Selasa, 27 Maret 2012

Peranan keluarga dalam pendidikan anak usia dini, belajar dari Keluarga Elkana dan Hana serta Keluarga Kudus Nazaret
Stanislaus Nugroho

”Kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil,
yakni bagaimana kita harus hidup sebagai orang tua?”
Mengapa kita mesti berbicara tentang pendidikan anak usia dini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya ingin mengutip cerita dari Anthony de Mello SJ., dalam buku The Song of The Bird, Gujarat Sahitya Prakash, Anand, India, 1982 sebagai berikut: “Seseorang menemukan sebutir telur elang dan meletakkannya di eraman induk ayam. Anak elang ini menetas bersama anak-anak ayam dan menjadi besar bersama-sama mereka pula. Selama hidupnya elang itu berbuat sama seperti se ekor ayam. Ia mengira bahwa dirinya juga seekor ayam saja. Ia mengais-ngais tanah untuk mencari cacing dan serangga. Ia berkotek-kotek. Dan ia juga mengebaskan sayapnya dan terbang tak seberapa jauh seperti ayam. Sebab begitulah lazimnya seekor ayam terbang, bukan? Tahun-tahun berlalu dan elang itu pun menjadi tua. Pada suatu hari ia melihat se ekor burung perkasa terbang tinggi di angkasa biru. Burung itu melayang-layang dengan indah dan lincah melawan tiupan angin, hampir-hampir tanpa mengepakkan sayapnya yang kuat dan berwarna keemas-emasan. Elang tua itu melihat ke atas dengan rasa kagum. Apakah itu? tanyanya kepada temannya. Itulah elang, raja segala burung, kata temannya. Tetapi jangan terlalu memikirkan hal itu. engkau dan aku berbeda dengan dia. Maka elang tua itu pun tidak pernah memikirkan hal itu lagi. Akhirnya ia mati dengan masih tetap mengira dirinya hanyalah se ekor ayam saja”. Dari cerita ini kita belajar bagaimana pengaruh lingkungan dan ’habit’ yang ditularkan sejak dini sangat mempengaruhi perkembangan kita.
Lewat psikologi kita belajar bahwa usia dini seorang anak merupakan sesuatu yang istimewa, suatu ’golden time’. Berbicara tentang pendidikan anak usia dini merupakan sesuatu yang bersifat strategis. Betapa tidak! Dari hasil-hasil penelitian psikologis menjadi jelas bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia sudah dimulai sejak dalam kandungan ibu dan berlangsung sepanjang hidup manusia yang bersangkutan. Manusia bukan makhluk ’yang sudah jadi’, melainkan selalu ’sedang menjadi’. Maka pendidikan merupakan panggilan dan pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai. Pendidikan bertujuan mengarahkan dan mengantar peserta didik kepada taraf insani, pada taraf manusia yang utuh (seutuh mungkin), dan yang mampu mensinergikan kemampuan-kemampuan manusiawi yang dimilikinya, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan kemampuan mencari, menemukan dan memberi makna kehidupannya. Dalam rentang kehidupannya manusia mengalami tahapan-tahapan tertentu (pada bagian ini saya banyak berhutang pada Papalia, D.E., Olds, S.W., and Feldman, R.D. (2004). Human Development. Boston: Mcgraw-Hill). Biasanya para ahli membagi tahapan kehidupan manusia sebagai berikut: 1) masa pranatal: dari konsepsi sampai lahir; 2) masa bayi (toddler): lahir sampai 3 tahun; 3) masa usia dini: 3 sampai 6 tahun; 4) masa usia sekolah: 6 sampai 11 tahun; 5) masa remaja: 11 sampai lebih kurang 20/21 tahun; 6) masa dewasa muda: 20/21 samai 40 tahun; 7) masa dewasa madya: 40 sampai 65 tahun; 8) masa dewasa akhir: 65 tahun dan selanjutnya. Setiap tahapan memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Beberapa hal yang perlu kita