Jumat, 27 Agustus 2010

Kapitalisme dan moralitas

Apakah Kapitalisme (Global) Memiliki Moral?1

Oleh Stanislaus Nugroho


Akhir-akhir ini bila kita membaca surat kabar dan mendengarkan radio serta melihat televisi, maka kita dikejutkan dengan berita-berita yang berkaitan dengan berita tentang busung lapar, antrian anggota masyarakat untuk memperoleh minyak tanah, kemudian menyusul berita tentang anggota masyarakat yang mengkonsumsi nasi aking yang mencerminkan bahwa kemiskinan dan kelaparan belum hilang di tanah air kita yang tercinta ini.

Pada waktu saya masih kecil – sekitar tahun 1950-an – berita-berita tersebut di atas bukanlah berita yang mengejutkan, bahkan saya sendiri juga mengalaminya, di mana saya disuruh oleh orangtua saya antri untuk mendapatkan minyak tanah. Namun sejak tahun 1970-an berita tersebut di atas sudah tidak kita dengar dan baca lagi di media massa. Anehnya setelah hilang dari peredaran lebih dari 30 tahun, berita semacam itu kembali lagi pada jaman seperti sekarang, di mana sebagian masyarakat (lebih-lebih yang di kota-kota besar) sudah begitu akrab dengan supermarket, hypermarket, mall dan lain-lain, yang merupakan lambang dari kemakmuran dan kemewahan abad XXI. Bahkan selama ini kita sudah begitu terbuai dengan berita-berita dan tayangan-tayangan yang menggambarkan kehidupan yang makmur dan mewah, sebagaimana yang bisa kita saksikan melalui layar televisi dalam sebagian besar acara sinetron.

Di satu pihak kemakmuran dan kemewahan dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, di lain pihak sebagian besar masyarakat terperangkap dalam kemiskinan dan kesederhanaan. Yang lebih menyedihkan adalah bahwa mereka yang hidup dalam kemiskinan dan kesederhanaan tersebut, sekaligus tidak memiliki rasa aman, karena sewaktu-waktu bisa digusur dengan alasan demi kepentingan publik, hal ini merupakan kenyataan hidup sehari-hari. Dengan demikian secara ringkas persoalannya dapat dirumuskan adanya kesenjangan yang semakin lama semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Dengan perkataan lain, apakah kemiskinan harus tetap mewarnai dan menyertai kehidupan kita dalam abad yang ditandai dengan revolusi teknologi, khususnya teknologi informasi dan teknologi transportasi, serta dunia yang semakin “makmur” ini2.

Berkaitan dengan persoalan tersebut maka judul tulisan ini saya pikir menjadi sangat relevan. Untuk itu pertama-tama saya akan memberikan sekadar sinopsis tentang ’sejarah’ kapitalisme. Kemudian saya akan mengungkapkan apa yang menjadi ciri-ciri kapitalisme (dewasa ini) serta pendapat beberapa ahli tentang mungkin tidaknya kapitalisme itu bermoral. Akhirnya beberapa catatan tentang sistem ekonomi yang bermoral.


Tahap-tahap perkembangan kapitalisme3

Bagi Dillard tahap-tahap perkembangan kapitalisme dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kapitalisme awal, kemudian kapitalisme klasik/kapitalisme liberal dan yang terakhir adalah kapitalisme lanjut.

1. Kapitalisme awal mulai di Inggris pada abad 16 dengan munculnya industri sandang, dengan memanfaatkan teknologi yang ada pada waktu itu maka industri sandang mengalami perkembangan yang cukup baik. Dari surplus yang diperoleh tidak digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif, melainkan digunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif, misalnya mengembangkan usaha perkapalan, pergudangan dan lain-lain. Usaha yang mengacu pada peningkatan produktivitas mendapat dukungan dari agama yang mengajarkan kerja keras dan sikap hemat, usaha pemerataan yang cukup baik lewat sistem pemberian upah, pembagian laba dan peranan negara yang mendorong terjadinya akumulasi modal.

