Kamis, 31 Januari 2013

Natal: Ungkapan Solidaritas Allah Pada Manusia

Saya mulai tulisan ini dengan mengutip surat Rasul Paulus yang ditujukan kepada Umat di Filipi, surat tersebut berbunyi sebagai berikut: ”yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia. Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (2:6-8). Ungkapan ini bagi saya menggambarkan sikap Yesus Kristus yang solider dengan kita manusia, dan itu terjadi tentunya dengan kelahiran Yesus ’kecil’ di Betlehem yang kita rayakan pada setiap tanggal 25 Desember. Dengan bersikap solider berarti Yesus mau menjadi senasib dan sepenanggungan dengan kita manusia, dengan satu kekecualian, yaitu dalam hal dosa (Ibr. 4:15). Yesus yang setara dengan Allah mau mengambil rupa seorang hamba dengan menjadi manusia, suatu keputusan yang luar biasa, dan sekaligus merupakan inti iman kristiani: misteri inkarnasi, Allah menjadi manusia dan terlibat dalam perjalanan sejarah manusia. Pola hidup yang mulia ditinggalkan (’.... telah mengosongkan diriNya sendiri, ....’) dengan mengalami pola hidup manusiawi yang penuh dengan kesulitan, penderitaan, ketidakadilan dan lain sebagainya, pola hidup manusiawi tersebut memuncak dengan kematianNya di atas kayu salib di mana sebelumnya Yesus mengalami siksaan yang luar biasa. Berkat pola hidup yang dipilihNya dengan bebas maka ’... Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama’ (Flp.2:9). Berkaitan dengan itu maka Rasul Paulus mengajak Umat Filipi dan tentunya kepada kita sekaliaan saat ini dan yang akan datang ”Hendaklah kamu dalam kehidupan bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp.2:5). Dengan perkataan lain Rasul Paulus minta kepada kita semua agar apa yang dihayati oleh Yesus Kristus tersebut menjadi salah satu norma-hidup sehari-hari bukan hanya sebagai pribadi melainkan juga sebagai persekutuan. Sikap solider Yesus kepada kita juga ditandai dengan adanya suatu misi sebagaimana yang dicatat oleh Penginjil Lukas. Misinya berbunyi sebagai berikut: ”Roh Tuhan ada di atasKu oleh sebab Ia telah mengurapi aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus aku untuk memberikan pembebasan bagiorang-orang tahanan dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan bahwa tahun kesukaan Tuhan telah datang” (Lk.4:18-19). Apa yang menjadi Misi Yesus tersebut ditindaklanjuti baik dengan ajakan ”Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat” (Mt.4:17), pengajaran maupun tindakan, di mana tindakan Yesus diikuti dengan mukjizat, untuk menandakan Allah di tengah-tengah masyarakat. Ajakan ini secara positif ditindak lanjuti oleh Pimpinan Gereja Universal, Paus, dalam hal ini biasanya mengacu pada Paus Leo XIII (1878-1903). Paus Leo XIII memerintah pada saat awal revolusi Industri dimana revolusi industri telah membawa dampak sosial yang sangat besar, khususnya pada kaum buruh industri-industri.pada tahun 1891 Paus Leo XIII menerbitkan ensiklik yang berjudul Rerum Novarum, berkaitan dengan ensiklik tersebut maka tidak kurang selama 70-an tahun (sampai diselenggarakannya Konsili Vatikan II) muncul ensiklik-ensiklik sosial lainnya yang sedikit banyak merupakan komentar dan juga melanjutkan pemikiran Paus Leo III sesuai dengan konteks persoalan yang muncul pada saat masing-masing ensiklik sosial tersebut diterbitkan, kumpulan ensiklik-ensiklik sosial tersebut (termasuk ensiklik sosial yang diterbitkan pada saat Konsili Vatikan II maupun sesudah Konsili Vatikan dan ensiklik-ensiklik sosial setelah Konsili Vatikan II) dikenal sebagai Ajaran sosial Gereja. Ajaran Sosial Gereja yang diterbitkan sampai Konsili Vatikan II dapat dikatakan merupakan suatu pedoman etis yang dikeluarkan oleh Magisterium (Kuasa Mengajar Gereja) berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Pedoman ini lebih berkaitan dengan suatu refleksi filsofis, baru pada saat Konsili Vatikan II terjadi suatu perubahan besar, dari refleksi filosofis ke kembali ke