Jumat, 04 Mei 2012

Perkawinan beda agama, mungkinkah dielakkan? Stanislaus Nugroho Salah satu problem yang banyak dihadapi di Keuskupan Bogor dalam kerangka pastoral keluarga adalah perkawinan beda Gereja dan beda Agama. Oleh karena itu waktu saya dilantik oleh bapak Uskup Bogor sebagai ketua Komisi Keluarga Keuskupan Bogor dipesan untuk melakukan pendampingan khusus pada keluarga-keluarga yang dibangun dengan perbedaan iman, entah beda Gereja entah beda Agama. Ternyata pendampingan itu tidaklah mudah kalau tidak mau mengatakan sangat sulit. Ada kesenjangan, entah karena sikap dari keluarga yang bersangkutan entah dari Umat. Bagaimana hal ini harus disikapi? Tulisan ini merupakan suatu usaha berbagi pengalaman melakukan pendampingan keluarga yang perkawinannya ditandai dengan beda Gereja atau beda Agama. Dewasa ini kita hidup dalam suatu dunia yang ’terbuka’ atau kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Kenichi Ohmae (1991) adalah ’dunia tanpa sekat/batas’ (The Borderless World). Mengapa dunia dewasa ini menjadi tanpa sekat/batas? Hal itu disebabkan oleh perkembangan dan kemajuan di bidang teknologi informasi dan transportasi yang sangat mengagumkan. Hal ini menjadi sangat nyata dalam kehidupan bisnis, tetapi juga dalam dimensi-dimensi kehidupan yang lain, seperti dalam hal pergaulan atau relasi antar manusia. Tulisan ini membatasi diri pada dimensi pergaulan atau relasi antar manusia, lebih khusus lagi dalam kaitan dengan relasi antara perempuan dan laki-laki. Dalam kaitan dengan pergaulan antar manusia maka kita sekarang hidup dalam suatu kesadaran akan apa yang disebut dengan ’iklim multikultur’. Dewasa ini kita menyadari suatu kenyataan yang tak terbantahkan, yaitu bahwa kehidupan kita bermasyarakat ditandai dengan adanya perbedaan, entah beda budaya, beda agama, beda kepentingan, beda ideologi, dan lain-lain. Berkaitan dengan itu, maka multikulturisme mencoba menawarkan suatu paradigma yang ditandai dengan ”pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya (termasuk di dalamnya agama) seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Multikulturalisme meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengungkapkan nilai bagi anggota-anggotanya” (bdk. Lawrence Blum, Anti racism, Multiculturalism, and Interracial Community. Three Educational Values for a Multucultural Society, sebuah monograf yang diterbitkan oleh University Of Massachusetts, Boston, 1991). Multikulturalisme diilhami oleh tulisan dari John Stuart Mill ( sebagaimana yang saya kutip di sini ”Hanya melalui perbedaan opinilah, ….. , terletak kesempatan untuk memperlakukan semua sisi kebenaran secara merata” (On Liberty, Indianapolis: Hackett Publishing, 1978, hal. 46). Maka persoalan yang digeluti oleh multikulturalisme tidak lain, adalah “bagaimana mengelola kebersamaan dalam perbedaan?”. Namun – sesuai dengan pengalaman penulis – agar paradigma multikulturalisme itu bisa operasional maka dibutuhkan beberapa sikap yang perlu dihayati dengan tulus, yang pertama adanya sikap terbuka terhadap perbedaan, bahwa perbedaan itu suatu fakta dan fakta yang memperkaya, namun untuk itu kita perlu melengkapi diri dengan kemampuan untuk mengelola perbedaan. Kalau kemampuan mengelola perbedaan tidak kita miliki maka kemungkinan konflik menjadi sangat terbuka. Selain daripada itu juga diperlukan sikap hormat, saya jadi teringat apa yang dikatakan Immanuel Kant (1724-1804) lebih dari dua ratus tahun yang lalu, Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka. Sikap ketiga yang juga perlu kita bangun adalah adanya sikap mau belajar secara kritis. Menerima perbedaan tidak sama dengan menyetujui perbedaan, tapi mencoba menerima perbedaan tersebut untuk dapat saling memperkaya. Saya selalu mengambil contoh sebagai berikut, bila kita mengamati suatu obyek tertentu, maka obyek tersebut bisa diamati dari berbagai sudut. Namun secara pribadi kita tidak bisa mengamatinya dari berbagai sudut sekaligus, hal itu berkaitan dengan kenyataan bahwa kita bertubuh, dengan ketubuhan tersebut maka kita selalu ada pada posisi tertentu, dan sering kita tidak bisa pindah ke posisi lain. Tapi obyek tersebut dapat kita amati secara menyeluruh kalau ada orang-orang lain yang