Kamis, 10 Februari 2011

Kaum Muda

Kaum Muda Membangun Diri di Era Globalisasi
Stanislaus Nugroho, Komisi PSE Keuskupan Bogor

Pendahuluan
Tahun lalu dalam rangka mempersiapkan diri untuk merayakan Paskah Gereja mengajak Umatnya untuk merenungkan kembali kehidupan perkawinan dan keluarga. Dalam konteks yang sama, tahun ini kembali Gereja mengajak Umat untuk merenungkan kehidupan orang muda katolik.
Berbicara tentang kaum muda maka kita sebenarnya berbicara tentang harapan, kaum muda adalah harapan Gereja dan harapan Bangsa. Di tangan kaum mudalah masa depan Gereja dan Bangsa berada, di tangan kaum mudalah keberlanjutan atau kebersinambungan Gereja dan Bangsa berada.
Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa di samping harapan, maka di sisi lain kita juga memiliki perasaan was-was, perasaan kawatir. Kita hidup dalam jaman yang ditandai dengan perubahan-perubahan yang sangat mendasar, berkat revolusi teknologi informasi. Sebagaimana keluarga berada di persimpangan jalan, maka orang muda dewasa ini juga berada di persimpangan jalan. Orang muda hidup dalam jaman yang ditandai dengan proses globalisasi dan yang dilatarbelakangi oleh ideologi globalisme.
Berkaitan dengan itu maka untuk Aksi Puasa Pembangunan 2011 tema permenungannya adalah KAUM MUDA MEMBANGUN DIRI DI ERA GLOBALISASI. Tema ini dipilih sebagai lanjutan dari tema Aksi Aven Pembangunan 2010 yang berbunyi KELUARGA MENYAMBUT YESUS DALAM ERA GLOBALISASI. Sebagai sub-temanya dipilih empat hal, yaitu
1. TANGGUNGJAWAB ORANGTUA TERHADAP KAUM MUDA.
2. ORANGTUA SEBAGAI SAHABAT KAUM MUDA.
3. PERANAN KAUM MUDA DALAM KELUARGA.
4. KAUM MUDA BERTANGGUNGJAWAB.
Agar kita dapat masuk ke perbincangan tersebut di atas maka dengan lebih baik, maka saya akan mengawali perbincangan ini dengan pembahasan singkat tentang globalisasi dan globalisme (bagi mereka yang ingin mendalami tema tersebut dapat membaca beberapa karangan yang ada di blog sapiensestquiprospicit.blogspot.com).

Globalisasi dan globalisme
Dewasa ini salah satu istilah yang paling populer adalah globalisasi, suatu istilah yang menjadi bahan perbincangan yang sangat meluas, mulai dari warung kopi di pinggir-pinggir jalan sampai di cafe-cafe, dari seminar yang satu ke seminar yang lain. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan globalisasi? Ada begitu banyak definisi yang telah ditawarkan oleh para ahli (lihat R. Robertson, 1992, yang merumuskan globalisasi ‘sebagai proses pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu keseluruhan’, Globalization, London: Sage, hal. 8; A. Giddens, 1990, merumuskan globalisasi sebagai suatu proses ’intensifikasi relasi-relasi sosial seluas dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa di satu tempat ditentukan oleh peristiwa lain yang terjadi bermil-mil jaraknya dari situ dan sebaliknya’, The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity, hal. 64; sedang R.O. Keohane dan Joseph S. Nye, melihat globalisasi sebagai suatu proses ’meningkatnya jejaring interdependensi antar umat manusia pada tataran benua-benua’, Globalization: What’s New? What’s Not? (And So What) dalam Foreign Policy, Spring 2000, hal. 105). Salah satu gambaran populer dari apa itu globalisasi dirumuskan dengan sangat menarik oleh funnyfly.com sebagai berikut: ”Question: What is the truest definition of globalization? Answer Princess Diana’s death. Question: How come? Answer: An English princess with an Egyptian boyfriend crashes in a French tunnel, driving a German car with a Dutch engine, driven by a Belgian who was drunk on Scottish whiskey, followed closely by Italian Paparazzi, on Japanesse motorcycles, treated by American doctor, using Brazilian medicines! And this is sent to you by American, using Bill Gate’s technology which he enjoyed stealing from the Japanese. And you probably reading this on one of IBM clones that use Taiwanese-made chips, and Korean-made monitors, assembled by Bangladeshi workers in a Singapore plant, transported by lorries driven by Indians, hijacked by Indonesians, unloaded by Sicilian longshoremen, trucked by Mexican illegal aliens, and finally sold to you”.
