya secara bijaksana, agar hidupnya menjadi “fully human, fully alive” sebagaimana diimpikan oleh John Powell. (lihat lampiran 2). Masalahnya bagaimana impian tersebut dapat direalisasikan? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita perlu membangun etos kerja yang efektif, sebagaimana ditawarkan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People.

Membangun etos kerja
Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) maka kita menemukan penjelasan tentang etos sebagai “pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial”. Sedang bila kita membuka kamus Concise Oxford Dictionary maka kita menemukan penjelasan tentang ethos sebagai “characteristic spirit of community, people or system”. Sedang bagi Clifford Geertz dalam artikelnya yang berjudul “Ethos, world view and the analysis of sacred symbols” kita menemukan penjelasan sebagai berikut “ethos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup”. Dengan demikian maka etos merupakan semangat yang khas yang dihidupi oleh seseorang, sekelompok orang atau bangsa. Selain daripada itu bagi Clifford Geertz etos juga memiliki aspek evaluatif, dengan demikian bersifat penilaian.
Selanjutnya bagaimana kita bisa memiliki etos kerja tertentu? Dalam kaitan ini maka saya ingin menawarkan apa yang dikembangkan oleh Stephen R. Covey melalui bukunya yang berjudul “The Seven Habits of highly effective people”. Mengapa saya memilih Covey? Bagi saya Covey sangat serius, dia melakukan studi kepustakaan dengan rentang wakyu yang sangat panjang tentang pertanyaan yang berbunyi “Bagaimana mencapai hidup yang berhasil?” Selain daripada itu Covey secara “populer” mencoba untuk mengaplikasikan apa yang secara filosofis dibuat oleh Alasdair MacIntyre, yaitu kembali ke keutamaan, sebagaimana dipikirkan oleh Aristoteles sekitar 2500 tahun yang lalu. Secara tradisional (sejak Sokrates dan Plato) kita mengenal ada empat keutamaan dasar yaitu, kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri dan keadilan. Covey mencoba menterjemahkan keempat keutamaan tersebut menjadi tujuh kebiasaan (keutamaan merupakan suatu disposisi batin seseorang yang bersifat relatif tetap dan merupakan hasil dari suatu proses pembiasaan diri/hasil latihan yang ajeg), yaitu jadilah proaktif di mana orang bertindak karena didorong oleh nilai-nilai yang sudah dipertimbangkan dengan cermat, diseleksi dan dihati; mulailah tujuan akhir yang ada dalam pikiran anda ayau dengan perkataan lain tetapkanlah apa yang menjadi visi hidup anda; dahulukan yang utama artinya kita bisa menentukan apa yang prioritas dalam hidup kita ini; berpikir menang-menang atau dengan perkataan lain berusahalah sedemikian rupa sehingga tidak ada pihak yang kalah; berusahalah untuk mengerti lebih dulu atau secara sederhana belajarlah mendengarkan/mendengar dengan hati; wujudkanlah sinergi atau wujudkanlah nilai tambah dan yang terakhir asahlah gergajimu atau jadilah manusia pembelajar. Dalam studinya Covey menemukan bahwa selama kurun waktu 150 tahun pertama sejak bangsa Amerika merdeka (1776) maka etika keutamaan lebih diutamakan, di mana kualitas batin serta disiplin diri (yang sorotan majalah Warta edisi no. 12 Th. XIV/II/2003) menjadi sangat penting. Oleh karena itu nilai-nilai seperti kesederhanaan, ketulusan, kerendahan hati, keberanian, integritas, kejujuran, kerajinan dan hidup hemat sangat ditekankan. Namun sejak tahun 1930 an sampai sekarang bukan lagi keutamaan yang diutamakan melainkan tehnik-tehnik mempengaruhi orang lain, di mana pembinaan kehidupan sosial dan karir seseorang lebih diutamakan dan dipisahkan dari pembinaan keutamaan. Dengan lain perkataan terjadi pergeseran dari etika keutamaan ke etika kepribadian. Bagi etika kepribadian “keberhasilan hanyalah sekadar fungsi dari popularitas kita di masyarakat”. Dengan demikian tidaklah mengherankan bila berakibat bahwa banyak orang dewasa ini bagaikan pohon tanpa akar yang kuat sehingga mudah terombang-ambing oleh mode dan godaan yang seolah-olah menawarkan sesuatu yang sangat menguntungkan.

Kembali ke etika keutamaan
Keutamaan merupakan hasil dari pembiasaan. Bagi Covey kebiasaan hidup efektif dibangun di atas prinsip-prinsip kebenaran abadi, a.l. hukum panen, yang berbunyi “kita akan memanen apa yang kita tanam”. Marilah kita renungkan bersama sebuah peribahasa Tiongkok kuno yang berbunyi “tanamlah pikiran, panenlah perbuatan; tanamlah perbuatan, panenlah kebiasaan; tanamlah kebiasaan, panenlah keutamaan; tanamlah keutamaan, maka anda akan memanen nasib anda sendiri”.
Manusia lahir sebagai bayi yang tak berdaya, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menjadi matang dan dewasa. Dimensi fisik, mental, emosi, sosial maupun spiritual kita berkembang bersamaan, meskipun tidak perlu sama cepatnya. Kematangan diri seseorang merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Namun secara garis besar proses kematangan diri dapat digambarkan dalam tiga tahap, berawal dari tahap ketergantungan, tumbuh menjadi tahap kemandirian dan akan bermuara pada tahap kesalingtergantungan. Dalam saling ketergantungan manusia mengalami kekayaan perasaan dan keintiman hubungan antar-pribadi di samping hasil nyata dari suatu kegotongan royongan antar manusia. Saling ketergantungan melengkapi proses kematangan diri karena memungkinkan kita menjadi orang yang efektif (efektif tidak hanya berarti perolehan hasil (yang memang penting) melainkan kemampuan kita untuk memelihara serta meningkatkan mutu aset kita, seperti barang-barang, uang dan terutama kemanusiaan kita) dan sekaligus merasa bahagia dalam berbagai segi kehidupan kita.
Ketujuh kebiasaan yang ditawarkan oleh Covey merupakan rangkaian keutamaan yang tumbuh secara bertahap, dan sekaligus menampilkan aspek kemenangan pribadi dan kemenangan publik. Kebiasaan pertama, kedua dan ketiga mengantar kita ke gerbang kemenangan pribadi, maksudnya memungkinkan kita mencapai kedaulatan dan kepemimpinan diri yang efektif. Karena dengan kebiasaan pertama “jadilah proaktif” maka kita menjadi bertanggungjawab karena sadar bahwa kita senantiasa bebas untuk memilih dan menentukan diri kita sendiri, dan dengan kebiasaan ini kita mampu membentuk visi atau wawasan pribadi apa yang menjadi cita-cita hidup kita. Dengan kebiasaan kedua “memulai dengan tujuan akhir yang ada dalam pikiran kita” atau memiliki visi maka kita mampu menentukan tujuan akhir hidup kita, dan dengan demikian kita mampu memimpin/mengarahkan diri kita sendiri. Sedang dengan kebiasaan ketiga “dahulukan yang utama” atau mampu menentukan prioritas maka kita melaksanakan berbagai aktivitas menurut urutan kepentingannya dan bukan berdasarkan urutan kegentingannya, dengan demikian kita mampu mengelola kehidupan pribadi.
Kebiasaan keempat, kelima dan keenam membimbing kita menuju pintu gerbang kemenangan publik, artinya kemenangan yang memungkinkan kita meraih keberhasilan dalam kerangka kerja sama dengan orang lain. Kebiasaan keempat “berpikir menang-menang” atau berpikir “jangan ada yang kalah” membuat kita selalu mencari alternatif yang memungkinkan semua pihak yang terkait dengan kita tidak ada yang kalah dan memperoleh manfaat, dengan demikian kita mampu memimpin orang lain. Kebiasaan kelima “berusahalah untuk mengerti dulu” atau sikap mendengarkan membuat kita selalu berusaha untuk mengerti orang lain dengan penuh perhatian, dan demikian kita mampu berkomunikasi secara efektif. Sedang kebiasaan keenam “wujudkanlah sinergi” atau menciptakan nilai tambah membuat kita berusaha selalu kreatif dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada di antara kita dengan orang lain, dan dengan demikian kita mampu menciptakan kerjasama yang kreatif.
Akhirnya kebiasaan ketujuh “asahlah gergajimu” atau jadilah manusia pembelajar merupakan suatu kebiasaan yang melingkupi keenam kebiasaan terdahulu. Kebiasaan ini tidak lain adalah aktivitas sederhana yang kita lakukan setiap hari yang dapat menanamkan prinsip-prinsip efektivitas ke dalam hidup kita. Dengan ini maka kita mengalami kemenangan atas diri sendiri yang sesungguhnya dan menjadi kunci perubahan yang kita kendalikan sendiri. Oleh karena itu membangun etos kerja tidak lain adalah membangun kepemimpinan yang visioner, di mana kita mampu memimpin diri sendiri, mampu memimpin orang lain dan bersama-bersama menuju ke masa depan, menuju dunia yang baru.
Keutamaan adalah pembiasaan, maka bila kita ingin menghayati apa yang telah kita renungkan selama ini maka tidak ada jalan lain marilah kita mulai melaksanakan pekerjaan rumah kita ini dengan tekun dan ulet dan disiplin, siap untuk menjadi murid (disciple) dari dan dalam kehidupan ini.

Bogor, 17 Agustus 2011

Stanislaus Nugroho

Minggu, 17 Juli 2011

refleksi pengalaman

HARI MINGGU KELABU DAN PENYLENGGARAAN ILAHI
Pikullah kuk yang Kupasang dan
belajarlah padaKu (Mt.11:29a)

Pendahuluan
Baru 14 tahun 5 bulan saya hidup menduda, sejak tanggal 24 Februari 1997 yang lalu pasangan saya dipanggil Bapa untuk kembali ke rumahNya. Saya masih ditemani anak kami yang bungsu sampai Agustus 1998, setelah itu anak kami yang bungsu pindah ke Bandung karena kuliah di Universitas Pajajaran, sedang yang sulung kuliah di Universitas Katolik Soegijopranoto, Semarang. Maka sejak itu saya hidup sendirian – kecuali bila anak-anak pulang ke Bogor – dan selama ini semuanya berjalan baik-baik saja. Saya tidak merasa kesepian karena saya hidup di tengah-tengah warga lingkungan yang guyup, dan yang paling penting saya yakin selalu ditemani oleh Kristus Yesus.

