Jumat, 17 Desember 2010

Pendidikan nilai

Keluarga sebagai wahana yang pertama dan utama dalam proses pendidikan iman dan nilai .
Stanislaus Nugroho

Dewasa ini kita sedang hidup dalam suatu masyarakat/bangsa/negara yang sedang mengalami krisis berkepanjangan, yang diawali dengan krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 dan kemudian menjalar ke hampir seluruh aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, dan yang akhirnya bermuara pada krisis nilai/moral, hilangnya bahkan matinya hati nurani . Berkaitan dengan itu maka tidaklah mengherankan bila KWI melalui Nota Pastoralnya tahun 2004 menyatakan bahwa “Masalah-masalah yang menyangkut ranah publik bangsa Indonesia dewasa ini terdiri dari korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan. Ketiga penyakit sosial ini benar-benar membuat ruang publik tidak berdaya untuk mengembangkan keadaban bahkan meningkatkan jumlah maupun jenis kerusakan-kerusakan lain dalam masyarakat” . Berkaitan dengan itu maka para Uskup mengungkapkan pentingnya keteladanan dan mengusulkan hal-hal yang amat konkret sebagai berikut :
1. “Gereja ingin menjadi sahabat bagi semua kalangan,
2. Gereja ingin mengembangkan modal-modal sosial amat bernilai seperti: kekayaan budaya nasional ….., terutama mengenai keadilan sosial bagi seluruh bangsa, solidaritas, kesejahteraan umum, cinta damai …..
3. Gereja mau ikut serta dalam prakarsa-prakarsa pemberdayaan masyarakat akar rumput …..
4. Gereja ingin mendorong umat yang mampu dalam bidangnya untuk masuk ke dalam jejaring yang sudah terbangun misalnya penggerak swadaya masyarakat, …..
5. Gereja merasa wajib untuk memberi perhatian khusus pada pelayanan pendidikan, …..
6. Gereja menyadari bahwa usaha pembaharuan mesti mulai dari diri sendiri. ….. memberi perhatian pada pembinaan administrasi dan disiplin yang bersih di dalam lembaga-lembaga gerejani sendiri terlebih dahulu.
7. Sementara itu prakarsa-prakarsa lain harus ditemukan dalam pencarian bersama, ….. dalam berbagai komunitas basis, yang terus menerus perlu mengembangkan diri dan merupakan tempat yang subur bagi terjadinya penegasan bersama”.
Berkaitan dengan itu maka sesuai dengan judul tulisan ini maka kami ingin memfokuskan diri pada butir 5, yang berbicara tentang pendidikan, bahkan kami ingin lebih fokus pada masalah pendidikan non-formal, yang dilakukan oleh dan dalam keluarga. Karena bagaimanapun juga keluarga merupakan benteng yang pertama dan yang terakhir dari tegaknya nilai-nilai kemanusiaan dasar, seperti tanggungjawab, kejujuran, kesetiaan, keadilan dan lain-lain. Namun, sebagaimana dicatat oleh Anthony Giddens bahwa “Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi kita – dalam seksualitas, hubungan pribadi, perkawinan, dan keluarga. Ada sebuah revolusi global yang tengah berlangsung mengenai bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita membangun ikatan dan hubungan dengan orang lain. Inilah revolusi yang merebak dalam takaran yang berbeda-beda di berbagai wilayah dan budaya, dengan banyak perlawanan terhadapnya” . Dengan perkataan lain perkawinan dan keluarga mengalami tantangan yang bersifat global. Untuk itu ada baiknya bila kita back to basic, yaitu ke iman kita dan ajaran-ajaran yang telah dikemukakan oleh Gereja, khususnya sejak Konsili Vatikan II.
Konsili Vatikan II melalui Pernyataan tentang Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis) dengan tegas menyatakan bahwa “Karena orangtua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Maka orangtualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama” . Pengakuan terhadap orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama khususnya yang berkaitan dengan iman dan nilai-nilai . Selanjutnya Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini (Gaudium et Spes) menyatakan bahwa “Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan , kesepakatan suami-isteri, dan kerjasama orangtua yang tekun dalam pendidikan anak-anak” . Dengan perkataan lain keluarga hendaknya menjadi sekolah kemanusiaan yang pertama dan utama.
Namun, peranan yang sedemikian hakiki dari para orangtua – dewasa ini – rasanya kurang disadari , lebih-lebih perhatian orangtua dewasa ini sebagian besar tercurah pada masalah ekonomi keluarga, mereka harus mengerahkan tenaga, pikiran dan waktu mereka untuk mendapatkan penghasilan demi kehidupan keluarganya, ‘tidak punya waktu lagi’ untuk berpikir tentang ‘pendidikan’ anak-anaknya dan relasinya baik sebagai suami-isteri maupun sebagai orangtua. Rumah tangga telah berubah menjadi rumah kost. Relasi antar pribadi, yang akrab, mesra dan bertanggungjawab sering sudah menjadi barang luks, yang sulit diperoleh karena sudah sangat ‘mahal’ untuk diperoleh.