Dengan perkataan lain globalisasi adalah proses penyempitan dunia, suatu peristiwa yang terjadi di belahan dunia tertentu ternyata secara serentak melibatkan begitu banyak pihak yang berkepentingan di belahan-belahan dunia yang lain, dengan peranan yang berbeda-beda. Proses seperti ini tidak akan pernah bisa dihindari kalau kita tetap mau memanfaatkan revolusi di bidang teknologi informasi yang terjadi dewasa ini.
Lain halnya dengan globalisme, yang bagi Manfred B. Steger merupakan suatu ideologi politik dominan saat ini. Globalisme tidak lain adalah sistem ide dominan yang mengklaim tentang proses-proses sosial yang berciri neoliberalis. Pendapat tersebut diungkapkan Steger dalam bukunya yang berjudul Globalism. The New Market Ideology, Rowman & Littlefield Publishers, 2002. Mungkin baik sebelum melanjutkan uraian ini saya perlu mengklarifikasi lebih dahulu dua istilah penting, yang digunakan oleh Steger, yaitu ideologi dan neoliberalisme.
Yang dimaksud oleh Steger dengan ideologi adalah sistem gagasan yang sangat luas diikuti keyakinan yang terpola, norma dan nilai pemandu, serta gagasan regulatif yang diterima sebagai kenyataan atau kebenaran oleh sejumlah kelompok. J. Riberu dalam karangannya yang berjudul ’Ideologi dan Peranannya. Ulasan singkat mengenai Individualisme, Liberalisme dan Kapitalisme’ dalam Menguak Mitos-Mitos Pembangunan. Telaah Etis dan Kritis, Gramedia,1986 menyatakan bahwa ideologi tidak lain adalah ’satu sistem paham, satu perangkat pemikiran yang menyeluruh, yang bercita-cita menjelaskan wajah dunia dan sekaligus mengubahnya’. Oleh karena itu, bagi J. Riberu ideologi mengandung suatu ’pandangan komprehensif tentang manusia dan dunia serta alam semesta di mana manusia itu hidup. Selanjutnya ideologi memiliki rencana penataan kehidupan sosial dan kehidupan politik. Ideologi juga memliki kesadaran dan pencanangan bahwa realisasi rencana-rencana tersebut membawa perjuangan dan pergumulan yang menuntut perombakan dan perubahan, untuk itu idelogi mengarahkan masyarakat untuk menerima secara yakin perangkat paham serta rencana kerja yang diturunkan dari perangkat paham tersebut, akhirnya ideologi akan berusaha menjangkau lapisan masyarakat seluas mungkin’. Secara singkat ideologi dapat dirumuskan sebagai suatu paham terpadu tentang manusia dan dunia.
Neoliberalisme merupakan suatu paham yang relatif masih sangat muda, baru berusia sekitar 25 tahun terakhir, biarpun masih muda namun sudah menjadi istilah yang dibicarakan di mana-mana. Neoliberalisme merupakan suatu acuan baru yang membuat dunia terbelah, antara para pendukung dan para penolak, antara mereka yang memuja dan mereka yang membenci. Neoliberalisme yang sering disebut juga sebagai fundamentalisme sistem pasar, merupakan paham yang sangat percaya bahwa sistem pasar mampu memecahkan segala persoalan manusia dan dunia. I. Wibowo dalam catatan Pendahuluan dalam buku Neoliberalisme , Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003 mencatat bahwa para pendukung Neoliberalisme ’begitu percayanya bahwa tidak hanya produksi, distribusi dan konsumsi yang tunduk pada hukum pasar, tetapi seluruh kehidupan’. Dengan demikian neoliberalisme melihat manusia semata-mata sebagai Homo Economicus, manusia tidak lain adalah semata-mata makhluk ekonomi, padahal manusia adalah makhluk multidimensional (lihat M. Sastrapratedja (ed), Manusia Multidimensional. Sebuah Renungan Filsafat, Gramedia, 1983. Baca juga buku yang ditulis oleh Herbert Marcuse pada tahun 1964 dengan judul One Dimensional Man, Routledge and Kegan Paul, Ltd. Dalam buku tersebut Marcuse memperlihatkan bahwa manusia dewasa itu dilihat sebagai makhluk teknologis).