2. Kapitalisme klasik/liberal mulai berkembang pada abad XVIII dengan munculnya revolusi industri. Kapitalisme klasik/liberal berlatar belakang ideologi liberalisme, yang menekankan ’peranan pemerintah yang seminimal mungkin’ dalam hal perekonomian. Secara ekonomis kapitalisme klasik mendapatkan sukses besar dalam arti para pemilik modal menjadi sangat berpengaruh dalam struktur sosial masyarakat. Selanjutnya sukses tersebut melahirkan sukses politis, di mana kebijakan-kebijakan politik di bidang ekonomi sangat berpihak dan dengan demikian sangat menguntungkan para pemilik modal.

3. Kapitalisme lanjut yang mulai berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai dengan adanya ancaman dari komunisme dan terjadinya perang dunia pertama. Peristiwa tersebut mulai mendorong munculnya kesadaran bahwa kapitalisme klasik/liberal bertanggungjawab atas sejumlah besar ketidakadilan (ekonomis). Berkaitan dengan itu maka peranan negara/pemerintah harus lebih nyata4 dalam usaha mengeliminir ketidakadilan (ekonomis) tersebut, melalui sejumlah intervensi sosial, seperti menciptakan undang-undang anti monopoli, anti kartel dan mulai membangun sistem jaminan dan kesejahteraan sosial, hal ini dikenal dengan istilah welfare-state5.

Pembagian di atas belumlah lengkap, karena sekitar tahun 1970-an mulai terjadi perubahan dari welfare state ke neoliberalisme. Perubahan tersebut diawali dengan berdirinya OPEC pada tahun 1973, hal itu menyebabkan harga minyak naik dan menyebabkan resesi ekonomi. Kejadian ini tidak dapat diatasi dengan pendekatan Keynesian, akibatnya welfare-state mulai ditinggalkan, khususnya di Inggris di bawah Margaret Thatcher dan Amerika di bawah Ronald Reagan. Mereka mulai menganut pendapat Friedrich August von Hayek dan Milton Friedman6, yang berkeyakinan bahwa pasar bebas mampu mengalokasikan barang dan jasa secara lebih efektif dibandingkan negara, dan bahwa usaha-usaha negara dalam memerangi kegagalan pasar lebih mendatangkan kerugian daripada keuntungan. Bahkan Friedman dengan lantang berujar ”Ada satu, dan hanya satu tanggungjawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumberdayanya untuk aktivitas yang mengabdi pada akumulasi laba .....”7.


Ciri-ciri kapitalisme

Kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi yang menerapkan prinsip kebebasan (sebagaimana diperjuangkan oleh liberalisme) di bidang ekonomi. Dengan perkataan lain kapitalisme adalah liberalisme di bidang ekonomi. Bebas untuk memiliki dan mengembangkan modal (baik modal finansial, modal fisik maupun modal manusiawi) demi manfaat yang paling besar dan bagi sebanyak mungkin orang8. Dengan demikian maka kapitalisme dicirikan oleh hak atas milik pribadi, hak atas akumulasi modal lewat usaha mencari keuntungan yang maksimal dan hak untuk bersaing. Realisasi ketiga hak tersebut menjadi sangat problematis mengingat sumberdaya yang ada bersifat terbatas/langka, selain daripada itu kemampuan setiap orang juga tidak sama. Bila proses realisasi ketiga hak tersebut tidak diatur dengan adil, maka akhirnya akan terjadi dominasi dari mereka yang memiliki kemampuan terhadap mereka yang kurang atau yang tidak memiliki kemampuan.

