Jumat, 17 Desember 2010

pemberdayaan masyarakat marginal

Pemberdayaan Keluarga Miskin Dalam Konteks Globalisasi Ekonomi
Oleh: Stanislaus Nugroho

Sampai dengan akhir tahun 2005 jumlah angkatan kerja di Indonesia adalah 106,9 juta jiwa. Dari jumlah tersebut maka ada 11.654.293 yang merupakan penganggur terbuka, bila mereka masing-masing mempunyai 3 orang tanggungan maka ada 46.617.172 anggota masyarakat Indonesia yang tidak memiliki prospek ekonomis. Di samping itu masih ada 30 juta yang menjadi penganggur setengah terbuka dan 36 juta merupakan penganggur dengan pendapatan di bawah Rp. 150.000,-- per bulan. Dengan perkataan lain sekitar 50% penduduk Indonesia mengalami kondisi ekonomis yang (sangat) memprihatinkan.
Biarpun demikian kita masih boleh berharap bahwa kondisi yang (sangat) memprihatinkan itu akan dapat ditanggulangi, karena pada dasarnya mereka bukan orang yang malas, pada dasarnya sebagian besar dari mereka mau bekerja keras, hanya masalahnya mereka tidak memiliki ketrampilan yang memadai dan tidak memiliki akses ke sistem ekonomi yang berlaku dewasa ini, dengan demikian mereka tidak bisa keluar dari kesulitan mereka. Di lain pihak arus globalisasi ekonomi, di mana sistem ekonominya yang semata-mata berpihak pada kaum kapitalis dan tidak berpihak pada kaum marjinal, menjadi semakin nyata, dan semakin tidak terbendung. Sehingga arus tersebut bila tidak diwaspadai akan dapat mengikis harapan tersebut di atas. Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut di atas maka salah satu jalan yang dapat digunakan adalah dengan membentuk apa yang saya sebut sebagai Paguyuban Swadaya Masyarakat (PSM). Mengapa kita perlu membentuk PSM? Jawabannya jelas bahwa arus globalisasi ekonomi tidak mungkin dihadapi secara perorangan, melainkan harus bersama-sama. Kita harus bergandengan tangan dan maju bersama untuk menyatakan eksistensi kita.
Sebagaimana kita ketahui dewasa ini selain ada Forum Ekonomi Dunia yang mewakili pihak penggagas dan pendorong globalisasi ekonomi, muncullah sebagai pesaing Forum Sosial Dunia (pertemuan terakhir terjadi di Mumbai, India) yang mewakili mereka yang termarjinalisasi, di sini Gereja yang memiliki option for the poor dapat ikut berkiprah. Gereja (sebagai Umat Allah) dapat mendorong terbentuknya PSM dan sekaligus dapat memfasilitasi, memotivasi PSM agar dapat bertumbuhkembang.

Apa itu PSM?
PSM (merupakan komunitas basis yang berfokus pada pembangunan ekonomi sosial/yang manusiawi ) adalah suatu organisasi akar rumput yang demokratis dan partisipatif; yang mengadakan pertemuan secara teratur; melakukan kaderisasi secara terus menerus; pemilihan pengurus dilakukan dari dan oleh anggota; melakukan administrasi secara tertib, teratur dan terbuka; dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program secara partisipatif.
Selain daripada itu PSM berorientasi pada pengaturan ekonomi rumah tangga secara dialogis; peningkatan pendapatan keluarga; pemupukan modal bersama dan pengembangan usaha bersama. Untuk itu perlu membangun wawasan yang terbuka terhadap gagasan-gagasan baru dan terhadap bentuk-bentuk kerjasama yang baru. Dalam kaitan ini Gereja dapat menjadi fasilitator yang handal dalam usaha untuk membangun kader-kader, yaitu orang-orang muda yang memiliki idealisme dan bersedia dididik untuk menjadi pendamping bagi paguyuban swadaya masyarakat, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang. Tanpa pemberdayaan dan pendampingan yang sungguh-sungguh oleh mereka yang memiliki kepedulian dan kemauan untuk berbagi, maka mereka yang termarjinalisasi hampir dapat dipastikan tidak akan mungkin bangkit.

Keberhasilan PSM
Keberhasilan PSM berkaitan dengan tiga faktor yang saling terkait satu sama lainnya. Ketiga faktor tersebut adalah:
1. Faktor-faktor internal, seperti faktor kelembagaan kelompok yang menyangkut masalah keanggotaan, kepengurusan, kegiatan kelompok dan mekanisme kerja kelompok.
2. Faktor-faktor eksternal, seperti faktor lingkungan sosial-ekonomi; hubungan dengan aparat pemerintah se tempat; serta faktor dukungan lembaga bisnis setempat.
3. Faktor-faktor yang berkaitan dengan lembaga-lembaga pendamping, seperti integritas, kompetensi, komitmen dan subsidiaritas dalam usaha mendampingi dan memfasilitasi PSM yang berusaha untuk meningkatkan kemampuannya untuk semakin berhasil (di sinilah peran Gereja (cq kaum muda dan mereka yang masih merasa muda menjadi sangat konkret).

Peranan pendamping dan pendampingan
Pendamping berperan sebagai mitra kelompok, dan bersedia menghadiri setiap pertemuan para anggota PSM. Selain daripada itu pendamping juga berperan sebagai fasilitator dalam usaha membantu kelancaran pemecahan masalah yang dihadapi oleh PSM; selain daripada itu pendamping juga berperan sebagai pembimbing dalam hal berorganisasi, melakukan tertib administrasi, menyusun anggaran belanja dan dalam melakukan usaha bisnis. Pendamping juga harus bersedia untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pengembangan usaha kecil dan juga bersedia tinggal di lokasi binaan. Dengan demikian pendampingan dimaksudkan sebagai upaya memberikan bantuan yang sifatnya teknis agar PSM yang didampingi dapat mencapai dan meningkatkan kemandirian ekonomisnya. Kemandirian merupakan kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri dari kelompok yang didampingi, serta mampu memperhitungkan kesempatan dan ancaman yang ada dihadapannya, serta mampu melihat berbagai alternatif yang ada serta mampu memilih alternatif yang paling tepat.

Langkah-langkah pemberdayaan
Proses penyadaran dan perubahan paradigma baik bagi para mitra PSM (yang tidak lain adalah aparat pemerintah yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dan para pendamping di lapangan) maupun para anggota PSM (end users) sendiri.
Proses penyadaran dan perubahan paradigma bagi para mitra PSM terdiri dari pelatihan-pelatihan yang memungkinkan peserta memiliki paradigma yang utuh dan penuh tentang dirinya, kelompoknya dan pelatihan-pelatihan yang memberikan ketrampilan dasar dalam hal manajemen usaha. Adapun pelatihan-pelatihan tersebut saya susun berdasarkan pengalaman kami, sebagai berikut:
a. Bina pribadi unggul:
Pelatihan ini merupakan suatu pelatihan yang bertujuan untuk menyadarkan para peserta bahwa dirinya memiliki kemampuan-kemampuan yang diberikan secara gratis oleh Sang Pencipta, namun sekaligus sebagai manusia yang tidak sempurna kita juga perlu mengenali kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri kita. Dengan perkataan lain pelatihan ini mengajak para peserta untuk menjawab pertanyaan paling mendasar yaitu “siapakah aku ini”. Pelatihan ini diilhami oleh ungkapan yang ditulis pada kuil dewa-dewi di Delphi, Yunani dan di tempat lain yang berbunyi Gnothi se auton yang kurang lebih berarti kenalilah dirimu sendiri. Dengan pelatihan ini diharapkan para peserta termotivasi untuk mengembangkan kemampuannya dan mengurangi kelemahannya, dan dengan demikian dirinya semakin berkembang baik integritasnya, kompetensinya dan komitmennya dalam membantu orang-orang yang selama ini termarjinalisasikan.
b. Bina pribadi utuh:
Pelatihan ini merupakan suatu pelatihan yang bertujuan untuk menyadarkan para peserta bahwa dirinya adalah makhluk sosial. Artinya dalam usaha mengembangkan dirinya manusia tidak bisa tidak harus bersama dengan orang lain, dengan lingkungan hidup yang sehat. Dalam kaitan dengan itu maka perlu suatu penyadaran akan paradigma yang selama ini dipakai dalam hubungan kita dengan orang lain dan lingkungan hidup, dan kemudian berani melakukan koreksi terhadap paradigma yang selama ini kita anut namun sebenarnya salah.
c. Bina kepemimpinan diri:
Setelah kita menyadari siapa diri kita dan juga telah memiliki paradigma yang tepat tentang orang lain dan lingkungan hidup, maka tibalah saatnya kita sampai pada kesadaran bahwa untuk semakin mengembangkan dan menumbuhkan temuan-temuan selama ini maka kita perlu mengembangkan dalam diri kita suatu kepemimpinan diri, di mana kita mampu mengembangkan kebijaksanaan, keberanian untuk mengambil risiko yang telah diperhitungkan secara tepat, mampu mengendalikan diri dari dorongan-dorongan yang tidak sehat dan mampu bertindak secara adil terhadap relasi kita dengan orang lain dan juga lingkungan hidup.
d. Bina kepemimpinan berdasarkan visi:
Bila kita mampu memimpin diri sendiri dengan mengembangkan empat keutamaan di atas maka kita mampu untuk memimpin (pada setiap tingkatan kepemimpinan) orang lain menuju masa depan yang lebih baik. Masa depan yang lebih baik merupakan cita-cita atau impian seorang pemimpin hendaknya dirumuskan secara realistis, menarik dan dapat dipercaya. Maka dengan pelatihan ini para peserta dilatih untuk dapat merumuskan visinya secara tepat, sehingga dapat menarik para pengikutnya.
e. Bina layanan unggul:
Dewasa ini mutu merupakan salah satu unsur yang paling pokok yang dituntut oleh masyarakat pada umumnya. Namun, mutu berwajah ganda, artinya kita bisa berbicara tentang mutu produk atau jasa tetapi kita juga dapat berbicara tentang mutu pelayanan. Berbicara tentang mutu produk atau jasa kita dibantu oleh kecanggihan teknologi yang bisa kita beli, namun berbicara tentang mutu pelayanan maka kita berbicara tentang mutu manusia. berbicara tentang mutu manusia maka kita akan berbicara tentang sistem pengembangan insani secara terpadu, mulai dari perekrutannya sampai saat orang yang bersangkutan tiba pada saat terminalisasi. Atau perkataan lain kita harus berbicara tentang budaya layanan, lewat pelatihan ini kita akan dilatih untuk sampai pada pengertian, penerapan dan pengembangan budaya layanan yang unggul.

Setelah kita melakukan penyadaran dan perubahan paradigma maka kita perlu membekali para mitra PSM dan para end-users dengan beberapa ketrampilan mendasar, seperti:
1. Dasar-dasar manajemen umum bagi usaha kecil:
Melalui pelatihan ini para mitra PSM dan para end-users dilatih untuk memahami karakteristik usaha kecil di mana produknya adalah khusus, unik dan khusus sehingga tidak akan mengalami persaingan dari usaha besar yang biasa menggunakan pendekatan produksi massal, kemudian usaha kecil cakupan daerah pemasarannya tidak terlalu besar sehingga dapat memahami dengan sungguh-sungguh tabiat dan kehendak konsumen, namun biasanya usaha kecil lemah dalam administrasi dan permodalan. Maka para mitra PSM dilatih untuk dapat memiliki ketrampilan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kekuatan usaha kecil dan sekaligus mampu mengurangi kelemahannya.
2. Dasar-dasar manajemen keuangan:
Salah satu kelemahan dari usaha kecil adalah bidang pengelolaan keuangan, oleh karena itu dengan memperhatikan karakteristik usaha kecil para mitra PSM dilatih untuk mampu mendampingi usaha kecil dalam mengelola keuangannya. Salah satu hal yang paling penting adalah memahami aliran uang dalam usaha kecil dan juga pengendalian biaya dan mampu membedakan macam-macam biaya.
3. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan:
Salah satu tugas seorang pemimpin adalah memecahkan masalah dan kemudian mengambil keputusan. Agar dapat memecahkan masalah dan mengambil keputusan maka seorang pemimpin membutuhkan informasi yang up-to-date, relevan dan akurat dan kemudian dengan kemampuan penalarannya serta pengalamannya pemimpin tersebut dapat mengolah informasi yang diterimanya untuk memecahkan masalah yang dihadapi dan kemudian mengambil keputusan. Tujuan dari pelatihan ini adalah melatih para peserta untuk dapat mengolah informasi yang dimiliki agar dapat memecahkan masalah dan mengambil keputusan secara tepat.
4. Manajemen Keuangan Keluarga:
Salah satu kelemahan pengusaha kecil adalah mencampur-adukkan keuangan usaha dengan keuangan rumah tangga. Selain daripada itu mereka sering terjebak pada paradigma berhemat dulu baru menabung, padahal seharusnya menabung dulu baru berhemat . Melalui pelatihan ini para pengusaha kecil diharapkan dapat mengubah paradigmanya dan memiliki ketrampilan untuk melakukan pengelolaan yang berdayaguna sehingga dapat memperbaiki ekonomi keluarganya.
Demikianlah beberapa butir pemikiran yang dapat saya sumbangkan dalam rangka membangun kesejahteraan bersama, semoga berguna. (Bogor, 16 Nopember 2007).