Hari Minggu kelabu
Hari Minggu tanggal 5 Juni 2011 merupakan hari yang kelabu bagiku. Betapa tidak. Hari Sabtu tanggal 4 Juni 2011 saya masih ke Panti Asuhan Santo Yusuf di Sindanglaya – mengendarai mobil sendiri – dengan seorang teman untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Pater Gabriel OFM, Direktur Panti Asuhan. Sekitar jam 14.00 kami pulang, ternyata sesampai di Cisarua turun hujan dan jalan macet. Sesampainya di Bogor jam sudah mendekati jam 16.30 maka kami memutuskan untuk langsung ke Katedral Bogor untuk mengikuti Perayaan Ekaristi agar esok hari bisa istirahat. Setelah selesai mengikuti Perayaan Ekaristi saya mengantar teman saya ke rumahnya dan kemudian saya pulang ke rumah saya. Sesampai di rumah – sekitar jam 19.00 – saya mandi, makan dan sedikit membaca. Jam 21.00 saya pergi tidur di lantai dua, jam 03.00 dini hari saya terbangun untuk ke kamar kecil. Selesai buang air kecil saya kembali tidur. Sampai saat itu saya tidak merasakan kelainan apapun dari diri saya. Jam 05.30 saya bangun dan merasa badan saya tidak seperti biasanya. Ketika saya mau berdiri maka saya akan jatuh, namun saya memaksakan diri untuk berdiri dan berjalan. Saya merasa kaki kiri tidak bisa saya kendalikan, tapi saya tetap memaksa diri untuk menuruni tangga – yang cukup curam – sambil berpegangan pada pegangan tangga. Dengan agak susah payah – sambil berdoa ’Tuhan bantulah, bimbinglah dan kuatkanlah aku’ – saya akhirnya berhasil turun. Sesampainya di bawah yang pertama kali terpikir adalah ’aku harus membuka pintu rumah dan gembok pagar’. Dengan susah payah saya berhasil membuka pintu rumah dan gembok pagar, selanjutnya saya masih mampu masak air dan membuat sarapan dalam bentuk havermout. Sambil menunggu havermout siap untuk dimakan maka saya mencoba ke lantai dua untuk melanjutkan kebiasaan saya bermeditasi dan menulis buah permenungan saya di buku catatan harian saya. Setelah selesai saya mencoba turun tapi kaki kiri makin lemah, maka akhirnya saya duduk sambil mencoba maju dan menuruni tangga (bahasa Jawa: ngesot) dan tentu sambil berdoa ’Tuhan bantulah, bimbinglah dan kuatkanlah aku’, akhirnya saya sampai juga di bawah dan berusaha ke meja komputer untuk menulis buah permenungan saya di facebook untuk dibagikan kepada para sahabat, namun tidak berhasil, saya tidak mampu membuka dan menyalakan komputer. Akhirnya sambil ngesot saya menuju ke ruang tamu untuk duduk di kursi tamu. Saya teringat handphone saya yang kebetulan ada didekat meja tamu. Saya mencoba menghubungi beberapa teman, yang pertama saya hubungi ternyata sedang ke Gereja. Yang kedua saya hubungi bisa ketemu kemudian saya hanya memberitahu bahwa saya sakit dan tolong segera ke rumah saya. Setelah saya tunggu sekitar 30 menit tidak datang-datang maka saya menghubungi yang ketiga, kebetulan tersambung dan seperti yang kedua saya memberitahu saya sakit, tolong segera ke rumah. Tidak lama kemudian datang bersama isterinya, karena merasa tidak kuat mengangkat saya maka suaminya memanggil teman yang lain (yang masih tidur), selama menunggu bantuan, isterinya sempat menyuapi saya beberapa sendok havermout yang tadi sudah saya siapkan. Setelah itu saya langsung dibawa ke rumah sakit terdekat yaitu Bogor Medical Center (BMC). Setibanya di rumah sakit maka saya langsung di tempatkan di Unit Gawat Darurat, di UGD saya hanya diukur tekanan darah saya (160/110), setelah itu saya didiamkan saja sampai sekitar 2 jam (rupanya karena belum ada yang tandatangan dan memberikan uang muka, teman-teman saya sibuk menghubungi saudara-saudara saya dan teman-teman yang lain). Setelah ada teman yang tandatangan dan memberikan uang muka barulah saya ditangani dan dipindahkan ke Health Care Unit untuk diobservasi lebih lanjut, dan mendapat infus. Sore harinya kepala saya di CT – Scan, ternyata ada sumbatan di otak saya sebelah kanan, maka bagian kiri tubuh saya jadi lumpuh dan bicaranya menjadi cedal, dengan kata lain saya terkena stroke. Setelah saya mulai berbicara dengan cukup jelas saya tanya pada dokter yang merawat ’Apa yang menjadi pemicu sehingga saya bisa menjadi seperti ini?’ Jawaban dokter cukup mengagetkan, yang utama adalah kadar gula darah saya yang tinggi, di samping tekanan darah yang cukup tinggi. Mengagetkan, karena pada akhir dasawarsa 90-an saya pernah didiagnosa oleh dokter menderita kadar gula rendah, karena pernah jatuh di kamar mandi tanpa sadar, sehingga sejak itu saya ramah dengan makanan dan minuman yang manis, karena pada dasarnya memang saya menyukainya.

Penyelenggaraan Ilahi
Setelah beberapa hari berbaring di umah sakit – di mana hanya terbaring lemah, yang dilakukan hanya berbaring sambil diinfus, makan, minum obat, disuntik, buang air lewat kateter, tidak ada yang lain yang dapat saya kerjakan – padahal biasanya saya tidak pernah seperti ini, banyak aktivitas seperti rapat, bepergian, membaca, menulis paper dan lain-lain. Hari-hari saya lewati dengan perasaan frustrasi.
Selain daripada itu saya belum bisa menerima bahwa saya menderita stroke – lebih-lebih para sahabat yang menjenguk selalu berkomentar ’Rupanya Nugroho bisa sakit juga dan sampai harus menginap di rumah sakit.’ – karena hidup saya cukup teratur dan cukup disiplin, hidup saya cukup terkendali dan olah raga cukup teratur. Sampailah saat di mana bapak Uskup Bogor mengunjungi saya di rumah sakit. Pada saat kunjungan itu ada dua kalimat yang menyentuh saya. Beliau berkata ”Stanis usiamu sudah 64 tahun, coba bayangkan organ-organ tubuhmu sudah bekerja selama itu, apakah kaupelihara dengan baik, kalau toh kaupelihara dengan baikpun kondisinya tentu tidak seperti saat usiamu masih 17 tahun”. Kalimat yang kedua beliau ucapkan pada saat beliau mau pulang. Sambil memberi rosario yang beliau berkati maka beliau berucap ”Seringkali waktu seperti ini merupakan saat-saat yang sangat baik untuk merefleksikan perjalanan hidup kita”.
Setelah beliau pulang begitu pula pula para sahabat, maka saya memutuskan untuk memulai ’permenungan panjang’. Saya mulai membaca-baca Kitab Suci dan saya menemukan 2 teks yang menyentuh saya. Yang satu saya temukan pada kitab Ayub, bunyinya sebagai berikut: ’Dengan penderitaannya ia ditegur di tempat tidurnya, ...” (33:19a), selain itu saya juga menemukan di kitab Amsal teks yang berbunyi ”Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, ....” (18:14a). Kedua teks tersebut semakin mendorong saya untuk melaksanakan permenungan panjang dengan sungguh-sungguh, berkaitan dengan itu maka saya memulai permenungan panjang tersebut dengan doa mohon rahmat, pendampingan dan kekuatan untuk menindak lanjuti temuan-temuan yang akan saya peroleh selama retret panjang tersebut.
Langkah pertama saya mulai merefleksikan peristiwa hari minggu kelabu tersebut. Dalam kepanikan ternyata Tuhan masih menyertaiku – suatu Penyelenggaraan Ilahi – dan masih memberiku kesadaran untuk dapat berpikir dan melakukan apa yang perlu kulakukan, agar bantuan dapat masuk ke rumahku tanpa kesulitan. Penyelenggaraan Ilahi kualami lagi pada hari Senin tanggal 6 Juni dan hari Selasa tanggal 7 Juni, betapa tidak. Hari Senin aku mendapat kunjungan 2 orang suster Misionaris Claris yang di Duren Sawit Jakarta, yang seorang bernama suster Celina MC dan yang lain bernama suster Anna Maria MC. Setelah berbincang-bincang cukup lama, waktu mau pulang suster Celina bertanya kepada saya begini ’Pak Nugroho nanti kalau sudah boleh pulang apa rencananya?’ Jawab saya ’Ya saya pulang ke rumah’. Pertanyaan selanjutnya ’Di rumah dengan siapa?’ Jawab saya ’Dengan Tuhan Yesus’. Kemudian suster Celina berkomentar ’Dalam kondisi seperti sekarang selain Tuhan Yesus bapak memerlukan teman untuk membantu hal-hal yang belum bisa bapak lakukan’. Jawaban saya ’Belum terpikir suster’. Malamnya saya mulai berpikir tentang apa yang dipertanyakan oleh suster Celina, sampai tertidur saya belum menemukan jalan keluarnya, begitu pula keesokan harinya. Siang itu saya ditelpon oleh suster Vero MC – pimpinan regional MC Indonesia – suster Vero mengundang saya untuk memulihkan motorik saya di rumah sakit mereka di Madiun. Jawab saya kepada suster Vero ’Saya akan pikir-pikir dulu sambil berembug dengan anak sulung kami, famili dan teman-teman saya’. Kemudian suster Vero berpesan agar nanti saya memberi kabar. Mungkin anda bertanya di mana anak bungsu kami, koq tidak dilibatkan. Anak bungsu kami saat ini sedang berada di Meksiko, untuk mengikuti pendidikan menjadi seorang suster MC. Tanggal 13 Juni saya diantar oleh kemenakan berangkat ke Madiun, tanggal 14 oleh seorang fisioterapis saya mulai dilatih duduk kemudian berdiri. Keesokan harinya saya mulai dilatih berjalan dengan bantuan tongkat yang kakinya bercabang tiga dan demikian seterusnya sampai hari minggu tanggal 19 Juni saya sudah bisa berjalan tanpa tongkat. Puji dan terimakasih kepada Tuhan yang begitu menyelenggarakan hidup saya dan semua sahabat yang saya tahu semua mendoakan saya.
Berikutnya lewat sakit ini saya menemukan bahwa Tuhan memberi saya peringatan bahkan teguran (lihat Ayub 33:19a) bahwa saya terlalu percaya diri atau menjadi sombong sehingga lalai untuk merawat diri saya lebih baik. Sejak pasangan saya meninggal dunia, saya tidak pernah kontrol tensi, gula darah dan lain-lain. Saya terlalu percaya untuk bisa mengendalikan diri, lupa usia saya makin lama makin menjadi tua, berarti organ-organ tubuh semakin menjadi aus. Mulai saat ini saya harus lebih bisa menerima diri apa adanya, melakukan kontrol seperlunya agar dengan demikian saya dapat memelihara diri sesuai dengan kondisi saya.
Selanjutnya saya dimotivasi dengan ayat yang meneguhkan saya yaitu ”orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah” (Ams.18:14). Berpenyakit merupakan salah satu penderitaan, lebih-lebih bagi saya – yang terbiasa aktif dengan macam-macam kegiatan – yang sekarang harus berbaring di tempat tidur rumah sakit dan mulai belajar berjalan seperti anak-anak balita. Awalnya saya hampir putus asa, tapi syukurlah menemukan ayat tersebut di atas. Dokter, perawat dan fisioterapis kagum dengan kemajuan saya. Puji dan syukur untuknya atas rahmat kesembuhan yang dicurahkan kepada saya.