Padahal Linda & Richard Eyre dalam bukunya dengan tegas menyatakan bahwa “Rumah atau keluarga tidak akan pernah – tidak boleh – dan tidak dapat digantikan sebagai lembaga tempat nilai-nilai dasar dipelajari dan diajarkan. Anak-anak boleh tumbuh dan akhirnya mengembangkan nilai-nilai yang berbeda dari nilai-nilai anda, juga berbeda dari yang anda coba ajarkan kepada mereka; tetapi paling tidak mereka akan berbuat demikian dengan sadar, menggunakan nilai-nilai anda sebagai pembanding dan titik tolak untuk tinggal landas. Jika anak-anak berangkat dari kondisi tanpa nilai – tanpa seorangpun yang mengajari, tanpa sesuatu yang dapat dipelajari – mereka akan terkatung-katung tak tentu arah, dan hidup mereka tidak akan pernah menjadi milik sendiri” .
Dewasa ini – saya pikir – sudah cukup sulit untuk menemukan orang tua menjadi pendongeng bagi anak-anak mereka pada saat anak-anak mau tidur, menjadi pendamping bagi anak-anak mereka pada saat anak-anak menonton televisi dan bermain komputer, mengajak anak-anak berbagi pengalaman sehari-hari, mengajak anak-anak berdiskusi tentang masalah-masalah sehari-hari. Padahal melalui hal-hal kecil tersebut orangtua bisa melakukan komunikasi nilai dan iman. Berkaitan dengan ini maka saya teringat pada seorang pendidik yang sangat terkenal, yaitu Pater Christopher Gleeson, SJ yang menulis “Dalam kehidupan ini hanya terdapat dua hal yang dapat kita berikan – kita, orangtua dan guru – yakni akar dan sayap. ….. Memberikan akar kuat untuk kehidupan kepada anak-anak muda berarti (a) memberikan kepada mereka seperangkat nilai yang akan menolong mereka untuk menghadapi badai kehidupan yang terhindarkan, (b) berarti memisahkan mana yang pokok, mana yang bukan pokok, mana barang yang sesungguhnya, mana yang hanya merupakan bayangan, dan (c) berarti membeda-bedakan mana yang abadi mana yang hanya berupa mode. ….. sayap, mengenai kebebasan, anugerah besar yang dapat kita berikan kepada anak-anak muda kita. Namun kita harus mengingatkan diri kita bahwa kebebasan dapat dengan mudah diidealisasikan dan diromantisasikan sebagai kemerdekaan tanpa beban, tanpa kewajiban. Dalam kenyataannya kebebasan merupakan pengorbanan yang jauh lebih susah dimengerti dari pada nilai-nilai. Mengapa? Karena kebebasan sebenarnya adalah usaha tak kunjung henti dalam diri kita untuk secara bertanggungjawab memilih nilai-nilai yang kita hargai, kita junjung tinggi di dalam hati dan untuk selalu setia membela nilai-nilai itu. Nilai dan kebebasan adalah dua sejoli yang tak dapat dipisah-pisahkan. Nilai dan kebebasan itu layaknya sebuah buku pribadi. Dari sini kita belajar nilai dan kebebasan dari orang-orang yang mengilhami kita, yang menawan hati kita, yang memiliki akar kuat dan yang menemukan sayap untuk menjadi dirinya sendiri di dalam kehidupan. Oleh karenanya mengajarkan nilai dan kebebasan secara luas adalah tindakan luhur, suatu latihan dalam ilham”. Persoalannya bagaimana itu bisa dilaksanakan oleh para orang tua? Memang perlu pelatihan untuk menjadi orangtua yang berdayaguna, mengingat selama ini belum pernah ada ”sekolah” menjadi orang tua, menjadi orangtua semata-mata berlangsung dengan pendekatan ”trial and error”. Dalam dunia yang begitu cepat berubah yang menimbulkan tantangan tidak kecil maka pendekatan ”trial and error” sungguh sangat tidak memadai.
Berkaitan dengan itu maka saya punya impian sebagai berikut ”setiap lingkungan mengirim 1 sampai 2 orang ke Komisi Keluarga Keuskupan Bogor (yang mulai tahun 2008 akan menyelenggarakan pelatihan secara periodik), agar mereka siap menjadi tim tingkat Paroki. Mereka kemudian menyelenggarakan pelatihan-pelatihan di parokinya kepada pengguna terakhir yaitu keluarga-keluarga , yakni keluarga-keluarga kristiani di akar rumput. Memang kami sadar untuk melakukan ini semua dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun bila kita ingin membangun ”habitus baru” atau ”budaya alternatif” maka marilah kita jadikan program ini sebagai program yang diprioritaskan , lebih-lebih Keuskupan Bogor dalam SagKi 2005 menjadi pendidikan nilai dalam keluarga sebagai salah satu fokus gerakan, selain itu masih ada dua yang lain yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat marginal dan kerukunan hidup beragama.

Bogor, 24 Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar