Selasa, 16 Agustus 2011

Etos Kerja

MEMBANGUN ETOS KERJA YANG EFEKTIF

Pendahuluan
Sejak John Locke (1632-1704) pekerjaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Bagi Locke lewat pekerjaannya manusia melegitimasi miliknya. Lebih-lebih bagi Locke milik merupakan salah satu dari tiga hak kodrati yang dimiliki manusia, dua lainnya adalah kehidupan dan kebebasan. Selanjutnya Adam Smith (1723-1790) beranggapan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari kerja manusia. Kemudian Hegel (1770-1831) mengembangkan suatu filsafat tentang pekerjaan yang nantinya akan menjadi titik tolak bagi filsafat tentang pekerjaan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Sebelum itu pekerjaan kurang mendapat perhatian bahkan dianggap rendah. Dewasa ini pekerjaan merupakan suatu gejala yang biasa, bahkan bisa dikatakan bahwa bekerja merupakan sesuatu yang khas manusiawi. Dewasa ini orang harus mempersiapkan diri bertahun-tahun dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit agar mendapat pekerjaan yang layak. Oleh karena itu ada baiknya bila kita merenungkan sejenak gejala manusiawi ini, agar kita semakin menyadari apa yang kita lakukan selama lebih kurang 10 jam per hari.

Apa tujuan kita bekerja?
Mengawali renungan ini maka ada baiknya bila kita mencoba menjawab pertanyaan tersebut di atas. Pada umumnya secara spontan kita akan menjawab bahwa kita bekerja agar mendapat uang? Jawaban ini tentunya tidak salah, namun apakah jawaban seperti ini sudah cukup memadai. Sebagai tujuan antara, kita harus menjawab secara afirmatif, namun pasti bukan sebagai tujuan akhir (bila kita meminjam istilah yang dipakai Aristoteles untuk membedakan antara tujuan antara dan tujuan akhir). Tujuan antara adalah tujuan yang dikejar bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi batu loncatan ke tujuan lebih lanjut, sedang tujuan akhir adalah tujuan yang dikejar demi dirinya sendiri.
Namun dewasa ini terdapat kecenderungan kuat bahwa mencari uang merupakan tujuan akhir (uang harus dimengerti sebagai harta/kekayaan). Dewasa ini orang cenderung melakukan segala hal agar dapat mengakumulasi harta/kekayaan (lihat lampiran 1). Bahkan sering dengan sedikit bercanda saya berkata bahwa sila pertama dari Pancasila kita yang berbunyi “Ketuhanan yang mahaesa” telah bermetamorfosa menjadi “keuangan yang mahakuasa”. Lalu, apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari bekerja itu? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut alangkah baiknya bila kita menjawab pertanyaan yang lebih mendasar yaitu “apa itu pekerjaan?” Pekerjaan merupakan sesuatu yang sangat serius, karena bekerja merupakan suatu kegiatan yang seharusnya betul-betul direncanakan agar dapat mencapai suatu tujuan tertentu. Selain daripada itu pekerjaan merupakan suatu kegiatan yang serius karena melibatkan seluruh aspek kemanusiaan kita, baik itu sikap, penalaran, emosi, bakat, ketrampilan, pengalaman, pengetahuan maupun kemauan kita. Dalam kaitan ini ada baiknya bila kita sedikit merenungkan apa yang dikatakan oleh Konfusius, ketika ada orang bertanya kepada Konfusius, “apa yang paling mengherankan anda mengenai kemanusiaan?” Jawaban Konfusius adalah sebagai berikut “manusia kehilangan kesehatannya untuk menghasilkan uang dan kemudian kehilangan uang mereka untuk mengembalikan kesehatannya. Dengan khawatir mereka memikirkan mengenai masa depan, namun mereka melupakan masa kini, seolah-olah mereka tidak hidup untuk masa kini maupun untuk masa depan dan mereka hidup seolah-olah mereka tidak akan pernah mati, dan mereka mati seolah-olah mereka belum pernah hidup”.
Bila bekerja merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seluruh kemanusiaan kita maka pasti tujuan akhir dari bekerja bukanlah uang, melainkan bertumbuhkembangnya kemanusiaan kita, atau kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Abraham Maslow maka tujuan bekerja adalah agar manusia bisa mengaktualisasikan dirinya secara utuh dengan mengelola bumi dan segala isinya secara bijaksana, agar hidupnya menjadi “fully human, fully alive” sebagaimana diimpikan oleh John Powell. (lihat lampiran 2). Masalahnya bagaimana impian tersebut dapat direalisasikan? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita perlu membangun etos kerja yang efektif, sebagaimana ditawarkan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People.