Penutup
Hidup ini sungguh sebuah perjalanan bersama dengan sesama, dan di samping itu jangan pernah kita lupakan bahwa kita juga disertai, dibimbing dan kadang-kadang ditegur olehNya. Akhirnya saya ingin berterimakasih kepadaNya yang telah membuka matahati saya, memampukan saya untuk lebih peka dengan pengalaman yang awalnya tidak saya harapkan, dan membuat saya mampu menemukan persiapan-persiapan yang lebih utuh adar saya dapat melanjutkan perjalanan saya. Puji sukur dan terimakasih kepadaNya dan tidak lupa terimakah juga kepada para sahabat yang telah memperhatikan, peduli dan membantu pemulihan saya. Shalom!

Bogor, 17 Juli 2011

Jumat, 06 Mei 2011

Etos Kerja

MEMBANGUN ETOS KERJA YANG EFEKTIF
Stanislaus Nugroho
Pendahuluan
Sejak John Locke (1632-1704) pekerjaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Bagi Locke lewat pekerjaannya manusia melegitimasi miliknya. Lebih-lebih bagi Locke milik merupakan salah satu dari tiga hak kodrati yang dimiliki manusia, dua lainnya adalah kehidupan dan kebebasan. Selanjutnya Adam Smith (1723-1790) beranggapan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari kerja manusia. Kemudian Hegel (1770-1831) mengembangkan suatu filsafat tentang pekerjaan yang nantinya akan menjadi titik tolak bagi filsafat tentang pekerjaan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Sebelum itu pekerjaan kurang mendapat perhatian bahkan dianggap rendah. Dewasa ini pekerjaan merupakan suatu gejala yang biasa, bahkan bisa dikatakan bahwa bekerja merupakan sesuatu yang khas manusiawi. Dewasa ini orang harus mempersiapkan diri bertahun-tahun dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit agar mendapat pekerjaan yang layak. Oleh karena itu ada baiknya bila kita merenungkan sejenak gejala manusiawi ini, agar kita semakin menyadari apa yang kita lakukan selama lebih kurang 10 jam per hari.

Apa tujuan kita bekerja?
Mengawali renungan ini maka ada baiknya bila kita mencoba menjawab pertanyaan tersebut di atas. Pada umumnya secara spontan kita akan menjawab bahwa kita bekerja agar mendapat uang? Jawaban ini tentunya tidak salah, namun apakah jawaban seperti ini sudah cukup memadai. Sebagai tujuan antara, kita harus menjawab secara afirmatif, namun pasti bukan sebagai tujuan akhir (bila kita meminjam istilah yang dipakai Aristoteles untuk membedakan antara tujuan antara dan tujuan akhir). Tujuan antara adalah tujuan yang dikejar bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi batu loncatan ke tujuan lebih lanjut, sedang tujuan akhir adalah tujuan yang dikejar demi dirinya sendiri.
Namun dewasa ini terdapat kecenderungan kuat bahwa mencari uang merupakan tujuan akhir (uang harus dimengerti sebagai harta/kekayaan). Dewasa ini orang cenderung melakukan segala hal agar dapat mengakumulasi harta/kekayaan (lihat lampiran 1). Bahkan sering dengan sedikit bercanda saya berkata bahwa sila pertama dari Pancasila kita yang berbunyi “Ketuhanan yang mahaesa” telah bermetamorfosa menjadi “keuangan yang mahakuasa”. Lalu, apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari bekerja itu? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut alangkah baiknya bila kita menjawab pertanyaan yang lebih mendasar yaitu “apa itu pekerjaan?” Pekerjaan merupakan sesuatu yang sangat serius, karena bekerja merupakan suatu kegiatan yang seharusnya betul-betul direncanakan agar dapat mencapai suatu tujuan tertentu. Selain daripada itu pekerjaan merupakan suatu kegiatan yang serius karena melibatkan seluruh aspek kemanusiaan kita, baik itu sikap, penalaran, emosi, bakat, ketrampilan, pengalaman, pengetahuan maupun kemauan kita. Dalam kaitan ini ada baiknya bila kita sedikit merenungkan apa yang dikatakan oleh Konfusius, ketika ada orang bertanya kepada Konfusius, “apa yang paling mengherankan anda mengenai kemanusiaan?” Jawaban Konfusius adalah sebagai berikut “manusia kehilangan kesehatannya untuk menghasilkan uang dan kemudian kehilangan uang mereka untuk mengembalikan kesehatannya. Dengan khawatir mereka memikirkan mengenai masa depan, namun mereka melupakan masa kini, seolah-olah mereka tidak hidup untuk masa kini maupun untuk masa depan dan mereka hidup seolah-olah mereka tidak akan pernah mati, dan mereka mati seolah-olah mereka belum pernah hidup”.
Bila bekerja merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seluruh kemanusiaan kita maka pasti tujuan akhir dari bekerja bukanlah uang, melainkan bertumbuhkembangnya kemanusiaan kita, atau kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Abraham Maslow maka tujuan bekerja adalah agar manusia bisa mengaktualisasikan dirinya secara utuh dengan mengelola bumi dan segala isinya secara bijaksana, agar hidupnya menjadi “fully human, fully alive” sebagaimana diimpikan oleh John Powell. (lihat lampiran 2). Masalahnya bagaimana impian tersebut dapat direalisasikan? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita perlu membangun etos kerja yang efektif, sebagaimana ditawarkan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People.

Membangun etos kerja
Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) maka kita menemukan penjelasan tentang etos sebagai “pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial”. Sedang bila kita membuka kamus Concise Oxford Dictionary maka kita menemukan penjelasan tentang ethos sebagai “characteristic spirit of community, people or system”. Sedang bagi Clifford Geertz dalam artikelnya yang berjudul “Ethos, world view and the analysis of sacred symbols” kita menemukan penjelasan sebagai berikut “ethos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup”. Dengan demikian maka etos merupakan semangat yang khas yang dihidupi oleh seseorang, sekelompok orang atau bangsa. Selain daripada itu bagi Clifford Geertz etos juga memiliki aspek evaluatif, dengan demikian bersifat penilaian.
Selanjutnya bagaimana kita bisa memiliki etos kerja tertentu? Dalam kaitan ini maka saya ingin menawarkan apa yang dikembangkan oleh Stephen R. Covey melalui bukunya yang berjudul “The Seven Habits of highly effective people”. Mengapa saya memilih Covey? Bagi saya Covey sangat serius, dia melakukan studi kepustakaan dengan rentang wakyu yang sangat panjang tentang pertanyaan yang berbunyi “Bagaimana mencapai hidup yang berhasil?” Selain daripada itu Covey secara “populer” mencoba untuk mengaplikasikan apa yang secara filosofis dibuat oleh Alasdair MacIntyre, yaitu kembali ke keutamaan, sebagaimana dipikirkan oleh Aristoteles sekitar 2500 tahun yang lalu. Secara tradisional (sejak Sokrates dan Plato) kita mengenal ada empat keutamaan dasar yaitu, kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri dan keadilan. Covey mencoba menterjemahkan keempat keutamaan tersebut menjadi tujuh kebiasaan (keutamaan merupakan suatu disposisi batin seseorang yang bersifat relatif tetap dan merupakan hasil dari suatu proses pembiasaan diri/hasil latihan yang ajeg), yaitu jadilah proaktif di mana orang bertindak karena didorong oleh nilai-nilai yang sudah dipertimbangkan dengan cermat, diseleksi dan dihati; mulailah tujuan akhir yang ada dalam pikiran anda ayau dengan perkataan lain tetapkanlah apa yang menjadi visi hidup anda; dahulukan yang utama artinya kita bisa menentukan apa yang prioritas dalam hidup kita ini; berpikir menang-menang atau dengan perkataan lain berusahalah sedemikian rupa sehingga tidak ada pihak yang kalah; berusahalah untuk mengerti lebih dulu atau secara sederhana belajarlah mendengarkan/mendengar dengan hati; wujudkanlah sinergi atau wujudkanlah nilai tambah dan yang terakhir asahlah gergajimu atau jadilah manusia pembelajar. Dalam studinya Covey menemukan bahwa selama kurun waktu 150 tahun pertama sejak bangsa Amerika merdeka (1776) maka etika keutamaan lebih diutamakan, di mana kualitas batin serta disiplin diri (yang sorotan majalah Warta edisi no. 12 Th. XIV/II/2003) menjadi sangat penting. Oleh karena itu nilai-nilai seperti kesederhanaan, ketulusan, kerendahan hati, keberanian, integritas, kejujuran, kerajinan dan hidup hemat sangat ditekankan. Namun sejak tahun 1930 an sampai sekarang bukan lagi keutamaan yang diutamakan melainkan tehnik-tehnik mempengaruhi orang lain, di mana pembinaan kehidupan sosial dan karir seseorang lebih diutamakan dan dipisahkan dari pembinaan keutamaan. Dengan lain perkataan terjadi pergeseran dari etika keutamaan ke etika kepribadian. Bagi etika kepribadian “keberhasilan hanyalah sekadar fungsi dari popularitas kita di masyarakat”. Dengan demikian tidaklah mengherankan bila berakibat bahwa banyak orang dewasa ini bagaikan pohon tanpa akar yang kuat sehingga mudah terombang-ambing oleh mode dan godaan yang seolah-olah menawarkan sesuatu yang sangat menguntungkan.