Tidak bisa disangkal sebagai makhluk yang berbadan maka manusia akan bertindak kalau ada kebutuhan, dengan perkataan lain kebutuhan merupakan motivator perilaku manusia. Salah kebutuhan manusia yang utama adalah kebutuhan fisik, dalam usaha memenuhi kebutuhan fisiknya, maka manusia memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas dan teknologi yang semakin membuat manusia menjadi mabuk-teknologi9. Berkaitan dengan itu maka ekonomi menjadi penting, karena ilmu ekonomi merupakan suatu ilmu yang mencoba menjawab pertanyaan “bagaimana manusia bisa memenuhi kebutuhannya yang hampir tak terbatas dengan sumberdaya yang terbatas, bahkan langka?”10 Mungkin kita masih ingat di mana Robert Malthus (1766-1834) meramalkan bahwa pertumbuhan produksi (yang hanya berciri deret hitung) tidak akan sebanding dengan pertumbuhan manusia (yang berciri deret ukur), lebih-lebih karena luas tanah tidak pernah bertambah, bahkan makin berkurang untuk memenuhi kebutuhan akan pemukiman. Namun ramalan pesimistis Malthus dapat diatasi berkat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menumbuhkan harapan besar, namun sekaligus juga menimbulkan kekhawatiran, menjadi salah satu penyebab rusaknya ekosistem.

Dewasa ini kekayaan dunia mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat mengagumkan di bandingkan dengan jaman Malthus. Namun, masalahnya adalah bagaimana kekayaan dunia tersebut didistribusikan, siapa yang menikmati kekayaan dunia tersebut11? Hal ini tentu berkaitan dengan sistem ekonomi yang digunakan. Sampai dengan akhir abad XX kita masih mengenal ada tiga sistem ekonomi besar, yaitu kapitalisme di satu pihak, sosialisme di pihak lain dan di tengahnya ada sistem negara kesejahteraan. Namun, dengan bubarnya Uni Soviet pada tahun 1990 maka pamor sosialisme mulai pudar, sedang negara kesejahteraan juga mulai ditinggalkan, karena mengandung persoalan-persoalan seperti naiknya inflasi. Maka kapitalisme menjadi satu-satunya sistem ekonomi yang masih bertahan sampai sekarang, bahkan telah menjadi kapitalisme global. Tidaklah mengherankan bila sekarang muncul kecenderungan untuk menyakini bahwa sistem kapitalisme merupakan satu-satunya sistem yang dapat menyelesaikan segala masalah manusiawi. Bahkan kapitalisme semakin diperkokoh dengan lahirnya lembaga-lembaga dunia seperti World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang sering bertindak sebagai surveillance system, agar sistem pasar bebas dan perdagangan bebas dilaksanakan oleh negara-negara di dunia (khususnya mereka yang menjadi anggota WTO)12. Keyakinan seperti ini dikenal sebagai neoliberalisme/fundamentalisme pasar. I. Wibowo13 berpendapat bahwa dalam alam neoliberalisme dewasa ini beberapa ironi muncul ke permukaan.

Yang pertama adalah munculnya dominasi dari perusahaan-perusahaan multinasional, yang oleh John Pilger – salah seorang wartawan BBC – disebut sebagai The New Rulers of The World.

Yang kedua, di satu pihak peran negara semakin diperkecil (negara cukup menjadi penjaga malam saja), namun di lain pihak muncul lembaga-lembaga dunia (WTO, IMF dan World Bank) yang menjadi semacam supra-state.

Yang ketiga, perdagangan bebas dan pasar bebas dijadikan lagu wajib bagi negara-negara berkembang, sementara negara maju tetap membentengi diri dengan aneka macam non-tariff barriers maupun aneka subsidi pertanian.

Berkaitan dengan itu maka tidaklah mengherankan bila Robert L. Heilbroner berujar bahwa ’kapitalisme secara intrinsik tidak memiliki dimensi moral’14. Selanjutnya Ross Poole15 berujar bahwa ”..... apa yang diberikan utilitarisme bukanlah moralitas, melainkan bayangan (simulacrum) moralitas”.

Namun, pada tahun 2003 terbit sebuah buku yang ditulis oleh Stephen Young, dan buku tersebut berjudul Moral Capitalism. Reconciling Private Interest with the Public Good16. Bila Heilbroner dan Ross Poole menjawab pertanyaan tersebut di atas secara negatif maka buku ini hendak menjawab pertanyaan tersebut di atas secara afirmatif. Untuk membuktikan keyakinannya tersebut maka penulis mengacu pada kodek etik internasional yang pertama di bidang bisnis, yang tidak lain adalah The Caux Round-Table Principles for Business. Kode etik internasional yang pertama di bidang bisnis tersebut lahir pada bulan Juli 1994. Kode etik tersebut merupakan hasil pertemuan-pertemuan para eksekutif puncak17 dari perusahaan-perusahaan multinasional di kota Caux Swiss sejak tahun 1986.