Pendidikan nilai

Keluarga sebagai wahana yang pertama dan utama dalam proses pendidikan iman dan nilai .
Stanislaus Nugroho

Dewasa ini kita sedang hidup dalam suatu masyarakat/bangsa/negara yang sedang mengalami krisis berkepanjangan, yang diawali dengan krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 dan kemudian menjalar ke hampir seluruh aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, dan yang akhirnya bermuara pada krisis nilai/moral, hilangnya bahkan matinya hati nurani . Berkaitan dengan itu maka tidaklah mengherankan bila KWI melalui Nota Pastoralnya tahun 2004 menyatakan bahwa “Masalah-masalah yang menyangkut ranah publik bangsa Indonesia dewasa ini terdiri dari korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan. Ketiga penyakit sosial ini benar-benar membuat ruang publik tidak berdaya untuk mengembangkan keadaban bahkan meningkatkan jumlah maupun jenis kerusakan-kerusakan lain dalam masyarakat” . Berkaitan dengan itu maka para Uskup mengungkapkan pentingnya keteladanan dan mengusulkan hal-hal yang amat konkret sebagai berikut :
1. “Gereja ingin menjadi sahabat bagi semua kalangan,
2. Gereja ingin mengembangkan modal-modal sosial amat bernilai seperti: kekayaan budaya nasional ….., terutama mengenai keadilan sosial bagi seluruh bangsa, solidaritas, kesejahteraan umum, cinta damai …..
3. Gereja mau ikut serta dalam prakarsa-prakarsa pemberdayaan masyarakat akar rumput …..
4. Gereja ingin mendorong umat yang mampu dalam bidangnya untuk masuk ke dalam jejaring yang sudah terbangun misalnya penggerak swadaya masyarakat, …..
5. Gereja merasa wajib untuk memberi perhatian khusus pada pelayanan pendidikan, …..
6. Gereja menyadari bahwa usaha pembaharuan mesti mulai dari diri sendiri. ….. memberi perhatian pada pembinaan administrasi dan disiplin yang bersih di dalam lembaga-lembaga gerejani sendiri terlebih dahulu.
7. Sementara itu prakarsa-prakarsa lain harus ditemukan dalam pencarian bersama, ….. dalam berbagai komunitas basis, yang terus menerus perlu mengembangkan diri dan merupakan tempat yang subur bagi terjadinya penegasan bersama”.
Berkaitan dengan itu maka sesuai dengan judul tulisan ini maka kami ingin memfokuskan diri pada butir 5, yang berbicara tentang pendidikan, bahkan kami ingin lebih fokus pada masalah pendidikan non-formal, yang dilakukan oleh dan dalam keluarga. Karena bagaimanapun juga keluarga merupakan benteng yang pertama dan yang terakhir dari tegaknya nilai-nilai kemanusiaan dasar, seperti tanggungjawab, kejujuran, kesetiaan, keadilan dan lain-lain. Namun, sebagaimana dicatat oleh Anthony Giddens bahwa “Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi kita – dalam seksualitas, hubungan pribadi, perkawinan, dan keluarga. Ada sebuah revolusi global yang tengah berlangsung mengenai bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita membangun ikatan dan hubungan dengan orang lain. Inilah revolusi yang merebak dalam takaran yang berbeda-beda di berbagai wilayah dan budaya, dengan banyak perlawanan terhadapnya” . Dengan perkataan lain perkawinan dan keluarga mengalami tantangan yang bersifat global. Untuk itu ada baiknya bila kita back to basic, yaitu ke iman kita dan ajaran-ajaran yang telah dikemukakan oleh Gereja, khususnya sejak Konsili Vatikan II.
Konsili Vatikan II melalui Pernyataan tentang Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis) dengan tegas menyatakan bahwa “Karena orangtua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Maka orangtualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama” . Pengakuan terhadap orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama khususnya yang berkaitan dengan iman dan nilai-nilai . Selanjutnya Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini (Gaudium et Spes) menyatakan bahwa “Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan , kesepakatan suami-isteri, dan kerjasama orangtua yang tekun dalam pendidikan anak-anak” . Dengan perkataan lain keluarga hendaknya menjadi sekolah kemanusiaan yang pertama dan utama.
Namun, peranan yang sedemikian hakiki dari para orangtua – dewasa ini – rasanya kurang disadari , lebih-lebih perhatian orangtua dewasa ini sebagian besar tercurah pada masalah ekonomi keluarga, mereka harus mengerahkan tenaga, pikiran dan waktu mereka untuk mendapatkan penghasilan demi kehidupan keluarganya, ‘tidak punya waktu lagi’ untuk berpikir tentang ‘pendidikan’ anak-anaknya dan relasinya baik sebagai suami-isteri maupun sebagai orangtua. Rumah tangga telah berubah menjadi rumah kost. Relasi antar pribadi, yang akrab, mesra dan bertanggungjawab sering sudah menjadi barang luks, yang sulit diperoleh karena sudah sangat ‘mahal’ untuk diperoleh.
Padahal Linda & Richard Eyre dalam bukunya dengan tegas menyatakan bahwa “Rumah atau keluarga tidak akan pernah – tidak boleh – dan tidak dapat digantikan sebagai lembaga tempat nilai-nilai dasar dipelajari dan diajarkan. Anak-anak boleh tumbuh dan akhirnya mengembangkan nilai-nilai yang berbeda dari nilai-nilai anda, juga berbeda dari yang anda coba ajarkan kepada mereka; tetapi paling tidak mereka akan berbuat demikian dengan sadar, menggunakan nilai-nilai anda sebagai pembanding dan titik tolak untuk tinggal landas. Jika anak-anak berangkat dari kondisi tanpa nilai – tanpa seorangpun yang mengajari, tanpa sesuatu yang dapat dipelajari – mereka akan terkatung-katung tak tentu arah, dan hidup mereka tidak akan pernah menjadi milik sendiri” .
Dewasa ini – saya pikir – sudah cukup sulit untuk menemukan orang tua menjadi pendongeng bagi anak-anak mereka pada saat anak-anak mau tidur, menjadi pendamping bagi anak-anak mereka pada saat anak-anak menonton televisi dan bermain komputer, mengajak anak-anak berbagi pengalaman sehari-hari, mengajak anak-anak berdiskusi tentang masalah-masalah sehari-hari. Padahal melalui hal-hal kecil tersebut orangtua bisa melakukan komunikasi nilai dan iman. Berkaitan dengan ini maka saya teringat pada seorang pendidik yang sangat terkenal, yaitu Pater Christopher Gleeson, SJ yang menulis “Dalam kehidupan ini hanya terdapat dua hal yang dapat kita berikan – kita, orangtua dan guru – yakni akar dan sayap. ….. Memberikan akar kuat untuk kehidupan kepada anak-anak muda berarti (a) memberikan kepada mereka seperangkat nilai yang akan menolong mereka untuk menghadapi badai kehidupan yang terhindarkan, (b) berarti memisahkan mana yang pokok, mana yang bukan pokok, mana barang yang sesungguhnya, mana yang hanya merupakan bayangan, dan (c) berarti membeda-bedakan mana yang abadi mana yang hanya berupa mode. ….. sayap, mengenai kebebasan, anugerah besar yang dapat kita berikan kepada anak-anak muda kita. Namun kita harus mengingatkan diri kita bahwa kebebasan dapat dengan mudah diidealisasikan dan diromantisasikan sebagai kemerdekaan tanpa beban, tanpa kewajiban. Dalam kenyataannya kebebasan merupakan pengorbanan yang jauh lebih susah dimengerti dari pada nilai-nilai. Mengapa? Karena kebebasan sebenarnya adalah usaha tak kunjung henti dalam diri kita untuk secara bertanggungjawab memilih nilai-nilai yang kita hargai, kita junjung tinggi di dalam hati dan untuk selalu setia membela nilai-nilai itu. Nilai dan kebebasan adalah dua sejoli yang tak dapat dipisah-pisahkan. Nilai dan kebebasan itu layaknya sebuah buku pribadi. Dari sini kita belajar nilai dan kebebasan dari orang-orang yang mengilhami kita, yang menawan hati kita, yang memiliki akar kuat dan yang menemukan sayap untuk menjadi dirinya sendiri di dalam kehidupan. Oleh karenanya mengajarkan nilai dan kebebasan secara luas adalah tindakan luhur, suatu latihan dalam ilham”. Persoalannya bagaimana itu bisa dilaksanakan oleh para orang tua? Memang perlu pelatihan untuk menjadi orangtua yang berdayaguna, mengingat selama ini belum pernah ada ”sekolah” menjadi orang tua, menjadi orangtua semata-mata berlangsung dengan pendekatan ”trial and error”. Dalam dunia yang begitu cepat berubah yang menimbulkan tantangan tidak kecil maka pendekatan ”trial and error” sungguh sangat tidak memadai.
Berkaitan dengan itu maka saya punya impian sebagai berikut ”setiap lingkungan mengirim 1 sampai 2 orang ke Komisi Keluarga Keuskupan Bogor (yang mulai tahun 2008 akan menyelenggarakan pelatihan secara periodik), agar mereka siap menjadi tim tingkat Paroki. Mereka kemudian menyelenggarakan pelatihan-pelatihan di parokinya kepada pengguna terakhir yaitu keluarga-keluarga , yakni keluarga-keluarga kristiani di akar rumput. Memang kami sadar untuk melakukan ini semua dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun bila kita ingin membangun ”habitus baru” atau ”budaya alternatif” maka marilah kita jadikan program ini sebagai program yang diprioritaskan , lebih-lebih Keuskupan Bogor dalam SagKi 2005 menjadi pendidikan nilai dalam keluarga sebagai salah satu fokus gerakan, selain itu masih ada dua yang lain yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat marginal dan kerukunan hidup beragama.

Bogor, 24 Juni 2007

Sabtu, 30 Oktober 2010

keluarga

KOMUNIKASI SUAMI - ISTERI
Stanislaus Nugroho

Lebih dari 40 tahun yang lalu dalam sebuah tulisan yang ditulis oleh Editor majalah Personnel Journal dan berjudul The Number One Problem tertulis kata-kata sebagai berikut “…..persoalan dunia saat ini dapat diringkaskan dengan satu kata, yaitu komunikasi” . Kata-kata tersebut saya pikir tetap masih sangat relevan dan aktual saat ini. Persoalan komunikasi sudah hampir merambah segala aspek kehidupan manusia. Masalah ini sangat aneh, mengingat manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial dan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi.
Biarpun, kita sekarang ini hidup pada jaman di mana tersedia begitu banyak alat-alat komunikasi yang sangat canggih, namun, rupanya letak masalah bukan pada tersedia atau tidak peralatan komunikasi yang sangat canggih, tapi pada bagaimana kita harus berkomunikasi secara canggih. Rupanya kita masih perlu belajar banyak tentang bagaimana kita harus berkomunikasi, tentang apa yang harus dikomunikasikan, dan tentang kapan kita harus mengkomunikasinya. Tulisan ini akan mencoba mengungkap persoalan-persoalan tersebut, namun sebelumnya perlu juga dibahas tentang hambatan-hambatan berkomunikasi dan apa itu komunikasi.

Apa itu komunikasi?
Ada begitu banyak definisi tentang komunikasi, hampir setiap ahli memberikan definisinya sendiri-sendiri , namun pada kesempatan ini saya ingin mengikuti definsi yang diberikan oleh John Powell. John Powell mendefinisikan komunikasi sebagai “saling memberikan sesuatu sehingga sesuatu tersebut menjadi milik bersama” . “Sesuatu” itu bisa bermacam-macam, hanya sekadar basa-basi/sopan santun, seperti “selamat pagi”, “mau ke mana”, dan lain-lain. Sesuatu itu bisa sekadar bahan untuk ngrumpi/nggosip, biasanya sangat asyik, namun sebenarnya tidak memperkaya diri kita bahkan bisa menimbulkan masalah karena salah pengertian sehingga ada yang tersinggung, dan lain-lain. Sesuatu itu bisa merupakan bahan untuk berdiskusi, biasanya membuat suasana menjadi hangat dan ramai sekaligus juga memperkaya diri kita, namun masih sebatas ide, gagasan, dan belum sampai pada situasi diri kita yang terdalam. Sesuatu itu adalah perasaan yang sedang dialami oleh seseorang, itu berarti yang bersangkutan membagikan situasi dan kondisi dirinya yang paling dalam. Perasaan seseorang merupakan tanda dari gejolak dirinya sekaligus merupakan ungkapan spontan atas peristiwa yang dialaminya, atau sesuatu, atau orang lain yang dihadapinya. Selain daripada itu perasaan bersifat netral, artinya tidak berkaitan dengan benar atau salah, baik atau buruk, dengan kata lain perasaan bersifat amoral (tidak memiliki kaitan dengan moralitas). Yang terakhir sesuatu itu adalah diriku sendiri, dengan perasaan, pikiran dan perilakunya yang khas, saya mau berbagi dengan yang lain sedalam mungkin. Kemauan ini mengandung risiko, bagaimana kalau orang lain akan menertawakan, mencemooh dan menolak aku. Namun, di lain pihak muncul juga kepercayaan bahwa yang lain akan menerima aku, karena di antara kita ada persahabatan, ada kasih.
Bila kita mampu mengkomunikasikan perasaan dan atau diri sendiri, maka kita memasuki tahap komunikasi yang paling mendalam dan paling memperkaya diri kita masing-masing. Dengan mengkomunikasikan diri kita sendiri maka relasi kita dengan orang lain akan menjadi semakin hidup dan menghidupkan. Bahkan John Powell dengan tegas mengatakan bahwa “nilai keberadaan kita sebagai manusia terletak pada relasi kita dengan orang lain”. Namun, untuk sampai pada komunikasi ditingkat perasaan dan atau diri sendiri (self-disclosure) maka kita harus dapat mengatasi hambatan-hambatan yang akan kita alami dalam berkomunikasi.

Hambatan-hambatan berkomunikasi
Hambatan pertama berpangkal pada hakekat manusia itu sendiri, yang tidak lain adalah seorang pribadi yang unik, dengan latar belakang seksualitas, budaya, tradisi, pendidikan, perhatian dan minat yang berbeda-beda. Dengan perkataan lain kita masing-masing adalah ego, yang dengan mudah bisa menjebak kita pada sikap egosentrisme. Berkaitan dengan itu maka dalam berkomunikasi masing-masing manusia pasti memiliki filternya sendiri-sendiri.
Hambatan yang kedua berkaitan dengan masalah bahasa, ada banyak bahasa, dialek, bahasa prokem, bahasa sms yang tidak mudah untuk dimengerti dan sering menimbulkan salah pengertian.
Hambatan yang ketiga berhubungan dengan masalah psikologis. Kondisi psikologis seseorang tidak selalu positif, dalam kondisi psikologis yang negatif maka seseorang bisa saja bersikap tidak bersahabat, tidak menaruh perhatian, sehingga relasinya dengan orang lain cenderung kurang baik.
Hambatan yang keempat berkaitan dengan hambatan fisik, misalnya ada suara yang sangat bising, ada suara halilintar dan lain sebagainya, sehingga mengganggu komunikasi yang sedang berlangsung.
Hambatan-hambatan tersebut di atas ada yang mudah ditanggulangi dan ada yang sulit ditanggulangi, yang relatif mudah diatasi adalah hambatan fisik, sedang yang relatif sulit diatasi misalnya yang berkaitan dengan hambatan psikologis, dan hambatan yang berkaitan dengan proses filterisasi dalam diri seseorang.
Berkaitan dengan hambatan-hambatan tersebut di atas maka kita perlu mewaspadai situasi dan kondisi kita dan kawan bicara kita, baik yang ada di luar maupun yang ada di dalam diri kita sendiri dan kawan bicara kita, agar kita dapat mengurangi hambatan-hambatan tersebut dan akibat-akibatnya berkaitan dengan komunikasi yang sedang kita lakukan dengan seseorang. Dengan perkataan lain kita memiliki ketrampilan mengelola diri kita sendiri dan orang lain.