Kembali ke etika keutamaan
Keutamaan merupakan hasil dari pembiasaan. Bagi Covey kebiasaan hidup efektif dibangun di atas prinsip-prinsip kebenaran abadi, a.l. hukum panen, yang berbunyi “kita akan memanen apa yang kita tanam”. Marilah kita renungkan bersama sebuah peribahasa Tiongkok kuno yang berbunyi “tanamlah pikiran, panenlah perbuatan; tanamlah perbuatan, panenlah kebiasaan; tanamlah kebiasaan, panenlah keutamaan; tanamlah keutamaan, maka anda akan memanen nasib anda sendiri”.
Manusia lahir sebagai bayi yang tak berdaya, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menjadi matang dan dewasa. Dimensi fisik, mental, emosi, sosial maupun spiritual kita berkembang bersamaan, meskipun tidak perlu sama cepatnya. Kematangan diri seseorang merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Namun secara garis besar proses kematangan diri dapat digambarkan dalam tiga tahap, berawal dari tahap ketergantungan, tumbuh menjadi tahap kemandirian dan akan bermuara pada tahap kesalingtergantungan. Dalam saling ketergantungan manusia mengalami kekayaan perasaan dan keintiman hubungan antar-pribadi di samping hasil nyata dari suatu kegotongan royongan antar manusia. Saling ketergantungan melengkapi proses kematangan diri karena memungkinkan kita menjadi orang yang efektif (efektif tidak hanya berarti perolehan hasil (yang memang penting) melainkan kemampuan kita untuk memelihara serta meningkatkan mutu aset kita, seperti barang-barang, uang dan terutama kemanusiaan kita) dan sekaligus merasa bahagia dalam berbagai segi kehidupan kita.
Ketujuh kebiasaan yang ditawarkan oleh Covey merupakan rangkaian keutamaan yang tumbuh secara bertahap, dan sekaligus menampilkan aspek kemenangan pribadi dan kemenangan publik. Kebiasaan pertama, kedua dan ketiga mengantar kita ke gerbang kemenangan pribadi, maksudnya memungkinkan kita mencapai kedaulatan dan kepemimpinan diri yang efektif. Karena dengan kebiasaan pertama “jadilah proaktif” maka kita menjadi bertanggungjawab karena sadar bahwa kita senantiasa bebas untuk memilih dan menentukan diri kita sendiri, dan dengan kebiasaan ini kita mampu membentuk visi atau wawasan pribadi apa yang menjadi cita-cita hidup kita. Dengan kebiasaan kedua “memulai dengan tujuan akhir yang ada dalam pikiran kita” atau memiliki visi maka kita mampu menentukan tujuan akhir hidup kita, dan dengan demikian kita mampu memimpin/mengarahkan diri kita sendiri. Sedang dengan kebiasaan ketiga “dahulukan yang utama” atau mampu menentukan prioritas maka kita melaksanakan berbagai aktivitas menurut urutan kepentingannya dan bukan berdasarkan urutan kegentingannya, dengan demikian kita mampu mengelola kehidupan pribadi.
Kebiasaan keempat, kelima dan keenam membimbing kita menuju pintu gerbang kemenangan publik, artinya kemenangan yang memungkinkan kita meraih keberhasilan dalam kerangka kerja sama dengan orang lain. Kebiasaan keempat “berpikir menang-menang” atau berpikir “jangan ada yang kalah” membuat kita selalu mencari alternatif yang memungkinkan semua pihak yang terkait dengan kita tidak ada yang kalah dan memperoleh manfaat, dengan demikian kita mampu memimpin orang lain. Kebiasaan kelima “berusahalah untuk mengerti dulu” atau sikap mendengarkan membuat kita selalu berusaha untuk mengerti orang lain dengan penuh perhatian, dan demikian kita mampu berkomunikasi secara efektif. Sedang kebiasaan keenam “wujudkanlah sinergi” atau menciptakan nilai tambah membuat kita berusaha selalu kreatif dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada di antara kita dengan orang lain, dan dengan demikian kita mampu menciptakan kerjasama yang kreatif.
Akhirnya kebiasaan ketujuh “asahlah gergajimu” atau jadilah manusia pembelajar merupakan suatu kebiasaan yang melingkupi keenam kebiasaan terdahulu. Kebiasaan ini tidak lain adalah aktivitas sederhana yang kita lakukan setiap hari yang dapat menanamkan prinsip-prinsip efektivitas ke dalam hidup kita. Dengan ini maka kita mengalami kemenangan atas diri sendiri yang sesungguhnya dan menjadi kunci perubahan yang kita kendalikan sendiri. Oleh karena itu membangun etos kerja tidak lain adalah membangun kepemimpinan yang visioner, di mana kita mampu memimpin diri sendiri, mampu memimpin orang lain dan bersama-bersama menuju ke masa depan, menuju dunia yang baru.
Keutamaan adalah pembiasaan, maka bila kita ingin menghayati apa yang telah kita renungkan selama ini maka tidak ada jalan lain marilah kita mulai melaksanakan pekerjaan rumah kita ini dengan tekun dan ulet dan disiplin, siap untuk menjadi murid (disciple) dari dan dalam kehidupan ini.