Apakah neoliberalisme sungguh-sungguh membawa kesejahteraan sebagaimana dijanjikan. Ternyata tidak! The Independent, 18 Maret 2002 mencatat suatu realita bahwa ’1,3 milyar manusia di bumi masih hidup dengan uang kurang dari US$ 1, sementara 2,8 milyar (hampir separuh penduduk bumi) hidup dengan US$ 2. Bandingkanlah, bagaimana seperlima penduduk bumi menikmati 80% dari pendapatan dunia’. Persoalan paling besar dewasa ini adalah tergerusnya keadilan sosial, di mana stuktur sosial menjadi semakin tidak adil (baca berita utama Kompas, 26 April 2010, dengan judul Petani Makin Miskin. Produksi Naik, Pewndapatan Riil Tidak Meningkat dan Kompas, 20September 2010 dengan judul Rakyat Indonesia Masih Miskin. Pencapaian Target pada Sasaran MDGs Lepas dari Masalah Keadilan).

Antara harapan dan kekhawatiran
Kaum muda adalah penerus generasi sebelumnya, maka mereka menjadi harapan untuk ‘menciptakan’ dunia baru, dunia yang lebih baik. Harapan tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Namun, harapan tersebut berada dalam suatu situasi dan kondisi yang tidak menentu. Pertemuan Nasional Orang Muda Katolik Indonesia 2005, Cibubur 12-16 November 2005 melukiskan situasi Orang Muda katolik sebagai berikut ”Globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi memberikan berbagai kemudahan namun dampak negatifnya justru lebih besar. Orang Muda Katolik menjadi individualis, konsumtif dan kehilangan daya kritis. Bahkan Orang Muda Katolik mengalami krisis moral dan iman. Situasi ini semakin diperparah oleh lemahnya pendampingan dari keluarga dan masyarakat. Sementara, strategi pastoral Gereja dalam pendampingan kaum muda belum memberikan dukungan secara memadai’ (Bangkit dan Bergeraklah. Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005, hal. 348).
Apa yang dilukiskan oleh Pertemuan Nasional masih sangat relevan dewasa ini, kalau tidak mau mengatakan makin relevan, sebagaimana diungkapkan oleh seorang mahasiswa dalam tulisannya sebagai berikut: ’dunia yang kian sekuler, sikap tak mau tahu, individualisme, sikap oportunis dengan selalu melihat keuntungan bagi dirinya semata, ketidakrelaan untuk berkorban dan instan. Situasi ini tentu semakin mempersulit kaum muda untuk mengatasinya karena keterbatasan akan tingkat pemahaman, kemauan serta budaya selektif yang kian merosot, hilangnya kontrol sosial, dan memudarnya solidaritas’ (Gregorius M. Salu, Kaum Muda dan Hidup Menggereja, dalam majalah Hidup, Edisi ke 37, 12 Desember 2009).