Sikap-sikap yang diperlukan agar dapat berkomunikasi dengan baik
Menurut John Powell ada tiga sikap yang diperlukan agar dapat berkomunikasi dengan baik. Ketiga sikap tersebut tidak lain adalah:
1. Sikap mau terlibat dengan orang yang sedang berkomunikasi dengan kita, kita harus terlibat, lebur dan menyatu dengan komunikan lewat komunikasi.
2. Sikap mau menjadi karunia bagi sesama. Artinya kita harus memiliki keyakinan bahwa diri kita merupakan karunia bagi orang lain, dan bahwa dengan membuka diri sendiri, orang lain menjadi karunia bagi diri kita.
3. Sikap jujur terhadap diri sendiri, dengan kata lain kita harus merasa pasti bahwa kita jujur terhadap diri kita sendiri. Almarhum Dag Hammarskjold, mantan Sekretaris Jendral PBB mengatakan bahwa kita telah sangat maju dalam menyelidiki angkasa luar, tetapi kemajuan itu tidak diimbangi oleh kemampuan yang sejajar dalam menyelidiki dunia batin kita. Bagi Dag Hammarskjold perjalanan terpanjang dari setiap orang adalah perjalanan memasuki batinnya sendiri. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Dag Hammarskjold dapat kita temukan juga dalam drama Hamlet , di mana Polonius yang tua menasehati puteranya, Laertes: yang paling penting: kamu harus jujur terhadap dirimu sendiri; seperti kepastian siang mengganti malam, kamu akan diterima oleh orang lain.

Bagaimana kita melakukan self-disclosure?
Melakukan self-disclosure merupakan suatu kegiatan yang paling sulit, bukan karena tidak mampu, melainkan karena tidak mau. Self-disclosure menimbulkan kekawatiran, ketakutan kalau-kalau nanti tidak diterima oleh orang lain. Oleh karena itu kita senang dan sering terjebak untuk menggunakan topeng. Kita sering terjebak menjadi Dasamuka (tokoh wayang yang berwajah banyak). Padahal menggunakan topeng itu berat dan sering membuat kita tidak konsisten karena keterbatasan kita sendiri, maka akhirnya kita merasa malu, ketahuan bahwa kita tidak jujur baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
Berkaitan dengan itu ada baiknya bila kita menyimak apa yang telah dikatakan oleh John Powell dan kemudian mencoba melatihnya. John Powell memberikan beberapa nasehat, sebagai berikut:
1. Bertanggungjawab atas sikap dan perbuatan kita, maksudnya dalam membuka diri kepada orang lain kita harus bertanggungjawab atas sikap dan perbuatan kita, sebagai konsekuensi, pernyataan kita harus menggunakan kata saya dan bukan kamu (I-message, dan bukan you-message).
2. Hendaknya kita bersikap rendah hati, artinya kita harus berbicara hanya atas diri sendiri. Dalam berkomunikasi kita harus juga menjelaskan bahwa yang kita katakan adalah hal yang kita anggap benar, bukan kebenaran itu sendiri, bukan kebenaran mutlak.
3. Keterbukaan emosional, artinya kita harus mengungkapkan semua perasaan kita yang utama kepada orang yang sedang kita ajak menerima pengungkapan diri kita. Perasaan-perasaan kita adalah unik dan merupakan ungkapan situasi diri kita pada suatu saat tertentu.
4. Berani bersikap jujur terhadap kekurangan diri sendiri, artinya kita harus berani saling mengungkapkan kelemahan kita masing-masing. Dengan bersikap jujur terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain, maka kita akan merasa sehat dan lengkap. Selain daripada itu dengan membuka kelemahan dan cacat saya, ketakutan dan ketidakdewasaan saya, sikap pura-pura dan tidak bersungguh-sungguh saya, akan menghilangkan kecemasan saya.
5. Berani berterimakasih kepada orang lain, artinya kita harus berani mengungkapkan rasa terima kasih kita kepada mereka yang telah bersedia mendengarkan kita. Dengan mendengarkan maka mereka telah memberi kesempatan kepada kita untuk bebas menjadi diri kita sendiri, mereka juga telah bersedia mengesampingkan kepentingannya sendiri dan memberi kepada apa yang paling kita butuhkan, yaitu pengertian dan perhatian yang penuh.

Bagaimana menjadi pendengar yang baik?
Epictetus, seorang filsuf Romawi yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi, pernah berkata “Alam telah menciptakan manusia dengan satu mulut dan dua telinga, dengan maksud untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara”. Namun dalam kehidupan sehari-hari kita lebih senang berbicara daripada mendengarkan.
Padahal kita percaya dan yakin bahwa mendengarkan memang merupakan kunci menuju komunikasi yang produktif (komunikasi yang saling memperkaya baik komunikator maupun komunikan), namun di lain pihak kita mengalami bahwa mendengarkan itu sulit dan oleh karena itu membutuhkan usaha yang sangat besar agar dapat mendengarkan dengan baik. Sekali lagi pada tulisan ini kami ingin mengungkapkan pandangan dan sekaligus nasehat dari John Powell sebagai berikut:
1. Hadir dan terbuka bagi orang lain, artinya kita berani untuk hadir sebagai pribadi dan terbuka bagi orang lain yang ingin mengungkapkan dirinya kepada kita. Keberanian itu bukan barang jadi, melainkan memerlukan latihan, agar hati kita dapat menjadi tanah yang subur bagi orang lain. Agar kita dapat mengerti orang lain dengan sungguh-sungguh maka “kita harus berjalan dengan menggunakan sepatu orang itu sejauh satu mil pertama dari seluruh pejalanan” . Bahkan John Powell dengan tegas mengatakan “agar dapat mengenakan sepatu orang lain tersebut, maka kita harus terlebih dahulu menanggalkan sepatu kita sendiri, kita harus berusaha sungguh-sungguh untuk ‘keluar’ dari diri kita sendiri, mengosongkan diri kita dari semua hal lain, agar kita dapat hadir dan terbuka untuk orang lain” .
2. Menerima orang lain, artinya kita harus berani menerima orang lain sebagaimana adanya. Berusaha merubah orang lain akan membuat kita menderita penyakit tiga “S” (stress, stroke dan strip).
3. Mendengarkan orang lain, artinya kita harus mendengarkan dengan penuh perhatian untuk mengenal ‘pergolakan batin’ orang lain.
4. Tidak dapat menduga orang lain, artinya kita jangan sampai terjebak oleh perasaan dalam menduga maksud dan motif orang lain.
5. Tanggapan yang meyakinkan, artinya kita harus menunjukkan empati (= keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain ) dan sikap yakin ketika orang lain mengungkapkan diri kepada kita.
6. Mendengarkan dengan hati dan pikiran, artinya kita harus mencari kejelasan pesan yang disampaikan, mencoba untuk mengerti arti diri orang lain secara tepat.
7. Menyarankan dan bukan memutuskan, artinya dalam berperan sebagai pendengar, kita hanya menawarkan saran(-saran), bukan menentukan arah yang harus ditempuh.
8. Mengatasi hambatan komunikasi, artinya sebagai pendengar kita harus mengatasi semua hal yang bisa menghambat komunikasi.
9. Berterima kasih kepada orang lain, artinya kita harus secara terus terang berterima kasih kepada mereka yang telah mengungkapkan dirinya kepada kita.

Bagaimana kita dapat meningkatkan mutu komunikasi antar-pribadi?
Berkomunikasi bukan barang jadi, melainkan suatu proses yang berlangsung terus menerus, suatu pekerjaan rumah seumur hidup. Oleh karena itu kita harus selalu berusaha meningkatkan mutu komunikasi kita dengan orang lain, dalam hal ini dengan pasangan kita. Salah satu kesulitan yang khusus dihadapi oleh pasangan suami isteri, adalah ‘merasa sudah kenal pasangan kita’. Padahal manusia adalah ‘misteri’ , begitu pendapat Gabriel Marcel, seorang pemikir Perancis yang sangat terkenal. Maka ada baiknya kita mengikuti beberapa pendapat dan nasehat dari John Powell , sebagai berikut:
1. Waktu khusus dan bermanfaat, artinya komunikasi yang baik menuntut agar para komunikator menggunakan waktu yang khusus dan tepat. Waktu yang khusus dan tepat berarti tidak ada ketergesaan dan tidak ada hiruk pikuk di sekitar kita. Waktu yang khusus, tepat dan cukup, memungkinkan kita dengan tenang memilih kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang sedang kita pikirkan dan rasakan.
2. Sentuhan dalam komunikasi, sentuhan (bahasa badan) merupakan salah satu bentuk komunikasi yang penting. Sentuhan menjembatani perasaan terasing dan kesepian kita. Seringkali sentuhan jauh lebih efektif daripada kata-kata.
3. Meluaskan wawasan, artinya untuk menjadi komunikator yang baik kita harus mempunyai wawasan yang luas, melampaui daerah aman kita. Dengan demikian meluaskan wawasan berarti keluar dari daerah aman kita. Meluaskan wawasan menuntut suatu pikiran dan kemauan yang kuat.
4. Meminta maaf, artinya kita harus bersedia minta maaf kalau permintaan maaf itu tepat dan berguna. Pada umumnya, kita sulit untuk menyatakan permintaan maaf. Ada perasaan takut yang begitu mencekam sehingga suatu pengakuan yang jujur atas segala kesalahan kita sulit kita ungkapkan.
5. Menghindari ketegangan, kita harus bersungguh-sungguh menghindari bertumpuknya ketegangan. Kita membebani diri kita sendiri, jika kita menolak mengungkapkan masalah kita dalam suatu komunikasi yang terbuka.
6. Mengatasi krisis komunikasi, artinya kita harus dapat melihat krisis sebagai awal perkembangan .
7. Cinta dan komunikasi, cintakasih haruslah selalu menjadi motif komunikasi, baik ketika berbicara maupun ketika mendengarkan. Cintakasih sesungguhnya tidaklah buta, hanya kita yang sedang jatuh cinta seringkali membutakan diri sendiri. Cintakasih merupakan suatu pandangan yang seksama dan mendalam. Seseorang yang penuh cintakasih mampu melihat segala sesuatu pada orang yang dicintainya, yang tidak kelihatan oleh orang lain. Cintakasih dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh ‘mata biasa’.
8. Mohon penerangan dan keberanian pada Allah, artinya kita harus selalu tidak lupa untuk berdoa memohon penerangan dan keberanian agar dapat dan mampu berkomunikasi dengan baik.

Langkah-langkah komunikasi yang berdayaguna
Agar kita bisa melakukan komunikasi yang berdayaguna, maka kita hendaknya melakukan komunikasi “I-message”, komunikasi I-message terdiri dari tiga tahap dan tujuh langkah. Ketiga tahap tersebut adalah tahap mawas diri (awareness-stage), tahap membeda-bedakan (discernment-stage) dan tahap komitmen (commitment-stage). Pada tahap mawas diri kita mencoba menyadari ketiga aspek tindakan kita, yaitu aspek perasaan, aspek pikiran-spontan dan aspek perilaku-spontan. Kesadaran ini terbentuk melalui usaha menggali, merumuskan dan mengungkapkannya secara jujur, selain daripada itu dalam tahap pertama ini kita juga berusaha menyadari bahwa sebenarnya kita memiliki pilihan-pilihan dalam berperilaku, dalam usaha memenuhi kebutuhan kita secara bertanggungjawab. Selanjutnya dalam tahap membeda-bedakan kita berusaha secara lebih mendalam memeriksa apakah cara saya memenuhi kebutuhan-kebutuhan sebagaimana saya sadari pada tahap pertama itu sudah baik, apakah saya menggunakan topeng (tidak jujur) semata-mata demi memenuhi kebutuhan saya saja, pada tahap ini saya berusaha melakukan self-disclosure, berusaha membuka diri sendiri dan bersedia berubah demi relasi dan rencana Allah. Akhirnya, dalam tahap ketiga, tahap komitmen, pada tahap ini saya berfokus pada relasi, pada keseimbangan pemenuhan kebutuhan dan pada rencana Allah, saya berusaha untuk mengamininya.
Tahap pertama mengandung tiga langkah, yaitu temukan dan ungkapan perasaan yang sedang dominan dalam diri kita; kemudian temukan dan ungkapkan pikiran yang menyertai perasaan yang sedang dominan tadi; akhirnya temukan dan ungkapkan perilaku yang mnyertai perasaan dan pikiran tersebut.
Tahap kedua mengandung dua langkah, yaitu temukan dan ungkapkan kebutuhan pokok batiniah (kebutuhan akan cinta, kebutuhan akan harga diri, kebutuhan keterlibatan atau menjadi bagian, dan kebutuhan akan otonomi diri) yang mana yang sedang goncang, karena tidak terpenuhi dalam diri kita berkaitan dengan tahap pertama. Selanjutnya temukan dan ungkapkan usaha kita untuk memenuhi kebutuhan pokok batiniah tersebut di luar relasi atau usaha kompensasi yang justru semakin menjauhkan relasi kita dengan pasangan.
Tahap ketiga mengandung dua langkah, yaitu temukan sebanyak mungkin perilaku alternatif untuk mengatasi/memenuhi kebutuhan pokok batiniah tersebut dalam kerangka relasi, dan langkah terakhir adalah pilihlah yang terbaik menurut anda, karena dengan melakukannya relasi anda dengan pasangan akan menjadi baik kembali (what can I do better now?)



