Senin, 30 Januari 2012

Moralitas: pelita kehidupan keluarga
Stanislaus Nugroho

Dewasa ini kehidupan manusia ditandai oleh adanya perkembangan dan kemajuan yang sangat luar biasa, sangat menakjubkan. Kemajuan dan perkembangan tersebut dipicu dan didorong oleh adanya kemajuan di bidang sains dan teknologi yang sangat luar biasa, khususnya yang berkaitan dengan teknologi informasi.
Sebagaimana biasa setiap kemajuan dan perkembangan selalu mempunyai dua sisi. Sisi pertama biasanya berciri positif: hidup manusia menjadi lebih nyaman, lebih gampang, lebih enak. Namun sisi yang lain berupa ancaman: kebingungan nilai-nilai yang dianut, dan terjadinya deforestisasi dan peng-gurun-an, pemanasan global, efek rumah kaca; hujan asam; kerusakan lapisan ozon atau dengan satu istilah ’perusakan ekosistem’ yang sangat mencekam. Ancaman ini merupakan akibat dari ulah manusia, ada masalah moral dan etis yang sangat serius karena tidak hanya mengancam satu dua orang, namun mengancam seluruh umat manusia, ancaman ini bukan main-main. Maka John Naisbitt dan kawan-kawan lewat bukunya - yang merupakan suatu usaha mencari makna di tengah perkembangan teknologi yang luar biasa, khususnya di bidang teknologi informasi - mengingatkan pentingnya moralitas.
Namun, biasanya orang segan berbicara tentang moralitas, cukup banyak orang yang sambil mencibirkan bibir berkomentar, ’ah, lu sok suci’. Padahal moralitas itu penting, bahkan sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebelumnya mungkin baik bila kita jelas dulu dengan apa yang dimaksud dengan moralitas. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) halaman 592 maka kita menemukan penjelasan sebagai berikut ”moralitas, sopan santu, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun”. Kalau kita membuka buku Etika (1993) karangan K. Bertens, halaman 7, maka kita menemukan penjelasan sebagai berikut ”Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk”. Bagi saya moralitas merupakan ’suatu disposisi sikap manusia terhadap suatu tindakannya sendiri atau orang lain, maka moralitas berkaitan dengan kemamuan manusia untuk berpikir, berperasaan dan berkemauan/berkehendak bebas’.
Mengapa moralitas itu penting? Moralitas menjadi sangat penting karena moralitas mengacu pada keutuhan manusia sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri. Manusia sebagai citra Allah diberi anugerah yang luar biasa yaitu: kebebasan, kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. Untuk dapat menggunakan kebebasannya dengan tepat maka paling sedikit manusia dibekali oleh Sang Pencipta dengan empat talenta dasar, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, dan kecerdasan memaknai. Bila manusia mampu mengembangkan dan mensinergikan keempat kecerdasan itu maka dia akan mampu mengubah ancaman menjadi peluang karena manusia mampu untuk selalu berpikir dan bersikap positif .
Dari keempat kecerdasan tersebut maka pada kesempatan ini saya akan berfokus pada kecerdasan moral, sesuai dengan judul tulisan ini. Yang saya maksud dengan kecerdasan moral adalah kemampuan manusia untuk membedakan yang baik dan yang buruk, mampu membedakan yang benar yang salah. Sejarah pemikiran manusia telah memperlihatkan sejak lama betapa begitu banyak pemikir (dalam kaitan ini saya hanya menyebut empat pemikir, dua dari barat dan dua dari timur). Sudah diawali pada abad 5 sebelum Masehi di Yunani oleh orang yang bernama Sokrates (470/469-399 SM), dalam diskusinya dengan kaum Sofis, Sokrates sampai pada kesimpulan bahwa ’tujuan tertinggi/tujuan akhir hidup manusia ialah membuat jiwanya (daimonnya) menjadi sempurna’. Maka bagi Sokrates berbicara tentang moralitas berarti ’Kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni mengenai bagaimana kita harus hidup’. Kesimpulan ini diikuti dan dilanjutkan oleh Plato (428/427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Dari ketiga pemikir tersebut dikenal istilah empat keutamaan filosofis, yaitu kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri dan keadilan.