sumber, dengan kata lain kembali ke Kitab Suci. Berbicara tentang keselamatan maka Kitab Suci berbicara baik dari aspek historis maupun aspek totalitas, dan itu berarti bahwa Gereja memiliki suatu kewajiban mendasar untuk ikut terlibat dalam usaha membangun suatu dunia baru, dunia yang lebih baik, yang sesuai dengan rencana Allah. Konsili Vatikan lewat Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Dewasa ini menyatakan dengan tegas bahwa ”.... umat kristiani .... berusaha menunaikan dengan setia tugas-kewajiban mereka di dunia. ...... karena iman sendiri mereka lebih terikat kewajiban untuk menjalankan tugas-tugas itu menurut panggilan mereka masing-masing. ...... Dengan melalaikan tugas kewajibannya di dunia ini orang kristiani melalaikan tugas kewajibannya terhadap sesama, bahkan mengabaikan Allah sendiri, dan membahayakan keselamatan kekalnya” (GS art 43). Dengan demikian umat kristiani memiliki tanggungjawab sosial terhadap sesamanya. Padahal dalam dunia yang penuh gemerlap ini salah satu tantangan terbesarnya tidak lain adalah kemiskinan. Menurut data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada tanggal 20 September 2010 maka hampir setengah dari penduduk dunia – lebih dari 3 miliar orang masih miskin dengan standar hidup kurang dari $2.5 per hari. Sedang di Indonesia menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2012 maka jumlah orang miskin di Indonesia masih berkisar antara 29,13 juta orang atau kurang lebih 11,96% dari seluruh penduduk di Indonesia, namun standar yang digunakan adalah pengeluaran per orang per bulan per kepala kurang dari Rp. 233.740,- atau sekitar Rp. 7.780,- per hari per kepala. Bila kita menggunakan standar Bank Dunia maka jumlahnya akan menjadi lebih dari dua kali apa yang dinyatakan oleh BPS. Padahal karena masalah kemiskinanlah penyakit sosial yang lain menjadi sangat menggejala saat ini, seperti kriminalitas, kekerasan, prostitusi dan lain-lain. Secara makro ekonomi Indonesia memang cukup baik, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 6%, namun masalahnya adalah pemerataan hasil pertumbuhan ekonomi makro tersebut yang masih belum terasa dampaknya, dan salah satu penyebabnya tidak lain adalah mewabahnya korupsi, yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Inilah salah satu penyakit sosial yang perlu ditindak dengan tegas, namun kelihatannya penindakannya berjalan dengan sangat lambat. Gereja juga telah mencoba berperan serta untuk mengatasi masalah kemiskinan, salah satunya dengan apa yang dikenal dengan gerakan Aksi Puasa Pembangunan yang berlangsung setiap tahun pada Masa Prapaskah. Namun saya pikir masih perlu meningkatkan efektivitasnya, lebih-lebih yang berkaitan dengan sosialisasinya, lewat khotbah-khotbah misalnya. Keuskupan Bogor – selain melaksanakan gerakan APP – maka sejak menjelang berakhirnya abad ke 20 mencanangkan apa disebut gerakan Aksi Aven Pembangunan (AAP) yang dilakukan setiap masa adven. Dengan demikian di Keuskupan Bogor berjalan dua gerakan, yaitu APP dan AAP. Dalam pelaksanaannya perlu efektivitas yang lebih tajam dan terarah. Dan kemudian jangan lupa untuk mensosialisasikan program-program yang telah diselenggarakan dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan tersebut. Selain itu sejak tahun 1982 diilhami oleh apa yang disabdakan Yesus ”kamu harus memberi mereka makan” (Mt. 14:13-21) Gereja – secara nasional – juga melakukan gerakan yang dikenal dengan Hari Pangan Sedunia (HPS), gerakan ini telah mulai memasyarakat (dalam Gereja), namun pasti masih bisa ditingkatkan efektivitasnya. Lewat tulisan ini semoga Umat Katolik – tentunya yang mampu – semakin tergerak hatinya untuk meneladani apa yang telah dilakukan oleh Kristus, Sang Kepala Gereja (Gereja yang tidak lain adalah Tubuh Mistik Kristus Yesus), agar kita semakin solider kepada mereka yang masih terpinggirkan. Selamat Natal 2012 dan Selamat Tahun Baru 2013. (Stanislaus Nugroho)