Penutup
Dengan demikian menjadi jelas bahwa komunikasi merupakan suatu kata kerja, komunikasi berarti melakukan sesuatu, oleh karena itu komunikasi tidak lain daripada suatu ketrampilan. Sebagai ketrampilan komunikasi membutuhkan latihan terus menerus, dengan demikian komunikasi merupakan suatu pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan seumur hidup. Tanpa latihan, kita tidak akan pernah dapat berkomunikasi secara tepat dan baik serta berdaya guna. Berkomunikasi dewasa ini menjadi lebih sulit karena hidup manusia mengalami perubahan secara terus menerus, dikarenakan kemajuan yang luar biasa di bidang teknologi informasi, yang membuat kita sering berpikir bahwa berkomunikasi itu mudah. Saya pikir merupakan suatu kesalahan besar bila kita terjebak pada pembuatan bingkai, kita terjebak pada stereo-type yang kita ciptakan tentang seseorang, dalam hal ini pasangan kita. Kita harus berlatih untuk menjadi tanah yang subur pada saat kita menjadi pendengar, di lain pihak kita juga harus berlatih untuk menjadi penabur yang trampil pada saat kita menjadi pembicara .

Bogor, 15 Juli 2009

etika bisnis

Etika bisnis. Beberapa Catatan Pendahuluan
Oleh: Drs. Stanislaus Nugroho, M.Hum.

Dewasa ini kita semua hidup dalam situasi dan kondisi yang ditandai oleh perubahan yang sangat cepat, sehingga pada saat ini yang pasti adalah ketidakpastian. Salah satu pemicu dari perubahan yang sangat cepat tersebut adalah bisnis. Pemicu yang lain adalah kemajuan dan perkembangan sains serta teknologi pada umumnya dan khususnya teknologi di bidang komunikasi dan transportasi. Perubahan yang sangat cepat ini membawa konsekuensi baik yang positif (bagi mereka yang bisa mengakses dan mengendalikannya maka hidupnya makin nyaman) maupun yang negatif (bagi mereka yang tidak mampu mengakses dan mengendalikannya maka hidupnya semakin kehilangan pegangan dan menderita kebingungan). Berkaitan dengan itu maka pada kesempatan ini kita akan mencoba membicarakan masalah-masalah tersebut dengan fokus pada bisnis. Mengapa?
Karena setiap keputusan bisnis (baik yang berkaitan dengan aspek ekonomis, aspek hukum maupun aspek etika) membawa dampak yang sangat besar, baik bagi pebisnis itu sendiri maupun bagi stakeholders-nya (semua pihak yang terkait dengan bisnis, seperti pemerintah, konsumen, pemasok, masyarakat pada umumnya, pemegang saham, eksekutif perusahaan, karyawan, dan sebagainya).
Sebelum kita melanjutkan perbincangan ini ada baiknya bila kita mencoba menjawab pertanyaan “apa itu etika bisnis?”

Apa itu Etika Bisnis?
Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut di atas, maka ada baiknya bila kita menjawab terlebih dahulu pertanyaan, apa itu etika?
a. Bila kita membuka membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia maka kita dapat menemukan tiga penjelasan yang berkaitan dengan istilah etika, yaitu:
1. etika sebagai “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)”;
2. etika sebagai “kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak”;
3. etika sebagai “nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
Penjelasan yang pertama mengacu pada etika sebagai ilmu, sebagai ilmu etika merupakan salah satu cabang dari filsafat, yang mencoba menjawab dua pertanyaan dasar yaitu “saya harus menjadi orang yang bagaimana?” dan “saya harus bertindak bagaimana?” Dengan demikian etika berusaha mengajak manusia untuk melindungi kehidupan dan menanggapi penderitaan. Dengan perkataan lain etika mau melakukan protes terhadap kesengsaraan dan penindasan manusia yang berlaku selalu dan di mana-mana. Untuk itu etika menawarkan dua prinsip utama yaitu “berbuatlah baik terhadap sesama dan lingkungan” (prinsip beneficience) dan “janganlah berbuat jahat terhadap sesama dan lingkungan” (prinsip non-maleficence). Dengan demikian manusia etis adalah manusia yang bisa bertanggungjawab atas nasib sesamanya dan lingkungannya . Berkaitan dengan kedua pertanyaan dan kedua prinsip tersebut maka ada beberapa teori yang masih akan dibicarakan pada bagian berikut dari tulisan ini.
Penjelasan yang kedua mengacu pada etika sebagai kode etik. Kode etik merupakan norma dan azas yang dibuat sendiri (tidak ada campur tangan dari pihak lain) dan diterima oleh suatu kelompok profesi tertentu, misalnya para dokter, pengacara, guru, bankir, psikolog dan lain-lain.
Penjelasan yang ketiga mengacu pada etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai merupakan nilai-nilai yang dihayati oleh seseorang atau sekelompok orang, entah karena pengaruh budaya, entah karena pengaruh agama, entah kedua-duanya. Misalnya etika Jawa, etika Islam, etika Kristen dan lain-lain.
Dalam pergaulan sehari-hari kita juga sering mendengar istilah etiket. Antara etika dan etiket ada persamaan dan ada juga perbedaannya. Persamaannya adalah bahwa kedua istilah tersebut berkaitan dengan perilaku manusia, dan keduanya berkaitan dengan aturan-aturan yang bersifat normatif dan dikenakan pada perilaku manusia. Namun, keduanya juga berbeda. Etiket berkaitan dengan masalah “cara” suatu perilaku harus dilaksanakan, sedang etika lebih berkaitan dengan perilaku itu sendiri, yaitu apakah suatu perilaku boleh dilaksanakan atau tidak. Etiket berlaku dalam pergaulan, maka sering disebut juga sebagai tatakrama atau sopan santun, dan lebih bersifat lahiriah. Sedang etika berlaku kapan saja, di mana saja, dan lebih bersifat batiniah. Etiket lebih bersifat relatif, ’lain ladang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya’. Etika lebih bersifat universal, misalnya perintah “tidak boleh mencuri” .
Antara etika dan moral pemakaiannya dapat saling dipertukarkan. Karena pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai arti yang kurang lebih sama. Perbedaannya hanya bersifat etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ethos, sedang moral berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata mos. Baik ethos maupun mos keduanya berarti kebiasaan.
Namun, perlu ada klarifikasi tentang istilah amoral dan immoral. Dalam pemakaian sehari-hari kedua istilah tersebut sering dipertukarkan secara tidak tepat. Amoral biasanya dimengerti sebagai tidak bermoral, padahal dalam pengertian ilmiah amoral berarti tidak punya kaitan dengan moral (non-moral). Sedang tidak bermoral berarti immoral .

b. Setelah kita melihat apa yang dimaksud dengan etika maka ada baiknya kita juga melihat apa yang dimaksud dengan bisnis. Bisnis merupakan aplikasi dari teori-teori ekonomi. Ekonomi merupakan ilmu yang mempelajari tentang cara bagaimana masyarakat memanfaatkan sumber daya yang langka dalam rangka memproduksi barang dan jasa yang berharga dan mendistribusikannya di antara orang-orang yang berbeda-beda . Berkaitan dengan itu maka bisnis biasanya dimengerti sebagai “aktivitas yang berorientasi mencari laba dari mereka yang terlibat dalam jual beli barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan masyarakat” . Penjelasan tersebut bagi saya kurang jelas dan kurang lengkap, karena melupakan kepentingan stakeholdersnya. Oleh karena itu saya mencoba merumuskannya sebagai berikut “bisnis merupakan kegiatan sekelompok manusia yang ingin memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam, modal, teknologi dan manusia sebagai insan karya, lewat proses produksi dan distribusi, dengan itu bisnis akan memperoleh imbalan berupa keuntungan untuk pengembangan pelayanan selanjutnya”. Bila kita memperhatikan rumusan yang saya usulkan, maka kita bisa melihat bahwa setiap keputusan bisnis memang berkaitan dengan hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu tidaklah lengkap analisis kita kalau hanya memperhatikan aspek hukum dan ekonomis belaka dari bisnis. Suatu pembahasan dari aspek moral merupakan sesuatu yang perlu, karena begitu luas dampak setiap keputusan bisnis (yang merupakan perilaku moral karena dilakukan dengan tahu dan mau) terhadap stakeholders-nya, seperti konsumen, pemerintah, lingkungan hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih dewasa ini, begitu banyak masalah yang ditimbulkan oleh keputusan-keputusan bisnis. Sekurang-kurangnya, menurut saya ada tiga masalah mendasar yang ditimbulkan oleh keputusan-keputusan bisnis, yaitu:
1. bisnis memicu pola hidup yang sangat konsumtif, dan hal ini mengubah pola hidup manusia secara cukup mendasar, dewasa ini banyak orang yang sangat berorientasi pada semboyan “saya membeli maka saya ada”, maka tidaklah terlalu mengherankan bila manusia juga sangat beorientasi pada pencarian uang, karena uang telah menjadi ‘tuhan’.
2. bisnis telah memicu pemanfaatan lingkungan hidup sehabis-habisnya, sehingga dewasa ini kita mengalami krisis lingkungan hidup yang sangat parah. Khusus untuk Indonesia kita sekarang ini mengalami “bila kita memasuki musim kemarau maka banyak di antara kita mengalami kesulitan mendapatkan sumber air yang bersih, sedang pada musim hujan, maka banyak di antara kita yang mengalami musibah banjir dan longsor”.
3. bisnis telah memicu semakin melebarnya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Yang kaya makin kaya sedang yang miskin makin miskin, ingatlah masalah busung lapar yang belum lama ini melanda Indonesia. Kofi Anan, Sekretaris Jendral PBB, dihadapan para menteri negara-negara kelompok G77 menyatakan bahwa “Fakta yang menyedihkan adalah bahwa dunia kini dihadapkan pada ketimpangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan pada 40 tahun lampau” . Gambaran lain juga bisa kita baca di Harian Kompas sebagai berikut “Orang kaya sejagat naik menjadi 7,7 juta, sedang setiap hari 25.000 orang meninggal karena kelaparan dan kemiskinan”
c. Dengan demikian sekarang kita bisa merumuskan apa yang dimaksud dengan istilah etika bisnis. Secara singkat kita bisa merumuskan bahwa etika bisnis merupakan “ilmu yang mempelajari baik buruknya tindakan manusia dalam bidang bisnis”. Atau dengan perkataan lain kita juga bisa merumuskan bahwa etika bisnis merupakan suatu usaha ilmiah untuk menjawab pertanyaan “saya harus menjadi pebisnis yang bagaimana?” dan “sebagai pebisnis saya harus melakukan apa?” Secara teoritis pertanyaan pertama dijawab oleh etika keutamaan, sedang pertanyaan kedua dijawab oleh utilitarisme, deontologis dan teori-teori lain. Namun pada kesempatan ini kita hanya akan fokus pada utilitarisme dan deontologi.

