Selasa, 29 November 2011

keluarga

Keluarga: salah satu jalan menuju ke kesucian
Stanislaus Nugroho

Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (selanjutnya akan digunakan singkatan LG) art. 40 menyatakan bahwa ”..... semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih”. Atau dengan kata lain semua orang kristiani dipanggil untuk menjadi suci. Menjadi suci berarti suatu proses menjadi ”sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mt.5:48).
Dalam kehidupan Gereja Katolik dikenal apa yang disebut klerikus, maksudnya para pelayan suci (para uskup, para pastor dan para diakon) dan kaum awam (yang merupakan bagian terbesar anggota Gereja Katolik). Kaum awam sendiri terdiri dari mereka yang berkeluarga dan mereka yang memilih menjadi anggota dari tarekat-tarekat hidup-bakti. Tulisan ini akan memfokuskan diri pada ”keluarga sebagai salah satu jalan menuju ke kesucian”.
Pada suratnya kepada jemaat di Efesus Rasul Paulus menulis dalam konteks kehidupan suami isteri, sebagai berikut: ”......Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya untuk menguduskannya, .....” (5:25-26). Dengan demikian kesucian merupakan sesuatu yang hakiki dari hidup Gereja. Sebagaimana dikatakan oleh Konsili Vatikan II ”..... Gereja ditandai kesucian yang sesungguhnya meskipun tidak sempurna.” (LG art. 48). Atau dengan perkataan lain ”..... Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (LG 1).
Dalam konteks keluarga proses menjadi suci merupakan hasil – salah satunya – dari interaksi antar anggota keluarga, yang diawali dengan seorang laki-laki dan perempuan yang sepakat untuk membangun keluarga baru. Waktu saya masih aktif ’menjadi fasilitator di kursus persiapan perkawinan’ maka saya tidak pernah lupa bertanya kepada calon pengantin, ’apa tujuan anda berdua menikah?’, pada umumnya jawaban mereka selalu ’ingin punya anak’. Jawaban tersebut tidak sama sekali salah, karena sebagaimana kita temukan pada halaman-halaman pertama Kitab Kejadian ada tertulis ’Beranak cucuclah dan bertambah banyak; ....” (Kej. 1:28).
Kemudian pertanyaan saya lanjutkan dengan ’Mengapa Tuhan Yesus tidak mengutip ayat tersebut, tetapi mengutip yang tertulis di Kej. 2:24 ”Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (lihat Mt. 19:4 dan Mk. 10:7). Jawaban pada umumnya ”Tidak tahu”. Saya pikir bagi Yesus tujuan perkawinan pertama-tama adalah ’menjadi satu daging’ atau dengan kata lain menjadi sejoli, akibat kesejolian kita salah satunya adalah mempunyai anak. Sebagai pengikut dan murid Tuhan Yesus maka kita harus mengamini dan menghayati pandangan Yesus tersebut. Itulah rencana Allah yang harus kita realisasikan.
Apa artinya menjadi sejoli? Dalam bahasa Jawa dikenal istilah ”garwa” atau dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai belahan jiwa. Istilah garwa atau belahan jiwa mungkin merupakan penjelasan yang tepat untuk memaknai istilah ’sejoli’. Tapi apakah itu mungkin? Dalam psikologi dikatakan bahwa setiap manusia itu unik, tidak ada duanya. Berarti setiap manusia berbeda, tidak ada yang sama, lebih-lebih antara laki-laki dan perempuan. Apakah bila berbeda tidak mungkin terjadi kesejolian? Yang penting jangan mengartikan kesejolian sebagai kesamaan. Itulah sebabnya – saya pikir – Kitab Suci menggunakan istilah ’menjadi satu daging’. Kesejolian harus dimengerti sebagai saling melengkapi (= komplementer) karena tidak ada manusia yang sempurna. Maka kita sebenarnya harus bersyukur bahwa setiap manusia itu unik, karena lewat relasi yang berdayaguna kita akan menjadi semakin diperkaya dan dapat bertumbuhkembang bersama menjadi pribadi yang semakin mengutuh. Sekarang banyak digunakan istilah’ pasangan suami isteri’ untuk menterjemahkan istilah ’marriage couple’, dan terjemahan itu saya pikir sangat tepat. Menjadi sejoli tidak lain berarti menjadi pasangan suami isteri. Dengan demikian menjadi jelas bahwa ’menjadi pasangan suami isteri’ tidak lain berarti suatu proses, suatu perjalanan panjang yang sangat menantang. Wedding atau pesta nikah itu tidak lain merupakan titik awal perjalanan sebagai pasangan.
Sedang marriage tidak lain berarti suatu perjalanan bersama untuk merealisasikan impian mereka waktu pacaran yang seharusnya sesuai dengan rencana Allah yang sebagaimana kita imani. Maka sering kita perlu melakukan pemurnian terus menerus dalam usaha menjadi pasangan suami isteri. Rasul Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi memberi nasehat yang sangat bagus – maka perlu kita camkan dalam-dalam dalam hati kita. Nasehatnya berbunyi sebagai berikut ”.....hendaklah kamu sehati sepikir dalam satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri, dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Fil. 2:2-4). Hal ini bisa kita realisasikan bila pasangan-pasangan suami isteri dari awal perkawinannya berusaha keras membangun ’budaya keluarga’ lewat dialog. Stephen R. Covey dalam bukunya yang berjudul The 7 Habits of Highly Effective Families (1999) merumuskan apa yang dimaksudnya dengan budaya keluarga sebagai berikut “Kalau saya berkata budaya, yang saya maksud adalah jiwa keluarga itu – perasaannya, getarannya, proses kimianya, iklim atau suasananya di rumah. Ini adalah karakter dari keluarga – kedalaman, kualitas dan kedewasaan dari hubungan-hubungannya”. Dengan perkataan lain, budaya keluarga merupakan kebiasaan-kebiasaan positif yang mewarnai keluarga yang bersangkutan, selain itu budaya keluarga juga merupakan komitmen-komitmen yang disepakati oleh seluruh anggota keluarga dalam mengelola keluarga tersebut untuk merealisasikan impian-impiannya. Dialog bukan sekadar diskusi, bukan tawar menawar, dialog merupakan komunikasi hati.
