Kamis, 10 Februari 2011

Keluarga

Keluarga Bertanggungjawab
Stanislaus Nugroho, Komisi PSE Keuskupan Bogor

Pada masa Prapaskah 2010 ini Gereja mengajak Umatnya untuk merenungkan kembali kehidupan perkawinan dan keluarga. Gereja ingin mengajak Umatnya untuk menyadari kembali ‘nilai luhur dan kesucian status perkawinan’ (Gaudium et Spes, artikel 47). Ajakan ini berkaitan dengan kenyataan bahwa keluhuran dan kesucian perkawinan mengalami erosi yang cukup mengkhawatirkan. Oleh karena pada masa Prapaskah ini Umat diajak untuk berfokus pada tema KELUARGA BERTANGGUNGJAWAB. Sebagai sub-temanya dipilih empat hal, yaitu:
• Keluarga Sebagai Panggilan.
• Keluarga Sebagai Komunitas Pribadi-pribadi.
• Keluarga Kristiani Yang Mandiri.
• Keluarga Membaharui Diri Terus-menerus.
Tanggungjawab merupakan salah satu nilai yang sangat penting dalam kehidupan manusia, mengapa? Jawabannya berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia mampu menentukan dirinya sendiri, atau dengan perkataan lain manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan. Seandainya manusia tidak memiliki kebebasan maka kita tidak perlu dan tidak bisa berbicara tentang tanggungjawab.
Berkeluarga merupakan suatu pilihan bentuk kehidupan manusiawi, maka berkeluarga merupakan suatu keputusan. Setiap keputusan yang dibuat dengan tahu dan mau maka keputusan tersebut menuntut adanya tanggungjawab, karena setiap keputusan selalu memiliki dampak bagi diri sendiri maupun bagi pihak yang terkait dengan keputusan tersebut.

Keluarga berada di persimpangan jalan
Akhir-akhir ini kehidupan berkeluarga mengalami begitu banyak tantangan. Pada bagian ini kami ingin menyajikan beberapa pandangan yang diberikan oleh para pemerhati keluarga. Yang pertama, Anthony Giddens, seorang sosiolog yang paling berpengaruh dewasa ini dan sekaligus Direktur dari London School of Economics, dalam bukunya yang berjudul Runaway World (1999) bab IV memberikan catatan yang perlu kita simak dengan baik. Catatannya sebagai berikut “Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi kita – dalam seksualitas, hubungan pribadi, perkawinan dan keluarga. Ada sebuah revolusi global yang tengah berlangsung mengenai bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita membangun ikatan dan hubungan dengan orang lain”. Artinya keluarga sebagai sel terkecil dari masyarakat sedang mengalami tantangan yang tidak ringan, seperti free sex, perceraian, kumpul kebo, single parent (bukan karena kematian salah satu pasangan), dan lain-lain.
Selanjutnya dalam konteks Indonesia, dalam sebuah buku yang berjudul Di Ttengah Hentakan Gelombang. Agama dan Keluarga Dalam Tantangan Masa Depan (1997), Redaksi memberi catatan pengantar sebagai berikut “….. keluarga sekarang ternyata bukan lagi tempat perlindungan yang aman dan teduh. Keluarga juga telah terpecah dan mengalami krisis. Krisis institusi keluarga, bahkan merupakan bagian penting dari krisis kehidupan di penghujung abad XX ini”. Saat ini melalui media massa kita bisa membaca, melihat, mendengar terjadinya kekerasan dalam keluarga, suami terhadap pasangannya, kadang-kadang isteri terhadap pasangannya, orangtua terhadap anak-anaknya, dan lain sebagainya.
Di Keuskupan Bogor sendiri – sejauh pengalaman saya selama mendampingi keluarga-keluarga, permasalahan utama yang dihadapi oleh para suami dan isteri serta anak-anak bisa diungkapkan dengan satu kata, yaitu relasi. Relasi menjadi tidak selaras karena banyak di antara pasangan suami isteri belum memiliki ketrampilan berkomunikasi yang berdayaguna. Kemudian ada bermacam-macam hal yang menjadi pemicu, misalnya: keuangan keluarga, pendidikan anak, keluarga besar, dan lain-lain.
Berkaitan dengan itu maka tidaklah terlalu mengherankan bila Pater B. Kieser, SJ dalam Majalah Basis, edisi 05-06, Tahun ke 52, Mei-Juni 2003 mengajukan pertanyaan “Keluarga: Bahtera yang sudah karam?”
Dalam Gereja Katolik akhir-akhir ini cukup banyak kasus perkawinan yang akhirnya dibawa ke Pengadilan Gereja untuk mendapatkan ‘pembatalan perkawinan. Gereja Katolik tidak mengenal perceraian, dikatakan ‘pembatalan perkawinan’ karena perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Gereja Katolik. Kasus yang terjadi di Keuskupan Bogor ada 146 kasus yang berkaitan dengan adanya halangan yang menggagalkan kesepakatan, cacat dan tidak terpenuhinya forma kanonik.
Bagi mereka yang mengalami dan menjalani hidup perkawinan, maka kita harus mengakui bahwa hidup perkawinan bukanlah hal yang mudah. Perkawinan sebagai suatu perjalanan bersama, merupakan suatu proses membangun kesejolian antara dua dua orang (= laki-laki dan perempuan) yang masing-masing memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Lebih-lebih dengan latar belakang budaya, pendidikan, pemikiran, minat dan kepentingan yang berbeda satu dengan lainnya, membuat proses membangun kesejolian menjadi semakin sulit dan berat.
Namun, bagaimanapun juga rencana Allah tentang perkawinan, sudah sangat jelas, yaitu sebagaimana dapat kita baca dalam Kitab Kejadian 2:24 “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Yang menarik adalah bahwa Yesus – sebagaimana dicatat oleh Penginjil Markus dan Mateus – juga mengutip Kitab Kejadian 2:24 (lihat Mk. 10:7 dan bandingkan dengan Mt. 19:5) dalam menjawab pertanyaan kaum Farisi tentang masalah perceraian. Bahkan rasul Paulus dalam suratnya kepada umat di Efesus, 5:31 juga mengutip Kitab Kejadian 2:24. Berkaitan dengan itu maka dapat disimpulkan bahwa Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan untuk menjadi sejoli, menjadi sepasang, sejodoh, menjadi pasangan suami dan isteri (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1990, halaman 794).
Namun di lain pihak rencana dunia tentang perkawinan dan keluarga menawarkan pola-pola yang berbeda, misalnya keluarga single parent (bukan karena kematian), kemudian beberapa negara di antaranya Inggris memberlakukan undang-undang yang memperbolehkan pernikahan sejenis. Kompas tanggal 24 Desember 2005, halaman 16 memberitakan bahwa “penyanyi pop Inggris, Elton John (58), akhirnya ‘menikah’ dengan pasangan gay-nya, David Furnish”. Selain daripada itu ada juga yang menawarkan rumah tangga sekadar rumah kos, di mana kebersamaan yang merupakan salah satu ciri terpenting dalam keluarga mengalami erosi. Dalam kaitan dengan situasi kondisi yang membuat banyak keluarga kristiani berada di persimpangan jalan, Gereja ingin menekankan kembali bahwa perkawinan adalah kesejolian (lihat Gaudium et Spes, artikel 48), dan keluarga adalah sebuah komunitas pribadi-pribadi (lihat Familiaris Consortio, artikel 18 - 27).