Teori-teori etika
Teori-teori etika bermaksud menjawab kedua pertanyaan dasar tersebut di atas, dengan perspektif yang berbeda-beda.
1. Pertanyaan “what sholud I be?” merupakan pertanyaan yang paling tua, sudah berusia lebih dari 2400 tahun. Ada tiga serangkai pemikir Yunani kuno yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Mereka adalah Sokrates (470 – 399 s.M.), Plato (428/7 – 348/7 s.M.) dan Aristoteles (384 – 322 s.M.). Pada kesempatan ini kita akan berfokus pada pemikiran Aristoteles. Bagi Aristoteles setiap perbuatan manusia selalu mengacu pada suatu tujuan. Aristoteles berpendapat bahwa tujuan itu ada dua macam, yaitu tujuan antara dan tujuan akhir. Tujuan antara adalah tujuan yang dikejar untuk dipakai sebagai batu loncatan untuk mengejar tujuan selanjutnya (misalnya kita belajar agar dapat bekerja). Sedang tujuan akhir adalah tujuan yang dikejar bagi tujuan itu sendiri, bagi kebanyakan orang tujuan akhirnya adalah mencapai kebahagiaan, dan itu juga merupakan keyakinan Aristoteles. Masalahnya adalah apa yang menjadi isi dari kebahagiaan tersebut? Sebagian orang akan menjawab saya bahagia kalau saya kaya, sebagian lain akan berpendapat bahwa akan bahagia kalau memiliki kekuasaan, sebagian lain berkeyakinan bahwa akan menjadi bahagia kalau memiliki kesehatan yang prima. Kalau kita bertanya kepada Aristoteles, maka dia akan menjawab dengan jawaban sebagai berikut “seseorang akan bahagia kalau orang tersebut dapat mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga kemampuan-kemampuan yang dimilikinya dapat ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin”. Seorang pelukis hendaknya menjadi pelukis yang top, seorang penyanyi hendaknya menjadi penyanyi yang mencapai puncak, seorang dokter hendaknya menjadi dokter yang hebat, dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain, kalau boleh meminjam judul buku yang ditulis oleh John Powell, maka seseorang akan mencapai kebahagiaan bila orang itu telah mencapai kondisi “fully human, fully alive”. Orang yang berusaha mencapai kondisi fully human, fully alive tersebut adalah orang yang berkeutamaan. Dengan demikian keutamaan adalah suatu kecenderungan tetap yang dimiliki seseorang yang selalu berkehendak untuk menumbuhkembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga mencapai puncak sesuai dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Paling sedikit sebagai manusia kita memiliki “kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, kecerdasan spiritual, bila kita mengembangkan keempat kecerdasan dasar tersebut secara seimbang maka kita akan memiliki kecerdasan kelima yaitu kecerdasan untuk mengubah hambatan menjadi peluang” . Secara kodrati manusia memperoleh kemampuan-kemampuan tersebut secara gratis dari Sang Pencipta, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Untuk memiliki keutamaan tersebut maka kita perlu belajar dan berlatih secara terus menerus. Atau dengan perkataan lain kita akan memiliki keutamaan kalau kita mau melakukan proses pembiasaan. Namun, perlu dicatat bahwa keutamaan tidak sama dengan ketrampilan. Ketrampilan hanya berkaitan dengan salah satu atau beberapa hal, seperti seseorang trampil bermain sepakbola dan bermain gitar. Seorang yang berkeutamaan berkaitan dengan dirinya secara utuh, seperti bertanggungjawab itu tidak hanya berkaitan hanya dengan masalah penggunaan uang saja, tetapi berkaitan dengan segala hal yang menjadi keputusannya atau pilihannya. Sebagai contoh, seorang ayah/suami yang mempergunakan uangnya tanpa suatu pertanggungjawaban (seenaknya saja) maka dia tidak dapat disebut sebagai seorang yang bertanggungjawab, biarpun sebagai seorang karyawan ayah/suami tersebut seorang karyawan yang baik. Lain halnya dengan seorang yang trampil bermain bola, namun bila pada suatu saat dia gagal memasukkan bola ke dalam gawang tidak membuatnya menjadi seorang yang tidak trampil bermain bola . Sejak Plato dan Aristoteles diyakini adanya empat keutamaan pokok, yaitu kebijaksanaan (orang tidak jatuh dalam keekstriman), keberanian (orang tidak jatuh dalam sikap gegabah dan sikap pengecut, dengan perkataan lain berani mengambil risiko), pengendalian diri (orang tidak jatuh dalam sikap yang mengumbar nafsu) dan keadilan (orang yang mau memberikan apa yang menjadi hak orang lain). Dewasa ini etika keutamaan mulai digalakkan kembali, salah satu yang mencoba menghidupkan kembali adalah Stephen R. Covey . Dalam bukunya Covey memperkenalkan 7 kebiasaan (keutamaan) yang diperlukan oleh manusia modern, yaitu “be proactive” (bertanggung-jawablah), “begin with the end in mind” (bangunlah cita-cita/impian), put first thing first (menetapkan prioritas berdasarkan ‘yang penting’ dan bukan yang ‘genting’), think win-win (jangan sampai ada yang kalah), seek first to understand, then to be understand (mau mendengarkan), synergize (kembangkan nilai tambah) dan yang terakhir sharpen the saw (jadilah manusia pembelajar).
2. Untuk menjawab pertanyaan what should I do? Maka kita harus bertanya kepada seorang deontolog (orang yang mengikuti ajaran deontologi) dan atau bertanya kepada seorang utilitaris (orang yang mengikuti ajaran utilitarisme).
a. Baiklah kita mulai melihat etika deontologi. Deontologi berasal dari dua kata Yunani, deon yang berarti kewajiban, dan logos yang berarti ajaran. Dengan demikian deontologi merupakan suatu teori etika yang mendasarkan dirinya pada konsep kewajiban. Teori ini dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724 – 1804). Bagi Kant yang menjadi sumber kebaikan yang sebenarnya tidak lain adalah kemauan/kehendak yang baik, tanpa kemauan/kehendak yang baik orang yang berkeutamaan sekalipun dapat melakukan suatu perbuatan yang secara moral buruk/salah. Misalnya seorang yang memiliki keutamaan tanggungjawab, namun dia memiliki kemauan yang buruk yaitu pamrih, maka tanggungjawabnya secara moral tidak baik. Pertanyaan selanjutnya adalah kehendak yang baik itu yang bagaimana? Kehendak itu baik bila kita berkehendak untuk melakukan kewajiban kita. Dengan perkataan lain, bila seseorang bertanya apa yang seharusnya saya lakukan agar dapat disebut sebagai orang yang baik, maka seorang deontolog akan mengatakan “lakukanlah apa yang menjadi kewajibanmu”. Bila kita mempergunakan terminologi yang digunakan oleh Kant, maka yang menjadi kewajiban kita adalah apa yang disebutnya sebagai imperatif kategoris (suatu kewajiban berlaku begitu saja, tanpa syarat apapun, misalnya ‘jangan membunuh’), dan bukannya imperatif hipotetis (suatu kewajiban yang berlaku dengan syarat tertentu, misalnya jika saya mau berhasil dalam studi maka saya harus belajar sungguh-sungguh). Menurut Kant ada satu imperatif kategoris yang menjadi Golden Rule (aturan emas), yaitu “lakukanlah suatu tindakan sebagaimana engkau mengharapkan orang lain melakukannya sedemikian”. Penganut faham ini adalah seorang yang sangat konsisten sehingga sikapnya sangat kaku, padahal dalam kehidupan sehari-hari, keputusan moral tidaklah hitam putih, tetapi seringkali abu-abu. Maka seorang yang menganut faham deontologi bisa terjebak pada sikap formalistis dan juga sangat kaku. Berkaitan dengan teori deontologi yang menekankan aspek kewajiban, maka dari sisi lain deontologi yang bisa juga dilihat sebagai teori hak, karena antara kewajiban dan hak merupakan satu mata uang dengan dua sisinya. Bila ada orang yang memiliki kewajiban maka di sisi lain ada orang yang memiliki hak. Bila antara kewajiban dan hak ada keseimbangan maka disitu terjadi keadilan, sebaliknya bila antara kewajiban dan hak tidak ada keseimbangan maka di situ terjadi ketidakadilan. Maka sering deontologi juga disebut sebagai etika keadilan.
b. Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang artinya adalah kegunaan atau manfaat (ingat kata bahasa Inggris utility). Untuk pertama kali pemikir Inggris yang bernama Jeremy Benthamlah (1748 – 1832) yang mengembangkan teori ini, kemudian oleh John Stuart Mill teori ini makin disempurnakan. Teori ini mempunyai semboyan yang sangat terkenal, yaitu The Greatest Happiness of The Greatest Number. Berdasarkan semboyan tersebut maka seorang utilitaris akan berpendapat bahwa perbuatan yang baik secara moral adalah perbuatan yang menghasilkan manfaat yang terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Teori ini sangat realitis dan tidak egois. Realistis karena teori ini sadar bahwa tidaklah mungkin memberikan kepuasan kepada semua orang, selain daripada itu teori ini juga tidak egois, karena memperjuangkan sebanyak mungkin orang yang bisa menikmatinya. Oleh karena itu baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi teori ini menjadi sangat populer, khusus di bidang ekonomi ingat prinsip cost benefit ratio. Jawaban atas pertanyaan apa yang harus saya lakukan? menjadi sangat jelas, yaitu lakukanlah tindakan yang menghasilkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Biarpun teori ini sangat populer, tetapi teori ini juga mengandung kelemahan yang mendasar, yaitu sering mengabaikan dua prinsip moral yang sangat penting yaitu prinsip hak dan prinsip keadilan, contoh yang paling jelas adalah penggusuran tanpa ganti rugi yang memadai. Berkaitan dengan itu maka kaum utilitaris memperbaiki teori yang pertama (yang sering disebut sebagai teori utiliatisme perbuatan) dengan apa yang disebut dengan teori utilitarisme aturan (dengan ini maka prinsip utiliatrisme tidak lagi diterapkan pada perbuatan-perbuatan tertentu, tetapi pada aturan-aturannya, aturan hendaknya melindungi dan membela yang dirugikan).
Berkaitan dengan ciri persoalan moral adalah ‘abu-abu’ maka dalam praktek kita seringkali tidak dapat hanya berpegang pada satu teori saja, karena setiap teori mengandung kelemahan tertentu. Berkaitan dengan itu maka gunakan beberapa teori untuk menganalisis suatu persoalan, dengan demikian kita bisa melakukan check dan recheck.

Etika dan Manajemen Insan Karya
Pertama-tama perlu suatu klarifikasi terlebih dahulu tentang istilah manajemen insan karya. Saya mencoba menterjemahkan Human Resources Management dengan istilah manajemen insan karya, karena istilah manajemen sumberdaya manusia bagi saya merupakan suatu pemerosotan hakekat manusia. Kesumberdayaan manusia tidak sama dengan kesumberdayaan alam misalnya. Manusia memiliki sumberdaya yang khas, yaitu kesadaran diri, kemauan bebas, hati nurani dan kreativitas. Dengan sumberdayanya yang khas tersebut manusia mampu berkarya sedemikian rupa sehingga menciptakan makna, baik bagi hidupnya sendiri maupun bagi lingkungan di mana dia hidup. Pakar industri hiburan Walt Disney menyatakan nilailah karyawan dengan cara berikut: “Anda dapat bermimpi, menciptakan, mendesain, dan membangun tempat yang paling indah di dunia, tetapi anda membutuhkan orang untuk mewujudkan gagasan tersebut menjadi kenyataan” .
Manusia melalui karya-karyanya mengubah dunia – biarpun dewasa ini perubahan itu memiliki wajah ganda, di satu pihak positif namun di lain pihak negatif, di satu pihak membuat hidup lebih nyaman namun di lain pihak menimbulkan kekhawatiran atas risiko global akibat kerusakan lingkungan hidup yang sangat parah hasil ciptaan manusia itu sendiri – merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat kita sangkal.
Dalam kaitan itu, maka pada bagian ini kita akan melihat hubungan antara manajemen insan karya dengan etika. Manajemen insan karya merupakan salah fungsi manajerial yang sangat penting, betapa tidak? Manajemen insan karya bertanggungjawab atas terciptanya situasi dan kondisi lingkungan kerja yang menguntungkan agar visi dan misi perusahaan dapat tercapai. Agar tercipta situasi dan kondisi yang saling menguntungkan, maka manajemen insan karya perlu mengelola bidang-bidang yang berkaitan dengan perencanaan insan karya, perekrutan dan seleksi, orientasi, pelatihan, penilaian kinerja, sistem imbalan (gaji dan tunjangan) yang adil, persiapan masa pensiun dan proses terminalisasi (pemutusan hubungan kerja) yang adil.
Salah satu prinsip moral yang paling penting dalam kaitan dengan manajemen insan karya adalah prinsip keadilan (adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam relasi antar manusia, dalam hal ini antara karyawan dan perusahaan). Selain daripada prinsip keadilan diperlukan juga prinsip moral yang lain yaitu prinsip keutuhan ciptaan (seluruh karyawan mulai dari yang paling atas sampai yang paling bawah sadar akan pentingnya pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup di mana perusahaan tersebut berada).
Sebagai contoh ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan manajemen insan karya akan dibahas secara singkat. Umpamanya dalam proses perekrutan dan seleksi, dalam hal ini prosesnya harus berlangsung dengan transparan dan adil. Harus jelas apa yang menjadi persyaratan yang dituntut oleh pekerjaan yang bersangkutan (job requirement harus jelas) dan setiap pelamar harus tahu tentang persyaratan tersebut. Berkaitan dengan itu, maka salah satu kriteria penting dalam proses perekrutan dan seleksi adalah kriteria kompetensi calon karyawan, di samping hal itu yang juga menjadi penting adalah masalah integritas pribadi calon karyawan. Integritas pribadi calon karyawan menjadi penting, karena relasi perusahaan dan karyawan adalah relasi kepercayaan.
Selanjutnya dalam perjalanan karirnya setiap karyawan hendaknya mempunyai kesempatan yang sama untuk berkarir. Dengan perkataan lain bagi perusahaan ada kewajiban untuk menjelaskan jenjang karir dari setiap jabatan yang ada dalam perusahaan, sedang bagi karyawan perlu melakukan perencanaan karir yang tepat. Dengan demikian relasi industrial dapat berlangsung secara wajar dan saling menguntungkan.
Salah satu masalah yang paling mendesak adalah sistem penggajian yang cenderung menciptakan kesenjangan sosial ekonomis yang makin melebar antara kaum buruh dan kaum karyawan biasa dengan para manajer ke atas. Pada umumnya dari seluruh jumlah imbalan yang dibayarkan kepada tenaga kerja, maka 25%-nya dinikmati oleh 75% dari seluruh tenaga kerja, sedang 75% dari seluruh imbalan dinikmati oleh 25% dari seluruh tenaga kerja. Dalam salah satu tulisannya di suratkabar Kompas, Kwik Kian Gie menulis sebagai berikut “Bahwa antara buruh yang terendah dan direktur harus ada perbedaan adalah hal lumrah. Tetapi kelipatan perbedaan harus ada batasnya, yaitu berapa kali lipat. Wajarkah bahwa di negara-negara Barat yang sudah maju sekitar 15 kali lipat, sedangkan di Indonesia 300 kali lipat?” Masalahnya bagaimana menciptakan sistem penggajian yang adil? Pertama-tama dalam membangun sistem penggajian yang adil harus berpegang pada prinsip “yang dibayar adalah pekerjaannya, dan bukan orangnya”. Bila pekerjaannya sama maka pekerjanya entah laki-laki entah perempuan harus mendapat imbalan yang sama. Dalam kenyataannya maka karyawan perempuan sering memperoleh perlakuan yang tidak adil, karena karyawan tersebut adalah perempuan. Biarpun pekerjaan, tanggungjawab dan wewenangnya sama biasanya laki-laki mendapat lebih banyak dibandingkan perempuan. Oleh karena itu perusahaan mempunyai kewajiban untuk membangun sistem penggajian yang adil. Untuk membangun sistem penggajian yang adil diperlukan beberapa tahap yang perlu ditindaklanjuti secara konsisten. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut: yang pertama adalah adanya uraian tugas yang jelas dan diketahui dan ditandatangani baik oleh karyawan maupun oleh perusahaan. Di mana dalam uraian pekerjaan tersebut terdapat uraian tentang tujuan dari pekerjaan, uraian tugas-tugas yang harus dilakukan, serta tanggungjawab dan wewenang yang terkandung dalam pekerjaan tersebut. Tahap kedua adalah menentukan nilai pekerjaan (bobot pekerjaan) tersebut dengan mengacu pada uraian pekerjaan yang telah disetujui kedua belah pihak. Dalam menentukan nilai pekerjaan maka perusahaan harus menentukan nilai minimum dan nilai maksimum suatu pekerjaan, agar tidak terjadi kesenjangan nilai yang terlalu lebar antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya, khususnya antara pekerjaan rendah (buruh) dan pekerjaan yang paling tinggi (CEO). Selanjutnya kita sampai pada tahap ketiga yaitu menentukan tingkat-tingkat pekerjaan, dari yang terendah (buruh) sampai yang tertinggi (CEO). Tahap keempat adalah berusaha mengetahui pasaran tenaga kerja, dan tahap kelima adalah menentukan nilai rupiah dari masing-masing pekerjaan, caranya dengan mengalikan bobot pekerjaan dengan nilai rupiah yang terkandung dalam satuan bobot pekerjaan tersebut. Dalam menentukan nilai rupiah dari masing-masing pekerjaan kita harus selalu mengacu pada kemampuan perusahaan yang bersangkutan, aturan pemerintah yang berkaitan dengan tenaga kerja, dan pasar tenaga kerja.
Masalah selanjutnya adalah yang berkaitan dengan masalah pemutusan hubungan kerja. Tenaga kerja sering disebut sebagai aset perusahaan yang istimewa dan utama, namun anehnya dalam kaitan dengan akuntansi tenaga kerja tidak diperlakukan sebagai aset, maksudnya seluruh nilai rupiah yang dikeluarkan perusahaan dalam kaitan dengan tenaga kerja dicatat langsung sebagai biaya, dan bukan sebagai investasi, yang selanjutnya dilakukan penghapusan secara bertahap. Maka tidaklah mengherankan, biarpun tenaga kerja dianggap sebagai aset yang istimewa dan utama, namun bila perusahaan ada masalah maka tenaga kerja itulah yang akan terkena dampak yang pertama kali, yaitu perusahaan akan melakukan pemutusan hubungan kerja.
Akhirnya, permasalahan yang mendesak khususnya pada negara-negara berkembang adalah masalah pekerja anak. Bila kita mengacu pada Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 maka anak-anak memiliki “hak atas tingkat kehidupan yang layak demi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial” (pasal 27 ayat 1), selanjutnya konvensi juga mengakui bahwa “anak berhak atas pendidikan, dan dengan maksud untuk mencapai hak ini secara progresif dan atas dasar kesempatan yang sama, maka mereka akan, khususnya: (a) mewajibkan pendidikan dasar dan tersedia secara cuma-cuma kepada semua anak …..” (Pasal 28 ayat 1). Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut menandatangani konvensi ini. Namun dalam kenyataannya makin banyak anak Indonesia yang tidak dapat mengenyam pendidikan, baik karena orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikan anaknya, maupun karena negara juga belum mampu menyediakan pendidikan dasar yang gratis. Sejak pertengahan tahun 1997 semakin banyak anak jalanan, mereka kehilangan kesempatan dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Seandainya mereka tidak bekerja entah secara formal atau informal, kondisi mereka juga tidak menjadi lebih baik. Oleh karena itu larangan untuk mempekerjakan anak dibawah usia 14 tahun, merupakan masalah yang rumit. Mengikuti larangan tersebut secara ketat, tidak akan memperbaiki keadaan anak dan keluarganya. Bila larangan tersebut untuk sementara diabaikan maka perusahaan memiliki tanggungjawab moral untuk tidak semakin mengeksploitasi anak demi keuntungan semata. Perusahaan hendaknya memperhatikan dan memberi kesempatan kepada pekerja anak untuk mengembangkan diri dengan menempuh pendidikan dasar. Bagi anak-anak yang bekerja secara informal, maka para penegak hukum hendaknya dengan tegas memberantas mereka-mereka yang selama ini mengeksploitasi anak dengan dalih melindungi, mengkoordinir anak-anak yang harus bekerja membantu keluarganya. Selanjutnya masyarakat perlu membimbing anak-anak tersebut agar tidak menghabiskan waktunya untuk bekerja, tetapi tetap mengembangkan diri mereka dengan mengikuti pendidikan dasar, agar mereka memiliki harapan untuk memperoleh masa depan yang lebih baik.