Bogor, 28 April 2003

Stanislaus Nugroho

Minggu, 03 April 2011

Keluarga

Membentuk Persekutuan Pribadi-pribadi
Stanislaus Nugroho

Pada tanggal 22 Nopember 1981 almarhum Bapa Suci Yohanes Paulus II menerbitkan Anjuran Apostolik tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern dengan judul Familiaris Consortio. Biarpun sudah berusia hampir 20 tahun – menurut pendapat saya – anjuran tersebut tetap relevan dengan kondisi sekarang ini.
Salah satu tema yang relevan tidak lain adalah tugas umum bagi keluarga. Menurut Sinode para Uskup, yang diadakan di Roma dari tanggal 26 September hingga 25 Oktober 1980 – sebagaimana dikutip oleh almarhum Bapa Suci Yohanes Paulus II – ada empat tugas umum bagi keluarga, yaitu:
1. Membentuk persekutuan pribadi-pribadi.
2. Mengabdi kepada kehidupan.
3. Ikut serta dalam pengembangan masyarakat, dan
4. Berperan serta dalam kehidupan dan misi Gereja.
Pada kesempatan ini saya ingin berfokus pada tugas umum yang pertama, yaitu Membentuk Persekutuan pribadi-pribadi. Dalam membahas tugas umum pertama ini saya akan mengacu pada pemikiran Gabriel Marcel (1889-1973). Gabriel Marcel merupakan seorang pemikir kristiani yang memiliki perhatian yang sangat kuat tentang bagaimana manusia dapat hidup dengan seutuhnya bersama dengan orang lain? Dalam kaitan dengan itu maka ada beberapa kata kunci yang perlu diperhatikan dan kemudian dielaborasi. Dengan demikian pada akhirnya saya berharap kita akan semakin dapat memahami makna dari istilah persekutuan tersebut. Kata-kata kunci yang saya maksud adalah: transendensi; ada-bersama-dengan; kehadiran; intersubyektivitas; partisipasi; harapan.
1. Transendensi
Gabriel Marcel menggunakan istilah transendensi bukan dengan maksud untuk memperlawankannya dengan istilah imanensi. Dalam bukunya Le mystere de l’etre. Tome I: Reflexion et mystere Marcel menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan transendensi yang tidak lain berarti manusia ingin menjadi diri secara penuh atau secara utuh. Keutuhan atau kepenuhan diri manusia - menurut Marcel - akan tercapai lewat partisipasi.
2. Ada-bersama-dengan (Mitsein)
Istilah Mitsein dipinjam oleh Marcel dari Martin Heidegger, dengan istilah tersebut Marcel mau mengungkapkan makna yang istimewa dari istilah ada-bersama-dengan. Untuk lebih menangkap maksud Marcel maka saya mencoba menjelaskannya dengan suatu contoh. ’Saya ada-bersama-dengan orang lain’ memiliki makna yang sama sekali berbeda dengan ’mobil A ada bersama dengan mobil B di lapangan parkir’. Keberadaan mobil A dan mobil B di lapangan parkir hanya sekadar kedekatan yang berciri ruang dan waktu belaka. Di antara kedua mobil tersebut tidak ada relasi atau ikatan atau kedekatan tertentu. Kedua mobil tersebut secara kebetulan ada bersama pada suatu ruang dan waktu tertentu. Berbeda sekali dengan ungkapan sebagai berikut ’Saya tetap merasa dekat dengan pasangan saya, biarpun pasangan saya sudah meninggal lebih dari empat belas tahun yang lalu’. Secara ruang dan waktu saya dan pasangan saya sudah tidak hubungan sama sekali, namun di antara kami masih ada ’kedekatan’, masih ada ’relasi’, masih ’ikatan’. Kedekatan, relasi dan ikatan batin.
Bagi Marcel manusia menurut kodratnya harus hidup bersama dengan orang lain. Vincent Micelli mengungkapkannya dengan sangat bagus ”To live with is for Marcel a need of nature that calls for fulfillment in a spirituality of communion within a fraternity of community” (lihat bukunya yang berjudul Ascent to Being. Gabriel Marcel’s Philosophy of Communion, New York, Desclee Company, 1965, hal. 8.
3. Kehadiran
Bagi Marcel kehadiran merupakan suatu misteri yang tidak dapat didefiniskan. Kehadiran – bagi Marcel – tidak lain merupakan suatu suasana yang menyelimuti ikatan hubungan antar pribadi. Maka satu-satunya jalan untuk dapat ’merasakan’ nuasa kehadiran tidak lain adalah dengan ’berpartisipasi’.
Agar kita dapat lebih memahami apa yang dimaksud oleh Marcel, maka saya pikir akan lebih mudah bila saya memberikan contoh sebagai berikut: ’Kemarin sore dalam perjalanan dari Jakarta ke Bogor saya naik bis, duduk di sebelah saya seorang pemuda – kalau tidak salah pemuda tersebut adalah seorang mahasiswa – selama lebih dari dua jam perjalanan saya dapat memperhatikan perilakunya, saya berbincang-bincang dengannya, saya bisa mengamati wajahnya, dan lain-lain. Dalam kaitan dengan ’kehadiran’ apakah saya bisa berkata bahwa mahasiswa tersebut hadir bagi saya. Saya pasti akan menjawab dengan ’tidak’, kedekatan secara fisik tidak membuat dia hadir bagi saya. Lain halnya dengan pasangan saya, biarpun defacto pasangan saya tidak hadir secara fisik di dekat saya, namun saya bisa memastikan bahwa pasangan saya hadir bagi saya, bagi saya pasangan saya berada dekat dengan saya, dan sungguh berarti bagi saya. Marcel memberikan kesaksian sebagai berikut: ”Kita tahu apakah seseorang itu hadir atau tidak dari kenyataan, orang yang hadir dalam diri kita – entah dengan cara apa – pasti akan selalu memperbaharui kita. Ia membuat diri kita makin lebih penuh daripada waktu kita hanya sendiri saja. Oleh karena itu, kita tidak perlu memberi banyak perhatian akan apa yang ia omongkan kepadaku. Satu yang sangat jelas, ia sendiri telah menaruh dirinya sendiri dalam kata-kata itu dan mempertahankan hal itu dengan kebulatan dirinya” ( Micelli, op.cit., hal. 41). Dengan demikian ’kehadiran’ tidak ditentukan oleh kedekatan fisik melainkan oleh kedekatan dan keakraban dalam relasi antar-pribadi.
4. Intersubyektivitas
Apa yang dimaksud dengan intersubyektivitas? Marcel melalui bukunya Le Mystere de l’etre, Tome II, hal. 13 menjelaskan sebagai berikut ’keterbukaan subyek yang satu kepada subyek yang lain’. Joe McCown melalui bukunya yang berjudul Availability: Gabriel Marcel and The Phenomenology of Human Openess, Montana, Scholars Press, 1978, hal. 42 mencoba menjelaskannya sebagai berikut “Konsep intersubyektivitas digunakan oleh Marcel karena dianggap cocok untuk melukiskan apa yang bergerak di dasar lubuk hatinya: gerakan hati. Sebab justru di dalam gerakan hati itulah pengertiannya mengenai kesetiaan, kesaksian dan harapan bisa berkembang. Konsep intersubyektivitas itu dipakainya untuk menampilkan, bahwa di dalam lingkup misteri pembedaan-pembedaan seperti di depan saya (devant moi) dan di dalam saya (en moi) dianggap tidak berarti lagi”.
Dengan demikian, intersubyektivitas merupakan ’persaudaraan yang berakar pada hakekat manusia. Sebab tanpa dasar itu kita tidak mungkin bisa memahami hubungan-hubungan antar-manusia. Maka tidak mengherankan bila bagi Marcel intersubyektivitas merupakan realitas yang sifatnya rohani (ibid. hal. 43-44). Maka intersubyektivitas mengandaikan perlunya perjumpaan (la rencontre atau encounter).
5. Partisipasi
Marcel yakin bahwa keutuhan hidup manusia akan semakin terwujud justru kalau manusia makin aktif ambil bagian dan terlibat dengan hidup sesamanya. Dengan perkataan lain sebagaimana dikatakan oleh Seymour Cain – yang dikutip oleh McCown (ibid. hal. 47-48) – bahwa pemikiran Marcel sebenarnya hanya ada dua langkah menuju ke persekutuan, yaitu manusia hendaknya secara aktif membuka diri kepada ssesamanya dan kemudian masuk untuk melibatkan diri dengan sesamanya (= partisipasi). Untuk itu kita membutuhkan pengalaman langsung lewat komunikasi sehingga akhirnya ’tercipta’ persekutuan.
6. Harapan
Marcel – sebagaimana dapat kita baca dalam bukunya yang berjudul Sketch of A Phenomenology and A Metaphysic of Hope - membedakan antara konsep ’harapan’ (l’esperance) dan konsep ’keinginan’ (le desir). Dalam konsep ’keinginan’ sudah terkandung rasa puas bila apa yang diinginkan terpenuhi. Sedang dalam konsep ’harapan’ tidak terkandung rasa puas tersebut. Selain daripada itu – bagi Marcel – konsep ’kenginan’ mengandung sifat egosentris dan ingin memiliki. Dalam kaitan dengan relasi antar manusia maka dalam konsep ’keinginan’ orang lain bukan subyek (engkau) melainkan obyek (dia). Oleh karena itu, bagi Marcel dalam konsep ’harapan’ terkandung kepercayaan. Kepercayaan pada ’Yang Transenden’ (Allah) yang melampaui kemampuan manusia, berkat ”Yang Transenden’ kita mampu mengatasi rasa putus asa, selalu masih ada waktu di masa depan. Atau dengan perkataan lain sebagaimana dikatakan oleh Marcel, harapan mengandung kekhususan yaitu adanya ’the prophetic nature od hope’, harapan memiliki kodrat kenabiannya.
Penutup
Dengan mengikuti pemikiran Marcel maka usaha keluarga untuk membentuk persekutuan pribadi-pribadi – di mana para anggotanya akan terjamin perkembangannya menuju keutuhan pribadi – hanya akan menjadi nyata bila masing-masing anggota keluarga saling mengambil bagian untuk semakin terlibat secara mendalam sebagai pribadi melalui komunikasi hati, dan mengakui dan menerima sesama anggota keluarga sebagai engkau dan bukan sekadar sebagai dia.

Jumat, 11 Maret 2011

Masa Pensiun

Masa Pensiun, Masa Yang Menyenangkan?
Stanislaus Nugroho, Aktivis Kerasulan Keluarga

Waktu saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, halaman 665) maka saya menemukan kata pensiun, dan ada penjelasan sebagai berikut: 1) uang tunjangan yang diterima tiap-tiap bulan oleh karyawan sesudah ia berhenti bekerja atau oleh istri (suami) dan anak-anaknya, yang belum dewasa kalau ia meninggal dunia; 2) tidak bekerja lagi dengan menerima uang tunjangan bulanan. Penjelasan tersebut bersifat positif, betapa tidak, orang yang sudah tidak bekerja lagi entah karena meninggal atau sudah menjadi tua maka pekerja tersebut atau keluarganya dijamin oleh lembaga di mana pekerja tersebut pernah bekerja.
Namun, waktu saya memperlihatkan judul tulisan ini kepada salah seorang teman saya, maka teman saya itu langsung memberi komentar sebagai berikut: “Pensiun hanya relevan bagi masyarakat kelas menengah ke atas, dengan perkataan lain bagi masyarakat kelas bawah pensiun bukan bahan pembicaraan”. Mendapat jawaban seperti itu, terus terang saja saya menjadi sangat kaget. Saya menjadi kaget karena jawaban teman saya tersebut tidak saya duga, dan nadanya cukup negatif. Namun, setelah saya pikir-pikir jawaban teman saya itu ada benarnya juga, karena bagi mereka yang termasuk golongan masyarakat kelas bawah, mereka harus tetap bekerja sampai yang bersangkutan di panggil Sang Pencipta. Kalau toh mereka mendapat pensiun maka jumlahnya sangat kecil dan tidak akan cukup untuk hidup layak. Maka masa pensiun mungkin lebih tepat diumpamakan sebagai pedang bermata dua, artinya bagi sebagian orang masa pensiun merupakan sesuatu yang menyenangkan, bisa menikmati masa tua, namun untuk sebagian besar orang masa pensiun tidak menyenangkan bahkan mungkin tidak diharapkan.
Namun, apakah benar bahwa bagi masyarakat golongan kelas menengah atas masa pensiun merupakan masa yang menyenangkan? Mungkin secara ekonomis, benar. Namun, secara psikologis sering kita mendengar istilah ‘post power syndrome’. Istilah ‘post power syndrome’ mengacu pada kondisi psikologis dan fisik seseorang yang menjadi ‘tidak stabil’, karena biasa bekerja dan memiliki ‘kuasa’, kemudian kehilangan pekerjaan dan kekuasaannya tersebut. Mereka tidak siap untuk menerima kenyataan tersebut, juga karena mereka tidak mempersiapkan diri. ‘Kehilangan’ tersebut sering sulit diterima. Gejala-gejala yang mengikutinya bisa bermacam-macam, antara lain ‘lebih mudah tersinggung, merasa tidak berarti lagi, menarik diri lingkungan pergaulannya, malu bertemu dengan orang lain, lebih mudah marah-marah, tampak jauh lebih cepat tua, rambutnya lebih cepat memutih, menjadi pemurung, dan lain sebagainya’.
Berkaitan dengan itu, maka masa pensiun harus mulai dipersiapkan sedini mungkin, karena bagaimanapun juga masa pensiun pasti akan dialami. Di kalangan pegawai negeri di kenal ‘masa persiapan pensiun’ (MPP). Persiapan tersebut hendaknya dilakukan baik oleh yang bersangkutan, maupun oleh keluarganya, khususnya oleh pasangannya. Semua pihak yang terkait harus belajar dan mempersiapkan diri untuk bisa menerima kenyataan, bahwa suatu saat suami atau isteri akan mengalami masa pensiun. Persiapannya tidak hanya dari aspek ekonomi, tetapi juga aspek psikologis dan aspek spiritual. Dari aspek ekonomi, mungkin tidak terlalu sulit, lebihlebih bagi mereka yang bisa menerapkan prinsip ‘menabung dulu baru berhemat’. Yang lebih sulit sulit adalah persiapan psikologis, di sini peran pasangan menjadi sangat penting. bila bisa mengembangkan sikap ‘penerimaan’ dan ‘peneguhan’, maka persiapan psikologis tidak terlalu berat.
Yang tidak kalah penting adalah persipan dari aspek spiritual. Berkaitan dengan itu mungkin, kita bisa belajar dari Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis pernah berkata kepada para muridnya ‘Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil’ (Yo. 3: 30). Yang dimaksudkan Yohanes Pembaptis dengan ‘Ia’ adalah Yesus dari Nazaret . Yohanes Pembaptis sangat sadar akan tugasnya yaitu membuka jalan bagi kehadiran dan karya Yesus dari Nazaret, dengan perkataan lain Yohanes Pembaptis sangat mengenal dirinya, dan yang lebih penting Yohanes Pembaptis mampu menerima dirinya apa adanya. Yohanes Pembaptis juga sadar bahwa ia telah menjalankan tugasnya sebaik mungkin, maka dia juga bisa berkata ‘Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh’ (Yo. 3:29b).
Secara praktis mereka yang akan memasuki masa pensiun harus mampu menngenali dirinya, dan berusaha melaksanakan salah tugas yang sangat penting yaitu mempersiapkan kader untuk menggantinya pada suatu saat, kaderisasi merupakan sesuatu yang sangat penting, dan itulah tugas dari mereka yang memiliki jabatan, lebih-lebih pada saat ini di mana banyak ahli mengatakan ada krisis kepemimpinan. Masa pensiun akan menjadi sangat indah dan menyenangkan kalau kita bisa menerimanya dengan lapang dada, dan sudah mempersiapkan kader yang akan menggantikannya.