perhatikan – sebagai karakteristik anak-anak usia dini – adalah sebagai berikut. Pertama kalau kita berbicara tentang pertumbuhan dan perkembangan manusia maka mau tidak mau pasti berkaitan beberapa aspek penting, yaitu aspek biologis-fisik; aspek sosial dan aspek psikologis. Kedua secara umum bisa dikatakan bahwa pada usia dini berlangsung pertumbuhan fisik yang relatif cepat biarpun lebih lambat jika dibandingkan dengan masa bayi. Ketrampilan motorik baik yang kasar maupun yang halus, serta koordinasi mata-tangan berkembang dengan cepat. Begitu pula perkembangan yang berkaitan dengan aspek kognitif berlangsung cepat, pada usia dini anak-anak sudah mulai mengenal dan menggunakan simbol. Umpamanya menggunakan sapu lidi sebagai pesawat terbang, deretan bangku sebagai kereta api, dan sebagainya. Anak usia dini sudah mulai memahami apa yang disebut dengan identitas diri, misalnya ibunya biasa memakai rok, tapi pada suatu hari ibunya mengenakan celana panjang dan hemd sebagaimana bapaknya, maka si anak tetap melihat figur tersebut tetap sebagai seorang ibu. Pada usia dini ketrampilan lain yang berkembang adalah kemampuan berempati, kalau kemampuan ini diarahkan dengan tepat anak akan mampu memahami perasaan-perasaan orang lain. Berkaitan dengan ini maka peranan orang tua menjadi sangat penting, dalam kaitan dengan mendidik kepekaan empati anak, yang akan sangat berguna dalam usaha menularkan sikap peduli pada situasi dan kondisi orang lain. Kepedulian itu ’menolong orang lain berkembang dan sekaligus mewujudkan dirinya sendiri’, demikianlah ungkapan Milton Mayerhoff dalam bukunya yang berjudul On Caring, 1972.
Secara kebetulan tema Aksi Puasa Pembangunan 2012 Keuskupan Bogor berbunyi sebagai berikut Membangun gaya hidup iman anak dan remaja yang misioner. Tujuan dari Aksi Puasa Pembangunan 2012 adalah ”menginspirasi gerakan bersama pertobatan umat serta perwujudan karya nyatanya mengarah pada upaya Membangun Gaya Hidup Iman Anak dan Remaja yang Misioner” (Kerangka Dasar Aksi Puasa Pembangunan 2012, Keuskupan Bogor, hal.5). Ada empat sub-tema yang disiapkan yaitu:
1) Orangtua menjadi teladan iman anak dan remaja;
2) Memupuk kebiasaan hidup kristiani dalam keluarga;
3)Kedewasaan hidup beriman;
4) Iman yang berkembang dalam hidup bermasyarakat.
Saya pikir sub-tema yang pertama dari empat permenungan yang disediakan berbunyi ”Orangtua menjadi teladan iman anak dan remaja” relavan sekali dengan apa yang menjadi pokok tulisan ini. Tujuan dari permenungan sub-tema yang pertama tidak lain adalah ”agar kita memahami dan menyadari bahwa orangtua berperan sebagai katekis bagi anak dan remaja, salah satunya menjadi teladan hidup beriman” (Panduan Renungan untuk Umat Paroki, hal. 13). Pada halaman 6 buku Panduan Renungan untuk Umat Paroki dijelaskan ”Siapakah katekis itu? Katekis adalah semua umat beriman kristiani, baik klerus maupun awam yang dipanggil dan diutus oleh Allah menjadi seorang pewarta Sabda Allah. Dengan kata lain profesi kehidupan seorang katekis adalah mengajar, mewartakan Sabda Allah.
Kita harus menyadari bahwa pewartaan Sabda Allah adalah bagian penting dari tugas pokok Gereja. Pewartaan Sabda Allah adalah tugas pokok dari semua umat beriman sebagai murid-murid Yesus. Hal itu diperintahkan oleh Kristus kepada murid-muridNya: ’Pergilah jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu’ (Mt.28:19)”. Dari penjelasan ini jelas bahwa orangtua dipanggil menjadi katekis bagi anak-anak mereka.
