Senin, 09 April 2012

Refleksi Masa Prapaskah 2012

Bangkit dan Bergeraklah: from good to great!
Stanislaus Nugroho
“What can I (we) do better now?”

Kita baru saja menyelesaikan retret agung tahunan, empat puluh hari lamanya, maka pantaslah kalau saya mengucapkan “Selamat kepada mereka yang telah menyelesaikan retret agung tersebut” dan Selamat Paskah kepada para pembaca. Paskah merupakan pesta iman yang agung, iman akan penebusan dan pembebasan kita, berkat sengsara, wafat dan bangkitNya Yesus Kristus, maka relasi manusia dengan Allah dipulihkan, pintu surga terbuka bagi mereka yang sungguh beriman kepada Yesus Kristus, Penyelamat dan Pengantara kita semua. Pesta Paskah merupakan pesta besar, sayangnya dibandingkan dengan pesta Natal maka pesta Paskah kurang meriah kita rayakan.
Lewat retret agung yang dibarengi dengan laku tapa (puasa dan pantang) dan dilanjutkan dengan penerimaan sakramen rekonsiliasi, serta laku solidaritas (berbagi kepada mereka yang terpinggirkan, lewat Aksi Puasa Pembangunan), maka kita sudah menjadi baik, cukupkah? Belum!
Kita harus terus maju untuk menjadi lebih baik, menjadi great, kita dipanggil dengan sapaan sebagai berikut ”.... haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mt.5:48). Dalam tradisi Ignatian tekad ini dikenal dengan istilah ’ bersikap magis, bersikap ’the more’, dalam arti selalu mau lebih baik dalam melayani Allah dan sesama, khususnya mereka-mereka yang terpinggirkan. Namun dewasa ini ada kesan kuat, bahwa Allah dan mereka yang terpinggirkan ’kalah’ dengan arus hedonisme, materialisme dan egosentrisme yang telah menjadi arus utama masyarakat kita dewasa ini.
Berkaitan dengan arus utama tersebut di atas maka kita perlu membangun tekad yang kuat untuk memiliki 3 keutamaan penting bagi kita semua dalam usaha menjadi pengikut dan murid serta sahabat Kristus Yesus, Sang Juruselamat. Ketiga keutamaan itu adalah apa yang diyakini oleh para pengikut Santo Ignatius Loyola sebagai sesuatu yang sangat hakiki, yaitu: kompeten, hati nurani (yang peka) dan belarasa (baik dalam suka maupun duka) kepada semua pihak yang terkait dengan kita (3C: competence, conscience dan compassion). Sebelum mendiskusikannya secara lebih mendalam, mungkin baik kalau kita menjawab pertanyaan mendasar di bawah ini.
Untuk apa sih kita hidup? Ada banyak jawaban tentunya, namun saya meyakini bahwa kita hidup untuk ’orang lain dan bersama orang lain’. Atau kalau menggunakan bahasa Injil, Tuhan kita Kristus Yesus menyatakan dengan sangat tegas sebagai berikut ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini” (Mk.12:30-31).
Keyakinan tersebut mulai saya sadari, pada waktu saya menjelang ujian sebagai akuntan (1968), saya ikut retret yang dipimpin oleh seorang Jesuit, Pater Hamma SJ, moderator PMKRI waktu itu. Pada salah satu sessi Pater Hamma mengajukan pertanyaan sebagai berikut ”Menurut kalian kita hidup di dunia ini untuk apa?”. Jawaban yang terlontar secara spontan adalah menjadi orang yang berhasil. Kemudian Pater melanjutkan dengan bertanya ”Menurut kalian orang yang disebut berhasil itu yang bagaimana?”. Jawabannya bermacam-macam, ada yang berkata, orang yang berhasil adalah mereka yang kaya, mereka yang berilmu, mereka yang menjadi pemimpin perusahaan, mereka yang menjadi pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Semua jawaban tersebut tidak salah sama sekali, namun belum menjadi jawaban yang mendasar. Kemudian Pater melanjutkan dengan memberikan pilihan, kami para peserta retret yang berjumlah 40 orang harus memilih, tidak boleh tidak memilih. Pilihannya adalah sebagai berikut: memilih menjadi jutawan, yang bisa memenuhi semua yang diinginkan (waktu itu – 1968 – menjadi jutawan sudah luar biasa), kecuali satu hal yang tidak bisa dipenuhi yaitu keinginan untuk berteman, kita harus hidup sendiri hanya bersama dengan milik kita saja. Atau menjadi orang yang sangat miskin namun ada teman, yang disayangi dan yang meyayangi. Semua peserta retret terdiam, tidak tahu harus memilih yang mana, pilihan yang sulit, akhirnya ada seorang peserta retret yang menjawab ”pilih menjadi jutawan’ dan kemudian diafirmasi oleh sebagian besar anak yang lain, hanya ada lima anak (termasuk saya) yang memilih menjadi orang yang sangat miskin. Kemudian Pater bertanya kepada kami berlima, mengapa kalian berlima memilih menjadi orang sangat miskin. Secara spontan, kami berlima menjawab ”apa enaknya hidup sendirian, tanpa siapa-siapa yang lain, tanpa sahabat, tanpa kekasih”.