Membangun etos kerja
Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) maka kita menemukan penjelasan tentang etos sebagai “pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial”. Sedang bila kita membuka kamus Concise Oxford Dictionary maka kita menemukan penjelasan tentang ethos sebagai “characteristic spirit of community, people or system”. Sedang bagi Clifford Geertz dalam artikelnya yang berjudul “Ethos, world view and the analysis of sacred symbols” kita menemukan penjelasan sebagai berikut “ethos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup”. Dengan demikian maka etos merupakan semangat yang khas yang dihidupi oleh seseorang, sekelompok orang atau bangsa. Selain daripada itu bagi Clifford Geertz etos juga memiliki aspek evaluatif, dengan demikian bersifat penilaian.
Selanjutnya bagaimana kita bisa memiliki etos kerja tertentu? Dalam kaitan ini maka saya ingin menawarkan apa yang dikembangkan oleh Stephen R. Covey melalui bukunya yang berjudul “The Seven Habits of highly effective people”. Mengapa saya memilih Covey? Bagi saya Covey sangat serius, dia melakukan studi kepustakaan dengan rentang wakyu yang sangat panjang tentang pertanyaan yang berbunyi “Bagaimana mencapai hidup yang berhasil?” Selain daripada itu Covey secara “populer” mencoba untuk mengaplikasikan apa yang secara filosofis dibuat oleh Alasdair MacIntyre, yaitu kembali ke keutamaan, sebagaimana dipikirkan oleh Aristoteles sekitar 2500 tahun yang lalu. Secara tradisional (sejak Sokrates dan Plato) kita mengenal ada empat keutamaan dasar yaitu, kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri dan keadilan. Covey mencoba menterjemahkan keempat keutamaan tersebut menjadi tujuh kebiasaan (keutamaan merupakan suatu disposisi batin seseorang yang bersifat relatif tetap dan merupakan hasil dari suatu proses pembiasaan diri/hasil latihan yang ajeg), yaitu jadilah proaktif di mana orang bertindak karena didorong oleh nilai-nilai yang sudah dipertimbangkan dengan cermat, diseleksi dan dihati; mulailah tujuan akhir yang ada dalam pikiran anda ayau dengan perkataan lain tetapkanlah apa yang menjadi visi hidup anda; dahulukan yang utama artinya kita bisa menentukan apa yang prioritas dalam hidup kita ini; berpikir menang-menang atau dengan perkataan lain berusahalah sedemikian rupa sehingga tidak ada pihak yang kalah; berusahalah untuk mengerti lebih dulu atau secara sederhana belajarlah mendengarkan/mendengar dengan hati; wujudkanlah sinergi atau wujudkanlah nilai tambah dan yang terakhir asahlah gergajimu atau jadilah manusia pembelajar. Dalam studinya Covey menemukan bahwa selama kurun waktu 150 tahun pertama sejak bangsa Amerika merdeka (1776) maka etika keutamaan lebih diutamakan, di mana kualitas batin serta disiplin diri (yang sorotan majalah Warta edisi no. 12 Th. XIV/II/2003) menjadi sangat penting. Oleh karena itu nilai-nilai seperti kesederhanaan, ketulusan, kerendahan hati, keberanian, integritas, kejujuran, kerajinan dan hidup hemat sangat ditekankan. Namun sejak tahun 1930 an sampai sekarang bukan lagi keutamaan yang diutamakan melainkan tehnik-tehnik mempengaruhi orang lain, di mana pembinaan kehidupan sosial dan karir seseorang lebih diutamakan dan dipisahkan dari pembinaan keutamaan. Dengan lain perkataan terjadi pergeseran dari etika keutamaan ke etika kepribadian. Bagi etika kepribadian “keberhasilan hanyalah sekadar fungsi dari popularitas kita di masyarakat”. Dengan demikian tidaklah mengherankan bila berakibat bahwa banyak orang dewasa ini bagaikan pohon tanpa akar yang kuat sehingga mudah terombang-ambing oleh mode dan godaan yang seolah-olah menawarkan sesuatu yang sangat menguntungkan.