Perkawinan dan Keluarga sebagai panggilan
Pada Kitab Kejadian 1:27 tertulis “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarnya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka”. Mengapa Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan? Jawabannya bisa kita temukan pada Kitab Kejadian 2:24 di mana tertulis “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Dengan demikian hakekat perkawinan adalah kesejolian. Artinya perkawinan merupakan sebuah persekutuan hidup atas dasar cinta.
Kesejolian bukanlah barang jadi yang bisa dibeli begitu saja, kesejolian merupakan suatu ‘menara’ yang harus dibangun. Dalam usaha membangun menara tersebut kita bisa belajar dari Keluarga Kudus Nazaret suatu keluarga yang hidup lebih dari dua ribu tahun yang lalu di kota kecil bernama Nazaret, yaitu keluarga Yosef dan Maria serta anaknya yang bernama Yesus. Lewat keluarga ini kita bisa belajar bagaimana mereka membangun keluarga berdasarkan suatu spiritualitas perkawinan dan keluarga yang sungguh patut dicontoh.
Bila kita merenungkan baik Injil Mateus 1: 18-25 maupun Injil Lukas 1: 26-38 maka kita bisa menemukan beberapa hal penting yang perlu kita camkan dalam diri kita masing-masing. Yang menjadi fokus utama dalam perikop Mt. 1:18-25 adalah Yosef. Diceritakan bahwa Maria sudah bertunangan dengan Yosef, namun mereka belum hidup sebagai suami dan isteri, artinya antara Maria dan Yosef sudah ada relasi yang serius, tinggal peresmian saja, di mana Yosef akan menjemput Maria dan masuk ke rumah Yosef. Ternyata Maria sudah hamil, maka Yosef ingin menceraikan Maria secara diam-diam, agar nama Maria tidak tercemar di depan umum. Sebelum Josef merealisasikan niatnya tersebut, maka Josef mendapat mimpi, dalam mimpinya Yosef bertemu dengan Malaikat Tuhan yang memberitahu “Yosef, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus (Mt. 1:20). Yosef mendengarkan dan melaksanakan kehendak Allah. Yosef menjemput Maria untuk menjadi isterinya. Yosef mulai membangun kehidupan keluarganya dengan menanggapi Kehendak Allah. Ternyata sebelum komitmen antara Yosef dan Maria, didahului oleh komitmen antara Yosef dengan Allah. Yosef komit pada kehendak dan panggilan Allah.
Selanjutnya pada Lk. 1:26-38 yang menjadi fokus adalah Maria. Diceritakan bahwa Maria mendapat kunjungan Malaikat Gabriel. Maria mendapat kasih karunia Allah, yaitu bahwa Maria akan mengandung seorang anak yang tidak lain adalah Anak Allah Yang Mahatinggi. Berkaitan dengan kunjungan tersebut Maria menjadi bingung, sehingga Maria bertanya “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami” (Lk. 1:34). Hal itu menjadi mungkin terjadi karena “Roh Kudus akan turun atasmu dan Kuasa Allah yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah (Lk. 1:35). Terhadap jawaban yang diberikan oleh Malaikat Gabriel tersebut Maria berkata “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lk. 1:38). Dialog tersebut memperlihatkan bahwa Maria mendengarkan dan komit pada Sabda Allah, sebagai awal dari panggilannya sebagai isteri dan ibu.
Komitmen yang ada dalam diri Yosef dan Maria terhadap Allah dilandasi oleh adanya keterbukaan diri dan iman kepercayaan yang kuat terhadap penyelenggaraan Illahi. Setelah komit pada Sabda Allah, maka Yosef dan Maria merealisasikan komitmen mereka secara utuh, mereka menjadi pasangan suami isteri yang berjalan bersama untuk membangun keluarga mereka sesuai dengan rencana Allah. Mereka tetap setia biarpun perjalanan mereka tidaklah mulus. Misalnya, Yesus lahir pada saat Yosef dan Maria dalam perjalanan menuju Betlehem – dalam rangka memenuhi perintah Kaisar Agustus – untuk melakukan sensus penduduk, dan ‘mereka tidak mendapat tempat penginapan, sehingga Yesus dibaringkan di dalam palungan’ (Lk. 2:7). Namun, dalam situasi itu ternyata datang penghiburan dari para penggembala, para penggembala mensharingkan pengalaman (iman) mereka waktu mendapat penampakan dari malaikat Tuhan , dan sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah (Lk. 2:13). Mendengar sharing para penggembala Yosef dan Maria menjadi bingung dan tidak mengerti apa maknanya, namun ‘Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya (Lk. 1:19). Pengalaman lain yang membuat Yosef dan Maria ‘amat heran akan segala apa yang dikatakan tentang Dia’ (Lk. 2:33) adalah pertemuannya dengan Simeon – seorang yang benar dan saleh – di Bait Allah, yaitu waktu Yesus akan disunat dan diserahkan kepada Tuhan, sesuai dengan hokum Taurat Musa. Yang menarik apa yang dicatat oleh Lukas tentang Yesus, yaitu “Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat dan kasih karunia Allah ada padaNya” (Lk. 2:40, bdk. 2:52 “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”.
Selanjutnya Mateus mencatat pengalaman lain yang merupakan pengalaman penghiburan pula, yaitu waktu mereka dikunjungi oleh orang-orang majus dari Timur (Mt. 2:1), ‘masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibuNya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepadaNya, yaitu emas, kemenyan dan mur” (Mt. 2:11). Orang-orang majus tersebut menyembah pada Yesus, dalam hal ini Mateus ingin menegaskan ke-Allah-an Yesus. Bila kita merujuk pada Yes. 60:6 maka menjadi jelas bahwa emas dan kemenyan merupakan barang-barang yang dipersembahkan kepada Allah (bdk. Yer. 6:20). Yang jelas bahwa emas dan kemenyan dan mur – pada masa itu – merupakan barang-barang yang sangat berharga.
Namun, tidak lama kemudian keluarga Nazaret mengalami pengalaman yang sangat mencekam, betapa tidak. Yosef memperoleh penampakan, di mana malaikat Tuhan berkata “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibuNya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia” (Mt. 2:13). Dapat dibayangkan betapa Yosef dan Maria pasti bingung, kawatir, dan was-was, namun Yosef tanpa membuang waktu menaati malaikat Tuhan dan mengambil “Anak itu serta ibuNya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir” (Mt. 2:14). Selanjutnya Lukas menceritakan pengalaman Yosef dan Maria waktu Yesus berusia 12 tahun, dalam cerita ini ada beberapa hal yang menarik dan dapat kita renungkan. Yang pertama Yosef dan Maria merupakan pasangan suami isteri yang saleh, ‘tiap-tiap tahun orangtua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah’ (Lk. 2:41). Pada waktu itu Yesus berusia 12 tahun – menjelang dewasa secara keagamaan – mereka sekeluarga pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Pada waktu itu ada kebiasaan bahwa rombongan dibagi menjadi dua, kaum perempuan dan anak-anak se rombongan, sedang kaum laki-laki se rombongan yang lain. Waktu pulang Maria berpikir bahwa Yesus bersama Yosef bapaNya, sedang Yosef berpikir Yesus bersama Maria ibuNya. Setelah sehari perjalanan, ketika Yosef dan Maria bertemu, mereka baru sadar bahwa Yesus tidak bersama mereka. Tiga hari lamanya mereka mencari Yesus, dan Yesus ditemukan di Bait Allah sedang berbincang dengan alim ulama. Para alim ulamakagum pada Yesus karena kecerdasanNya (Lk. 2: 47).
Waktu ibuNya bertanya “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? bapaMu dan aku dengan cemas mencari Engkau”. Jawab Yesus kepada mereka “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu , bahwa Aku harus berada di dalam rumah BapaKu?” Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakanNya kepada mereka ….. Dan ibuNya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya (Lk. 2:48-51).
Berkaitan dengan uraian di atas, maka sangat relevan bila kita mencoba menanggapi sabda Yesus sebagaimana dicatat oleh Mateus “….. orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu” (7:24). Dalam kaitan dengan hidup berkeluarga, muncul pertanyaan “di atas batu macam apa kita seharusnya mendirikan rumah tangga kita?” Yosef dan Maria merupakan pasangan pertama yang menempatkan rumah tangganya di atas batu-batu yang tepat, yaitu
1. Batu yang pertama adalah sikap komit pada panggilannya.
2. Batu yang kedua adalah sikap tawakal pada penyelenggaraan Ilahi dalam situasi apapun.
3. Batu yang ketiga adalah sikap terbuka pada kehendak Allah, dan
4. Batu yang keempat adalah sikap proaktif, dan tidak reaktif. Sikap proaktif merupakan sikap yang dapat mengendalikan diri.
Dengan empat batu penjuru tersebut Yosef dan Maria mampu mengantar “Yesus makin besar dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Lk. 2:40). Dalam keluarga yang sehat, akan tumbuh pribadi-pribadi yang sehat, baik jasmani maupun rohani.