Etika dan manajemen pemasaran
Dalam Kamus Istilah Manajemen yang disusun oleh Panitia Istilah Manajemen Lembaga PPM kita bisa menemukan penjelasan tentang arti dari pemasaran yaitu sebagai “Usaha mengetahui kebutuhan dan keinginan konsumen dan menjelmakannya sehingga menjadi produk dan jasa; usaha tersebut bertujuan memberikan kepuasan kepada semua pihak yang berhubungan dengan perubahan” . Boone & Kurtz merumuskan pemasaran sebagai “proses perencanaan dan pelaksanaan konsep, penentuan harga, promosi dan pendistribusian gagasan, barang, jasa, organisasi, dan peristiwa untuk menciptakan dan memelihara hubungan yang memuaskan tujuan perorangan dan organisasi” . Sebagaimana terjadi dalam usaha merumuskan suatu konsep, setiap ahli akan memiliki perumusan yang berbeda, namun bagi saya lebih menarik apa yang diidentifikasi oleh Prabhu Guptara dalam bukunya yang berjudul The Basic Arts of Marketing, yaitu enam kegiatan yang termasuk dalam konsep pemasaran itu sendiri, yaitu:
1. mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari pelanggan-pelanggan yang sudah ada maupun calon pelanggan,
2. menentukan strategi produk yang terbaik,
3. memastikan distribusi produk-produk yang efektif,
4. memberitahu pelanggan-pelanggan tentang keberadaan produk-produk dan mengajak mereka untuk membeli produk-produk tersebut,
5. menentukan harga-harga dengan mana produk-produk itu harus dijual,
6. memastikan bahwa pelayanan purna jual adalah bermutu.
Bila kita memperhatikan keenam kegiatan tersebut di atas maka kita harus mengakui bahwa ruang lingkup pemasaran sangat luas. Dari keenam kegiatan tersebut maka baiklah kalau kita memperhatikan beberapa kegiatan yang mempunyai kaitan langsung dengan etika. Kegiatan yang saya maksudkan adalah:
1. Kegiatan keempat yang secara singkat dapat dirumuskan sebagai promosi. Dalam dunia bisnis dewasa ini yang ditandai oleh persaingan, maka kegiatan promosi memiliki peran yang sangat penting, yaitu sebagai ajang untuk memperlihatkan eksistensi suatu perusahaan dan produknya. Dalam kaitan dengan ini maka ada kecenderungan kuat bahwa perusahaan berani mengeluarkan biaya yang sangat besar, sebagaimana dicatat oleh William Shaw dan Vincent Barry dalam bukunya, sebagai berikut: “Di Amerika Serikat pada tahun 1988McDonald’s mengeluarkan 649 juta dollar untuk periklanan, PepsiCo 704 juta, Procter & Gamble 1.387 juta, dan Philip Morris (rokok) 1.558 juta. Di Amerika Serikat pula setiap tahun dikeluarkan untuk periklanan melalui berbagai media seluruhnya 120 miliar dollar AS. Kalau dihitung, itu berarti hampir 500 dollar per penduduk di negara itu” . Kompas mencatat “di Indonesia nilai belanja iklan tahun 1997 untuk majalah, suratkabar dan televisi adalah sekitar 3,49 triliun Rupiah. Karena dampak krisis ekonomi, untuk tahun 1998 belanja iklan diperkirakan turun sekitar 28,2% menjadi, 2,5 triliun Rupiah, dengan rincian periklanan di majalah Rp. 148,82 miliar, suratkabar Rp. 639,22 miliar, dan televisi Rp. 1,71 triliun” . Permasalahan pertama yang bisa dipertanyakan dari sudut pandang etis adalah apakah biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing perusahaan untuk periklanan tidak akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi, di mana pada akhirnya yang dirugikan oleh konsumen. Selain daripada itu dengan gencarnya arus periklanan akan terjadi perubahan pola hidup masyarakat, di mana pola hidup masyarakat menjadi sangat konsumtif. Dengan perubahan pola hidup tersebut maka ada kecenderungan kuat masyarakat didorong untuk mendewakan uang. Permasalahan berikut adalah masalah isi dari iklan yang dapat dinikmati oleh konsumen, entah melalui suratkabar, majalah maupun televisi. Yang menjadi fokus dari permasalahan ini adalah iklan yang ditayangkan oleh televisi, di mana ada kecenderungan kuat bahwa iklan-iklan di televisi tidak/kurang mendidik generasi muda. Padahal iklan memiliki tiga fungsi penting, yaitu memberi informasi, mendidik dan merayu (calon) konsumen untuk membeli. Berkaitan dengan fungsi informatif maka iklan bertanggungjawab atas informasi yang diberikan hendaknya tepat dan benar, karena dengan demikian akan mendidik masyarakat agar memiliki pengetahuan tentang produk dan kemudian dapat menentukan pilihan secara tepat dan benar. Dalam rangka merayu (calon) konsumen maka iklan hendaknya tidak berlebihan, sehingga menimbulkan salah persepsi pada konsumen, khususnya konsumen yang kurang terdidik.
2. Kegiatan kelima yang bisa dirumuskan secara singkat sebagai kebijakan harga. Kalah dilihat dengan kaca mata stakeholders maka kebijakan harga mempunyai dampak yang sangat luas, khususnya pada konsumen dan pesaing. Dalam kaitan dengan ciri dunia bisnis dewasa ini yang sangat diwarnai oleh persaingan maka ada tabarakan kepentingan antara konsumen dan pesaing. Harga yang murah dan mutu yang tetap dapat dipertanggungjawabkan menguntungkan konsumen, namun di lain pihak hal itu bisa membuat pesaing berguguran, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen juga karena bisnis menjadi monopoli. Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas maka seringkali ada perusahaan yang melakukan kegiatan dumping (menjual secara besar-besaran suatu produk dengan harga yang sangat murah, bahkan seringkali di bawah biaya produksi). Oleh karena itu dalam kaitan dengan persoalan ini maka salah satu prinsip yang dapat diterima secara etis adalah prinsip efisiensi yang wajar, sehingga mutu produk tetap dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian dari kaca mata stakehorlders tidak ada pihak yang dirugikan, atau dengan perkataan lain semua pihak menang.
3. Kegiatan keenam yang secara singkat dapat dirumuskan dengan service. Dewasa ini, dunia bisnis ditandai dengan persaingan yang sangat ketat, agar dapat survive dalam dunia bisnis maka salah satu kata kunci adalah mutu, baik mutu produk/jasa maupun mutu service. Service atau pelayanan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kaitan dengan keberhasilan usaha bisnis pada umumnya. Cukup lama pengertian service hanya terpaku pada saat proses penjualan saja, namun sekarang orang semakin sadar bahwa service tidak hanya saat penjualan tetapi juga sesudah penjualan terjadi (pelayanan purna jual). Hal ini berkaitan erat dengan perubahan orientasi bisnis itu sendiri, dari bisnis yang berorientasi pada pasar ke bisnis yang berorientasi pada pelanggan, maksudnya konsumen tidak lagi diperlakukan sebagai suatu segmen atau kelompok, tetapi sebagai seorang pribadi. Dengan perkataan lain pelanggan bukan lagi dianggap sebagai obyek tetapi sebagai subyek. Maka perlakuan terhadap konsumen tidak lagi sekedar melayani demi melayani namun melayani demi kepedulian. Maka secara etis pelayanan bukan lagi sekedar janji, tetapi pelayanan merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi, maka pelayanan hendaknya menjadi jiwa atau semangat yang menghidupi dunia bisnis. Bahkan pelayanan tidak hanya bersifat eksternal, tetapi juga bersifat internal, dengan perkataan lain pelayanan menjadi budaya perusahaan, yang memancar keluar lewat tindakan-tindakan nyata. Dalam kaitan dengan ini maka akan berpengaruh pada kebijakan perusahaan dalam melakukan perekrutan, seleksi dan penempatan dan pembinaan seluruh karyawannya.

Etika dan manajemen produksi
Secara singkat manajemen produksi dapat dirumuskan sebagai pengelolaan semua aspek kegiatan bisnis dalam kaitan dengan proses mengubah bahan baku menjadi barang jadi . Boone & Kurtz merumuskan manajemen produksi dan operasi sebagai pengelolaan orang dan mesin untuk mengubah bahan serta sumberdaya menjadi barang jadi atau jasa . Salah satu ciri bisnis dewasa ini dalam kaitan dengan produksi adalah mass-production. Sehubungan dengan ini maka bisnis memanfaatkan kemajuan teknologi dan pemanfaatan sumberdaya alam secara besar-besaran. Berkaitan dengan ini maka baik secara langsung atau tidak langsung mengundang persoalan etis yang berat dan sulit, karena sudah ada pada taraf global, maka penyelesaiannya menuntut adanya keterlibatan dan komitmen seluruh negara yang ada di dunia ini. Pemanfaatan teknologi dan sumberdaya alam secara besar-besaran menimbulkan krisis lingkungan hidup yang luar biasa, karena alam sudah tidak bisa menanggung beban yang diberikan oleh perilaku manusia, khususnya manusia bisnis. Bila krisis ini tidak ditanggulangi dengan sungguh-sungguh, maka manusia akan mengalami apa yang disebut oleh Anthony Giddens sebagai manufactured-risk, maksudnya risiko yang harus ditanggung oleh umat manusia berkat perilaku dan ulah manusia sendiri. K. Bertens mencatat ada enam masalah yang menghantui umat manusia saat ini, yaitu terjadinya akumulasi bahan beracun, efek rumah kaca, perusakan lapisan ozon, hujan asam, deforestasi dan proses penggurunan, dan yang terakhir terjadinya kematian bentuk-bentuk kehidupan hayati . Memang permasalahan ini masih merupakan diskusi di antara para ahli, dan belum ada kesepakatan. Begitu pula di tingkat politik masih terjadi perbedaan pendapat, karena bisnis memang bukan satu-satunya penyebab kerusakan lingkungan saat ini.
Biarpun demikian, saya ingin mencoba menyampaikan pemikiran dari Hans Jonas (1903-1993) . Dewasa ini manusia semakin berkuasa, lewat ilmu pengetahuan dan teknologinya manusia semakin dapat mengendalikan alam yang dahulu menakutkan. Namun, sekaligus manusia semakin tidak bisa mengendalikan teknologi yang merupakan ciptaannya sendiri, sehingga menimbulkan krisis lingkungan hidup, yang bagi Jonas menyebabkan terjadinya situasi apokaliptik, di mana kita sedang menuju malapetaka universal apabila kita membiarkan dinamika sekarang ini berlangsung terus . Berkaitan dengan situasi tersebut maka manusia membutuhkan etika baru, etika yang ditandai oleh heuristika ketakutan (etika yang berakar pada perasaan takut karena akan ada risiko yang sangat mengerikan), sehingga menimbulkan kebutuhan akan etika masa depan, yang tidak lain adalah etika tanggungjawab . Berkaitan dengan itu maka Hans Jonas merumuskan beberapa prinsip tanggungjawab, yaitu :
1. bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di bumi.
2. bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu tidak sampai merusak kemungkinan-kemungkinan kehidupan seperti itu tadi di masa depan.
3. jangan membahayakan syarat-syarat kelestarian tak terbatas umat manusia di bumi.
4. dalam pilihanmu sekarang keutuhan manusia mendatang harus menjadi bagian dari tujuan kehendakmu.
Dalam rangka merealisasikan keempat prinsip tersebut maka Jonas berpendapat bahwa manusia memiliki tanggungjawab untuk mendahulukan ramalan negatif. Maksudnya biarpun secara ilmiah maupun secara politis masih terjadi silang pendapat, namun kita tidak bisa menutup mata terhadap ramalan-ramalan yang memperlihatkan bahwa semua krisis yang terjadi saat ini tidak bisa begitu saja dilepaskan dari pemanfaatan teknologi dan sumberdaya alam yang sehabis-habisnya oleh bisnis. Suatu perhitungan yang sungguh matang diperlukan agar apa yang menjadi keprihatinan dari Hans Jonas tidak sampai terjadi. Pemikiran yang muncul di kalangan para ahli eonomi yang berkaitan dengan isu tentang pembangunan berkelanjutan perlu didalami dan dikembangkan. Inti dari pembangunan berkelanjutan adalah agar generasi sekarang tidak menjadi egosentris dan melalaikan kepentingan generasi mendatang.