Bogor, 2 Oktober 2009.

Kamis, 10 Februari 2011

Keluarga

Keluarga Bertanggungjawab
Stanislaus Nugroho, Komisi PSE Keuskupan Bogor

Pada masa Prapaskah 2010 ini Gereja mengajak Umatnya untuk merenungkan kembali kehidupan perkawinan dan keluarga. Gereja ingin mengajak Umatnya untuk menyadari kembali ‘nilai luhur dan kesucian status perkawinan’ (Gaudium et Spes, artikel 47). Ajakan ini berkaitan dengan kenyataan bahwa keluhuran dan kesucian perkawinan mengalami erosi yang cukup mengkhawatirkan. Oleh karena pada masa Prapaskah ini Umat diajak untuk berfokus pada tema KELUARGA BERTANGGUNGJAWAB. Sebagai sub-temanya dipilih empat hal, yaitu:
• Keluarga Sebagai Panggilan.
• Keluarga Sebagai Komunitas Pribadi-pribadi.
• Keluarga Kristiani Yang Mandiri.
• Keluarga Membaharui Diri Terus-menerus.
Tanggungjawab merupakan salah satu nilai yang sangat penting dalam kehidupan manusia, mengapa? Jawabannya berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia mampu menentukan dirinya sendiri, atau dengan perkataan lain manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan. Seandainya manusia tidak memiliki kebebasan maka kita tidak perlu dan tidak bisa berbicara tentang tanggungjawab.
Berkeluarga merupakan suatu pilihan bentuk kehidupan manusiawi, maka berkeluarga merupakan suatu keputusan. Setiap keputusan yang dibuat dengan tahu dan mau maka keputusan tersebut menuntut adanya tanggungjawab, karena setiap keputusan selalu memiliki dampak bagi diri sendiri maupun bagi pihak yang terkait dengan keputusan tersebut.

Keluarga berada di persimpangan jalan
Akhir-akhir ini kehidupan berkeluarga mengalami begitu banyak tantangan. Pada bagian ini kami ingin menyajikan beberapa pandangan yang diberikan oleh para pemerhati keluarga. Yang pertama, Anthony Giddens, seorang sosiolog yang paling berpengaruh dewasa ini dan sekaligus Direktur dari London School of Economics, dalam bukunya yang berjudul Runaway World (1999) bab IV memberikan catatan yang perlu kita simak dengan baik. Catatannya sebagai berikut “Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi kita – dalam seksualitas, hubungan pribadi, perkawinan dan keluarga. Ada sebuah revolusi global yang tengah berlangsung mengenai bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita membangun ikatan dan hubungan dengan orang lain”. Artinya keluarga sebagai sel terkecil dari masyarakat sedang mengalami tantangan yang tidak ringan, seperti free sex, perceraian, kumpul kebo, single parent (bukan karena kematian salah satu pasangan), dan lain-lain.
Selanjutnya dalam konteks Indonesia, dalam sebuah buku yang berjudul Di Ttengah Hentakan Gelombang. Agama dan Keluarga Dalam Tantangan Masa Depan (1997), Redaksi memberi catatan pengantar sebagai berikut “….. keluarga sekarang ternyata bukan lagi tempat perlindungan yang aman dan teduh. Keluarga juga telah terpecah dan mengalami krisis. Krisis institusi keluarga, bahkan merupakan bagian penting dari krisis kehidupan di penghujung abad XX ini”. Saat ini melalui media massa kita bisa membaca, melihat, mendengar terjadinya kekerasan dalam keluarga, suami terhadap pasangannya, kadang-kadang isteri terhadap pasangannya, orangtua terhadap anak-anaknya, dan lain sebagainya.
Di Keuskupan Bogor sendiri – sejauh pengalaman saya selama mendampingi keluarga-keluarga, permasalahan utama yang dihadapi oleh para suami dan isteri serta anak-anak bisa diungkapkan dengan satu kata, yaitu relasi. Relasi menjadi tidak selaras karena banyak di antara pasangan suami isteri belum memiliki ketrampilan berkomunikasi yang berdayaguna. Kemudian ada bermacam-macam hal yang menjadi pemicu, misalnya: keuangan keluarga, pendidikan anak, keluarga besar, dan lain-lain.
Berkaitan dengan itu maka tidaklah terlalu mengherankan bila Pater B. Kieser, SJ dalam Majalah Basis, edisi 05-06, Tahun ke 52, Mei-Juni 2003 mengajukan pertanyaan “Keluarga: Bahtera yang sudah karam?”
Dalam Gereja Katolik akhir-akhir ini cukup banyak kasus perkawinan yang akhirnya dibawa ke Pengadilan Gereja untuk mendapatkan ‘pembatalan perkawinan. Gereja Katolik tidak mengenal perceraian, dikatakan ‘pembatalan perkawinan’ karena perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Gereja Katolik. Kasus yang terjadi di Keuskupan Bogor ada 146 kasus yang berkaitan dengan adanya halangan yang menggagalkan kesepakatan, cacat dan tidak terpenuhinya forma kanonik.
Bagi mereka yang mengalami dan menjalani hidup perkawinan, maka kita harus mengakui bahwa hidup perkawinan bukanlah hal yang mudah. Perkawinan sebagai suatu perjalanan bersama, merupakan suatu proses membangun kesejolian antara dua dua orang (= laki-laki dan perempuan) yang masing-masing memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Lebih-lebih dengan latar belakang budaya, pendidikan, pemikiran, minat dan kepentingan yang berbeda satu dengan lainnya, membuat proses membangun kesejolian menjadi semakin sulit dan berat.
Namun, bagaimanapun juga rencana Allah tentang perkawinan, sudah sangat jelas, yaitu sebagaimana dapat kita baca dalam Kitab Kejadian 2:24 “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Yang menarik adalah bahwa Yesus – sebagaimana dicatat oleh Penginjil Markus dan Mateus – juga mengutip Kitab Kejadian 2:24 (lihat Mk. 10:7 dan bandingkan dengan Mt. 19:5) dalam menjawab pertanyaan kaum Farisi tentang masalah perceraian. Bahkan rasul Paulus dalam suratnya kepada umat di Efesus, 5:31 juga mengutip Kitab Kejadian 2:24. Berkaitan dengan itu maka dapat disimpulkan bahwa Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan untuk menjadi sejoli, menjadi sepasang, sejodoh, menjadi pasangan suami dan isteri (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1990, halaman 794).
Namun di lain pihak rencana dunia tentang perkawinan dan keluarga menawarkan pola-pola yang berbeda, misalnya keluarga single parent (bukan karena kematian), kemudian beberapa negara di antaranya Inggris memberlakukan undang-undang yang memperbolehkan pernikahan sejenis. Kompas tanggal 24 Desember 2005, halaman 16 memberitakan bahwa “penyanyi pop Inggris, Elton John (58), akhirnya ‘menikah’ dengan pasangan gay-nya, David Furnish”. Selain daripada itu ada juga yang menawarkan rumah tangga sekadar rumah kos, di mana kebersamaan yang merupakan salah satu ciri terpenting dalam keluarga mengalami erosi. Dalam kaitan dengan situasi kondisi yang membuat banyak keluarga kristiani berada di persimpangan jalan, Gereja ingin menekankan kembali bahwa perkawinan adalah kesejolian (lihat Gaudium et Spes, artikel 48), dan keluarga adalah sebuah komunitas pribadi-pribadi (lihat Familiaris Consortio, artikel 18 - 27).