Berkaitan dengan itu maka dalam menyambut Hari Orang Muda Sedunia ke-26, Tahun 2011 di Madrid, Spanyol Bapa Suci Benediktus XVI berpesan agar kaum muda tetap berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman (bdk. Kol.2:7) sambil ditopang oleh iman Gereja untuk menjadi saksi. Selanjutnya Bapa Suci memberikan catatan tentang ’berakar, dibangun dan berteguh’ sebagai berikut: ”Sebelum memberi ulasan mengenai ketiga kata tersebut, saya tunjukkan bahwa menurut tata bahasa, ketiga kata itu dalam teks aslinya berbentuk kata kerja pasif. Berarti, Kristus sendirilah yang berkehendak untuk menanam, membangun dan menguatkan kaum beriman. ..... Bagi Nabi Yeremia, berakar dalam Tuhan berarti menyerahkan kepercayaan kepada Tuhan (Yer. 17:7-8). Dari Dia, kita melukis hidup kita, bahwa Dia sendirilah kehidupan kita (bdk. 1Yo.5:11). Yesus sendiri menyatakan kepada kita, bahwa Dia sendirilah kehidupan kita (bdk. Yo.14:6). Sebagai akibatnya, iman Kristen bukanlah hanya suatu kepercayaan bahwa suatu hal tertentu merupakan kebenaran, melainkan lebih dari itu, iman Kristen merupakan suatu hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. ..... Dibangun dalam Yesus Kristus berarti menanggapi secara positif panggilan Tuhan, mempercayaiNya, dan menaruh SabdaNya dalam tindakan”. Berteguh dalam iman berarti ”Kita dengan teguh percaya bahwa Yesus Kristus menyerahkan diriNya sendiri di kayu salib untuk memberikan kasihNya kepada kita. Dalam penderitaanNya, Dia memikul penderitaan kita, menanggung dalam diriNya dosa-dosa kita,memberikan pengampunan bagi kita dan mendamaikan kita dengan Allah Bapa, membukakan bagi kita jalan menuju hidup abadi”.
Sedikit catatan tentang ’sambil ditopang oleh iman Gereja’. Gereja mengajarkan bahwa ’keluarga adalah Gereja Domestik atau Gereja Kecil’, maka biarpun orang muda katolik hadir di antara harapan dan kekhawatiran hendaknya tetap kembali ke basis, yaitu iman akan Kristus Yesus dan keluarga sebagai Gereja Domestik atau Gereja Kecil yang mengambil bagian dalam empat ciri Gereja mondial, yaitu: Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik. Bila kaum muda mampu dan bersedia kembali ke basis, maka kekhawatiran itu tidak perlu terlalu dipikirkan

Tanggungjawab orangtua terhadap kaum muda
Konsili Vatikan II melalui pernyataan tentang Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis = Pentingnya pendidikan) artikel 3 menekankan pentingnya peranan orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama, khususnya yang berkaitan dengan iman dan nilai-nilai kemanusiaan. Sedang ’Pendidikan yang diterima di sekolah bersifat bantuan’ (Pedoman Gereja Katolik Indonesia, Sidang Agung KWI-Umat Katolik, KWI, 1996). Namun tugas pertama dan utama tersebut pada saat ini menghadapi tantangan yang kuat dari kenyataan bahwa pasangan suami isteri ’dituntut’ untuk bekerja mati-matian dari pagi sampai malam, sehingga sering peran sebagai pendamping anak-anak/kaum muda semakin tergerus. Namun, bagaimanapun juga tanggung jawab ini tidak dapat dilupakan. Dalam usaha melaksanakan tanggungjawab tersebut maka ada baiknya kita berusaha untuk lebih memahami makna dari tanggungjawab tersebut.
Berbicara tentang tanggungjawab maka mau tidak mau kita harus menempatkannya dalam konteks kebebasan. Kebebasan merupakan salah satu tanda keluhuran manusia, karena dengan kebebasannya manusia mampu menentukan dirinya sendiri. Maka berbicara tentang kebebasan tidak cukup hanya berbicara tentang bebas dari paksaan, tekanan, dan lain-lain, melainkan kita harus berbicara tentang bebas untuk menentukan dirinya sendiri. Artinya seseorang sungguh-sungguh mampu otonom (auto = sendiri; nomos = aturan, jadi otonom berarti mengatur diri sendiri)
Apa yang dimaksud dengan tanggungjawab? Tanggungjawab berarti mampu menjawab dan harus mampu menjawab bila tindakan kita dipertanyakan orang lain. Seorang filsuf Perancis keturunan Yahudi yang bernama Emmanuel Levinas berujar ’respondeo ergo sum’, artinya ’saya bertanggungjawab maka saya ada’. Bagi Emmanuel tanggungjawab pribadi merupakan bukti keberadaan seseorang.