Kemudian setelah melewati diskusi panjang dan cukup lama, akhirnya Pater menarik kesimpulan bahwa ’kita semua dipanggil untuk orang lain dan bersama orang lain’ dan agar hidup kita bermakna bagi orang lain, kita perlu memiliki kompetensi, hati nurani dan belarasa serta iman yang kuat kepadaNya . Dalam perjalanan selanjutnya maka saya berusaha untuk semakin menghayati ketiga keutamaan tersebut.
Mari kita melihat satu persatu-satu ketiga keutamaan tersebut di atas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) kata kompetensi dijelaskan sebagai ”kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu”. Sedang dalam Kamus Istilah Manajemen (PPM, 1981) kata competence yang diterjemahkan sebagai kemampuan dijelaskan sebagai ”kemampuan mengerjakan kegiatan tertentu yang sesuai dengan standar. Bila kita merujuk pada seorang pakar yang bernama Richard E. Boyatzis (Competencies in the 21st Century, Journal of Management Development, vol. 27, no.1, 2008) mendefinisikan kompetensi sebagai berikut ”kompetensi merupakan karakteristik-karakteristik dasar seseorang yang menuntun atau menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol”.
Sedang Yodhia Antariksa (http://strategimanajemen.net/2007/09/06/membangun-manajemen-sdm-berbasis-kompetensi) merumuskannya sebagai berikut ”kompetensi dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan, atribut personal dan pengetahuan yang tercermin melalui perilaku kinerja yang dapat diukur dan dievaluasi”. Dengan demikian kompetensi – bagi saya – tidak lain adalah praksis dari ke empat talenta dasar kita (kemampuan intelektual, kemampuan emosional, kemampuan moral dan kemampuan mencari, menemukan dan memberi makna pada kehidupan ini.
Selanjutnya Boyatzis membedakan antara ’soft competency’ dan ’hard competency’. Soft competency berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain, seperti kepemimpinan, komunikasi, relasi interpersonal, dan lain-lain. Sedang hard competency berkaitan dengan kemampuan fungsional tau teknis suatu pekerjaan, misalnya analisis finansial, perencanaan, dan lain-lain. Dengan demikian kompentensi memiliki 3 dimensi, yaitu kompetensi kognitif, dimensi kecerdasan emosional dan dimensi kecerdasan sosial. Atau dengan kata lain bisa saya rumuskan kompetensi tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk mensinergikan keempat kecerdasan dasar yang telah dimiliki (kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan kemampuan memberikan makna) dan menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.
Hati nurani atau suara hati dirumuskan dengan sangat bagus oleh Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, art.16: ”Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya”. Dengan demikian hati nurani mengandaikan adanya iman dan relasi yang akrab serta mesra dengan Allah. Dengan kata lain hati nurani berkaitan erat dengan pribadi seseorang, sejauh mana nilai-nilai manusiawi dihayati. Namun dilain pihak hati nurani juga berkaitan dengan Allah, sejauh mana seseorang beriman dan menghayati nilai-nilai rohani sebagaimana diinginkan oleh Allah (seperti ’kasih, sukacita, damai sejahtera dan sebagainya, lihat Gal.5:22-23). Hasil dari hati nurani tidak lain adalah suatu keputusan moral yang berkaitan dengan nilai-nilai universal namun berciri subyektif, karena merupakan keputusan pribadi dan oleh karenanya menjadi tanggungjawab pribadi yang bersangkutan. Namun untuk itu kita perlu selalu membina hati nurani kita, dalam tradisi kristiani ada yang dikenal dengan pemeriksaan batin dan pembedaan roh (lihat 1Yo.4:1-6) serta pembimbing rohani, bisa seorang imam, seorang biarawan atau biarawati. Lewat bantuan mereka kita bisa membina hati nurani kita masing-masing. Oleh karena itu dalam tadisi katolik kita dianjurkan memiliki bapa/ibu rohani.