Perkawinan dan Keluarga sebagai panggilan
Pada Kitab Kejadian 1:27 tertulis “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarnya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka”. Mengapa Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan? Jawabannya bisa kita temukan pada Kitab Kejadian 2:24 di mana tertulis “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Dengan demikian hakekat perkawinan adalah kesejolian. Artinya perkawinan merupakan sebuah persekutuan hidup atas dasar cinta.
Kesejolian bukanlah barang jadi yang bisa dibeli begitu saja, kesejolian merupakan suatu ‘menara’ yang harus dibangun. Dalam usaha membangun menara tersebut kita bisa belajar dari Keluarga Kudus Nazaret suatu keluarga yang hidup lebih dari dua ribu tahun yang lalu di kota kecil bernama Nazaret, yaitu keluarga Yosef dan Maria serta anaknya yang bernama Yesus. Lewat keluarga ini kita bisa belajar bagaimana mereka membangun keluarga berdasarkan suatu spiritualitas perkawinan dan keluarga yang sungguh patut dicontoh.
Bila kita merenungkan baik Injil Mateus 1: 18-25 maupun Injil Lukas 1: 26-38 maka kita bisa menemukan beberapa hal penting yang perlu kita camkan dalam diri kita masing-masing. Yang menjadi fokus utama dalam perikop Mt. 1:18-25 adalah Yosef. Diceritakan bahwa Maria sudah bertunangan dengan Yosef, namun mereka belum hidup sebagai suami dan isteri, artinya antara Maria dan Yosef sudah ada relasi yang serius, tinggal peresmian saja, di mana Yosef akan menjemput Maria dan masuk ke rumah Yosef. Ternyata Maria sudah hamil, maka Yosef ingin menceraikan Maria secara diam-diam, agar nama Maria tidak tercemar di depan umum. Sebelum Josef merealisasikan niatnya tersebut, maka Josef mendapat mimpi, dalam mimpinya Yosef bertemu dengan Malaikat Tuhan yang memberitahu “Yosef, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus (Mt. 1:20). Yosef mendengarkan dan melaksanakan kehendak Allah. Yosef menjemput Maria untuk menjadi isterinya. Yosef mulai membangun kehidupan keluarganya dengan menanggapi Kehendak Allah. Ternyata sebelum komitmen antara Yosef dan Maria, didahului oleh komitmen antara Yosef dengan Allah. Yosef komit pada kehendak dan panggilan Allah.
Selanjutnya pada Lk. 1:26-38 yang menjadi fokus adalah Maria. Diceritakan bahwa Maria mendapat kunjungan Malaikat Gabriel. Maria mendapat kasih karunia Allah, yaitu bahwa Maria akan mengandung seorang anak yang tidak lain adalah Anak Allah Yang Mahatinggi. Berkaitan dengan kunjungan tersebut Maria menjadi bingung, sehingga Maria bertanya “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami” (Lk. 1:34). Hal itu menjadi mungkin terjadi karena “Roh Kudus akan turun atasmu dan Kuasa Allah yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah (Lk. 1:35). Terhadap jawaban yang diberikan oleh Malaikat Gabriel tersebut Maria berkata “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lk. 1:38). Dialog tersebut memperlihatkan bahwa Maria mendengarkan dan komit pada Sabda Allah, sebagai awal dari panggilannya sebagai isteri dan ibu.
Komitmen yang ada dalam diri Yosef dan Maria terhadap Allah dilandasi oleh adanya keterbukaan diri dan iman kepercayaan yang kuat terhadap penyelenggaraan Illahi. Setelah komit pada Sabda Allah, maka Yosef dan Maria merealisasikan komitmen mereka secara utuh, mereka menjadi pasangan suami isteri yang berjalan bersama untuk membangun keluarga mereka sesuai dengan rencana Allah. Mereka tetap setia biarpun perjalanan mereka tidaklah mulus. Misalnya, Yesus lahir pada saat Yosef dan Maria dalam perjalanan menuju Betlehem – dalam rangka memenuhi perintah Kaisar Agustus – untuk melakukan sensus penduduk, dan ‘mereka tidak mendapat tempat penginapan, sehingga Yesus dibaringkan di dalam palungan’ (Lk. 2:7). Namun, dalam situasi itu ternyata datang penghiburan dari para penggembala, para penggembala mensharingkan pengalaman (iman) mereka waktu mendapat penampakan dari malaikat Tuhan , dan sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah (Lk. 2:13). Mendengar sharing para penggembala Yosef dan Maria menjadi bingung dan tidak mengerti apa maknanya, namun ‘Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya (Lk. 1:19). Pengalaman lain yang membuat Yosef dan Maria ‘amat heran akan segala apa yang dikatakan tentang Dia’ (Lk. 2:33) adalah pertemuannya dengan Simeon – seorang yang benar dan saleh – di Bait Allah, yaitu waktu Yesus akan disunat dan diserahkan kepada Tuhan, sesuai dengan hokum Taurat Musa. Yang menarik apa yang dicatat oleh Lukas tentang Yesus, yaitu “Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat dan kasih karunia Allah ada padaNya” (Lk. 2:40, bdk. 2:52 “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”.
Selanjutnya Mateus mencatat pengalaman lain yang merupakan pengalaman penghiburan pula, yaitu waktu mereka dikunjungi oleh orang-orang majus dari Timur (Mt. 2:1), ‘masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibuNya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepadaNya, yaitu emas, kemenyan dan mur” (Mt. 2:11). Orang-orang majus tersebut menyembah pada Yesus, dalam hal ini Mateus ingin menegaskan ke-Allah-an Yesus. Bila kita merujuk pada Yes. 60:6 maka menjadi jelas bahwa emas dan kemenyan merupakan barang-barang yang dipersembahkan kepada Allah (bdk. Yer. 6:20). Yang jelas bahwa emas dan kemenyan dan mur – pada masa itu – merupakan barang-barang yang sangat berharga.
Namun, tidak lama kemudian keluarga Nazaret mengalami pengalaman yang sangat mencekam, betapa tidak. Yosef memperoleh penampakan, di mana malaikat Tuhan berkata “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibuNya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia” (Mt. 2:13). Dapat dibayangkan betapa Yosef dan Maria pasti bingung, kawatir, dan was-was, namun Yosef tanpa membuang waktu menaati malaikat Tuhan dan mengambil “Anak itu serta ibuNya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir” (Mt. 2:14). Selanjutnya Lukas menceritakan pengalaman Yosef dan Maria waktu Yesus berusia 12 tahun, dalam cerita ini ada beberapa hal yang menarik dan dapat kita renungkan. Yang pertama Yosef dan Maria merupakan pasangan suami isteri yang saleh, ‘tiap-tiap tahun orangtua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah’ (Lk. 2:41). Pada waktu itu Yesus berusia 12 tahun – menjelang dewasa secara keagamaan – mereka sekeluarga pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Pada waktu itu ada kebiasaan bahwa rombongan dibagi menjadi dua, kaum perempuan dan anak-anak se rombongan, sedang kaum laki-laki se rombongan yang lain. Waktu pulang Maria berpikir bahwa Yesus bersama Yosef bapaNya, sedang Yosef berpikir Yesus bersama Maria ibuNya. Setelah sehari perjalanan, ketika Yosef dan Maria bertemu, mereka baru sadar bahwa Yesus tidak bersama mereka. Tiga hari lamanya mereka mencari Yesus, dan Yesus ditemukan di Bait Allah sedang berbincang dengan alim ulama. Para alim ulamakagum pada Yesus karena kecerdasanNya (Lk. 2: 47).
Waktu ibuNya bertanya “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? bapaMu dan aku dengan cemas mencari Engkau”. Jawab Yesus kepada mereka “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu , bahwa Aku harus berada di dalam rumah BapaKu?” Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakanNya kepada mereka ….. Dan ibuNya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya (Lk. 2:48-51).
Berkaitan dengan uraian di atas, maka sangat relevan bila kita mencoba menanggapi sabda Yesus sebagaimana dicatat oleh Mateus “….. orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu” (7:24). Dalam kaitan dengan hidup berkeluarga, muncul pertanyaan “di atas batu macam apa kita seharusnya mendirikan rumah tangga kita?” Yosef dan Maria merupakan pasangan pertama yang menempatkan rumah tangganya di atas batu-batu yang tepat, yaitu
1. Batu yang pertama adalah sikap komit pada panggilannya.
2. Batu yang kedua adalah sikap tawakal pada penyelenggaraan Ilahi dalam situasi apapun.
3. Batu yang ketiga adalah sikap terbuka pada kehendak Allah, dan
4. Batu yang keempat adalah sikap proaktif, dan tidak reaktif. Sikap proaktif merupakan sikap yang dapat mengendalikan diri.
Dengan empat batu penjuru tersebut Yosef dan Maria mampu mengantar “Yesus makin besar dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Lk. 2:40). Dalam keluarga yang sehat, akan tumbuh pribadi-pribadi yang sehat, baik jasmani maupun rohani.

Keluarga sebagai komunitas pribadi
Dalam kanon 1055 pasal 1 dinyatakan “Perjanjian perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”. Kemudian dilanjutkan dengan pasal 2 dengan rumusan sebagai berikut “Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen”.
Dari kutipan tersebut di atas maka ada beberapa hal pokok yang dinyatakan oleh kanon 1055 pasal 1 dan pasal 2, yaitu:
1. pertama-tama perkawinan merupakan suatu perjanjian. Suatu perjanjian antara dua pribadi laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu persekutuan (kesejolian).
2. Yang kedua persekutuan tersebut terarah pada kesejahteraan suami-isteri dan anak-anak.
3. Yang ketiga persekutuan antara dua orang yang dibaptis, diangkat ke martabat sakramen, artinya persekutuan antara dua orang yang dibaptis “melambangkan dan menghadirkan hubungan yang mesra dan mendalam antara Kristus dan GerejaNya. ….. Itu berarti, pasangan yang menerima sakramen perkawinan perlulah menyadari keagungan dan keluhuran martabat perkawinan yang mereka terima. Sebab, dalam ikatan yang sungguh manusiawi yang mereka jalin dan bina dalam hidup perkawinan, hadirlah misteri agung yang luar biasa, yakni relasi tak terpisahkan antara Kristus dan GerejaNya. Selanjutnya, justru karena menghadirkan kasih kesetiaan Allah kepada umatNya dan kasih kesetiaan Kristus kepada GerejaNya, pasangan suami isteri kristiani itu ditantang untuk terus menerus menghayati, melaksanakan, dan mewartakan apa yang dilambangkannya” (E. Martasudjita, Pr., Sakramen-sakramen Gereja. Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 364-365.)
Tantangan yang ditawarkan kepada pasangan suami-isteri kristiani samasekali tidaklah ringan. Setiap orang adalah pribadi dan dipanggil dengan tujuan yang khusus, sesuai dengan talenta yang diberikan oleh Allah. Bila kita hendak mengetahui tujuan hidup kita maka kita harus bertanya kepadaNya, Dia yang menciptakan kita. Sebagaimana Pemazmur menulis “Tulang-tulangku tidak terlindung bagimu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mataMu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitabMu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun daripadanya” (Mzm. 139:15-16). Dengan itu Pemazmur ingin mengatakan bahwa Allah telah merencanakan dengan teliti hidup kita masing-masing sesuai dengan tujuan yang telah ditentukanNya.
Apa yang diyakini oleh Pemazmur, diyakini juga oleh Rasul Paulus. Dalam surat kepada umat di Efesus Rasul Paulus menulis sebagai berikut “Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendakNya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaanNya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkanNya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang dibumi. Aku katakan ‘di dalam Kristus’, karena di dalam Dialah kami mendapatkan bagian yang dijanjikan – kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya” (Ef. 1:9-11).
Keunikan manusia menjadi nyata dalam kehidupan berkeluarga, suami, isteri dan anak-anak masing-masing adalah pribadi yang unik, tidak ada duanya. Oleh karena itu Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan) menyatakan bahwa keluarga telah ditentukan menjadi ‘persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumNya, dibangun oleh janji perkawinan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan isteri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan Ilahi. Ikatana suci demi kesejahteraan suami isteri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan’ (art. 48).
Berkaitan dengan tujuan tersebut maka alm. Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam anjuran apostoliknya kepada para Uskup, Imam-imam dan Umat beriman sweluruh Gereja Katolik ‘menempatkan cintakasih sebagai prinsip dan kekuatan persekutuan’, dan bahwa ‘kesatuan persekutuan suami-isteri yang tak terceraikan’ atau dengan perkataan lain ‘persekutuan yang tidak dapat dibatalkan’ (Familiaris Consortio, art. 18-20).
Berkaitan dengan itu setiap keluarga hendaknya mampu mengusahakan suatu relasi yang mesra, terbuka dan bertanggungjawab, melalui dialog secara berkesinambungan, atau dalam bahasa Konsili Vatikan II, keluarga membutuhkan ‘komunikasi hati penuh kebaikan’ (art. 52). Agar dengan demikian keluarga mampu membangun sikap proaktif dan bukan reaktif, sebagaimana bisa kita temukan pada Keluarga Kudus Nazaret. Sikap proaktif mengandaikan adanya kemampuan untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan yang bijaksana, dan bukannya pijak sana pijak sini.
Namun, kenyataan berbicara lain, lebih dari empat puluh tahun yang lalu Personnel Journal, April, 1966, hal. 237 mencatat bahwa “A ….. number one problem today can be summed up in one word: Communication”. Saya pikir apa yang dicatat oleh Personnel Journal masih tetap relevan sampai saat ini, terbukti dengan hasil temuan Al. Bagus Irawan, MSF sebagaimana diungkapkan dalam buku yang berjudul Menyikapi Masalah-masalah Keluarga, Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2007, hal. 18. dari enam masalah keluarga yang diteliti maka masalah-masalah relasi suami-isteri memperoleh skor tertinggi, yaitu 42%; selanjutnya menyusul masalah-masalah kondisi anak dengan skor 23%, sedang masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan tak sah menduduki ranking ke tiga dengan skor 17%.
Membangun komunitas pribadi-pribadi mengandaikan adanya budaya dialog dalam keluarga, tanpa itu maka komunitas pribadi merupakan impian yang tidak mungkin.