Keluarga sebagai komunitas pribadi
Dalam kanon 1055 pasal 1 dinyatakan “Perjanjian perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”. Kemudian dilanjutkan dengan pasal 2 dengan rumusan sebagai berikut “Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen”.
Dari kutipan tersebut di atas maka ada beberapa hal pokok yang dinyatakan oleh kanon 1055 pasal 1 dan pasal 2, yaitu:
1. pertama-tama perkawinan merupakan suatu perjanjian. Suatu perjanjian antara dua pribadi laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu persekutuan (kesejolian).
2. Yang kedua persekutuan tersebut terarah pada kesejahteraan suami-isteri dan anak-anak.
3. Yang ketiga persekutuan antara dua orang yang dibaptis, diangkat ke martabat sakramen, artinya persekutuan antara dua orang yang dibaptis “melambangkan dan menghadirkan hubungan yang mesra dan mendalam antara Kristus dan GerejaNya. ….. Itu berarti, pasangan yang menerima sakramen perkawinan perlulah menyadari keagungan dan keluhuran martabat perkawinan yang mereka terima. Sebab, dalam ikatan yang sungguh manusiawi yang mereka jalin dan bina dalam hidup perkawinan, hadirlah misteri agung yang luar biasa, yakni relasi tak terpisahkan antara Kristus dan GerejaNya. Selanjutnya, justru karena menghadirkan kasih kesetiaan Allah kepada umatNya dan kasih kesetiaan Kristus kepada GerejaNya, pasangan suami isteri kristiani itu ditantang untuk terus menerus menghayati, melaksanakan, dan mewartakan apa yang dilambangkannya” (E. Martasudjita, Pr., Sakramen-sakramen Gereja. Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 364-365.)
Tantangan yang ditawarkan kepada pasangan suami-isteri kristiani samasekali tidaklah ringan. Setiap orang adalah pribadi dan dipanggil dengan tujuan yang khusus, sesuai dengan talenta yang diberikan oleh Allah. Bila kita hendak mengetahui tujuan hidup kita maka kita harus bertanya kepadaNya, Dia yang menciptakan kita. Sebagaimana Pemazmur menulis “Tulang-tulangku tidak terlindung bagimu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mataMu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitabMu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun daripadanya” (Mzm. 139:15-16). Dengan itu Pemazmur ingin mengatakan bahwa Allah telah merencanakan dengan teliti hidup kita masing-masing sesuai dengan tujuan yang telah ditentukanNya.
Apa yang diyakini oleh Pemazmur, diyakini juga oleh Rasul Paulus. Dalam surat kepada umat di Efesus Rasul Paulus menulis sebagai berikut “Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendakNya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaanNya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkanNya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang dibumi. Aku katakan ‘di dalam Kristus’, karena di dalam Dialah kami mendapatkan bagian yang dijanjikan – kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya” (Ef. 1:9-11).
Keunikan manusia menjadi nyata dalam kehidupan berkeluarga, suami, isteri dan anak-anak masing-masing adalah pribadi yang unik, tidak ada duanya. Oleh karena itu Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan) menyatakan bahwa keluarga telah ditentukan menjadi ‘persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumNya, dibangun oleh janji perkawinan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan isteri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan Ilahi. Ikatana suci demi kesejahteraan suami isteri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan’ (art. 48).
Berkaitan dengan tujuan tersebut maka alm. Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam anjuran apostoliknya kepada para Uskup, Imam-imam dan Umat beriman sweluruh Gereja Katolik ‘menempatkan cintakasih sebagai prinsip dan kekuatan persekutuan’, dan bahwa ‘kesatuan persekutuan suami-isteri yang tak terceraikan’ atau dengan perkataan lain ‘persekutuan yang tidak dapat dibatalkan’ (Familiaris Consortio, art. 18-20).
Berkaitan dengan itu setiap keluarga hendaknya mampu mengusahakan suatu relasi yang mesra, terbuka dan bertanggungjawab, melalui dialog secara berkesinambungan, atau dalam bahasa Konsili Vatikan II, keluarga membutuhkan ‘komunikasi hati penuh kebaikan’ (art. 52). Agar dengan demikian keluarga mampu membangun sikap proaktif dan bukan reaktif, sebagaimana bisa kita temukan pada Keluarga Kudus Nazaret. Sikap proaktif mengandaikan adanya kemampuan untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan yang bijaksana, dan bukannya pijak sana pijak sini.
Namun, kenyataan berbicara lain, lebih dari empat puluh tahun yang lalu Personnel Journal, April, 1966, hal. 237 mencatat bahwa “A ….. number one problem today can be summed up in one word: Communication”. Saya pikir apa yang dicatat oleh Personnel Journal masih tetap relevan sampai saat ini, terbukti dengan hasil temuan Al. Bagus Irawan, MSF sebagaimana diungkapkan dalam buku yang berjudul Menyikapi Masalah-masalah Keluarga, Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2007, hal. 18. dari enam masalah keluarga yang diteliti maka masalah-masalah relasi suami-isteri memperoleh skor tertinggi, yaitu 42%; selanjutnya menyusul masalah-masalah kondisi anak dengan skor 23%, sedang masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan tak sah menduduki ranking ke tiga dengan skor 17%.
Membangun komunitas pribadi-pribadi mengandaikan adanya budaya dialog dalam keluarga, tanpa itu maka komunitas pribadi merupakan impian yang tidak mungkin.