Dari pengalaman saya sebagai pendamping keluarga, maka banyak orangtua yang ingin sekali memenuhi tugas panggilannya tersebut dengan sebaik-baiknya, namun sering mereka tidak tahu bagaimana caranya. Mereka merasa tidak pernah dipersiapkan untuk menjadi katekis, menjadi pendidik yang pertama dan utama di bidang iman. Keluhan tersebut bisa dimengerti. Memang banyak sekali orangtua yang tidak dipersiapkan secara formal, namun sebetulnya kita bisa belajar dari 2 keluarga yang tercatat dalam Kitab Suci Kristiani. Satu dari Perjanjian Lama dan satu dari Perjanjian Baru. Kisah itu tentunya sama sekali tidak asing bagi kita orang-orang kristiani. Cerita dalam Perjanjian Lama adalah keluarga Elkana dan Hana (1Sam.1:1-28), dan yang dalam Perjanjian Baru adalah Keluarga Kudus Nazaret (bisa dibaca baik dalam Injil Mateus dan Lukas yang mengisahkan masa kanak-kanak Yesus).
Dari kisah-kisah tersebut di atas maka kita dapat belajar beberapa hal penting, sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang bisa menjadi orientasi para orangtua (ayah dan ibu) dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai katekis bagi anak-anak mereka.
Yang pertama dan yang paling penting (saya pikir) kedua keluarga tersebut di atas sadar betul bahwa anak mereka adalah anugerah Allah, Allah yang percaya kepada mereka untuk mengasuh, membesarkan dan mendidik anak-anak yang dipercayakan kepada mereka agar anak-anak nantinya bisa melaksanakan panggilan dan rencana Allah, ’makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Lk.2:52). Untuk itu mereka – baik Elkana & Hana (1Sam.1:21-24) maupun Yusuf & Maria (Lk.2:21-24) – sangat setia melaksanakan hukum Allah, ajaran agamanya, misalnya yang mereka lakukan adalah ’mengembalikan’ kepada Sang Pemberi agar anak sulung mereka ’dibimbing sendiri’ olehNya. Dalam kisah tersebut di atas maka Elkana dan Hana menyerahkan Simeon dalam bimbingan Eli (1Sam.1:25-28) sejak disapih oleh ibunya, sedang Yusuf dan Maria mendidik Yesus sedemikian rupa agar Ia siap melaksanakan misiNya (Lk.2:40). Dari kisah masa kanak-kanak Yesus, kita bisa membaca betapa Bunda Maria dan Bapak Jusuf begitu taat dalam menjalankan hukum Taurat ”semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah” (Kel.13:2), karena Allah yang memilikiNya.
Yang kedua berkaitan dengan kepribadian Bapak Yusuf dan Bunda Maria. Tidak banyak informasi tentang Bunda Maria dan lebih-lebih Bapak Yusuf yang dapat ditemukan dalam ke empat Injil yang kita miliki, bahkan hanya dua Injil (Mateus dan Lukas) yang berbicara tentang masa kanak-kanak Yesus Kristus. Biarpun hanya sedikit informasi yang dapat ditemukan tentang Bapak Yusuf dan Bunda Maria, namun ada dua informasi yang sangat penting dan sangat mengesankan. Kedua informasi tersebut adalah berkaitan dengan ketulusan dan pribadi yang ’menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya (Bunda Maria adalah pribadi yang tidak reaktif, atau bila meminjam istilah yang digunakan oleh Stephen R. Covey, Bunda Maria adalah pribadi yang proaktif). Saya pikir kedua ciri kepribadian tersebut sangat relevan dengan kondisi masyarakat kita akhir-akhir ini, khususnya kondisi keluarga-keluarga, sejauh yang bisa saya peroleh dari pengalaman melaksanakan kerasulan pendampingan keluarga yang telah saya lakukan selama ini.