Dalam mukadimahnya dinyatakan bahwa ketentuan hukum dan kekuatan-kekuatan pasar adalah mutlak perlu, namun belum mencukupi. Selanjutnya juga dinyatakan bahwa sikap bertangungjawab dan sikap menghormati para stakeholders bersifat fundamental. Akhirnya diakui pentingnya nilai-nilai bersama, kemakmuran bersama secara global.

Berkaitan dengan itu maka para peserta kemudian menyepakati perlunya 7 prinsip umum yang seharusnya dijadikan pedoman kegiatan bisnis global. Ke 7 prinsip umum itu meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. Tanggungjawab bisnis: dari shareholders ke stakeholders.

  2. Dampak Ekonomis dan sosial dari bisnis: menuju inovasi, keadilan dan komunitas dunia.

  3. Perilaku Bisnis: dari hukum yang tersurat ke semangat saling percaya.

  4. Sikap menghormati aturan.

  5. Dukungan bagi perdagangan multilateral.

  6. Sikap hormat bagi lingkungan alam.

  7. Menghindari kegiatan-kegiatan yang tidak etis.

Akhirnya, selain menyepakati prinsip-prinsip umum mereka juga menyepakati prinsip-prinsip stakeholders, antara lain yang berkaitan dengan pelanggan, karyawan, pemilik/penanam modal, pemasok, pesaing dan masyarakat.

Sebagai langkah awal, kode etik tersebut tentunya perlu disambut secara positif, perlu lebih disosialisasikan dan sungguh-sungguh dilaksanakan. Selain daripada itu kode etik tersebut perlu diikuti juga dengan aturan-aturan yang lebih konkret, dan aturan-aturan tersebut memiliki kekuatan untuk ’memaksa’.

Sebagai sistem, kapitalisme adalah ’ciptaan’ manusia, maka tentunya bisa diperbaiki segala kekurangannya. Bahwa kapitalisme memiliki kelebihan, khususnya dalam hal penghargaannya pada kebebasan dan martabat manusia, perlu diakui dan diteguhkan, namun kebebasan manusia bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Namun kapitalisme memiliki kekurangan juga, yaitu ketidakberpihakannya pada mereka yang terpinggirkan karena tidak/belum memiliki akses (seringkali bukan karena kemauannya) ke sistem kapitalisme.


Kesimpulan

Kapitalisme sebagai sistem ekonomi secara moral dapat dipertanggungjawabkan bila berpihak pada mereka yang marginal. Keberpihakannya akan menjadi nyata bila kapitalisme

  1. mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia, khususnya bagi mereka kekurangan. Perlu ada prioritas-prioritas, tidak sekedar mengejar keuntungan saja.

  2. Mampu menciptakan lapangan pekerjaan, khususnya bagi mereka yang menganggur baik pengangguran terbuka, maupun mereka yang hanya bekerja paro-waktu.

  3. Mampu menjembatani kesenjangan sosial ekonomi yang semakin melebar (lihat catatan kaki no. 11), dengan melakukan program-program pemberdayaan dan pendampingan.

  4. Mampu menjamin terlaksananya pembangunan berkelanjutan, di mana generasi sekarang ini tidak mewariskan persoalan-persoalan yang membebani generasi mendatang dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka pada masa yang akan datang.

  5. Mampu meminimalisir kerusakan ekosistem yang sudah semakin parah, mengingat salah satu ’perusak’ ekosistem adalah sistem ekonomi kapitalistik, yang sangat menekankan pada pembangunan dan perkembangan ekonomi yang tinggi.

  6. Mampu membela mereka yang marginal, dengan program-program subsidi pada pendidikan, kesehatan dan perumahan, agar mereka dibebaskan dari proses marginalisasi.