Keluarga kristiani yang mandiri
Kemandirian merupakan salah satu impian setiap manusia. Kemandirian meliputi kemandirian intelektual (mampu berpikir sendiri), kemandirian emosional (kemampuan untuk berempati), kemandirian moral (kemandirian hati nurani), kemandirian spiritual (kemandirian menetapkan makna hidupnya) dan kemandirian ekonomis (kemampuan untuk self-supporting). Bila kita mengacu pada Abraham Maslow yang telah menyusun suatu hirarki kebutuhan yang diawali dengan kebutuhan faali, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan dan yang terakhir kebutuhan akan aktualisasi diri, maka menurut saya secara analogis bisa diterapkan pada hirarki kemandirian, yaitu dimulai dengan kemandirian ekonomis, kemandirian emosional, kemandirian intelektual, kemandirian moral dan kemandirian spiritual. Pada kesempatan ini saya ingin memfokuskan diri pada pembahasan tentang kemandirian ekonomis. John Locke (1632-1704) dalam bukunya yang berjudul Two Treatises of Government (1690) menyatakan bahwa manusia memiliki tiga hak kodrati, yaitu kehidupan, kebebasan dan milik. Dari ketiha hak tersebut maka milik merupakan hak yang terpenting, mengapa? Jawaban Locke, karena kehidupan dan kebebasan merupakan milik manusia yang penting. Milik dapat diperoleh oleh manusia lewat pekerjaan yang dilakukannya. Bagi Locke pekerjaan merupakan legitimasi setiap milik, dalam bahasa Rasul Paulus “jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes. 3:10). Kemandirian ekonomis hanya bisa direalisasikan kalau seseorang memiliki pekerjaan. Padahal bekerja merupakan suatu kegiatan yang serius, karena bekerja butuh perencanaan, butuh pengetahuan, butuh ketrampilan, maka agar dapat bekerja dibutuhkan adanya pendidikan yang memadai.
Selain memiliki pekerjaan maka kemandirian ekonomis juga menuntut adanya kemampuan untuk mengelola pendapatan dengan bijaksana. Jangan sampai ‘besar pasak daripada tiang’, artinya pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Kalau keluarga tidak mampu mengendalikan pengeluarannya maka keluarga yang bersangkutan akan mengalami kesulitan, yaitu membangun kebiasaan untuk melakukan ‘gali lobang tutup lobang’, artinya hidup keluarga yang bersangkutan terjebak dalam hutang yang makin lama makin besar. Memang dewasa ini kita hidup dalam jaman yang bersemboyan ‘aku membeli, maka aku ada’, atau dengan perkataan lain kita hidup dalam budaya yang mengacu pada pola hidup yang sangat konsumtif.
Untuk mengatasi tantangan tersebut di atas maka kita perlu membangun budaya anggaran. Yang dimaksud dengan anggaran adalah ‘suatu rencana yang dinyatakan dalam angka, angka itu mengacu pada suatu jumlah uang’. Dengan anggaran kita sebenarnya mengarah ke masa depan, masa depan dapat membangkitkan harapan, membangkitkan optimisme, bila direncanakan dengan bijaksana. Dalam kaitan dengan anggaran, ada baiknya bila kita merenungkan sejenak apa yang ditulis oleh Penginjil Lukas dalam Injilnya bab 14: 28-30 sebagai berikut “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk duhulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya”.
Dengan membuat anggaran kita juga belajar untuk menentukan prioritas, mana yang betul-betul merupakan kebutuhan (kebutuhan merupakan sesuatu yang perlu, maka tidak bisa ditunda), dan mana yang sekadar keinginan (sesuatu yang bisa ditunda). Dalam membuat anggaran libatkanlah seluruh anggota keluarga, hal ini sangat membantu untuk menegakkan nilai keterbukaan dan tanggungjawab. Selain daripada itu dengan membuat anggaran kita melatih kerendahan hati, rendah hati tidak lain adalah menerima kenyataan. Salah satu kenyataan hidup tidak lain adalah bahwa dengan pekerjaan kita, kita memperoleh pendapatan tertentu dan harus bisa hidup dengan pendapatan tersebut. Itu tidak berarti bahwa kita lalu menjadi loyo, kita tetap harus berusaha untuk bekerja lebih cerdas agar dapat meningkatkan pendapatan kita, dan itu berarti kualitas hidup bisa meningkat. Namun, tetap ada batasnya juga, yaitu talenta yang kita miliki. Akhirnya kita juga harus membangun budaya ‘menabung dulu baru berhemat’, dan bukan sebaliknya.

Keluarga membaharui diri terus menerus
Dalam bahasa Stephen R. Covey, kita harus selalu mengasah gergaji kita. Dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People, Covey menceritakan suatu peristiwa sebagai berikut “Andaikata anda bertemu seseorang yang sedang bekerja terburu-buru menebang se batang pohon di hutan. ‘Apa yang seang anda kerjakan?’ anda bertanya. ‘Tidak dapatkah anda melihat?’ demikian jawabnya dengan tidak sabar. ‘Saya sedang menggergaji pohon ini’. ‘Anda kelihatan letih!’ anda berseru. ‘Berapa lama anda sudah mengerjakannya’. ‘Lebih dari lima jam’, jawabnya, ‘dan saya lelah! Ini benar-benar kerja keras’. ‘Nah, mengapa anda tidak beristirahat saja beberapa menit dan mengasah gergaji itu?’ anda bertanya. ‘Saya yakin anda akan dapat bekerja jauh lebih cepat’. ‘Saya tidak punya waktu untuk mengasah gergaji’, orang itu berkata dengan tegas. ‘Saya terlalu sibuk menggergaji’”.
Dalam perjalanan hidup kita baik sebagai pribadi maupun sebagai keluarga, jarang sekali kita mau berhenti sejenak untuk berefleksi, untuk mawas diri, kita terjebak untuk terus bekerja keras dan kurang bekerja cerdas. Dalam kehidupan berkeluarga kita seringkali masih terjebak dalam trial and error, padahal dunia telah mengalami perubahan substansial dan perubahan itu berlangsung secara sangat cepat dan luar biasa. Misalnya dalam hidup berkeluarga, kita sering menuntut agar pasangan dan anak-anak berubah, padahal itu tidaklah mungkin. Mungkin baik bila merenungkan sejenak apa yang yang ditulis oleh Anthony de Mello, SJ dalam bukunya The Song of The Bird (1982), artikel 110 sebagai berikut “Sufi Bayazid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini: ‘Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa: Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia’! ‘Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: ‘Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas’. ‘Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: ‘Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri’. Seandainya sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku”.
Dari cerita tersebut di atas, Anthony de Mello, SJ memberi catatan kecil sebagai berikut “setiap orang berpikir mau mengubah umat manusia . Hampir tak seorangpun berpikir bagaimana mengubah dirinya”. Dalam kaitan dengan ini maka Rasul Paulus menulis dalam suratnya kepada umat di Roma bab 12 ayat 2 sebagai berikut “….., tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, …..”. Konkretnya? Karena permasalahan utama keluarga adalah relasi, maka tidak ada resep lain kecuali berlatihlah untuk berkomunikasi dengan berdayaguna. Namun, sebagaimana disharingkan oleh Rasul Paulus (Rom. 7:18-25) bahwa sebagai manusia kita memiliki kemauan yang baik, namun ada godaan besar untuk tidak melaksanakan kehendak baik itu. Maka alangkah baiknya bila sebagai keluarga – setiap malam sebelum tidur – berkumpul untuk berdoa bersama, mohon Allah hadir (lihat Mt. 18:20 “….. dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”) di tengah-tengah keluarga kita masing-masing, sambil berekonsiliasi. Maka ketika kita tidur, kita tidur dengan damai, dengan demikian ketika bangun kita juga damai, sehingga setiap pagi merupakan ‘hari yang pertama dari seluruh sisa hidup kita’, biasanya hari yang pertama dialami dalam keindahan.
Ajakan
Dari uraian di atas menjadi jelas, bahwa yang dimaksud dengan keluarga bertanggungjawab adalah keluarga yang diawali dengan komitmen antara Allah dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan, dilanjutkan dengan komitmen antara laki-laki dan perempuan untuk berjalan bersama membangun suatu komunitas pribadi-pribadi yang membela kehidupan, dan ikut serta dalam pengembangan masyarakat dan dalam kehidupan dan misi Gereja. Keikutsertaan kita dalam pengembangan masyarakat dan dalam kehidupan dan misi Gereja hendaknya sesuai dengan talenta yang kita miliki.