Sedang di Timur (Tingkok) muncul pemikir-pemikir seperti Konfusius (551-479 SM) dan Laotse (604-531 SM). Konfusius sangat menekankan pentingnya pembangunan diri atau pemberadaban diri atau ’self cultivation’, dengan kata lain Konfusius menekankan pentingnya keteladan moral serta pentingnya membuat keputusan yang tepat. Begitu pula dengan Laotse yang mengemukakan adanya tiga keutamaan utama yaitu compassion (bela rasa baik dalam suka maupun dalam duka); moderation (bersikap moderat/tidak berlebihan) dan humility (kesederhanaan) .
Pemikiran-pemikiran semacam ini dalam sejarah pemikiran manusia dikenal dengan istilah etika keutamaan (virtue ethics) yang sampai sekarang masih tetap ada yang mengikuti dan mengembangkannya, misalnya yang paling banyak dipelajari saat ini adalah apa yang dikembangkan Sthephen R. Covey – yang menjadi terkenal – dengan bukunya yang berjudul The Seventh Habits of Highly Effective People (1989) dan kemudian pada tahun 1999 terbitlah buku yang berjudul The Seventh Habits 0f Highly Effective Families, dilanjutkan dengan bukunya yang paling akhir – sejauh yang yang saya ketahui – berjudul The Eight Habit. From Effectiveness to Greatness (2004).
Pada akhir tahun 2004 KWI menerbitkan Nota Pastoral dengan judul Keadaban Publik: Menuju Habitus baru Bangsa. Keadilan Sosial bagi semua: Pendekatan Sosio Budaya . Dalam Nota Pastoral tersebut dinyatakan adanya tiga penyakit sosial yang menggerogoti keadaban publik. Ketiga penyakit sosial tersebut tidak lain adalah korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan. Di samping ketiga penyakit sosial tersebut maka saya pikir perlu disebut juga satu penyakit sosial yang lain, yaitu kemiskinan, atau mungkin lebih tepat ketimpangan pembangunan manusia seutuhnya. Dan saya pikir ke empat penyakit sosial tersebut sebenarnya berakar pada hancurnya moralitas, matinya hati nurani. Kemampuan manusia untuk membedakan yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah makin tergerogoti oleh desakan budaya ’pola hidup yang sangat konsumtif’, pola hidup yang ditandai dengan semangat mengejar kenikmatan, kesenangan (hedonisme) dan mengejar materi (materialiasme). Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini artikel 16 merumuskan dengan indah apa yang dimaksud dengan hati nurani, yakni ’Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya’. Dengan rumusan tersebut – bagi saya – Gereja ingin mengajarkan kepada kita semua agar kita membangun suatu relasi yang akrab dan mesra dengan Allah, agar hati nurani kita sungguh menjadi peka. Memang suatu ironi dengan kondisi kita saat ini di mana secara formal kehidupan beragama di Indonesia sangat meriah, mesjid, gereja dan tempat-tempat ibadat yang lain selalu penuh pada saat umat beribadat, namun di lain pihak penyakit sosial sebagaimana yang telah disebut di atas merajalela. Itulah akibat kalau kita mengalami keterjebakan dalam formalisme, ritualisme dan legalisme agama. Antara kehidupan beribadat dan kehidupan sosial sehari-hari terjadi kesenjangan yang semakin melebar, seperti rela kereta api yang tidak pernah bertemu.