berada pada posisi lain, dan kita mau saling berbagi dengan tulus maka obyek tersebut dapat kita amati secara menyeluruh. Membangun sikap terbuka, sikap hormat, dan sikap mau belajar dengan kritis merupakan suatu pekerjaan rumah seumur hidup yang harus kita lakukan dengan tekun. Selain daripada itu dalam konteks kita sebagai orang beriman maka kita perlu membangun sikap doa, mohon bantuan Tuhan agar kita dapat membangun sikap multikulturalisme dengan tepat. Berkaitan dengan perkawinan yang ditandai dengan adanya perbedaan Agama dan beda Gereja maka kami lebih fokus pada usaha-usaha preventif tanpa melupakan usaha-usaha kuratif. Dari pengalaman melakukan kerasulan pendampingan keluarga maka dengan tulisan ini kami ingin membagikan beberapa tips yang saya pikir perlu kita hayati dan kita laksanakan sebagai orang tua. Yang pertama, keluarga hendaknya berusaha dengan tulus untuk membangun budaya dialog, atau bila menggunakan bahasa yang digunakan oleh Konsili Vatikan II, komunikasi hati penuh kebaikan, karena ’Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami isteri, dan kerjasama orangtua yang tekun dalam pendidikan anak-anak” (Konstitusi Pastoral tentang keluarga di dunia dewasa ini, art.52). Dengan demikian ”Dialog bukanlah transaksi tawar menawar tentang sesuatu untuk mencapai kesepakatan. Dialog juga bukan konfrontasi di mana pihak yang satu mempersoalkan sesuatu dan pihak lain memberi pertanggungjawaban. Dialog juga bukan suatu adu pendapat untuk mencari keunggulan pendapat sendiri dan mengalahkan pendapat lain. Dialog adalah percakapan dengan maksud untuk saling mengerti, memahami, menerima, hidup damai dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dalam dialog, pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan informasi, data, fakta, pemikiran, gagasan dan pendapat, dan saling berusaha mempertimbangkan, memahami dan menerima. Dalam dialog tidak ada monopoli pembicaraan dan kebenaran. Yang ada adalah berbagi dan bertukar informasi dan gagasan. Dari dialog diharapkan terbentuk saling pengertian dan pemahaman bersama yang lebih luas dan mendalam tentang hal yang menjadi bahan dialog” (Agus M. Hardjana, Komunikasi Intrapersonal & Interpersonal, Kanisius, 2003, hal. 104-105). Dengan kata lain berdialog berarti mengkomunikasi diri (perasaan, pikiran perilaku) masing-masing pihak agar dapat timbul saling pengertian dan sekaligus memperkaya. Bila saling pengertian tercapai di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses dialog – dalam hal ini bapak, ibu dan anak-anak – maka tujuan dari komunikasi mereka akan tercapai Yang kedua, sejak dini orangtua perlu membiasakan kehidupan iman yang intens, misalnya dengan membangun kehidupan doa bersama, doa pagi, doa sebelum dan sesudah makan, doa malam sebelum tidur (doa ini sekaligus merupakan doa rekonsiliasi keluarga), betapa indahnya sebelum mengakhiri hari yang bersangkutan diwarnai dengan rekonsiliasi keluarga dihadapan Tuhan. Hal lain yang perlu dibiasakan adalah hadirlah dalam perayaan Ekaristi (yang merupakan pusat kehidupan orang Katolik) bersama sebagai keluarga. Yang ketiga, perlunya orangtua meningkatkan kepekaannya bila anak-anak mereka sudah remaja, lebih-lebih bila sudah menjadi orang muda, berkaitan dengan teman-teman dekatnya. Lakukan dialog yang intensif mengenai kehidupan berkeluarga. Bagi iman kita kehidupan berkeluarga merupakan suatu panggilan untuk hidup sebagai sejoli, sebagai pasangan. Orang tua hendaknya mensharingkan pengalaman mereka membangun kesejolian (Kej.2:24; Mt.19:5; Mk.10:7-8; 1Kor.6:16; Ef.5:31). Dari pengalaman orangtua anak-anak bisa belajar bahwa membangun kesejolian tidaklah mudah, karena harus membangun jembatan yang mampu menghubungkan perbedaan-perbedaan (entah itu perbedaan pendapat, perbedaan minat, perbedaan budaya keluarga masing-masing pasangan, perbedaan pendidikan dan lain sebagainya), maka alangkah indahnya bila tidak ditambah dengan perbedaan agama, dan perbedaan iman, karena agama dan iman merupakan orientasi ke kehidupan masa depan. Yang keempat, dalam kehidupan beriman maka sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa lepas dari kaitan hukum dan ajaran (dalam hal ini khususnya yang berkaitan dengan