Berkaitan dengan itu maka menjadi jelas bahwa tanggungjawab dan kebebasan merupakan satu mata uang dengan dua sisi. Dengan kebebasannya laki-laki dan perempuan dewasa memiliki kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, yaitu untuk menentukan pilihan bentuk kehidupan, entah hidup berkeluarga, entah hidup selibat. Bagi mereka yang memilih hidup berkeluarga maka mereka bertanggungjawab untuk membangun keluarganya menjadi Gereja Kecil atau Gereja Domestik yang mengambil bagian dalam empat ciri Gereja universal, yaitu satu, kudus, katolik dan apostolik, agar dengan demikian anak-anak dapat hidup tumbuh dalam suasana yang kondusif. Penulis Kitab Sirakh dalam bab 30: 1-25 (khususnya pada ayat 1-13) memberikan nasehat-nasehat yang patut kita renungkan dan kita tindak lanjuti dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ayat 12-13 di mana penulis mengajak orangtua untuk sejak dini dan dengan tekun mendidik anak-anaknya. Contoh konkret dari pelaksanaan nasehat-nasehat tersebut kita temukan dalam Keluarga Kudus Nazaret sebagaimana dicatat oleh Santo Lukas dalam Injilnya, bab 2: 41-52. Bagi saya yang paling menarik adalah sikap Bunda Maria dalam menanggapi jawaban Yesus yang bagi kita mungkin memberi kesan bahwa Yesus berlaku tidak sopan pada orangtuanya, namun sikap orangtua tidak reaktif melainkan proaktif (lihat uraian lebih rinci tentang sikap proaktifnya Bunda Maria dalam majalah Mekar, Edisi no. 2 Th XVIII, April-Juni 2007, hal.13-16).

Orangtua sahabat kaum muda
Kata ’sahabat’ yang merupakan sinonim dari kata ’teman’, ’kawan’ bagi saya mengandung nuansa kesetaraan, tanpa kesetaraan tidak mungkin ada persahabatan sejati. Dalam kaitan ini maka kembali penulis Kitab Sirakh memberikan nasehat-nasehatnya, nasehat-nasehat tentang persahabatan dapat kita temukan dalam bab 6 ayat 5-37, khususnya ayat 5-17. Pada ayat 6 penulis Kitab Sirakh mengingatkan bahwa sahabat sejati itu sangat jarang dan sedikit sekali. Dengan demikian mungkinkah orangtua dan kaum mudanya bisa saling bersahabat? Pasti mungkin, asal tidak saling mementingkan diri sendiri dan ada kebenaran/kebijaksanaan dalam kata-katanya, dan yang paling penting sebagaimana ditekankan oleh penulis Kitab Sirakh adalah persahabatan sejati akan tercipta bila ’pada saat-saat dibutuhkan sahabat tersebut ada’, keberadaan seorang sahabat pada saat sahabatnya sedang resah, was-was, kesepian menjadi sangat signifikan, biarpun mungkin masalahnya belum terselesaikan. Keberadaan dan kehadiran seorang sahabat merupakan peneguhan dan tidak membuat seseorang kesepian.
Apa yang dinasehatkan oleh penulis Kitab Sirakh dewasa ini menghadapi tantangan yang sangat berarti, tantangan tersebut dapat dirumuskan dalam satu kata, dan kata itu tidak lain adalah kesibukan, sibuk mencari duit.