Dalam kondisi seperti ini maka keluarga memperoleh tantangan berat namun sangat strategis – hal ini berkaitan dengan peranan keluarga sebagai pendidik yang pertama dan utama – yaitu bagaimana membekali anak-anak dengan akar (nilai-nilai) yang kuat. Pembekalan ini berlangsung dalam konteks komunikasi keluarga, baik verbal maupun non verbal. Komunikasi verbal terungkap lewat dialog, pembicaraan dari hati ke hati, bukan instruksi, bukan debat, sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, art. 52 sebagai berikut ”Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan , kesepakatan suami isteri, dan kerjasama orangtua yang tekun dalam pendidikan anak-anak”. Komunikasi non-verbal terungkap lewat keteladanan orangtua, dari pengalaman menjadi jelas bahwa pendekatan ini adalah yang paling berdaya-guna. Nilai-nilai mana yang perlu dikomunikasikan? Sebelumnya mungkin baik bila kita mencoba merumuskan terlebih dahulu apa sebenarnya yang kita maksud dengan nilai itu. Nilai itu selalu berkaitan dengan sesuatu yang positif/baik, baik secara moral, dengan menghayati nilai-nilai tersebut maka kita akan menjadi manusia yang utuh. Seorang pemikir Jerman yang bernama Max Scheler (1874-1928) berpendapat bahwa nilai itu suatu kualitas yang bersifat apriori (= untuk menghayatinya tidak memerlukan suatu pengalaman konkret). Selain itu bagi Max Scheler nilai mengenal tingkatan, mengenal hirarki, dari tingkat rendah ke tingkat tinggi. Mulai dari nilai-nilai yang berkaitan dengan kesenangan, kenikmatan, nilai-nilai ini berkaitan dengan yang indrawi. Disusul nilai-nilai yang berkaitan dengan vitalitas atau kehidupan, nilai-nilai ini tidak lepas dari kesejahteraan hidup baik pribadi maupun sosial. Berikutnya ada nilai-nilai yang berkaitan dengan yang-spiritual, kadang-kadang untuk menghayatinya kita perlu ’mengorbankan’ sesuatu misalnya yang berkaitan dengan nilai-nilai tingkat pertama bahkan tingkat yang kedua, umpamanya keindahan, keadilan. Akhirnya nilai tingkat ke empat berkaitan dengan kesucian, dengan yang absolut.
Diane Tillmann dan Pilar Quera Colomina mendaftarkan 12 nilai-nilai sebagai berikut: kedamaian; penghargaan; cinta; kebahagiaan; kebebasan; kejujuran; kerendahan hati; toleransi; kerjasama; tanggungjawab; kesederhanaan dan persatuan. Keduabelas nilai tersebut merupakan nilai-nilai universal yang harus kita perjuangkan bagi terciptanya dunia baru, dunia yang lebih baik, dunia yang kita dambakan. Bagi saya daftar nilai tersebut diatas perlu ditambah dengan satu nilai yang sangat relevan dengan kondisi sekarang, yaitu kepedulian (care) yang tulus dalam konteks relasi dengan orang lain, sebagaimana ditekankan oleh Carol Gilligan dalam bukunya yang berjudul In a Different Voice: Psychological Theory and Woman’s Development (1993).
Kembali ke Nota Pastoral KWI 2004, Gereja Indonesia mengajak kita semua untuk membangun budaya alternatif, Gereja sadar sesadar-sadarnya bahwa ”membangun dan mengembangkan budaya alternatif bukan pilihan yang mudah, karena Gereja sendiri rapuh, tidak mudah memperbaharui diri dari dalam dan Gereja hidup di tengah-tengah masyarakat yang dilanda oleh kekuatan-kekuatan yang merusak itu. Namun dengan membangun dan mengembangkan budaya alternatif, Gereja memperlihatkan bahwa masih ada kemungkinan lain yang dapat dilakukan untuk mengadakan perlawanan terhadap perusakan keadaban publik. Pengembangan budaya alternatif paling ideal dilakukan melalui pendidikan nilai, khususnya bagi orang muda. Melalui pendidikan itu, mereka diajak, diberi kesempatan dan kemungkinan untuk mengalami secara nyata makna kehidupan, kasih sejati, pengampunan dan nilai-nilai yang lain. Dalam hal ini peranan keluarga amat menentukan ” (art.19).
Akhirnya marilah kita tanggapi secara positif ajakan Gereja Indonesia tersebut, agar moralitas sungguh dapat menjadi pelita kehidupan keluarga di dunia, khususnya di Indonesia, dengan berusaha sungguh-sungguh membangun budaya nilai di keluarga kita masing-masing.

Bogor, 27 Januari 2012.