  7. Mampu sungguh-sungguh berorientasi pada stakeholders benefit, agar jangan ada yang dikalahkan/dikorbankan.


Bogor, 19 Januari 2007

1 Dipresentasikan di seminar dan konferensi Hidesi 2007 di Wisma Makara, UI, Depok.

2 Makna kemakmuran menjadi problematis, apakah makmur dalam makna individual (hak atas milik pribadi dan kebebasan untuk mengakumulasinya) atau makmur dalam makna sosial (berpihak pada yang marginal dan mengusahakan pertumbuhan yang berkelanjutan serta mengusahakan stakeholders’ benefit)?

3 Bagian ini saya mengikuti pandangan Dudley Dillard sebagaimana dapat dibaca dalam karangannya yang berjudul ”Kapitalisme”, dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Kapitalisme: Dulu dan Sekarang, LP3ES, Jakarta, hal. 15-57.

4 Pengaruh dari pendekatan yang dilakukan oleh John Meynard Keynes yang menekankan pentingnya negara mencapai full employment (jangan sampai terjadi pengangguran tenaga kerja dan modal).

5 Bdk. Robert J. Holton, Economy and Society, Routledge, London and New York, 1992, khususnya hal. 122.

6 Menurut pendapat saya pendapat ini mencerminkan suatu arogansi intelektual, masalah sosial adalah masalah yang sangat majemuk, maka mengandaikan suatu pendekatan yang multidisiplin, bukannya dengan pendekatan yang tunggal.

7 Friedman, Milton, Capitalism and Freedom, Chicago: University of Chicago Press, 1962, hal. 133, lihat juga tulisan pengarang yang sama dengan judul ‘The Social Responsibility of business is to Increase its Profits’ dalam New York Times Magazine, 13 September 1970.

8 Pengaruh faham utilitarisme menjadi sangat nyata, adagium ’the greatest happiness of the greatest number’ diterapkan dalam prinsip ekonomi, yaitu ‘cost and benefit analysis’ yang harus menghasilkan cost and benefit ratio yang paling menguntungkan, dengan kata lain perlu efisiensi. Namun hal ini justru menjadi sangat problematis, karena kenyataannya ‘menghasilkan manfaat terbesar bagi sebagian kecil anggota masyarakat’.

9 Lihat buku dari John dan Nana Naisbitt serta Douglas Philips yang berjudul High Tech, High Touch: Technology and Our search for Meaning, High Tech – High Touch Inc., 1999. Menurut para pengarang maka salah satu gejala mabuk-teknologi adalah di satu pihak manusia dewasa ini sangat memuja teknologi namun di lain pihak teknologi telah membuat banyak orang kawatir dengan teknologi yang semakin mengontrol manusia.

10 Bdk definisi yang dirumuskan oleh Paul A. Samuelson/William A. Nordhaus dalam bukunya yang berjudul Economics, New York, McGraw-Hill, edisi XV, 1995, hal. 4 yang berbunyi “Economics is the study of how societies use scarce resources to produce valuable comodities and distribute them among different people”.

11 “..... dari 5,7 milyar jumlah penduduk dunia, 1,5 milyar di antaranya amat miskin; 20% dari orang-orang termiskin di dunia menerima 1,4% dari Pendapatan Nasional Bruto (GNP), padahal 20% dari orang-orang terkaya menikmati 84,7%; lebih dari 1 milyar orang memperoleh nafkah US $ 1 setiap hari; 3 milyar orang mendapatkan nafkah sedikit lebih dari US $ 2. Sementara itu 358 orang mengumpulkan modal pribadi sebanyak kira-kira US $ 762 milyar. Pendapatan yang diperoleh oleh 358 orang kaya itu sama dengan pendapatan 2,35 milyar orang miskin”. (I. Suharyo, Menabur Benih, Menantikan Langit dan Bumi Baru, dalam Basis, nomor 05-06, Tahun ke 51, Mei – Juni 2002, hal. 32).

12 Ingat pengalaman Indonesia selama dibantu oleh IMF dan World Bank dalam usaha mengatasi krisis ekonomi sejak tahun 1997 yang lalu.

13 Wibowo, I dan Wahono, Francis (ed.), Neoliberalisme, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003, hal. 5-6.