Etika dan manajemen keuangan
Dewasa ini uang merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting bagi kelangsungan bisnis yang berciri kapitalistik. Uang bagaikan darah yang membawa zat-zat kehidupan bagi kelangsungan bisnis, tanpa uang tidak mungkin bisnis dapat hidup. Oleh karena itu salah satu tugas penting seorang manajer keuangan adalah menciptakan keseimbangan antara risiko (risk) dan pengembalian (return) atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai risk-return tradeoff . Dalam kaitan dengan risiko, maka kepekaan untuk membaca tanda-tanda jaman yang berkaitan dengan situasi dan kondisi keuangan internasional menjadi sangat penting. Selanjutnya seorang manajer keuangan selain memiliki kepekaan untuk membaca tanda-tanda, juga perlu memiliki kecermatan dalam melakukan perhitungan-perhitungan yang tepat, sehingga dapat mengurangi risiko kerugian perusahaannya. Berkaitan dengan itu maka profesionalitas dan kompetensi manajer keuangan menjadi sangat penting.
Bila dulu laporan keuangan perusahaan merupakan sesuatu yang sangat rahasia maka dewasa ini tidaklah sulit untuk menemukan laporan keuangan perusahaan di media massa, lebih-lebih bagi perusahaan-perusahaan publik. Dengan demikian transparansi dan tanggungjawab merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebutuhan dunia usaha. Namun biarpun demikian ada masalah etika yang perlu kita cermati. Salah satunya adalah masalah yang dalam bahasa Inggrsis dikenal dengan istilah earnings management. Yang dimaksud dengan earnings management adalah tindakan untuk meningkatkan atau menurunkan pendapatan perusahaan tanpa adanya kenaikan atau penurunan yang sebenarnya dari operasi perusahaan. Latar belakang dari tindakan tersebut adalah adanya perbedaan kepentingan di antara perusahaan dengan stakeholdersnya. Misalnya antara perusahaan dengan pemerintah dalam hal ini secara khusus dengan direktorat jendral perpajakan. Dalam kaitan dengan perbedaan kepentingan ini sebenarnya dapat dijembatani dengan prinsip ”jangan ada yang merasa kalah”. Berkaitan dengan itu maka prinsip tanggungjawab dapat menjadi landasan kerja yang baik, pihak bisnis memberikan data-data apa adanya, di pihak pemerintah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mau mengklarifikasi dan pihak bisnis memberikan tanggapan/klarifikasinya, tanpa diwarnai curiga yang berlebih-lebihan atau diwarnai dengan sikap mencari kesalahan. Salah satu cara terbaik yang dapat dipakai adalah sistem self-assessment, di mana perusahaan melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri dan siap untuk mempertanggungjawabkannya, demi kepuasan stakeholdersnya.

Etika dan manajemen informasi
Bila pada awal jaman modern dikenal semboyan “Knowledge is power” maka pada jaman sekarang semboyan itu telah berubah menjadi “Information is power”. Dewasa ini orang percaya bahwa siapa yang memiliki informasi yang akurat, up-to-date dan relevan dengan kepentingannya maka dia akan mampu merealisasikan kepentingannya tersebut, bahkan bisa menguasai dunia ini. Dalam kaitan dengan kenyataan tersebut maka ada beberapa masalah etis yang perlu mendapat perhatian, antara lain adalah apa yang dikenal sebagai spionase industri. Bila spionase industri dimengerti sebagai pengumpulan, pengorganisasian, dan analisis data yang dapat diperoleh dari artikel atau laporan yang dipublikasikan, maka bersifat amoral. Namun, yang terjadi sering tidaklah demikian, pengumpulan, pengorganisasian, dan analisis data yang diperoleh lewat orang dalam, artinya bukan yang dipublikasikan. Hal yang terakhir ini tidak dapat dibenarkan secara moral, ini sebuah pencurian. Dalam kaitan dengan ini maka perlu diperhatikan pihak-pihak yang menjadi sasaran dari informasi tersebut. Sekurang-kurangnya ada delapan lapis sasaran informasi, seperti informasi bagi pemegang saham dan calon pemegang saham, informasi bagi dewan komisaris, informasi bagi dewan direksi, informasi bagi karyawan, informasi bagi pemerintah, informasi bagi pemasok dan agen penjualan, informasi bagi konsumen dan informasi bagi masyarakat umum. Kedelapan lapis informasi tersebut tidak bisa dicampuradukkan. Pencampuradukan informasi merupakan kesalahan moral.

Etika dan kepemimpinan Bisnis
Dewasa ini diakui atau tidak bisnis merupakan salah satu kegiatan manusia – di samping bisnis masih ada sains dan teknologi – yang telah mendorong terjadinya perubahan pola hidup manusia yang sangat luar biasa. Arus perubahan yang dihembuskan oleh bisnis – yang telah memanfaatkan perkembangan sains dan teknologi – berwajah ganda. Di satu pihak bisnis telah menciptakan lapangan kerja dan bermacam-macam profesi baru, dan selanjutnya lewat produk dan jasanya bisnis telah membantu manusia untuk dapat hidup lebih layak dan nyaman. Namun di lain pihak bisnis juga telah menimbulkan – sekurang-kurangnya ada tiga masalah besar yang sungguh sangat memprihatinkan, yaitu kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, pola hidup yang sangat konsumtif dan kerusakan lingkungan hidup .
Dalam kaitan dengan ekonomi dan bisnis, maka dewasa ini dunia ditandai oleh dua macam realitas, yang pertama adalah kapitalisme global dan yang kedua adalah pemujaan terhadap sistem pasar dan perdagangan bebas. Bagi kapitalisme global yang menjadi nilai adalah kekuasaan dan pola hidup yang sangat konsumtif, dalam kaitan dengan itu maka keuangan telah menjadi mahakuasa (= uang identik dengan kekuasaan). Bahkan kenyataan ini sebenarnya sudah pernah diramalkan oleh Karl Marx, di mana Marx kurang lebih pernah berkata bahwa ”Agama masyarakat modern yang telah kehilangan Tuhan adalah kapital”. Dewasa ini begitu kita membuka mata yang terpikir adalah uang, seharian bekerja keras demi uang, malam masih berbicara tentang uang, bahkan mimpi juga bermimpi tentang uang. Bahkan teman saya seorang psikiater pernah berkata bahwa uang telah membuat manusia menjadi obsesif kompulsif.
Sedang sistem pasar dan perdagangan bebas sangat diyakini merupakan satu-satunya sistem yang dapat menyelesaikan hampir semua persoalan kehidupan ini. Kenyataan ini di latarbelakangi oleh kenyataan bahwa sistem sosialisme – yang selama ini menjadi pesaing telah gugur di tengah perjalanan. Namun nyatanya tidaklah sedemikian, terbukti dari beberapa data yang telah saya sampaikan. Dewasa ini ada kecenderungan kuat orang lain hanya dilihat entah sebagai pesaing entah sebagai sarana belaka. Salah satu gejala yang bisa mengkonfirmasi ini adalah adanya kesenjangan yang luar biasa antara pendapatan kaum buruh (= ump/umk) dan pendapatan para eksekutif. Dari pengalaman saya sebagai konsultan sistem penggajian, maka 75% total biaya untuk karyawan yang dikeluarkan oleh perusahaan itu hanya dinikmati oleh 25% jumlah karyawan, yaitu untuk para manajer dan para eksekutif. Sedang 25% dari total biaya untuk karyawan harus dibagi untuk 75% jumlah karyawan. Saya pikir semua permasalahan ini sangat mendasar dan perlu pemikiran yang sungguh-sungguh agar kita bisa menciptakan dunia baru yang lebih adil. Berkaitan dengan itu maka perlu suatu kepemimpinan bisnis yang berprinsip apa? Agar tercipta pembangunan berkelanjutan menuju keutuhan ciptaan sebagaimana didambakan oleh setiap orang.
Sudah sejak Aristoteles konsep tanggungjawab dibicarakan, dan bagi Aristoteles manusia adalah pelaku yang bertanggungjawab, karena bagi Aristoteles tanggungjawab berkaitan langsung dengan kemampuan manusia untuk menentukan pilihan. Dengan perkataan lain bagi Aristoteles konsep tanggungjawab berkaitan langsung dengan kebebasan manusia. Sedang bagi Max Weber orang yang bertanggungjawab berarti dapat mempertanggungjawabkan hasil tindakannya dihadapan hati nuraninya sendiri
Namun dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak terlalu mudah untuk menemukan manusia yang bertanggungjawab. Mungkin karena konsep tanggungjawab sendiri belum terlalu kita mengerti makna yang sebenarnya.
Berkaitan dengan itu maka adanya baiknya kalau kita belajar dari dua filsuf kontemporer, yang pertama adalah Emmanuel Levinas (1906 – 1995), sedang yang kedua adalah Hans Jonas (1903 – 1993). Baik Levinas maupun Jonas berbicara tentang etika tanggungjawab, biarpun dalam konteks yang berbeda. Filsafat wajah yang dikembangkan oleh Levinas melihat tanggungjawab dalam konteks hubungan antar manusia. Sedang filsafat heuristika-ketakutan yang dikembangkan oleh Jonas melihat tanggungjawab dalam konteks hubungan manusia dengan alam semesta dalam kaitan dengan kemajuan teknologi yang sangat mengagumkan, khususnya teknologi transportasi dan informasi. Kemajuan tersebut telah membuat dunia menjadi tanpa sekat – sebagaimana dikatakan oleh Konichi Ohmae – dan menjadi sebuah dusun global – sebagaimana dikatakan oleh Marshall McLuhan. Berkaitan dengan dunia yang tanpa sekat tersebut maka yang namanya kapital tidak lagi memiliki nasionalisme, kapital telah mengglobal, dengan tujuan akhir menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya, uang akan mengalir ke tempat yang bisa memberikan keuntungan paling besar tersebut. Sehubungan dengan ini maka filsafat wajah maupun filsafat heuristika-ketakutan – menurut saya – memiliki relevansinya dalam dunia yang ditandai dengan pandangan tentang manusia sebagai pesaing dan atau sebagai sarana belaka. Bagi Levinas wajah adalah simbol yang mewakili orang lain sebagai Yang Samasekali Lain. Selain itu wajah – bagi Levinas – berdimensi banyak, antara lain wajah yang telanjang, wajah itu orang asing, janda dan yatim piatu serta Tuan. Wajah adalah bagian tubunh manusia yang paling telanjang, tak terlindungi, wajah tampil apa adanya . Bagi Levinas wajah yang telanjang menampilkan kemiskinan yang penuh, oleh karenanya wajah mengundang kita untuk menanggapinya. Kemarginalan tersebut justru memiliki kekuatan yang besar untuk mengundang kita, untuk peduli kepada mereka. Maka bagi Levinas penampilan wajah sejak semula selalu bersifat etis . Berkaitan dengan ini maka yang unik pada pemikiran Levinas adalah bahwa Levinas sangat menekankan sifat asimetris . Dari relasi kita dengan orang lain. Dengan itu Levinas mau menekankan bahwa relasi kita dengan orang lain adalah gerakan searah dan bukan timbal balik, dalam arti suatu orientasi yang mau tidak mau harus berawal dari diri sendiri menuju kepada orang lain . Dalam kaitan dengan ini maka Levinas maju selangkah lagi dengan konsep tanggungjawab sebagai ”struktur hakiki, pertama dan fundamental dari subyektivitas” dan tanggungjawab itu dimengerti sebagai ”tanggungjawab bagi orang lain di mana orang lain tersebut menyapaku sebagai Tuan, yang datang dari tempat yang tinggi (Respondeo ergo sum). Dengan demikian orang lain telah mengundangku untuk menomorduakan kebebasanku, dalam arti mengakui orang lain sebagai tuan dan membuat aku menjadi rendah hati . Dalam kaitan dengan ini maka keadilan bagi Levinas tidak berarti sekadar memberikan apa yang menjadi hak seseorang, tetapi keadilan berarti menerima orang lain, menerima undangannya untuk “tidak membunuhnya”. Filsafat wajah yang dikembangkan oleh Levinas menurut sangat relevan dengan kondisi saat ini di mana ada kesenjangan bagitu lebar antara yang kaya dan yang miskin, adanya begitu banyak kaum marginal. Mengenai pemikiran Hans Jonas baca kembali etika dan manajemen produksi.
Begitu banyak buku yang sudah ditulis sehubungan dengan tema kepemimpinan pada umumnya dan kepemimpinan bisnis pada khususnya. Namun, tetap belum ada pengertian yang seragam tentang konsep kepemimpinan. Biarpun demikian saya pikir ada satu hal yang bisa kita pegang bersama, yaitu bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki pengikut, dan seorang pemimpin bersama dengan para pengikutnya akan melakukan perjalanan bersama untuk mencapai cita-cita bersama. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa seseorang bisa menjadi pemimpin? Pertanyaan ini – menurut saya – lebih sulit untuk dijawab. Namun, pertanyaan tersebut juga bisa dirumuskan secara lain, yaitu mengapa ada sekelompok orang yang mau mengikutinya? Pertanyaan yang terakhir ini mungkin lebih mudah untuk dijawab. Seseorang mau mengikuti seseorang yang akan disebutnya sebagai pemimpin, bisa karena tertarik pada kepribadiannya yang terungkap melalui perilakunya, bisa karena pemikirannya, dan bisa karena visinya . Menurut Burt Nanus bila seorang pemimpin memiliki visi yang tepat, maka para pengikutnya akan komit dan sekaligus bergairah, karena terciptanya makna kehidupan, juga terciptanya suatu pedoman keunggulan serta dapat menjembatani antara masa sekarang dan masa yang akan datang. Visi merupakan kunci dari kepemimpinan dan kepemimpinan merupakan kunci keberhasilan. Namun visi yang bagaimana?
Sebagaimana telah diperlihatkan bahwa bisnis menjadi salah satu pendorong terjadinya kesenjangan yang makin lebar antara yang kaya dan yang miskin. Kemudian bisnis juga menjadi salah satu pendorong terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang parah, dan yang terakhir bisnis juga telah menjadi pendorong pola hidup yang sangat konsumtif, di mana orang lebih digerakkan oleh gengsi daripada kebutuhan. Dalam situasi dan kondisi seperti itulah seorang pemimpin bisnis berada. Di sinilah apa yang diperlihatkan baik oleh Levinas maupun oleh Hans Jonas menjadi sangat relevan. Apakah seorang pemimpin bisnis tetap akan mengejar apa yang disebut sebagai usaha untuk memaksimalkan keuntungan, agar dengan demikian rasio dari return on investmentnya menjadi tinggi. Biarpun di sisi lain mereka berhadapan dengan wajah-wajah marginal yang mengundang tanggungjawab mereka. Di lain pihak apakah para pemimpin bisnis tidak merasa takut dengan ramalan-ramalan buruk tentang malapetaka global bila kita tetap bersikap boros dengan sumberdaya yang langka, dan proses produksi yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Dengan memperhatikan apa yang dipikirkan oleh Levinas dan Jonas, maka bagi saya pemimpin bisnis yang baik adalah seorang pemimpin yang memiliki visi keutuhan ciptaan. Berkaitan dengan visi keutuhan ciptaan maka sebenarnya dalam pemikiran manajemn sudah mulai terbersit visi tersebut, umpamanya apa yang disebut sebagai stakeholders benefit, di mana bisnis mulai memperhatikan kemaslahatan semua pihak yang terkait dengan bisnis yang bersangkutan.
Sedang dalam ilmu ekonomi sudah terdengar apa yang disebut sustainable development, di mana kesadaran akan persoalan-persoalan tersebut di atas sedikit banyak mengubah orientasi perkembangan dan pembangunan yang selama ini dikembangkan World Commission on Environment and Development dalam laporannya yang berjudul The Brundland Report memberikan pembatasan tentang sustainable development sebagai ”pembangunan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari generasi sekarang, tanpa membahayakan kesanggupan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri” .
Namun, gaung dari visi keutuhan ciptaan saya pikir kalah dengan gaung dari pemujaan pasar dan perdagangan bebas serta kapitalisme global yang memiliki akses pada organisasi-organisasi dunia yang berfungsi sebagai surveillance system, seperti WTO, IMF dan World Bank. Selain daripada itu lewat perusahaan-perusahaan multinasional mereka bisa menjadi The New Rulers in the World (istilah ini saya pinjam dari John Pilger, seorang wartawan BBC). Di mana semua permasalahan dalam hidup bermasyarakat diyakini dapat dijelaskan dan diselesaikan dari sudut ekonomi belaka. Atau dengan perkataan lain perkara sosial dilihat sebagai masalah individual, masalah social welfare dilihat sebagai masalah self-care. Bagi saya hal itu disebabkan oleh karena kurangnya para pemimpin yang memiliki visi keutuhan ciptaan. Padahal lewat salah satu tugas pemimpin yang tidak lain adalah mengambil keputusan, maka pemimpin bisa mengarahkan aktivitas organisasinya menuju pada visi keutuhan ciptaan, dengan memasukkan pertimbangan-pertimbangan moral dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan dalam kaitan dengan visi tersebut – biarpun dalam konteks yang berbeda – kita menemukan keluhan-keluhan dari beberapa orang pemikir kepemimpinan, seperti halnya Warren Bennis bahwa dewasa ini kita sedang mengalami krisis kepemimpinan. Yang menarik adalah bahwa bagi Bennis salah satu gejala yang mengkonfirmasi keluhannya adalah kesenjangan yang makin melebar antara si kaya dengan si miskin.
Inilah tantangan yang perlu permenungan mendalam, dan perlunya mengembangkan apa yang oleh John Powell disebut sebagai Fully Human, Fully Alive, dan jangan hanya menekankan manusia sebagai makhluk ekonomis (Homo Economicus) belaka.