agama yang kita yakini). Maka orangtua bersama dengan anak-anaknya perlu mempertimbangkan beberapa masalah yang bisa muncul bila perkawinan dilangsungkan antara mereka yang telah dibaptis secara katolik dengan mereka yang yang tidak dibaptis, seperti yang beragama Islam, Hindu Bali, Budha dan lainnya. Dalam tulisan berikut ini saya banyak mengacu pada Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Perkawinan Menurut Islam dan Katolik. Implikasinya dalam Kawin Campur, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 104-105. a. Menurut hukum Gereja Katolik, perkawinan antara seorang katolik dengan seorang Islam, misalnya bukanlah sebuah sakramen, padahal bagi keluarga katolik – sesuai dengan iman dan tradisi Katolik – ”Panggilan dasar dan kerinduan umat manusia akan kebersamaan atau tata kehidupan bersama yang penuh kedamaian dan kebahagiaan justru menemukan jawabannya pada apa yang ditawarkan dan disampaikan oleh iman dan tradisi Gereja dalam sakramen. Kami berpendapat bahwa pengalaman hidup kita sehari-hari memiliki sifat dan ciri sakramental, yakni memuat suatu kesatuan tegangan dari kehidupan bersama Allah yang berlangsung dalam kehidupan manusiawi atau pengalaman kita sehari-hari. Tentu ciri sakramental dari kehidupan bersama kita sehari-hari itu tidak serta merta jelas. Di situlah makna sentalitas Yesus Kristus sebagai sakramen pokok atau indul, serta peranan Gereja yang menjadi sakramen Yesus Kristus menjadi penting” (E. Martasujita, Pr., Sakramen-sakramen Gereja. Tinjauan Teologis, liturgis dan Pastoral, Kanisius, 2003, hal. 7). Biarpun demikian perkawinan antara mereka yang dibaptis secara Katolik dengan mereka yang tidak dibaptis dapat diakui dan diberkati oleh pemimpin Gereja sebagai perkawinan yang sah, setelah mendapat dispensasi dari Uskup. Untuk mendapatkan dispensasi maka ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi (Kan. 1125). Syarat-syarat tersebut adalah 1) pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik. 2) mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik. 3) kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya. b. Hal kedua yang perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh adalah bahwa Gereja Katolik tidak pernah menerima poligami dengan alasan apapun, sedang ijin perceraian hanya dapat diberikan secara amat sulit dan rumit oleh para pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Sebaliknya bagi hukum Islam laki-laki Islam dapat menikahi beberapa perempuan dan menceraikannya apabila ada alasan yang memadai menurut hukum Islam. Maka bila perkawinan antara laki-laki Muslim dengan perempuan Katolik tidak mencapai kebahagiaan, bila sampai terjadi perceraian maka laki-laki Muslim bisa menikah lagi, sedang wanita Katolik hampir tidak mungkin dapat menikah lagi secara Katolik. c. Baik hukum Gereja Katolik maupun hukum Islam sama-sama menuntut para pengikutnya untuk mengikuti hukumnya masing-masing bila para pengikutnya ingin melakukan perkawinan yang sah secara Katolik maupun secara Islam. Baik Katolik dan Islam sama-sama menolak bahwa perkawinan beda agama diteguhkan dua kali, secara Katolik dan secara Islam. Hal ini tentunya mempersulit perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Bila mencari jalan tengah dengan melakukan perkawinan sipil saja juga tidak memungkinkan, karena harus dilakukan secara hukum agamanya dulu baru dicatat di Kantor Catatan Sipil. d. Masalah lain yang muncul dalam perkawinan antara mereka yang beragama Katolik dengan mereka yang beragama Islam adalah dalam hal pendidikan anak-anak. Baik agama Katolik maupun agama Islam sama-sama menuntut para pengikutnya agar mendidik anak-anaknya menurut keyakinan mereka masing-masing. Demikianlah ada empat hal yang perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh sebelum memutuskan untuk menikah dengan beda agama, khususnya dengan mereka yang beragama Islam. Bila keluarga memiliki budaya dialog, dan memiliki iman sebagai akar yang kuat, pengalaman menunjukkan bahwa orangtua mampu memiliki kepekaan yang kuat dan mampu ’mencegah’ anaknya jatuh cinta (perlu diingat mereka yang sedang jatuh cinta sering membuat mereka menjadi ’buta’) pada orang yang berbeda agama. Bogor, awal April 2012