Jumat, 11 Maret 2011

Masa Pensiun

Masa Pensiun, Masa Yang Menyenangkan?
Stanislaus Nugroho, Aktivis Kerasulan Keluarga

Waktu saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, halaman 665) maka saya menemukan kata pensiun, dan ada penjelasan sebagai berikut: 1) uang tunjangan yang diterima tiap-tiap bulan oleh karyawan sesudah ia berhenti bekerja atau oleh istri (suami) dan anak-anaknya, yang belum dewasa kalau ia meninggal dunia; 2) tidak bekerja lagi dengan menerima uang tunjangan bulanan. Penjelasan tersebut bersifat positif, betapa tidak, orang yang sudah tidak bekerja lagi entah karena meninggal atau sudah menjadi tua maka pekerja tersebut atau keluarganya dijamin oleh lembaga di mana pekerja tersebut pernah bekerja.
Namun, waktu saya memperlihatkan judul tulisan ini kepada salah seorang teman saya, maka teman saya itu langsung memberi komentar sebagai berikut: “Pensiun hanya relevan bagi masyarakat kelas menengah ke atas, dengan perkataan lain bagi masyarakat kelas bawah pensiun bukan bahan pembicaraan”. Mendapat jawaban seperti itu, terus terang saja saya menjadi sangat kaget. Saya menjadi kaget karena jawaban teman saya tersebut tidak saya duga, dan nadanya cukup negatif. Namun, setelah saya pikir-pikir jawaban teman saya itu ada benarnya juga, karena bagi mereka yang termasuk golongan masyarakat kelas bawah, mereka harus tetap bekerja sampai yang bersangkutan di panggil Sang Pencipta. Kalau toh mereka mendapat pensiun maka jumlahnya sangat kecil dan tidak akan cukup untuk hidup layak. Maka masa pensiun mungkin lebih tepat diumpamakan sebagai pedang bermata dua, artinya bagi sebagian orang masa pensiun merupakan sesuatu yang menyenangkan, bisa menikmati masa tua, namun untuk sebagian besar orang masa pensiun tidak menyenangkan bahkan mungkin tidak diharapkan.
Namun, apakah benar bahwa bagi masyarakat golongan kelas menengah atas masa pensiun merupakan masa yang menyenangkan? Mungkin secara ekonomis, benar. Namun, secara psikologis sering kita mendengar istilah ‘post power syndrome’. Istilah ‘post power syndrome’ mengacu pada kondisi psikologis dan fisik seseorang yang menjadi ‘tidak stabil’, karena biasa bekerja dan memiliki ‘kuasa’, kemudian kehilangan pekerjaan dan kekuasaannya tersebut. Mereka tidak siap untuk menerima kenyataan tersebut, juga karena mereka tidak mempersiapkan diri. ‘Kehilangan’ tersebut sering sulit diterima. Gejala-gejala yang mengikutinya bisa bermacam-macam, antara lain ‘lebih mudah tersinggung, merasa tidak berarti lagi, menarik diri lingkungan pergaulannya, malu bertemu dengan orang lain, lebih mudah marah-marah, tampak jauh lebih cepat tua, rambutnya lebih cepat memutih, menjadi pemurung, dan lain sebagainya’.
Berkaitan dengan itu, maka masa pensiun harus mulai dipersiapkan sedini mungkin, karena bagaimanapun juga masa pensiun pasti akan dialami. Di kalangan pegawai negeri di kenal ‘masa persiapan pensiun’ (MPP). Persiapan tersebut hendaknya dilakukan baik oleh yang bersangkutan, maupun oleh keluarganya, khususnya oleh pasangannya. Semua pihak yang terkait harus belajar dan mempersiapkan diri untuk bisa menerima kenyataan, bahwa suatu saat suami atau isteri akan mengalami masa pensiun. Persiapannya tidak hanya dari aspek ekonomi, tetapi juga aspek psikologis dan aspek spiritual. Dari aspek ekonomi, mungkin tidak terlalu sulit, lebihlebih bagi mereka yang bisa menerapkan prinsip ‘menabung dulu baru berhemat’. Yang lebih sulit sulit adalah persiapan psikologis, di sini peran pasangan menjadi sangat penting. bila bisa mengembangkan sikap ‘penerimaan’ dan ‘peneguhan’, maka persiapan psikologis tidak terlalu berat.
Yang tidak kalah penting adalah persipan dari aspek spiritual. Berkaitan dengan itu mungkin, kita bisa belajar dari Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis pernah berkata kepada para muridnya ‘Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil’ (Yo. 3: 30). Yang dimaksudkan Yohanes Pembaptis dengan ‘Ia’ adalah Yesus dari Nazaret . Yohanes Pembaptis sangat sadar akan tugasnya yaitu membuka jalan bagi kehadiran dan karya Yesus dari Nazaret, dengan perkataan lain Yohanes Pembaptis sangat mengenal dirinya, dan yang lebih penting Yohanes Pembaptis mampu menerima dirinya apa adanya. Yohanes Pembaptis juga sadar bahwa ia telah menjalankan tugasnya sebaik mungkin, maka dia juga bisa berkata ‘Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh’ (Yo. 3:29b).
Secara praktis mereka yang akan memasuki masa pensiun harus mampu menngenali dirinya, dan berusaha melaksanakan salah tugas yang sangat penting yaitu mempersiapkan kader untuk menggantinya pada suatu saat, kaderisasi merupakan sesuatu yang sangat penting, dan itulah tugas dari mereka yang memiliki jabatan, lebih-lebih pada saat ini di mana banyak ahli mengatakan ada krisis kepemimpinan. Masa pensiun akan menjadi sangat indah dan menyenangkan kalau kita bisa menerimanya dengan lapang dada, dan sudah mempersiapkan kader yang akan menggantikannya.

Bogor, 2 Oktober 2009.