Apa yang dimaksud komunikasi hati? Komunikasi yang positif dan asertif (= tegas tapi tidak menyakitkan) karena berlandaskan kasih (kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu, ......., 1 Kor.13: 4-7). Hal ini tidaklah mudah, perlu banyak latihan, dan perlu ketekunan. Namun, jangan kawatir, pasangan suami isteri katolik telah diteguhkan dengan sakramen perkawinan, lewat peneguhan tersebut maka pasangan suami isteri katolik telah memperoleh rahmat, pasangan suami isteri katolik telah dikuatkan, mereka telah memperoleh ’kekuatan sebagai pasangan’ (couple power). Maka perlu tetap berusaha keras membangun ’budaya keluarga’ sambil tetap berdoa mohon rahmat. ”Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di-tengah-tengah mereka” (Mt. 18:20).
Perjalanan panjang pasangan suami isteri itu menuju ke mana? Beato Yohanes Paulus II – dalam Familiaris Consortio (1981) memberikan 4 tujuan umum, artinya semua pasangan suami isteri katolik, harus berusaha keras mencapai ke empat tujuan tersebut. Ke empat tujuan itu meliputi:
1) membentuk persekutuan pribadi;
2) mengabdi kepada kehidupan;
3) ikut serta dalam pengembangan masyarakat, dan
4) berperan serta dalam kehidupan dan misi Gereja.
Ke empat tujuan tersebut amat relavan, di mana keluarga saat ini sedang mengalami tantangan yang sangat berat.
Anthony Giddens – seorang sosiolog dunia – dalam bukunya yang berjudul Runaway World (1999) merumuskan tantangan tersebut sebagai berikut ”Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi kita – dalam seksualitas, hubungan pribadi, perkawinan, dan keluarga. Ada sebuah revolusi global yang tengah berlangsung mengenai bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita membangun ikatan dan hubungan dengan orang lain. Inilah revolusi yang merebak dalam takaran yang berbeda-beda di berbagai wilayah dan budaya, dengan banyak perlawanan terhadapnya”.
Membentuk keluarga sebagai persekutuan pribadi merupakan suatu tugas yang sangat peting, mengingat keluarga merupakan ’benteng yang pertama dan yang terakhir’ bagi tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar, seperti kasih, keadilan, kepedulian, kedamaian, penghargaan, kebahagiaan, kebebasan, kejujuran, kerendahan hati, toleransi, kerjasama, tanggungjawab, kesederhanaan, persatuan, dan lain-lain.
Dewasa ini salah satu tantangan yang ada di depan kita adalah munculnya ’budaya kekerasan dan budaya kematian’, penghargaan pada martabat manusia telah mengikis, hidup manusia telah dilecehkan dan direndahkan, hari minggu yang lalu (25 September 2011) ada bom diri, di mana sasarannya adalah tempat ibadat yang sedang penuh dengan jemaat. Maka membangun keluarga yang ’mengabdi kepada kehidupan’ menjadi sangat relevan.
Salah satu tantangan lain yang dewasa ini ada di sekitar kita adalah kemiskinan, kemiskinan membuat sesama kita tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Maka membangun keluarga yang peduli dan mau ikut ambil bagian dalam pengembangan masyarakat, khususnya mereka yang terpinggirkan, merupakan sesuatu yang sangat mulia.
Sebagai orang kristiani (katolik) maka kita dipanggil untuk menjadi ’saksi karya keselamatan Allah’. Konsili Vatikan II lewat Dekrit tentang Kerasulan Awam (art 2) menyatakan sebagai berikut ”Sebab panggilan kristiani menurut hakekatnya merupakan panggilan untuk merasul juga. Seperti dalam tata-susunan tubuh yang hidup tidak satupun anggota bersifat pasif melulu, melainkan beserta kehidupan tubuh juga ikut menjalankan kegiatannya, begitu pula dalam tubuh Kristus, yakni Gereja, seluruh tubuh ’menurut kadar pekerjaan masing-masing anggotanya mengembangkan tubuh’ (Ef.4:16)”.
Itulah panggilan kita sebagai pasangan suami isteri dan para anggota dari keluarga tersebut. Memang seperti dikatakan oleh Beato Yohanes Paulus II, tujuan yang harus dicapai adalah suatu tujuan umum, artinya bagi semua orang katolik yang berkeluarga. Dalam usaha untuk merealisasikannya tentu harus disesuaikan dengan kemampuan keluarga kita masing-masing. Dalam manajemen dikenal istilah smart, merupakan singkatan dari kata specific, measurable, realistic and time. Dengan kata lain tujuan umum tersebut harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi keluarga kita masing-masing.
Akhirnya bila ini semua sudah kita jalani dengan konsisten, maka saya pikir kita telah menempuh jalan Tuhan, dan dengan demikian kita akan sampai pada tujuan akhir kita yaitu bersatu dalam komunitas kudus di sorga. Mari kita bergandengan tangan berjalan bersama untuk memenuhi panggilan kita sesuai dengan situasi dan kondisi kita masing-masing, dan tentunya jangan lupa untuk ’berdoa sebagai keluarga’.




Bogor, 27 September 2011