14 Heilbroner, Robert L., Hakekat dan Logika Kapitalisme, terjemahan Hartono Hadikusumo, Jakarta, LP3ES, 1991, hal. 80.

15 Poole, Ross, Moralitas & Modernitas. Di bawah Bayang-bayang Nihilisme, terjemahan F. Budi Hardiman, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1993, hal.23. lihat juga catatan kaki no. 7.

16 Lihat juga Nugroho, Alois A., Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis, Jakarta, Grasindo, 2001, hal. 21- 52.

17 Para eksekutif puncak tersebut berasal baik dari Eropa, Amerika maupun dari Jepang, sebuah pertemuan lintas budaya, mereka berusaha menemukan nilai-nilai bersama. Perjumpaan tersebut merupakan perjumpaan antara konsep etika Jepang yang bernama kyosei (komunitarian) dengan konsep etika barat yang berciri individual/menekankan martabat manusia sebagai pribadi (ibid, hal. 25-26).

Uang sebagai sarana pendidikan menuju kemandirian

Uang sebagai sarana pendidikan menuju kemandirian (?)

Stanislaus Nugroho, Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Bogor


Waktu saya menunjukkan judul sebagaimana tersebut di atas kepada teman-teman saya, maka salah seorang teman saya langsung berkomentar, “bagaimana itu mungkin? Itu suatu judul yang provokatif, dewasa ini uang hanya lambang dari pola hidup yang sangat konsumtif”. Berkaitan dengan komentar teman saya tersebut maka dengan sengaja saya menambahkan tanda tanya dalam kurung. Mengapa? Saya sendiri yakin bahwa uang dapat menjadi sarana pendidikan menuju kemandirian, namun mungkin bagi banyak orang itu suatu masalah, maka saya memberikan tanda tanya, biarpun dalam kurung.

Tulisan ini dimaksudkan untuk meyakinkan para pembaca bahwa uang dapat digunakan, bahkan seharus digunakan sebagai sarana pendidikan, khususnya pendidikan nilai. Christopher Gleeson, SJ – seorang pakar dan sekaligus seorang praktisi pendidikan – dalam halaman pertama bukunya yang berjudul Striking A Balance: Teaching Values and Freedom, Hodder & Stoughton, Australia, 1993 menyatakan bahwa “Dalam kehidupan ini hanya terdapat dua hal yang dapat kita (= orangtua dan guru) berikan, yakni akar (= nilai) dan sayap (= kebebasan)”. Selanjutnya menurut Gleeson dengan nilai yang kuat peserta didik pada masa yang akan datang dapat menolong dirinya dalam tantangan hidup di dunia yang mengalami perkembangan dan perubahan yang begitu luar biasa dan berlangsung dengan kecepatan yang tinggi. Sedang dengan kebebasannya seseorang mampu untuk ‘menentukan dirinya sendiri’, mampu menjadi pribadi yang mandiri.

Nilai itu selalu berkaitan dengan yang baik. Karena baik maka sesuatu yang bernilai dikejar untuk dapat dimiliki. Uang itu sesuatu yang baik, sarana yang baik. Betapa tidak? Uang merupakan sarana yang membantu kita dalam melakukan transaksi ekonomis, betapa sulitnya bila kita masih hidup dalam jaman barter (= perdagangan dengan saling menukar barang).

Namun, dewasa ini kita sudah menyalahgunakan uang. Uang tidak lagi kita jadikan sarana, melainkan telah kita jadikan tujuan dan sekaligus menjadi komoditi. Sebenarnya Yesus sudah memperingatkan kita dengan sabdaNya yang berbunyi sebagai berikut “…. di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mt. 6: 21). Begitu juga Santo Paulus dalam suratnya kepada Timotius yang pertama mengingatkan kita dengan tulisannya yang berbunyi sebagai berikut “….. akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1 Tim. 6: 10).