Bela rasa baik dalam suka maupun duka merupakan suatu keutamaan yang sangat penting – lebih-lebih dewasa ini di mana semangat egosentrisme, materialisme dan individualisme menjadi sangat dominan. Penginjil Markus memberikan kesaksian (1:41) bahwa Yesus memiliki sikap bela rasa yang sangat tinggi dengan menyatakan ”maka tergeraklah hatiNya oleh belas kasihan .....”, dan yang lebih penting Yesus kemudian bertindak secara nyata dengan berkata ”Aku mau, jadilah engkau tahir”, begitu juga Rasul Paulus menulis di 1 Kor.9:22 sebagai berikut ”Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. ....”).
Manusia adalah makhluk yang selalu sedang ’menjadi’, makhluk yang belum selesai. Dalam proses ’menjadi’ manusia tidak bisa sendirian, dia memerlukan orang lain. Salah satu ciri manusia dewasa adalah manusia yang semakin sadar bahwa dirinya membutuhkan orang lain, ada suatu kesadaran akan adanya ’kesalingtergantungan’ (interdependence) dengan sesamanya, atau dengan kata lain, prinsip komplementer merupakan salah satu prinsip hakiki dalam kehidupan kita yang nyata.
Seorang pemikir kontemporer yang bernama Milton Mayerhoff lewat bukunya yang berjudul On Caring (1972) mengawali bukunya dengan langsung menulis ”Dalam arti yang paling tepat, memperhatikan seseorang lain tidak lain berarti menolong dia berkembang dan mewujudkan dirinya sendiri” (huruf italic berasal dari kami, penulis). Itulah yang dicontohkan oleh Guru kita, Dia membuka masa depan, bagi orang kusta yang pada waktu itu sungguh dipinggirkan oleh masyarakat, orang kusta menjadi ’sampah’, menjadi najis.
Berbela rasa baik dalam suka maupun duka sungguh tidak mudah, kita harus berani keluar dari jebakan diri sendiri, melepaskan diri dari jebakan egosentrisme, tapi itulah panggilan kita, sebagaimana dicontohkan oleh Guru kita. Gereja perdana mencoba menghayatinya dengan sungguh-sungguh sebagaimana bisa kita baca dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 dan 4:32-37, dilanjutkan sampai sekarang baik dengan Ajaran Sosial Gereja maupun dengan gerakan Aksi Puasa Pembangunan, dan kiprah Komisi/Seksi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi), serta komisi/seksi lain, seperti kesehatan dan lain-lain.
Tindak lanjut dari apa yang telah kita bangun selama masa prapaskah tidak lain kita harus ’bangkit dan bergerak’ dari kondisi baik menjadi sempurna/utama sebagaimana kita dipanggil oleh Junjungan kita semua. Mari kita bergandengan tangan dan mulai ’berbagi’ dengan apa yang kita miliki, entah itu pengetahuan, pengalaman, kemampuan ekonomi kita, dan lain-lain. Kita mulai di keluarga kita masing-masing, lingkungan kita, tempat kerja kita, maka pasti akan terjadi perubahan yang luar biasa.
Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip apa yang ditulis Anthony de Mello SJ (almarhum) dalam bukunya yang berjudul The Song of The Bird (1982) sebagai berikut: ”Sufi Bayasid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini: ’waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa: Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia!’ Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah atu orangpun, aku mengubah doaku menjadi: ’Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: kjeluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas’. Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: ’Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri’. Seandainya aku sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku!’ Catatan kaki dari Anthony de Mello SJ adalah sebagai berikut: ”Setiap orang berpikir mau mengubah umat manusia. Hampir tak seorangpun berpikir bagaimana mengubah dirinya sendiri”. Itulah kebodohan yang kubuat, dan baru kesadari dan kerubah sedikit demi sedikit sejak tahun 1982, lewat week-end Marriage Encounter yang telah menawarkan kepada kami ”Dialogue as the way of life”! (Bogor, akhir Februari 2012).