Keluarga kristiani yang mandiri
Kemandirian merupakan salah satu impian setiap manusia. Kemandirian meliputi kemandirian intelektual (mampu berpikir sendiri), kemandirian emosional (kemampuan untuk berempati), kemandirian moral (kemandirian hati nurani), kemandirian spiritual (kemandirian menetapkan makna hidupnya) dan kemandirian ekonomis (kemampuan untuk self-supporting). Bila kita mengacu pada Abraham Maslow yang telah menyusun suatu hirarki kebutuhan yang diawali dengan kebutuhan faali, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan dan yang terakhir kebutuhan akan aktualisasi diri, maka menurut saya secara analogis bisa diterapkan pada hirarki kemandirian, yaitu dimulai dengan kemandirian ekonomis, kemandirian emosional, kemandirian intelektual, kemandirian moral dan kemandirian spiritual. Pada kesempatan ini saya ingin memfokuskan diri pada pembahasan tentang kemandirian ekonomis. John Locke (1632-1704) dalam bukunya yang berjudul Two Treatises of Government (1690) menyatakan bahwa manusia memiliki tiga hak kodrati, yaitu kehidupan, kebebasan dan milik. Dari ketiha hak tersebut maka milik merupakan hak yang terpenting, mengapa? Jawaban Locke, karena kehidupan dan kebebasan merupakan milik manusia yang penting. Milik dapat diperoleh oleh manusia lewat pekerjaan yang dilakukannya. Bagi Locke pekerjaan merupakan legitimasi setiap milik, dalam bahasa Rasul Paulus “jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes. 3:10). Kemandirian ekonomis hanya bisa direalisasikan kalau seseorang memiliki pekerjaan. Padahal bekerja merupakan suatu kegiatan yang serius, karena bekerja butuh perencanaan, butuh pengetahuan, butuh ketrampilan, maka agar dapat bekerja dibutuhkan adanya pendidikan yang memadai.
Selain memiliki pekerjaan maka kemandirian ekonomis juga menuntut adanya kemampuan untuk mengelola pendapatan dengan bijaksana. Jangan sampai ‘besar pasak daripada tiang’, artinya pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Kalau keluarga tidak mampu mengendalikan pengeluarannya maka keluarga yang bersangkutan akan mengalami kesulitan, yaitu membangun kebiasaan untuk melakukan ‘gali lobang tutup lobang’, artinya hidup keluarga yang bersangkutan terjebak dalam hutang yang makin lama makin besar. Memang dewasa ini kita hidup dalam jaman yang bersemboyan ‘aku membeli, maka aku ada’, atau dengan perkataan lain kita hidup dalam budaya yang mengacu pada pola hidup yang sangat konsumtif.
Untuk mengatasi tantangan tersebut di atas maka kita perlu membangun budaya anggaran. Yang dimaksud dengan anggaran adalah ‘suatu rencana yang dinyatakan dalam angka, angka itu mengacu pada suatu jumlah uang’. Dengan anggaran kita sebenarnya mengarah ke masa depan, masa depan dapat membangkitkan harapan, membangkitkan optimisme, bila direncanakan dengan bijaksana. Dalam kaitan dengan anggaran, ada baiknya bila kita merenungkan sejenak apa yang ditulis oleh Penginjil Lukas dalam Injilnya bab 14: 28-30 sebagai berikut “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk duhulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya”.
Dengan membuat anggaran kita juga belajar untuk menentukan prioritas, mana yang betul-betul merupakan kebutuhan (kebutuhan merupakan sesuatu yang perlu, maka tidak bisa ditunda), dan mana yang sekadar keinginan (sesuatu yang bisa ditunda). Dalam membuat anggaran libatkanlah seluruh anggota keluarga, hal ini sangat membantu untuk menegakkan nilai keterbukaan dan tanggungjawab. Selain daripada itu dengan membuat anggaran kita melatih kerendahan hati, rendah hati tidak lain adalah menerima kenyataan. Salah satu kenyataan hidup tidak lain adalah bahwa dengan pekerjaan kita, kita memperoleh pendapatan tertentu dan harus bisa hidup dengan pendapatan tersebut. Itu tidak berarti bahwa kita lalu menjadi loyo, kita tetap harus berusaha untuk bekerja lebih cerdas agar dapat meningkatkan pendapatan kita, dan itu berarti kualitas hidup bisa meningkat. Namun, tetap ada batasnya juga, yaitu talenta yang kita miliki. Akhirnya kita juga harus membangun budaya ‘menabung dulu baru berhemat’, dan bukan sebaliknya.

Keluarga membaharui diri terus menerus
Dalam bahasa Stephen R. Covey, kita harus selalu mengasah gergaji kita. Dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People, Covey menceritakan suatu peristiwa sebagai berikut “Andaikata anda bertemu seseorang yang sedang bekerja terburu-buru menebang se batang pohon di hutan. ‘Apa yang seang anda kerjakan?’ anda bertanya. ‘Tidak dapatkah anda melihat?’ demikian jawabnya dengan tidak sabar. ‘Saya sedang menggergaji pohon ini’. ‘Anda kelihatan letih!’ anda berseru. ‘Berapa lama anda sudah mengerjakannya’. ‘Lebih dari lima jam’, jawabnya, ‘dan saya lelah! Ini benar-benar kerja keras’. ‘Nah, mengapa anda tidak beristirahat saja beberapa menit dan mengasah gergaji itu?’ anda bertanya. ‘Saya yakin anda akan dapat bekerja jauh lebih cepat’. ‘Saya tidak punya waktu untuk mengasah gergaji’, orang itu berkata dengan tegas. ‘Saya terlalu sibuk menggergaji’”.
Dalam perjalanan hidup kita baik sebagai pribadi maupun sebagai keluarga, jarang sekali kita mau berhenti sejenak untuk berefleksi, untuk mawas diri, kita terjebak untuk terus bekerja keras dan kurang bekerja cerdas. Dalam kehidupan berkeluarga kita seringkali masih terjebak dalam trial and error, padahal dunia telah mengalami perubahan substansial dan perubahan itu berlangsung secara sangat cepat dan luar biasa. Misalnya dalam hidup berkeluarga, kita sering menuntut agar pasangan dan anak-anak berubah, padahal itu tidaklah mungkin. Mungkin baik bila merenungkan sejenak apa yang yang ditulis oleh Anthony de Mello, SJ dalam bukunya The Song of The Bird (1982), artikel 110 sebagai berikut “Sufi Bayazid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini: ‘Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa: Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia’! ‘Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: ‘Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas’. ‘Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: ‘Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri’. Seandainya sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku”.
Dari cerita tersebut di atas, Anthony de Mello, SJ memberi catatan kecil sebagai berikut “setiap orang berpikir mau mengubah umat manusia . Hampir tak seorangpun berpikir bagaimana mengubah dirinya”. Dalam kaitan dengan ini maka Rasul Paulus menulis dalam suratnya kepada umat di Roma bab 12 ayat 2 sebagai berikut “….., tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, …..”. Konkretnya? Karena permasalahan utama keluarga adalah relasi, maka tidak ada resep lain kecuali berlatihlah untuk berkomunikasi dengan berdayaguna. Namun, sebagaimana disharingkan oleh Rasul Paulus (Rom. 7:18-25) bahwa sebagai manusia kita memiliki kemauan yang baik, namun ada godaan besar untuk tidak melaksanakan kehendak baik itu. Maka alangkah baiknya bila sebagai keluarga – setiap malam sebelum tidur – berkumpul untuk berdoa bersama, mohon Allah hadir (lihat Mt. 18:20 “….. dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”) di tengah-tengah keluarga kita masing-masing, sambil berekonsiliasi. Maka ketika kita tidur, kita tidur dengan damai, dengan demikian ketika bangun kita juga damai, sehingga setiap pagi merupakan ‘hari yang pertama dari seluruh sisa hidup kita’, biasanya hari yang pertama dialami dalam keindahan.
Ajakan
Dari uraian di atas menjadi jelas, bahwa yang dimaksud dengan keluarga bertanggungjawab adalah keluarga yang diawali dengan komitmen antara Allah dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan, dilanjutkan dengan komitmen antara laki-laki dan perempuan untuk berjalan bersama membangun suatu komunitas pribadi-pribadi yang membela kehidupan, dan ikut serta dalam pengembangan masyarakat dan dalam kehidupan dan misi Gereja. Keikutsertaan kita dalam pengembangan masyarakat dan dalam kehidupan dan misi Gereja hendaknya sesuai dengan talenta yang kita miliki.

Bogor, 23 Oktober 2009