Selasa, 30 Oktober 2012

KELUARGA = GEREJA RUMAH TANGGA?

Sekitar dasa warsa 70-an abad yang lalu saya mulai mendengar istilah Gereja Rumah-tangga dikenakan kepada keluarga, dan itu sebenarnya berkat Konsili Vatikan II yang – pada Konstitusi Dogmatis tentang Gereja – menggunakan istilah Gereja Rumah-tangga (Ecclesia Domestica) sedang dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam Konsili mengenakan istilah ‘keluarga sebagai ruang ibadat Gereja di rumah’. Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Dogmatis tentang Gereja menyatakan bahwa “Dalam Gereja-keluarga itu hendaknya orangtua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orangtua wajib memelihara mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani” (art. 11). Selanjutnya dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam Konsili Vatikan II menyatakan bahwa ”Keluarga sendiri menerima perutusan dari Allah, untuk menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakannya, bila melalui cinta kasih timbal balik para anggotanya dan doa mereka bersama kepada Allah, keluarga membawakan diri bagaikan ruang ibadat Gereja di rumah (art. 11). Dari kedua kutipan tersebut di atas dapat disimpulkan dua hal. Yang pertama bahwa Konsili Vatikan II mau menunjukkan bahwa peranan orangtua yang utama tidak lain adalah sebagai sepasang katekis bagi anak-anak mereka, terutama dengan memberikan keteladanan dalam hidup sehari-hari. Yang kedua keluarga diharapkan dapat menjadi tanda kasih Allah kepada umat manusia, lewat usaha-usaha mereka membangun sebuah persekutuan hidup dan kasih, dengan demikian maka keluarga dapat menjadi garam dan terang bagi masyarakat di sekitarnya, di mana masyarakat kita sekarang yang hidup dalam abad elektronik dan digital ini mengalami mabuk kepayang terhadap teknologi. Seolah-olah teknologi telah menjadi segala-galanya. Pada Kongres Internasional tentang Keluarga yang diadakan di Milano pada tahun 1981 Eric McLuhan putera dari Marshall McLuhan membawakan sebuah makalah yang berjudul The Family on the Electronic Age mengatakan bahwa ”Dalam abad atom ini, keluarga modern dapat dikategorikan sebagai ’nuclear’ (inti), yang berarti bagian yang paling dasar. Ini berarti bahwa keluarga, seperti atom, mudah terbelah dan disertai dengan penghancuran dan perubahan besar”. Keterpecahan keluarga saat ini bukan lagi sebuah impian melainkan sebuah kenyataan yang nyata dalam hidup kita sehari-hari pun dalam keluarga kristiani sekalipun. Rumah tanggan sudah berubah menjadi rumah kost. Kembali ke tema keluarga sebagai Gereja rumah-tangga maka Katekismus Gereja Katolik, Nusa Indah, 2007, halaman 416 menjabarkan kedua pandangan Konsili Vatikan II tersebut di atas dalam empat nomor, dari 1655 sampai dengan nomor 1658 (bagi mereka yang ingin memperdalam bisa membaca juga Familiaris Consortio,1981, art. 49, 51 – 55, 59, 62-64). Ada baiknya bila penjelasan tersebuat saya kutip di bawah ini: 1655 Kristus memilih supaya dilahirkan dan berkembang dalam pangkuan keluarga Yosef dan Maria. Gereja itu tidak lain dari ”keluarga Allah”. Sejak awal, pokok Gereja sering kali dibentuk dari mereka yang menjadi percaya ”dengan seluruh keluarganya” (Kis.18:8). Ketika mereka bertobat, mereka juga menginginkan, agar ”seisi rumah mereka” menerima keselamatan (Kis.16:31). Keluarga-keluarga yang menjadi percaya ini adalah pulau-pulau kehidupan Kristen dalam dunia yang tidak percaya. 1656 Dewasa ini, di suatu dunia yang seringkali jauh dari iman atau malahan bermusuhan, keluarga kristen itu sangat penting sebagai pusat suatu iman yang hidup dan meyakinkan. Karena itu Konsili Vatikan II menamakan keluarga menurut sebuah ungkapan tua ”Ecclesia domestica” [Gereja-rumah tangga] (LG 11). Dalam pangkuan keluarga ”hendaknya orang tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka ; orangtua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing secara istimewa panggilan rohani” (LG11,2). 1657 Di sini dilaksanakan imamat yang diterima melalui Pembaptisan, yaitu imamat keluarga, ibu, anak-anak, semua anggota keluarga atas cara yang paling indah ”dalam menyambut sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi jkesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif” (LG 10). Dengan demikian keluarga adalah sekolah kehidupan Kristen yang pertama dan ”suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan” (GS 52,1). Di sini orang belajar ketabahan dan kegembiraan dalam pekerjaan, cinta saudara sekandung, pengampunan dengan jiwa besar, malahan berkali-kali dan terutama pengabdian kepada Allah dalam doa dan dalam penyerahan hidup. 1658 Lita harus memperhatikan lagi satu kategori umat, yang akibat situasi nyata kehidupannya – yang sering tidak mereka pilih secara sukarela – begitu dekat dengan hati Yesus dan karena itu patur mendapat penghargaan dan perhatian istimewa dari pihak Gereja, terutama dari para pastor; jumlah besar kelompok orang yang tidak kawin. Banyak dari mereka hidup tanpa keluarga manusiawi, karena mereka miskin. Beberapa orang menanggulangi situasi kehidupan mereka dalam jiwa sabda bahagia, di mana mereka dengan sangat baik mengabdi kepada Allah dan sesama. Bagi mereka semua, harus dibuka pintu , ”Gereja-rumah tangga” dan pintu keluarga besar, Gereja. ”Tidak ada seorang pun di dunia tanpa keluarga. Gereja adalah rumah tangga dan keluarga bagi siapa pun di dunia tanpa keluarga. Gereja adalah rumah tangga dan keluarga bagi sia pun juga, khususnya bagi mereka yang ’letih lesu dan berbeban berat’ (Mt.11:28)” (FC 85). Pada bulan Januari 2011 Konferensi Waligereja Indonesia meluncurkan sebuah buku yang berjudul Pedoman Pastoral Keluarga (selanjutnya akan dikutip dengan PPK) . Buku tersebut merupakan ”... wujud dari kasih pastoral Konferensi Waligereja Indonesia untuk membimbing, mengilahi dan menyemangati keluarga-keluarga dan mereka yang giat dalam kerasulan keluarga. Pedoman ini berisi kerangka pikir, nilai teologis dan moral di hadapan realitas kehidupan sekarang” (PPK, hal.ix-x). Pada halaman 15-18 art. 17 PPK secara khusus berbicara tentang Keluarga adalah Gereja Rumah Tangga. Kalimat pertama menegaskan bahwa ”Berkat Sakramen Baptis, suami isteri dan anak-anak menerima dan memiliki tiga martabat Kristus, yakni martabat kenabian, imamat dan dan rajawi. Dengan martabat kenabian, mereka mempunyai tugas mewartakan Injil; dengan martabat imamat, mereka mempunyai tugas menguduskan hidup, terutama dengan menghayati sakramen-sakramen dan hidup doa; dan dengan martabat rajawi, mereka mempunyai tugas untuk melayani sesama”. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa ”Berkat Sakramen Baptis pula, mereka menjadi anggota dan ikut membangun Gereja. Keluarga bukan hanya merupakan sebuah komunitas basis manusiawi belaka, melainkan juga komunitas basis gerejawi yang mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah. Hidup berkeluarga ini menampakkan hidup Gereja sebagai suatu persekutuan (Koinonia) dalam bentuk yang paling kecil namun mendasar, yang merayakan iman melalui doa peribadatan (Leiturgia), mewujudkan pelayanan (Diakonia) melalui pekerjaan, dan memberi kesaksian (Martyria) dalam pergaulan; semuanya itu menjadi sarana penginjilan (Kerygma) yang baru. Bila kita mempelajari dan merenungkan kutipan-kutipan tersebut di atas maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut: pertama keluarga diharapkan menjadi seminari perdana, di mana orang tua menjadi penabur benih iman pada hati anak-anak mereka lewat cerita-cerita Kitab Suci misalnya, dan yang paling utama lewat keteladanan dalam pengamalan imannya. Dengan demikian keluarga menjadi pusat iman yang hidup. Yang kedua, keluarga diharapkan menjadi wahana bertumbuhkembangnya imamat-umum yang kita terima berkat pembaptisan, maksudnya dengan menyambut sakramen-sakramen, berdoa dan mengkonkretkan kasih (sebagai diungkapkan oleh Rasul Paulus lewat suratnya 1Kor.13:4-7, yang berbunyi ”Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan, sabar menanggung segala sesuatu”) dalam hidup sehari-hari. Yang ketiga keluarga kristiani diharapkan menjadi gambar konkret dari persekutuan umat Allah, yaitu suatu persekutuan hidup dalam iman, harapan dan kasih. Dan yang keempat dan terakhir, keluarga diharapkan – sejak dini – menjadi wahana dalam usaha membangun kepedulian (caring) kepada mereka yang membutuhkan, khususnya mereka-mereka yang terpinggirkan oleh proses globalisasi dan pemujaan pada globalisme sekarang ini, sebagai wujud pewartaan Kabar Gembira sebagaimana diwartakan dan dinyatakan lewat perbuatan konkret oleh Kristus Yesus Tuhan kita. Sebuah tantangan dan sekaligus pekerjaan rumah bagi kita semua sebagai orang Kristiani, yang tidak lain adalah pengikut, murid dan sahabat dari Kristus Yesus. Untuk itu mari kita bergandengan tangan untuk saling meneguhkan dalam usaha komit pada tantangan dan pekerjaan rumah tersebut lewat pelaksanaan tugas-tugas kita sehari-hari secara konsisten, dan tidak lupa untuk mohon rahmatNya. Agar Roh Kudus membuka mata hati kita sekalian dan dengan demikian kita semakin waspada menghadapi tantangan dan hambatan yang ada dihadapan kita dan semakin konsisten untuk membangun keluarga kita sebagai Gereja Rumah-tangga (Stanislaus Nugroho, Aktivis Kerasulan Keluarga)