Bogor, 23 Oktober 2009

Kaum Muda

Kaum Muda Membangun Diri di Era Globalisasi
Stanislaus Nugroho, Komisi PSE Keuskupan Bogor

Pendahuluan
Tahun lalu dalam rangka mempersiapkan diri untuk merayakan Paskah Gereja mengajak Umatnya untuk merenungkan kembali kehidupan perkawinan dan keluarga. Dalam konteks yang sama, tahun ini kembali Gereja mengajak Umat untuk merenungkan kehidupan orang muda katolik.
Berbicara tentang kaum muda maka kita sebenarnya berbicara tentang harapan, kaum muda adalah harapan Gereja dan harapan Bangsa. Di tangan kaum mudalah masa depan Gereja dan Bangsa berada, di tangan kaum mudalah keberlanjutan atau kebersinambungan Gereja dan Bangsa berada.
Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa di samping harapan, maka di sisi lain kita juga memiliki perasaan was-was, perasaan kawatir. Kita hidup dalam jaman yang ditandai dengan perubahan-perubahan yang sangat mendasar, berkat revolusi teknologi informasi. Sebagaimana keluarga berada di persimpangan jalan, maka orang muda dewasa ini juga berada di persimpangan jalan. Orang muda hidup dalam jaman yang ditandai dengan proses globalisasi dan yang dilatarbelakangi oleh ideologi globalisme.
Berkaitan dengan itu maka untuk Aksi Puasa Pembangunan 2011 tema permenungannya adalah KAUM MUDA MEMBANGUN DIRI DI ERA GLOBALISASI. Tema ini dipilih sebagai lanjutan dari tema Aksi Aven Pembangunan 2010 yang berbunyi KELUARGA MENYAMBUT YESUS DALAM ERA GLOBALISASI. Sebagai sub-temanya dipilih empat hal, yaitu
1. TANGGUNGJAWAB ORANGTUA TERHADAP KAUM MUDA.
2. ORANGTUA SEBAGAI SAHABAT KAUM MUDA.
3. PERANAN KAUM MUDA DALAM KELUARGA.
4. KAUM MUDA BERTANGGUNGJAWAB.
Agar kita dapat masuk ke perbincangan tersebut di atas maka dengan lebih baik, maka saya akan mengawali perbincangan ini dengan pembahasan singkat tentang globalisasi dan globalisme (bagi mereka yang ingin mendalami tema tersebut dapat membaca beberapa karangan yang ada di blog sapiensestquiprospicit.blogspot.com).

Globalisasi dan globalisme
Dewasa ini salah satu istilah yang paling populer adalah globalisasi, suatu istilah yang menjadi bahan perbincangan yang sangat meluas, mulai dari warung kopi di pinggir-pinggir jalan sampai di cafe-cafe, dari seminar yang satu ke seminar yang lain. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan globalisasi? Ada begitu banyak definisi yang telah ditawarkan oleh para ahli (lihat R. Robertson, 1992, yang merumuskan globalisasi ‘sebagai proses pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu keseluruhan’, Globalization, London: Sage, hal. 8; A. Giddens, 1990, merumuskan globalisasi sebagai suatu proses ’intensifikasi relasi-relasi sosial seluas dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa di satu tempat ditentukan oleh peristiwa lain yang terjadi bermil-mil jaraknya dari situ dan sebaliknya’, The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity, hal. 64; sedang R.O. Keohane dan Joseph S. Nye, melihat globalisasi sebagai suatu proses ’meningkatnya jejaring interdependensi antar umat manusia pada tataran benua-benua’, Globalization: What’s New? What’s Not? (And So What) dalam Foreign Policy, Spring 2000, hal. 105). Salah satu gambaran populer dari apa itu globalisasi dirumuskan dengan sangat menarik oleh funnyfly.com sebagai berikut: ”Question: What is the truest definition of globalization? Answer Princess Diana’s death. Question: How come? Answer: An English princess with an Egyptian boyfriend crashes in a French tunnel, driving a German car with a Dutch engine, driven by a Belgian who was drunk on Scottish whiskey, followed closely by Italian Paparazzi, on Japanesse motorcycles, treated by American doctor, using Brazilian medicines! And this is sent to you by American, using Bill Gate’s technology which he enjoyed stealing from the Japanese. And you probably reading this on one of IBM clones that use Taiwanese-made chips, and Korean-made monitors, assembled by Bangladeshi workers in a Singapore plant, transported by lorries driven by Indians, hijacked by Indonesians, unloaded by Sicilian longshoremen, trucked by Mexican illegal aliens, and finally sold to you”.
Dengan perkataan lain globalisasi adalah proses penyempitan dunia, suatu peristiwa yang terjadi di belahan dunia tertentu ternyata secara serentak melibatkan begitu banyak pihak yang berkepentingan di belahan-belahan dunia yang lain, dengan peranan yang berbeda-beda. Proses seperti ini tidak akan pernah bisa dihindari kalau kita tetap mau memanfaatkan revolusi di bidang teknologi informasi yang terjadi dewasa ini.
Lain halnya dengan globalisme, yang bagi Manfred B. Steger merupakan suatu ideologi politik dominan saat ini. Globalisme tidak lain adalah sistem ide dominan yang mengklaim tentang proses-proses sosial yang berciri neoliberalis. Pendapat tersebut diungkapkan Steger dalam bukunya yang berjudul Globalism. The New Market Ideology, Rowman & Littlefield Publishers, 2002. Mungkin baik sebelum melanjutkan uraian ini saya perlu mengklarifikasi lebih dahulu dua istilah penting, yang digunakan oleh Steger, yaitu ideologi dan neoliberalisme.
Yang dimaksud oleh Steger dengan ideologi adalah sistem gagasan yang sangat luas diikuti keyakinan yang terpola, norma dan nilai pemandu, serta gagasan regulatif yang diterima sebagai kenyataan atau kebenaran oleh sejumlah kelompok. J. Riberu dalam karangannya yang berjudul ’Ideologi dan Peranannya. Ulasan singkat mengenai Individualisme, Liberalisme dan Kapitalisme’ dalam Menguak Mitos-Mitos Pembangunan. Telaah Etis dan Kritis, Gramedia,1986 menyatakan bahwa ideologi tidak lain adalah ’satu sistem paham, satu perangkat pemikiran yang menyeluruh, yang bercita-cita menjelaskan wajah dunia dan sekaligus mengubahnya’. Oleh karena itu, bagi J. Riberu ideologi mengandung suatu ’pandangan komprehensif tentang manusia dan dunia serta alam semesta di mana manusia itu hidup. Selanjutnya ideologi memiliki rencana penataan kehidupan sosial dan kehidupan politik. Ideologi juga memliki kesadaran dan pencanangan bahwa realisasi rencana-rencana tersebut membawa perjuangan dan pergumulan yang menuntut perombakan dan perubahan, untuk itu idelogi mengarahkan masyarakat untuk menerima secara yakin perangkat paham serta rencana kerja yang diturunkan dari perangkat paham tersebut, akhirnya ideologi akan berusaha menjangkau lapisan masyarakat seluas mungkin’. Secara singkat ideologi dapat dirumuskan sebagai suatu paham terpadu tentang manusia dan dunia.
Neoliberalisme merupakan suatu paham yang relatif masih sangat muda, baru berusia sekitar 25 tahun terakhir, biarpun masih muda namun sudah menjadi istilah yang dibicarakan di mana-mana. Neoliberalisme merupakan suatu acuan baru yang membuat dunia terbelah, antara para pendukung dan para penolak, antara mereka yang memuja dan mereka yang membenci. Neoliberalisme yang sering disebut juga sebagai fundamentalisme sistem pasar, merupakan paham yang sangat percaya bahwa sistem pasar mampu memecahkan segala persoalan manusia dan dunia. I. Wibowo dalam catatan Pendahuluan dalam buku Neoliberalisme , Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003 mencatat bahwa para pendukung Neoliberalisme ’begitu percayanya bahwa tidak hanya produksi, distribusi dan konsumsi yang tunduk pada hukum pasar, tetapi seluruh kehidupan’. Dengan demikian neoliberalisme melihat manusia semata-mata sebagai Homo Economicus, manusia tidak lain adalah semata-mata makhluk ekonomi, padahal manusia adalah makhluk multidimensional (lihat M. Sastrapratedja (ed), Manusia Multidimensional. Sebuah Renungan Filsafat, Gramedia, 1983. Baca juga buku yang ditulis oleh Herbert Marcuse pada tahun 1964 dengan judul One Dimensional Man, Routledge and Kegan Paul, Ltd. Dalam buku tersebut Marcuse memperlihatkan bahwa manusia dewasa itu dilihat sebagai makhluk teknologis).
Apakah neoliberalisme sungguh-sungguh membawa kesejahteraan sebagaimana dijanjikan. Ternyata tidak! The Independent, 18 Maret 2002 mencatat suatu realita bahwa ’1,3 milyar manusia di bumi masih hidup dengan uang kurang dari US$ 1, sementara 2,8 milyar (hampir separuh penduduk bumi) hidup dengan US$ 2. Bandingkanlah, bagaimana seperlima penduduk bumi menikmati 80% dari pendapatan dunia’. Persoalan paling besar dewasa ini adalah tergerusnya keadilan sosial, di mana stuktur sosial menjadi semakin tidak adil (baca berita utama Kompas, 26 April 2010, dengan judul Petani Makin Miskin. Produksi Naik, Pewndapatan Riil Tidak Meningkat dan Kompas, 20September 2010 dengan judul Rakyat Indonesia Masih Miskin. Pencapaian Target pada Sasaran MDGs Lepas dari Masalah Keadilan).

