Sabtu, 30 Juni 2012

Menjadi Indonesia

Menjadi 100% Indonesia dan 100% Katolik Stanislaus Nugroho Saat ini Umat Katolik Indonesia sedang mengalami demam film Soegija, yang sedang diputar di bioskop-bioskop di Nusantara ini. Soegija (1896-1963) adalah nama kecil dari Mgr. Albertus Magnus Soegijapranata, S.J., Vikaris Apostolik Semarang dan kemudian menjadi Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang. Beliau merupakan Uskup Pribumi Indonesia yang pertama. Berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia (SK No. 152/1963), tertanggal 26 Juli 1963 beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang. Judul tulisan ini tidak lain adalah salah petuah atau pesan dari Alm. Mgr. A.M. Soegijapranata, S.J. yang paling mengesan dan sekaligus paling terkenal bagi Umat Katolik Indonesia. Berkaitan dengan tema yang diangkat oleh Majalah Kana untuk bulan Agustus 2012 tidak lain adalah Menjadi Indonesia maka saya pikir renungan tentang petuah atau pesan dari alm. Mgr. A.M. Soegijopranoto S.J. tersebut di atas sangat relevan, lebih-lebih bila kita ingat saat ini negara dan bangsa Indonesia sedang mengalami krisis total, dilanda oleh berbagai macam penyakit sosial yang sedang mewabah. Penyakit sosial itu tidak lain adalah korupsi, kekerasan, kerusakan lingkungan hidup, kemiskinan, penyalahgunaan obat, perilaku seksual yang menyimpang, dan lain sebagainya. Menjadi 100% Indonesia Segala penyakit sosial yang sekarang ini melanda negara kita tercinta ini saya pikir berakar pada egosentrisme, kita terjebak pada kepentingan kita sendiri, baik secara individual maupun secara sosial, namun dalam arti yang sempit, entah itu hanya kelompoknya, sukunya, agamanya, kita kembali pada primordialisme belaka. Padahal para pendiri bangsa dan negara sadar betul bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, maka kita sejak awal mendengar semboyan Bhineka Tunggal Ika. Menjadi 100% Indonesia saya pikir tidak lain berarti menjadi nasionalis (namun bukan nasionalisme yang sempit, seperti seringkali dikatakan oleh Bung Karno, selain nasionalis kita juga perlu menjadi internasionalis, maka Bung Karno membentuk gerakan non-blok pada jamannya). Seorang nasionalis adalah seorang pancasilais, seorang yang menghayati dan mengamalkan Pancasila secara tulus, karena Pancasila adalah The Way of Life-nya negara dan bangsa Indonesia. Seorang pancasilais adalah orang-orang: a).Yang mampu memelihara keutuhan ciptaan, Allah telah menciptakan alam semesta ini dengan kondisi yang sangat baik, dari sesuatu yang chaos menjadi kosmos, ciptaan tersebut diserahkan kepada manusia untuk dimanfaatkan secara bijaksana demi kemaslahatan bersama seluruh umat manusia sampai akhir jaman (bonum commune). Dalam kaitan dengan ini maka beato Yohanes Paulus II pada Centessimus Annus menulis sebagai berikut ”Selain masalah konsumerisme, yang memprihatinkan juga dan erat berhubungan dengannya ialah soal lingkungan hidup. Karena manusia lebih ingin memiliki dan menikmati daripada menemukan dan mengembangkan dirinya, ia secara berlebihan dan tidak teratur menyerap sumber-sumber daya bumi maupun hidupnya sendiri. Dibalik pengrusakan alam lingkungan yang bertentangan dengan akal sehat ada kesesatan di bidang antropologi, yang memang sudah tersebar luas. Manusia, yang menyadari bahwa dengan kegiatannya ia mampu mengubah dan dalam arti tertentu ’menciptakan’ dunia, melupakan bahwa kegiatannya itu selalu harus didasarkan pada pengurniaan segalanya oleh Allah menurut maksudnya semula. Manusia mengira boleh semaunya sendiri mendayagunakan bumi dan menikmati hasilnya, dengan menaklukkannya tanpa syarat kepada kehendaknya sendiri, seolah-olah bumi tidak mengemban tuntutan serta maksud tujuannya semula yang diterimanya dari Allah dan yang manusia dapat mengembangkan, tetapi tidak boleh mengkhianatinya. Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerjasama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya tetapi justru disiksanya (art. 37)”. b). Yang hormat pada harkat dan martabat manusia secara utuh. Allah telah menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya (Kej.1:26-27), maka setiap manusia mempunyai nilai pada dirinya sendiri (bdk. dengan pendapat Immanuel Kant bahwa ’manusia selalu harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka’). Sebagai citra dan gambar Allah maka manusia memiliki kemampuan untuk menentukan diri sendiri (= kebebasan), agar dapat mengungkapkan kebebasannya secara bertanggungjawab maka manusia memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan kemampuan untuk mencari dan menemukan makna hidupnya bersama dengan sesama dan lingkungan hidupnya. c). Yang mampu menegakkan keadilan. Pemikir Romawi kuno yang bernama Celsus mencoba merumuskan keadilan sebagai tribuere cuique suum, ungkapan bahasa Latin ini tidak mudah diterjemahkan, dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai to give everybody his own, maka dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya atau apa yang seharusnya menjadi miliknya. Joseph Pieper dalam bukunya yang berjudul Justice, translated by E. Lynch, London, 1957, hal. 12 menyatakan bahwa ‘keadilan memiliki tiga ciri khas yaitu: bahwa keadilan selalu terarah pada orang lain; keadilan selalu ditegakkan dan keadilan selalu menuntut persamaan (bdk. dengan buku yang ditulis oleh John Finnis, Natural Law and Natural Rights, Oxford, 1980, hal. 161-163). d). Yang mampu bersikap solider terhadap sesamanya, khususnya mereka yang terpinggirkan, yang terlupakan. Saya jadi ingat dalam pepatah bahasa Indonesia kita kenal ungkapan sebagai berikut ’ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, dan ungkapan tersebut menjadi nyata dalam kegiatan gotong royong, bahkan Bung Karno pernah memeras Pancasila menjadi Gotong Royong. e). Yang mampu menghayati prinsip subsidiaritas, sebuah prinsip yang kurang lebih dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk menghargai kemampuan yang dimiliki sesamanya, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, agar apa yang dapat diusahakannya sendiri dapat direalisasikan, namun yang lebih mampu atau yang lebih kuat punya kerelaan dan kesediaan untuk membantu, agar yang lemah atau yang kecil dapat makin sejahtera. f). Yang mampu bersikap fair, John Rawls dalam artikelnya yang berjudul Justice as Fairness (1958) membedakan antara istilah ’just’ dan ’fair’. Just bagi Rawls berarti adil menurut isinya, sedang fair berarti adil menurut prosedurnya, dengan demikian adil dalam arti fair adalah keadilan yang didasarkan pada prosedur yang wajar, tidak direkayasa atau dimanipulasi. g). Yang mampu bersikap demokratis, artinya mampu menyelenggarakan kehidupan bersama yang dapat mencerminkan kehendak rakyat, kehendak umum lewat peran serta, perwakilan dan tanggungjawab sosial, demi mencapai kesejahteraan umum. Menjadi 100% Katolik Pertama-tama kalau kita membaca Kis. 9:31 yang berbunyi ”Selama beberapa waktu jemaat di seluruh Yudea, Galilea dan Samaria berada dalam keadaan damai. Jemaat itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kristus”. Istilah ’jemaat’ sebenarnya terjemahan dari kata Yunani ’Ekklesia Katha Holos, yang juga bisa ditulis dengan Ekklesia Katolikhos, maka kalau mau menterjemahkan secara lebih harafiah maka ayat 31 tersebut harus diterjemahkan sebagai berikut ”Selama beberapa waktu Gereja Katolik di seluruh Yudea, ....... GerejaKatolik itu dibangun dan hidup .....”. Santo Ignatius dari Antiokhia adalah orang yang pertama menggunakan istilah Gereja Katolik, yaitu dalam suratnya kepada umat di Smyrna (lebih kurang tahun 106). Dengan istilah Gereja Katolik maka Santo Ignatius dari Antiokhia ingin menunjuk pada ’Gereja Universal dalam persekutuan dengan Uskup Roma’. Selanjutnya Santo Cyrilus dari Yerusalem (lebih kurang tahun 315-386) dalam Materi-materi katekisasi, XVIII, 26 menulis ”Jika kalian berada di dalam kota-kota, jangan bertanya di manakah Rumah Tuhan, karena sekte-sekte profan lainnya juga berusaha menyebut tempat-tempat mereka sendiri ’rumah tuhan’, jangan juga hanya bertanya di manakah gereja, tetapi bertanyalah di manakah Gereja Katolik. Karena inilah nama khusus dari Gereja Yang Kudus, Bunda kita semua yang adalah mempelai dari Tuhan kita Yesus Kristus, Putera Tunggal Allah”. Katolik merupakan salah satu sifat atau ciri dari Gereja yang didirikan oleh Kristus Yesus. Santo Cyrilus dari Yerusalem berkata ”disebut ’katolik’ karena tersebar di seluruh dunia dari satu ujung ke ujung yang lain”. Dalam kaitan dengan ini maka menjadi 100% Katolik berarti menghayati dan mengamalkan Iman Katolik secara konsisten. Apa isi dari iman katolik tersebut? Pertama-tama pada Gereja perdana yang menjadi iman katolik adalah wafat dan kebangkitan Kristus Yesus sebagaimana dapat kita temukan dalam surat Rasul Paulus kepada Umat di Roma yang berbunyi sebagai berikut ”Jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan (Rom.10:9), lihat juga surat pertama Rasul Paulus kepada Umat di Korintus yang berbunyi ”Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari ketiga, sesuai dengan Kitab Suci” (1Kor.15:3-4). Selanjutnya rumusan iman menjadi lebih lengkap sebagaimana dicatat dalam Kis.10:34-42, karena mencakup juga karya-karya Yesus di depan umum, ”Kamu tahu tentang Yesus dari Nazaret, bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai iblis; dan mereka telah membunuh Dia dan menggantung Dia pada kayu salib. Yesus itu telah dibangkitkan Allah pada hari ketiga, dan Allah berkenan bahwa Ia menampakkan diri”. Menjadi 100% Katolik berarti menjadi pengikut dan murid Kristus Yesus yang menghayati misi Yesus dan melanjutkan apa yang telah dirintis oleh Kristus Yesus sebagaimana dapat kita baca dalam Lk.4:18-19, ”Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”. Dengan demikian menjadi 100% Indonesia dan sekaligus 100% Katolik merupakan sesuatu yang komplementer dan dengan demikian tidak bertentangan satu sama lain, dan sekaligus menjadi pekerjaan rumah seumur hidup bagi para pengikut dan murid Kristus Yesus, sesuai dengan panggilannya masing-masing. Mari kita belajar dan meneladani alm. Mgr. Albertus Soegiyapranata SJ. Bogor, akhir Juni 2012.