Kemandirian merupakan salah tahap dalam perkembangan manusia, baik secara biologis maupun psikologis kita mengawali kehidupan kita dengan ketergantungan. Ketika masih bayi ketergantungannya hampir seratus persen. Dalam perkembangannya ketergantungan itu mulai berkurang sedikit demi sedikit. Sampai pada akhirnya, seseorang masih tergantung secara ekonomis terhadap orangtuanya, ketergantungan ekonomis ini berlangsung sampai lebih kurang seseorang berusia lebih kurang 25 tahun, yaitu saat seseorang sudah menyelesaikan pendidikannya dan mulai bekerja.

Namun, kemandirian seseorang tidak hanya menuntut adanya ketidak-tergantungan fisik, psikologis, ekonomis dan sosiologis, namun juga kemandirian moral (= mampu menentukan mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang benar dan mana yang salah) dan kemandirian spiritual (mampu memaknai hidupnya biarpun dalam kondisi yang tidak diharapkan).

Masalahnya bagaimana uang dapat dipakai sebagai sarana pendidikan kemandirian? Bila kita mau menggunakan uang sebagai sarana pendidikan maka kita harus menggunakan ‘bahasa uang’. Bahasa uang itu lugas, kelugasannya nampaknya misalnya dalam hal ‘anggaran’. Anggaran itu apa? Anggaran itu suatu rencana yang dinyatakan dalam angka, angka itu mengacu pada suatu jumlah uang. Selain daripada itu anggaran juga mengacu pada masa depan, masa depan dapat membangkitkan harapan, suatu optimisme, bila masa depan itu direncanakan dengan baik. Mungkin baik dalam kaitan dengan ini kita ingat apa yang ditulis oleh Lukas sang Penginjil “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya” (Lk. 14: 28-30). Anggaran dapat membantu kita membuat rencana yang dapat diukur, sekaligus dapat dicapai, karena itu anggaran seharusnya realistis.

Dengan anggaran kita juga belajar untuk menentukan prioritas, mana yang betul-betul merupakan kebutuhan (needs), dan mana yang sekadar keinginan (wants). Beras itu suatu kebutuhan, namun beras bermerek “Ayam Merak” misalnya, bukanlah suatu kebutuhan melainkan suatu keinginan. Menurut saya orang yang mampu menentukan prioritas merupakan orang yang sungguh dewasa, sungguh mandiri, lebih-lebih pada jaman modern ini. Betapa tidak? Dengan teknik-teknik pemasaran yang canggih, salah satunya yang paling menonjol adalah iklan, maka dewasa ini orang berpikir “saya membeli maka saya ada”. Oleh karena itu bisnis berani mengeluarkan biaya iklan dalam jumlah yang sangat luar biasa besar. Sebagai contoh, Kompas tanggal 29 Desember 1998, memberikan data sebagai berikut “nilai belanja iklan tahun 1997 untuk majalah, surat kabar dan televise adalah sekitar Rp. 3, 49 triliun”. Keberadaan seseorang sangat diwarnai oleh tingkat konsumsinya dan apa yang dikonsumsinya. Kalau orang tidak mampu menentukan prioritas maka orang bisa menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang, dan akhirnya akan merusak masa depannya sendiri.

Anggaran mendidik seseorang menjadi rendah hati. Rendah hati tidak lain merupakan sikap seorang yang dapat menerima kenyataan. Salah satu kenyataan adalah bahwa kita memiliki pendapatan tertentu, dan harus hidup sesuai dengan pendapatan tersebut. Tentu saja kita boleh berusaha dan harus berusaha meningkatkan pendapatan kita, namun tetap ada batasnya, yaitu kemampuan dan talenta kita sendiri yang ada batasnya.

Dengan demikian bila kita menggunakan uang sebagai sarana pendidikan kemandirian, maka dengan membuat anggaran yang tepat seseorang belajar merencanakan kehidupannya, sambil menatap masa depan. Dengan anggaran kita juga belajar hidup secara realistis dan rendah hati serta tidak hanyut dalam pola hidup yang sangat konsumtif. Bagaimana membuat anggaran? Membuat anggaran hendaknya berdasarkan catatan masa lalu (sebagai pembanding), berdasarkan masa sekarang (pendapatan saat ini) dan mengacu ke masa depan (perencanaan).


Bogor, 31 Agustus 2009