Antara harapan dan kekhawatiran
Kaum muda adalah penerus generasi sebelumnya, maka mereka menjadi harapan untuk ‘menciptakan’ dunia baru, dunia yang lebih baik. Harapan tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Namun, harapan tersebut berada dalam suatu situasi dan kondisi yang tidak menentu. Pertemuan Nasional Orang Muda Katolik Indonesia 2005, Cibubur 12-16 November 2005 melukiskan situasi Orang Muda katolik sebagai berikut ”Globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi memberikan berbagai kemudahan namun dampak negatifnya justru lebih besar. Orang Muda Katolik menjadi individualis, konsumtif dan kehilangan daya kritis. Bahkan Orang Muda Katolik mengalami krisis moral dan iman. Situasi ini semakin diperparah oleh lemahnya pendampingan dari keluarga dan masyarakat. Sementara, strategi pastoral Gereja dalam pendampingan kaum muda belum memberikan dukungan secara memadai’ (Bangkit dan Bergeraklah. Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005, hal. 348).
Apa yang dilukiskan oleh Pertemuan Nasional masih sangat relevan dewasa ini, kalau tidak mau mengatakan makin relevan, sebagaimana diungkapkan oleh seorang mahasiswa dalam tulisannya sebagai berikut: ’dunia yang kian sekuler, sikap tak mau tahu, individualisme, sikap oportunis dengan selalu melihat keuntungan bagi dirinya semata, ketidakrelaan untuk berkorban dan instan. Situasi ini tentu semakin mempersulit kaum muda untuk mengatasinya karena keterbatasan akan tingkat pemahaman, kemauan serta budaya selektif yang kian merosot, hilangnya kontrol sosial, dan memudarnya solidaritas’ (Gregorius M. Salu, Kaum Muda dan Hidup Menggereja, dalam majalah Hidup, Edisi ke 37, 12 Desember 2009).
Berkaitan dengan itu maka dalam menyambut Hari Orang Muda Sedunia ke-26, Tahun 2011 di Madrid, Spanyol Bapa Suci Benediktus XVI berpesan agar kaum muda tetap berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman (bdk. Kol.2:7) sambil ditopang oleh iman Gereja untuk menjadi saksi. Selanjutnya Bapa Suci memberikan catatan tentang ’berakar, dibangun dan berteguh’ sebagai berikut: ”Sebelum memberi ulasan mengenai ketiga kata tersebut, saya tunjukkan bahwa menurut tata bahasa, ketiga kata itu dalam teks aslinya berbentuk kata kerja pasif. Berarti, Kristus sendirilah yang berkehendak untuk menanam, membangun dan menguatkan kaum beriman. ..... Bagi Nabi Yeremia, berakar dalam Tuhan berarti menyerahkan kepercayaan kepada Tuhan (Yer. 17:7-8). Dari Dia, kita melukis hidup kita, bahwa Dia sendirilah kehidupan kita (bdk. 1Yo.5:11). Yesus sendiri menyatakan kepada kita, bahwa Dia sendirilah kehidupan kita (bdk. Yo.14:6). Sebagai akibatnya, iman Kristen bukanlah hanya suatu kepercayaan bahwa suatu hal tertentu merupakan kebenaran, melainkan lebih dari itu, iman Kristen merupakan suatu hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. ..... Dibangun dalam Yesus Kristus berarti menanggapi secara positif panggilan Tuhan, mempercayaiNya, dan menaruh SabdaNya dalam tindakan”. Berteguh dalam iman berarti ”Kita dengan teguh percaya bahwa Yesus Kristus menyerahkan diriNya sendiri di kayu salib untuk memberikan kasihNya kepada kita. Dalam penderitaanNya, Dia memikul penderitaan kita, menanggung dalam diriNya dosa-dosa kita,memberikan pengampunan bagi kita dan mendamaikan kita dengan Allah Bapa, membukakan bagi kita jalan menuju hidup abadi”.
Sedikit catatan tentang ’sambil ditopang oleh iman Gereja’. Gereja mengajarkan bahwa ’keluarga adalah Gereja Domestik atau Gereja Kecil’, maka biarpun orang muda katolik hadir di antara harapan dan kekhawatiran hendaknya tetap kembali ke basis, yaitu iman akan Kristus Yesus dan keluarga sebagai Gereja Domestik atau Gereja Kecil yang mengambil bagian dalam empat ciri Gereja mondial, yaitu: Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik. Bila kaum muda mampu dan bersedia kembali ke basis, maka kekhawatiran itu tidak perlu terlalu dipikirkan