Kembali ke etika keutamaan
Keutamaan merupakan hasil dari pembiasaan. Bagi Covey kebiasaan hidup efektif dibangun di atas prinsip-prinsip kebenaran abadi, a.l. hukum panen, yang berbunyi “kita akan memanen apa yang kita tanam”. Marilah kita renungkan bersama sebuah peribahasa Tiongkok kuno yang berbunyi “tanamlah pikiran, panenlah perbuatan; tanamlah perbuatan, panenlah kebiasaan; tanamlah kebiasaan, panenlah keutamaan; tanamlah keutamaan, maka anda akan memanen nasib anda sendiri”.
Manusia lahir sebagai bayi yang tak berdaya, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menjadi matang dan dewasa. Dimensi fisik, mental, emosi, sosial maupun spiritual kita berkembang bersamaan, meskipun tidak perlu sama cepatnya. Kematangan diri seseorang merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Namun secara garis besar proses kematangan diri dapat digambarkan dalam tiga tahap, berawal dari tahap ketergantungan, tumbuh menjadi tahap kemandirian dan akan bermuara pada tahap kesalingtergantungan. Dalam saling ketergantungan manusia mengalami kekayaan perasaan dan keintiman hubungan antar-pribadi di samping hasil nyata dari suatu kegotongan royongan antar manusia. Saling ketergantungan melengkapi proses kematangan diri karena memungkinkan kita menjadi orang yang efektif (efektif tidak hanya berarti perolehan hasil (yang memang penting) melainkan kemampuan kita untuk memelihara serta meningkatkan mutu aset kita, seperti barang-barang, uang dan terutama kemanusiaan kita) dan sekaligus merasa bahagia dalam berbagai segi kehidupan kita.
Ketujuh kebiasaan yang ditawarkan oleh Covey merupakan rangkaian keutamaan yang tumbuh secara bertahap, dan sekaligus menampilkan aspek kemenangan pribadi dan kemenangan publik. Kebiasaan pertama, kedua dan ketiga mengantar kita ke gerbang kemenangan pribadi, maksudnya memungkinkan kita mencapai kedaulatan dan kepemimpinan diri yang efektif. Karena dengan kebiasaan pertama “jadilah proaktif” maka kita menjadi bertanggungjawab karena sadar bahwa kita senantiasa bebas untuk memilih dan menentukan diri kita sendiri, dan dengan kebiasaan ini kita mampu membentuk visi atau wawasan pribadi apa yang menjadi cita-cita hidup kita. Dengan kebiasaan kedua “memulai dengan tujuan akhir yang ada dalam pikiran kita” atau memiliki visi maka kita mampu menentukan tujuan akhir hidup kita, dan dengan demikian kita mampu memimpin/mengarahkan diri kita sendiri. Sedang dengan kebiasaan ketiga “dahulukan yang utama” atau mampu menentukan prioritas maka kita melaksanakan berbagai aktivitas menurut urutan kepentingannya dan bukan berdasarkan urutan kegentingannya, dengan demikian kita mampu mengelola kehidupan pribadi.
Kebiasaan keempat, kelima dan keenam membimbing kita menuju pintu gerbang kemenangan publik, artinya kemenangan yang memungkinkan kita meraih keberhasilan dalam kerangka kerja sama dengan orang lain. Kebiasaan keempat “berpikir menang-menang” atau berpikir “jangan ada yang kalah” membuat kita selalu mencari alternatif yang memungkinkan semua pihak yang terkait dengan kita tidak ada yang kalah dan memperoleh manfaat, dengan demikian kita mampu memimpin orang lain. Kebiasaan kelima “berusahalah untuk mengerti dulu” atau sikap mendengarkan membuat kita selalu berusaha untuk mengerti orang lain dengan penuh perhatian, dan demikian kita mampu berkomunikasi secara efektif. Sedang kebiasaan keenam “wujudkanlah sinergi” atau menciptakan nilai tambah membuat kita berusaha selalu kreatif dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada di antara kita dengan orang lain, dan dengan demikian kita mampu menciptakan kerjasama yang kreatif.
Akhirnya kebiasaan ketujuh “asahlah gergajimu” atau jadilah manusia pembelajar merupakan suatu kebiasaan yang melingkupi keenam kebiasaan terdahulu. Kebiasaan ini tidak lain adalah aktivitas sederhana yang kita lakukan setiap hari yang dapat menanamkan prinsip-prinsip efektivitas ke dalam hidup kita. Dengan ini maka kita mengalami kemenangan atas diri sendiri yang sesungguhnya dan menjadi kunci perubahan yang kita kendalikan sendiri. Oleh karena itu membangun etos kerja tidak lain adalah membangun kepemimpinan yang visioner, di mana kita mampu memimpin diri sendiri, mampu memimpin orang lain dan bersama-bersama menuju ke masa depan, menuju dunia yang baru.
Keutamaan adalah pembiasaan, maka bila kita ingin menghayati apa yang telah kita renungkan selama ini maka tidak ada jalan lain marilah kita mulai melaksanakan pekerjaan rumah kita ini dengan tekun dan ulet dan disiplin, siap untuk menjadi murid (disciple) dari dan dalam kehidupan ini.

Bogor, 17 Agustus 2011

Stanislaus Nugroho