Contoh analisis kasus
Kasus PT Inti Indorayon Utama dan Danau Toba (hal. 342-343)
Fakta-fakta/analisis situasi:
1. 19 Maret 1999 Preside B.J. Habibie memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan operasional industri bubur kertas dan serat rayon pengganti kapas pada PT IIU.
2. akan ada penelitian lebih lanjut untuk pengambilan keputusan secara definitif.
3. tujuannya untuk meredakan keresahan masyarakat di sekitar PT IIU tersebut.
4. PT IIU diresmikan oleh Presiden Soeharto pada akhir tahun 1989 dengan nilai investasi 600 juta $ AS.
5. biarpun menteri lingkungan hidup dan menteri perindustrian tidak merekomendasikannya, namun menristek merekomendasikannya. PT IIU menguasai HPH seluas 269.000 hektar, memastikan akan melakukan reboisasi.
6. PT IIU mengembangkan perkebunan inti rakyat (pir), di mana bibit, biaya pengolahan lahan, pemupukan dan perawatan sepenuhnya ditanggung perusahaan, selain daripada itu rakyat juga mendapat upah.
7. PT IIU juga memperoleh ijin pemanfaatan kayu pinus seluas 86.000 hektar yang segera akan ditanami kembali setelah ditebang.
8. rencananya cukup bagus, namun pelaksanaanya tidak sesuai dengan rencana, sehingga terjadi
a. penurunan debit musim kemarau anak sungai sehingga pengairan sawah seluas 10.000 hektar terganggu.
b. Penurunan permukaan air danau sehingga mengganggu nelayan, pariwisata, dan transportasi, PLTA.
c. Terjadinya pencemaran.
9. namun penghentian sementara PT IIU juga mengakibatkan pekerja yang berjumlah kira-kira 6000 orang terlantar masa depannya.
Masalah pokok/analisis persoalan:
Analisis dampak lingkungan kurang diperhatikan sehingga menjadi persoalan dilematis antara no. 8 dan no. 9
Analisis moral
Bila kita menganalisis persoalan ini dengan pendekatan utilitaristis maka yang menjadi tititk tolak adalah dampak dari adanya PT IIU, di satu pihak PT IIU mampu menyediakan lapangan kerja bagi 6000 karyawan atau kurang lebih 24.000 jiwa dengan asumsi setiap karyawan memiliki tanggungan 3 jiwa. Namun di lain pihak dampak negatif dengan adanya PT IIU adalah menurunnya produksi beras karena terganggunya pengairan 10.000 hektar sawah, nelayan, pariwisata, transportasi dan PLTA terganggu, yang terakhir juga terjadi pencemaran lingkungan hidup. Ketiga dampak negatif ini saya pikir akibatnya jauh lebih besar daripada 24.000 jiwa. Maka keputusan Presiden B.J. Habibie secara moral tepat, biarpun pemerintah tidak bisa lepas tangan dengan 24.000 jiwa yang secara ekonomis akan terlantar, karena bagaimanapun juga hal itu menjadi tanggungjawab pemerintah karena mengabaikan amdal.
Begitu pula bila kita menganalisis masalah PT IIU ini dari sudut pandang teori deontologi yang berangkat dari isu kewajiban, di mana salah satu kewajiban kita adalah melestarikan lingkungan hidup demi kesejahteraan umat manusia pada umumnya secara berkesinambungan, maka mengabaikan amdal merupakan suatu keputusan yang tidak etis, dengan demikian tidak dapat diterima secara moral.
Kesimpulan
Baik secara utilitaristis maupun deontologis keputusan presiden B.J. Habibie secara moral dapat dibenarkan, bahkan dapat dikukuhkan menjadi sebuah keputusan yang definitif.

Penutup
Sejak 1986 sekelompok eksekutif puncak dari perusahaan-perusahaan multinasional melakukan pertemuan-pertemuan di kota Caux, Swiss untuk mengurangi ketegangan-ketegangan dalam persaingan bisnis Internasional. Pemrakarsanya adalah Frederick Philips, mantan direktur utama Philips Electronics, serta Olivier Giscard d’Estaing, wakil ketua INSEAD, sekolah tinggi administrasi bisnis terkemuka di Perancis. Anggota yang lain adalah Ryuzaburo Kaku (chairman dari Canon, Jepang), Alfredo Ambrosetti (chairman dari kelompok Ambrosetti, Italia), Neville Cooper (chairman dari Top Management Partnership, Inggris, dan mantan wakil presiden dari ITT, Garnett I. Keith, dan Winston R. Wallin (chairman dari Medtronic Inc., USA). Pertemuan ini diawali dengan proses identifikasi nilai-nilai bersama, nilai-nilai lintas budaya yang dihormati oleh semua pihak, akhirnya pertemuan ini menghasilkan prinsip-prinsip bisnis yang kemudian dikenal sebagai The Caux Round-Table. Prinsip-prinsip ini pada bulan Juli 1994 diterima sebagai Kode Etik Internasional di bidang bisnis yang pertama di dunia. Salah satu keunikan dari kode etik ini adalah didasarkan pada nilai-nilai luhur baik dari barat maupun dari timur. Kode etik ini berciri komunitarian/kesejahteraan umum (timur) dan individual/martabat manusia (barat).
Kode etik internasional ini terdiri dari mukadimah yang berisi ”pengakuan bahwa hukum dan kekuatan pasar belum mencukupi untuk menjadi pemandu perilaku bisnis, maka diperlukan penghormatan pada martabat dan kepentingan stakehorlders, begitu pula pada nilai-nilai bersama termasuk di dalamnya kemakmuran bersama sebagai komunitas global”.
Selanjutnya dirumuskan tujuh prinsip umum yang tidak lain adalah:
1. Tanggungjawab bisnis: dari shareholders ke stakeholders.
Nilai organisasi bisnis bagi masyarakat ialah kekayaan dan lapangan kerja yang diciptakannya serta produk dan jasa yang dipasarkan kepada konsumen dengan harga wajar yang sebanding dengan mutu.
2. Dampak ekonomis dan sosial dari bisnis: menuju inovasi, keadilan dan komunitas dunia.
Organisasi-organisasi bisnis yang didirikan di luar negeri untuk membangun, memproduksi atau menjual juga harus memberi sumbangan padapembangunan sosial negara-negara itu dengan menciptakan lapangan kerja yang produktif dan membantu meningkatkan daya beli warganegara setempat.
3. Perilaku bisnis: dari hukum yang tersurat ke semangat saling percaya.
Dengan tetap mengakui keabsahan rahasia-rahasia dagang organisasi-organisasi bisnis haruslah menyadari bahwa kelurusan hati, ketulusan, kejujuran, sikap memegang teguh janji, dan transparansi, bermanfaat tidak hanya bagi kredibilitas dan stabilitas bisnis sendiri, tetapi juga bagi klancaran dan efisiensi transaksi-transaksi bisnis, khususnya pada tingkat internasional.
4. Sikap menghormati aturan.
Untuk menghindari konflik-konflik dagang dan untuk menggalakkan perdagangan yang lebih bebas, kondisi-kondisi adil dalam persaingan, perlakuan yang seimbang dan adil bagi seluruh partisipan, organisasi-organisasi bisnis wajib menghormati aturan-aturan internasional dan domestik.
5. Dukungan bagi perdagangan multilateral.
Organisasi-organisasi bisnis wajib mendukung sistem perdagangan multilateral dari GATT/WTO serta kesepakatan-kesepakatan internasional serupa.
6. Sikap hormat bagi lingkungan hidup.
Bisnis wajib melindungi dan di mana mungkin meningkatkan lingkungan alam, mendukung pembangunan yang berkelanjutan, dan mencegah terjadinya pemborosan sumber-sumber daya alam.
7. Menghindari operasi-operasi yang tidak etis.
Bisnis wajib untuk tidak berpartisipasi dalam atau menutup mata terhadap penyuapan, ’pencucian uang’, atau praktek-praktek korup lainnya: bahkan bisnis wajib untuk menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain untuk membasmi praktek-praktek itu. Bisnis wajib untuk tidak memperdagangkan senjata atau barang-barang lain yang diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan teroris, perdagangan obat bius atau kejahatan terorganisasi lainnya.
Selain prinsip umum juga dinyatakan prinsip-prinsip stakeholders, khususnya terhadap pelanggan (misalnya: memastikan adanya sikap hormat terhadap martabat manusia dalam produk-produk yang ditawarkan, dalam pemasaran dan periklanan), karyawan (misalnya: menyediakan lapangan kerja dan kompensasi yang meningkatkan kondisi hidup para pekerja), pemilik/penanam modal (misalnya: menerapkan manajemen yang bersungguh-sungguh dan profesional untuk memberikan hasil yang kompetitif dan adil bagi investasi para pemilik modal), pemasok (misalnya: membayar para pemasok pada waktunya dan sesuai dengan term of trade yang sudah disepakati bersama), pesaing (misalnya: menghormati hak-hak atas kekayaan intelektual, baik yang tangible mupun yang intangible), masyarakat (misalnya: menghormati hak-hak asasi manusia dan lembaga-lembaga demokrasi, serta memajukannya bila mungkin).
Suatu langkah awal yang sangat baik, menjadi tugas kita semua untuk mensosialisasikannya (Bogor, 10 Agustus 2006).