Tanggungjawab orangtua terhadap kaum muda
Konsili Vatikan II melalui pernyataan tentang Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis = Pentingnya pendidikan) artikel 3 menekankan pentingnya peranan orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama, khususnya yang berkaitan dengan iman dan nilai-nilai kemanusiaan. Sedang ’Pendidikan yang diterima di sekolah bersifat bantuan’ (Pedoman Gereja Katolik Indonesia, Sidang Agung KWI-Umat Katolik, KWI, 1996). Namun tugas pertama dan utama tersebut pada saat ini menghadapi tantangan yang kuat dari kenyataan bahwa pasangan suami isteri ’dituntut’ untuk bekerja mati-matian dari pagi sampai malam, sehingga sering peran sebagai pendamping anak-anak/kaum muda semakin tergerus. Namun, bagaimanapun juga tanggung jawab ini tidak dapat dilupakan. Dalam usaha melaksanakan tanggungjawab tersebut maka ada baiknya kita berusaha untuk lebih memahami makna dari tanggungjawab tersebut.
Berbicara tentang tanggungjawab maka mau tidak mau kita harus menempatkannya dalam konteks kebebasan. Kebebasan merupakan salah satu tanda keluhuran manusia, karena dengan kebebasannya manusia mampu menentukan dirinya sendiri. Maka berbicara tentang kebebasan tidak cukup hanya berbicara tentang bebas dari paksaan, tekanan, dan lain-lain, melainkan kita harus berbicara tentang bebas untuk menentukan dirinya sendiri. Artinya seseorang sungguh-sungguh mampu otonom (auto = sendiri; nomos = aturan, jadi otonom berarti mengatur diri sendiri)
Apa yang dimaksud dengan tanggungjawab? Tanggungjawab berarti mampu menjawab dan harus mampu menjawab bila tindakan kita dipertanyakan orang lain. Seorang filsuf Perancis keturunan Yahudi yang bernama Emmanuel Levinas berujar ’respondeo ergo sum’, artinya ’saya bertanggungjawab maka saya ada’. Bagi Emmanuel tanggungjawab pribadi merupakan bukti keberadaan seseorang.
Berkaitan dengan itu maka menjadi jelas bahwa tanggungjawab dan kebebasan merupakan satu mata uang dengan dua sisi. Dengan kebebasannya laki-laki dan perempuan dewasa memiliki kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, yaitu untuk menentukan pilihan bentuk kehidupan, entah hidup berkeluarga, entah hidup selibat. Bagi mereka yang memilih hidup berkeluarga maka mereka bertanggungjawab untuk membangun keluarganya menjadi Gereja Kecil atau Gereja Domestik yang mengambil bagian dalam empat ciri Gereja universal, yaitu satu, kudus, katolik dan apostolik, agar dengan demikian anak-anak dapat hidup tumbuh dalam suasana yang kondusif. Penulis Kitab Sirakh dalam bab 30: 1-25 (khususnya pada ayat 1-13) memberikan nasehat-nasehat yang patut kita renungkan dan kita tindak lanjuti dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ayat 12-13 di mana penulis mengajak orangtua untuk sejak dini dan dengan tekun mendidik anak-anaknya. Contoh konkret dari pelaksanaan nasehat-nasehat tersebut kita temukan dalam Keluarga Kudus Nazaret sebagaimana dicatat oleh Santo Lukas dalam Injilnya, bab 2: 41-52. Bagi saya yang paling menarik adalah sikap Bunda Maria dalam menanggapi jawaban Yesus yang bagi kita mungkin memberi kesan bahwa Yesus berlaku tidak sopan pada orangtuanya, namun sikap orangtua tidak reaktif melainkan proaktif (lihat uraian lebih rinci tentang sikap proaktifnya Bunda Maria dalam majalah Mekar, Edisi no. 2 Th XVIII, April-Juni 2007, hal.13-16).

Orangtua sahabat kaum muda
Kata ’sahabat’ yang merupakan sinonim dari kata ’teman’, ’kawan’ bagi saya mengandung nuansa kesetaraan, tanpa kesetaraan tidak mungkin ada persahabatan sejati. Dalam kaitan ini maka kembali penulis Kitab Sirakh memberikan nasehat-nasehatnya, nasehat-nasehat tentang persahabatan dapat kita temukan dalam bab 6 ayat 5-37, khususnya ayat 5-17. Pada ayat 6 penulis Kitab Sirakh mengingatkan bahwa sahabat sejati itu sangat jarang dan sedikit sekali. Dengan demikian mungkinkah orangtua dan kaum mudanya bisa saling bersahabat? Pasti mungkin, asal tidak saling mementingkan diri sendiri dan ada kebenaran/kebijaksanaan dalam kata-katanya, dan yang paling penting sebagaimana ditekankan oleh penulis Kitab Sirakh adalah persahabatan sejati akan tercipta bila ’pada saat-saat dibutuhkan sahabat tersebut ada’, keberadaan seorang sahabat pada saat sahabatnya sedang resah, was-was, kesepian menjadi sangat signifikan, biarpun mungkin masalahnya belum terselesaikan. Keberadaan dan kehadiran seorang sahabat merupakan peneguhan dan tidak membuat seseorang kesepian.
Apa yang dinasehatkan oleh penulis Kitab Sirakh dewasa ini menghadapi tantangan yang sangat berarti, tantangan tersebut dapat dirumuskan dalam satu kata, dan kata itu tidak lain adalah kesibukan, sibuk mencari duit.