Pertama-tama saya akan sedikit mengelaborasi istilah tulus hati (terjemahan dari kata Yunani dikaios = benar) yang dikaitkan dengan pribadi Bapak Yusuf (Mt.1:19) Akar kata ketulusan adalah kata tulus, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990, hal. 968) kata tulus dikaitkan dengan kata hati dan kata ikhlas, kemudian dijelaskan sebagai ’sungguh bersih hati (benar-benar terbit dari hati yang suci, jujur, tidak pura-pura, tidak serong), sedang kata ’ketulusan (hati)’ dijelaskan sebagai ’kesungguhan dan kebersihan hati; kejujuran. Hati yang bersih merupakan Tahta Allah, Bait Allah, wahana di mana Allah membisikkan SabdaNya, perintahNya, arahanNya, agar kita dapat berpetualang di dunia dengan tepat, dapat menemukan dan melaksanakan rencana Allah (lihat Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, art. 16, Konsili Vatikan II). Itulah yang bisa kita temukan dengan pribadi Bapak Yusuf. Dari Mt.1:18-25 kita tahu bahwa pada awalnya Bapak Yusuf – setelah mengetahui bahwa Bunda Maria telah mengandung dari Roh Kudus – bermaksud untuk menceraikan Bunda Maria dengan diam-diam, tidak lewat proses hukum karena tidak ingin mencemarkan nama isterinya di muka umum. Namun setelah mendapat mimpi di mana Allah menyampaikan rencananya maka Bapak Yusuf memenuhi rencana Allah dengan tetap mengambil Bunda Maria sebagai isterinya. Dalam konteks inilah maka penginjil Mateus menyebut Bapak Yusuf sebagai sebagai seorang ’tulus hatinya’, biarpun mungkin tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang direncanakan oleh Allah namun Bapak Yusuf dengan penuh kepercayaan melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Allah.
Dalam kaitan dengan pendidikan anak banyak orangtua, yang terjebak pada ’sikap yang reaktif’. Sikap yang reaktif – kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Thomas Gordon, dalam bukunya yang berjudul Parent Effectiveness Training, 1975) – merupakan sikap yang melatarbelakangi orangtua dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya menggunakan You-Message. Misalnya, ’Kamu memang nakal sekali’; ’Kamu berperilaku seperti bayi’, ’Kamu selalu minta diperhatikan’.
Sebaliknya seorang yang memiliki sikap proaktif, merupakan sikap yang melatarbelakangi orangtua dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya menggunakan I-Message. Dengan I-Message maka orang tuanya mengungkapkan dirinya. Orangtua mengungkapkan perasaannya, pikirannya yang muncul berkaitan dengan apa yang dilihat, dirasakan dan dipikirkan yang berhubungan dengan perilaku anak-anaknya. Misalnya, ’Saya sedih melihat meja tamu kita berantakan, padahal kita sudah bersepakat bila ada yang menggunakan meja tamu untuk tempat bermain-main maka setelah selesai mengaturnya kembali’. Dengan I-Message maka orangtua tidak memberikan cap-negatif kepada anak-anaknya, dengan I-Mesage orangtua mengingatkan anak-anaknya bahwa ada suatu kesepakatan yang dilanggar, orangtua membantu anak-anaknya bertanggungjawab. Lewat pesan-pesan yang jujur akan membangkitkan tanggapan yang jujur dari anak-anak. Maka di sini kita membangun sikap menang-menang, tidak ada yang kalah, tidak ada yang divonnis.
Untuk ini – dari pengalaman penulis – sebagai orangtua kita membutuhkan kemauan kuat untuk meneladani apa yang dilakukan oleh Bunda Maria, ’menyimpan semua perkara di dalam hatinya’ (Lk.2:52), maksudnya kita tidak menanggapi secara spontan apa yang kita lihat atau kita rasakan, perlu mengambil waktu sejenak, menenangkan diri, merefleksikan diri dan menyiapkan ungkapan yang tepat agar tidak menimbulkan situasi menang-kalah, melainkan situasi menang-menang.
Yang ketiga yang perlu kita teladani dari kedua keluarga tersebut di atas adalah sikap mereka yang menghayati betul apa yang diajarkan oleh agamanya bahwa ’anak adalah milik Allah’ yang dititipkan kepada kita sebagai orangtuanya, tugas kita adalah mengantar anak-anak yang dititipkan kepada kita tersebut siap untuk menemukan dan melaksanakan rencana Allah secara tepat.
Marilah kita sebagai orangtua, bertanya kepada diri kita sendiri dan kemudian dialogkan dengan pasangan kita masing-masing, ’apakah kita sudah berperan sebagaimana kita belajar dari pasutri Elkana & Hana serta pasutri Yusuf & Maria?’