Peranan kaum muda dalam keluarga
Dalam membahas tema tersebut di atas maka saya akan banyak menggunakan pemikiran yang dikembangkan oleh seorang psikoanalis yang sangat berpengaruh, yaitu Erik H. Erikson. Maka sebelum membahas peranan kaum muda dalam keluarga, mungkin baik bila kita sedikit mengenal siapakah Erikson tersebut. Erikson adalah seorang psikoanalisis dan sekaligus seorang pemikir dan peneliti tentang siklus hidup manusia yang luar biasa. Banyak ahli menyatakan bahwa ’Erikson melampaui Freud – si perintis psikoanalis – namun tetap setia pada Freud. Sumbangannya di bidang tersebut sangat dihargai dan berpengaruh besar di bidangnya sampai sekarang. Erikson juga merupakan sang pencipta istilah krisis identitas. Pernah Erikson berujar bahwa ’Mempelajari identitas adalah sesuatu yang strategis pada masa kita, sama seperti mempelajari seksualitas menjadi studi strategis pada jaman Freud’. Menurut Erikson dalam perjalanan hidupnya manusia mengalami apa yang disebutnya sebagai 8 tahap perkembangan. Bagi Erikson ke 8 tahap perkembangan tersebut ditandai dengan perlawanan. Pada tahap pertama (0 – 2 tahun) terjadi perlawanan antara kepercayaan dasar lawan kecurigaan. Pada tahap kedua (2 – 3 tahun) terjadi perlawanan antara otonomi lawan rasa malu dan bimbang. Pada tahap ketiga (4 – 5 tahun) terjadi perlawanan antara inisiatif lawan perasaan bersalah. Pada tahap keempat (6 – 11 tahun) terjadi perlawanan antara kerajinan lawan perasaan rendah diri. Pada tahap kelima (12 – 19 tahun) terjadi perlawanan antara penemuan identitas diri lawan kebingungan akan identitasnya. Pada tahap keenam (20 – 30 tahun) terjadi perlawanan antara keintiman lawan isolasi. Sedang pada tahap ketujuh (30 – 65 tahun) terjadi perlawanan antara generativitas lawan stagnasi. Akhirnya pada tahap kedelapan (65 tahun ke atas) terjadi prlawanan antara keutuhan ego lawan keputusasaan. Bila mengikuti kedelapan tahap perkembangan manusia dari Erikson, maka kaum muda berada pada tahap 5 dan 6. berkaitan dengan itu maka saya akan lebih fokus pada pembahasan tahap 5 dan 6. Biarpun perlu diingatkan bahwa bagi Erikson tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan tahun pembentukan dasar-dasar kepribadiannya di kemudian hari.
Tahap kelima memiliki ciri-ciri sebagai berikut: berakhirnya masa kecil dan mulainya masa remaja. Mulainya muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: siapakah aku? Akan menjadi apakah aku? Apa yang harus kulakukan sekarang ini? Ditemukannya jati diri, ’I am me, I am diferent’. Kebutuhan akan teman, peer group, tokoh idola sebagai ’orangtua baru’, kesadaran kuat akan penampilan diri, hormon seks mulai aktif, terjadinya perubahan dalam dirinya, terjadinya ambivalensi dan ketidakstabilan emosi. Berkaitan dengan itu semua maka bisa muncul suatu krisis identitas, kebingungan dan kekacauan identitas. Dalam kondisi seperti itu, orang muda butuh bantuan dan kehadiran orangtua. Orang muda mendambakan pengertian dan penerimaan dari orangtuanya. Penginjil Lukas menggambarkan krisis identitas tersebut dengan sangat indah dalam bab 15 ayat 11 – 32, khususnya pada ayat 13 – 20, di mana si anak bungsu meninggalkan rumah untuk mencari dan menemukan identitas dirinya. Namun, bukan identitas diri yang ditemukan melainkan kekacauan diri yang diperoleh. Si anak bungsu membutuhkan proses panjang untuk kemudian memutuskan untuk kembali ke bapanya. Titik balik dapat kita temukan pada ayat 17 yang berbunyi ’Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan’. Si bungsu menyadari dirinya, mengakui bahwa dia masih memiliki seorang bapa, dan mengakui bahwa dia telah membuat kesalahan. Keutamaan yang muncul dalam diri si bungsu tidak lain adalah aku tidak lain adalah pengabdian dan kesetiaan.
Bila kita mampu mengelola tahap keenam dengan tepat maka tahap keenam memiliki ciri-ciri sebagai berikut: muncul dalam diri orang muda kesadaran akan kemampuan untuk berbagi lewat pekerjaan dan karirnya; lewat membangun keberpasangan dengan pasangannya sampai kepada prokreasi. Pada situasi dan kondisi seperti itu seseorang berani mengambil risiko kehilangan ’identitas dirinya’ guna meraih dan menyatu dengan pasangannya. Dari ’who am I?’ menuju ke ’who are we?’; dari ‘I am me’ ke ‘I am we’. Proses seperti ini oleh Erikson sebagai proses afirmasi, suatu proses melihat kebaikan pada diriku dan mengakui keunikan orang lain.
Sebaliknya bila kita tidak mampu mengelola tahap keenam dengan tepat maka muncullah krisis berupa pengucilan dan penutupan diri dari segala bentuk relasi. Kemudian muncul perasaan sepi, curiga dan dilanjutkan dengan sikap menutup diri dan selanjutnya mengisolir diri. Dalam hal ini kita bisa belajar pada Ruth, bacalah Kitab Ruth bab 1 dan 2, khususnya bab 1 ayat 16 – 17, yang mengungkapkan suatu kesetiaan dan komitmen total. Suatu komitmen pribadi untuk masa depan yang di luar kendalinya dan melibatkan suatu bentuk pengorbanan. Dalam kondisi seperti itu maka orang muda membutuhkan keberadaan dan kehadiran orang-orang yang mau mengerti dirinya, orangtuanya, saudara-saudaranya dan para sahabatnya. Bila situasi dan kondisi yang negatif itu bisa diatasi maka orang muda akan menemukan apa yang dikatakan oleh Erikson aku tidak lain adalah persatuan dan cintakasih.
Dengan demikian bila orang muda mampu mengatasi perlawanan yang ada dalam dirinya baik pada tahap 5 maupun pada tahap 6, maka kaum muda mampu menyumbangkan sesuatu yang positif, seperti sikap mengabdi, setia, persatuan dan cintakasih dalam usaha membangun keluarga sebagai Gereja Domestik. Untuk itu semua kaum muda perlu merenungkan apa yang ditulis Rasul Paulus dalam suratnya kepada Umat di Efesus 6: 1-9, khususnya ayat 1 dan 2, di mana Rasul Paulus menekankan pentingnya sikap taat dan sikap hormat kepada orangtua, namun di lain pihak para orangtua juga perlu merenungkan pesan Rasul Paulus pada ayat 4, agar menjadi pendidik dalam Tuhan bagi anak-anak mereka.


Kaum muda bertanggungjawab
Keluarga adalah komunitas pribadi-pribadi yang unik, yang tidak ada duanya. Dengan perkataan lain keluarga merupakan suatu persekutuan pribadi-pribadi yang saling berbeda satu dengan lainnya. Setiap perbedaan bisa menimbulkan konflik, namun di lain pihak perbedaan juga dapat memperkaya. Dalam konteks ini kaum muda memiliki tanggungjawab untuk mampu mengelola perbedaan-perbedaan yang ada dalam keluarganya, sehingga akan tercipta keluarga yang harmonis, di mana masing-masing anggota dapat tumbuh dan berkembang seutuh mungkin.
Di samping itu orang muda juga ikut bertanggungjawab terhadap masa depan dirinya sendiri, dan masa depan masyarakat yang lebih baik. Lebih-lebih dewasa ini di mana bangsa dan negara kita sedang mengalami begitu banyak tantangan. Nota Pastoral 2004 menunjuk pada 3 macam tantangan, yaitu korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan hidup. Sedang Sidang Pleno ke 8 Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup se Asia di Korea pada tahun 2004 menunjuk pada masalah kemiskinan. Memang keempat permasalahan tersebut sering berada di luar kendali kita. Namun, baik kalau kita merenungkan apa yang dikatakan oleh Hans Jonas sebagai prinsip tanggungjawab masa depan yang berbunyi: Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di bumi (kutipan ini diambil dari buku Hans Jonas yang berjudul Das PrinzipVerantwortung. Versuch einer Ethik fur die technologische Zivilisation = Prinsip Tanggungjawab. Percobaan sebuah etika bagi peradaban teknologis) yang terbit pada tahun 1979. Masalahnya, beranikah kita melawan arus, dan tidak seperti orang muda kaya yang tidak berani mengikuti Yesus, karena Yesus selalu melawan arus (Mt. 19: 16 – 26).

Penutup
Demikianlah beberapa titik pemikiran dalam rangka mempersiapkan diri menyambut Paskah 2011, setiap usaha baik selalu dimulai dari diri sendiri. Marilah kita membuat niat untuk pembaruan diri sendiri dan kemudian berjalan bersama, bergandengan tangan membangun dunia baru.


Bogor, akhir Oktober 2010