Peranan kaum muda dalam keluarga
Dalam membahas tema tersebut di atas maka saya akan banyak menggunakan pemikiran yang dikembangkan oleh seorang psikoanalis yang sangat berpengaruh, yaitu Erik H. Erikson. Maka sebelum membahas peranan kaum muda dalam keluarga, mungkin baik bila kita sedikit mengenal siapakah Erikson tersebut. Erikson adalah seorang psikoanalisis dan sekaligus seorang pemikir dan peneliti tentang siklus hidup manusia yang luar biasa. Banyak ahli menyatakan bahwa ’Erikson melampaui Freud – si perintis psikoanalis – namun tetap setia pada Freud. Sumbangannya di bidang tersebut sangat dihargai dan berpengaruh besar di bidangnya sampai sekarang. Erikson juga merupakan sang pencipta istilah krisis identitas. Pernah Erikson berujar bahwa ’Mempelajari identitas adalah sesuatu yang strategis pada masa kita, sama seperti mempelajari seksualitas menjadi studi strategis pada jaman Freud’. Menurut Erikson dalam perjalanan hidupnya manusia mengalami apa yang disebutnya sebagai 8 tahap perkembangan. Bagi Erikson ke 8 tahap perkembangan tersebut ditandai dengan perlawanan. Pada tahap pertama (0 – 2 tahun) terjadi perlawanan antara kepercayaan dasar lawan kecurigaan. Pada tahap kedua (2 – 3 tahun) terjadi perlawanan antara otonomi lawan rasa malu dan bimbang. Pada tahap ketiga (4 – 5 tahun) terjadi perlawanan antara inisiatif lawan perasaan bersalah. Pada tahap keempat (6 – 11 tahun) terjadi perlawanan antara kerajinan lawan perasaan rendah diri. Pada tahap kelima (12 – 19 tahun) terjadi perlawanan antara penemuan identitas diri lawan kebingungan akan identitasnya. Pada tahap keenam (20 – 30 tahun) terjadi perlawanan antara keintiman lawan isolasi. Sedang pada tahap ketujuh (30 – 65 tahun) terjadi perlawanan antara generativitas lawan stagnasi. Akhirnya pada tahap kedelapan (65 tahun ke atas) terjadi prlawanan antara keutuhan ego lawan keputusasaan. Bila mengikuti kedelapan tahap perkembangan manusia dari Erikson, maka kaum muda berada pada tahap 5 dan 6. berkaitan dengan itu maka saya akan lebih fokus pada pembahasan tahap 5 dan 6. Biarpun perlu diingatkan bahwa bagi Erikson tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan tahun pembentukan dasar-dasar kepribadiannya di kemudian hari.
Tahap kelima memiliki ciri-ciri sebagai berikut: berakhirnya masa kecil dan mulainya masa remaja. Mulainya muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: siapakah aku? Akan menjadi apakah aku? Apa yang harus kulakukan sekarang ini? Ditemukannya jati diri, ’I am me, I am diferent’. Kebutuhan akan teman, peer group, tokoh idola sebagai ’orangtua baru’, kesadaran kuat akan penampilan diri, hormon seks mulai aktif, terjadinya perubahan dalam dirinya, terjadinya ambivalensi dan ketidakstabilan emosi. Berkaitan dengan itu semua maka bisa muncul suatu krisis identitas, kebingungan dan kekacauan identitas. Dalam kondisi seperti itu, orang muda butuh bantuan dan kehadiran orangtua. Orang muda mendambakan pengertian dan penerimaan dari orangtuanya. Penginjil Lukas menggambarkan krisis identitas tersebut dengan sangat indah dalam bab 15 ayat 11 – 32, khususnya pada ayat 13 – 20, di mana si anak bungsu meninggalkan rumah untuk mencari dan menemukan identitas dirinya. Namun, bukan identitas diri yang ditemukan melainkan kekacauan diri yang diperoleh. Si anak bungsu membutuhkan proses panjang untuk kemudian memutuskan untuk kembali ke bapanya. Titik balik dapat kita temukan pada ayat 17 yang berbunyi ’Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan’. Si bungsu menyadari dirinya, mengakui bahwa dia masih memiliki seorang bapa, dan mengakui bahwa dia telah membuat kesalahan. Keutamaan yang muncul dalam diri si bungsu tidak lain adalah aku tidak lain adalah pengabdian dan kesetiaan.
Bila kita mampu mengelola tahap keenam dengan tepat maka tahap keenam memiliki ciri-ciri sebagai berikut: muncul dalam diri orang muda kesadaran akan kemampuan untuk berbagi lewat pekerjaan dan karirnya; lewat membangun keberpasangan dengan pasangannya sampai kepada prokreasi. Pada situasi dan kondisi seperti itu seseorang berani mengambil risiko kehilangan ’identitas dirinya’ guna meraih dan menyatu dengan pasangannya. Dari ’who am I?’ menuju ke ’who are we?’; dari ‘I am me’ ke ‘I am we’. Proses seperti ini oleh Erikson sebagai proses afirmasi, suatu proses melihat kebaikan pada diriku dan mengakui keunikan orang lain.
Sebaliknya bila kita tidak mampu mengelola tahap keenam dengan tepat maka muncullah krisis berupa pengucilan dan penutupan diri dari segala bentuk relasi. Kemudian muncul perasaan sepi, curiga dan dilanjutkan dengan sikap menutup diri dan selanjutnya mengisolir diri. Dalam hal ini kita bisa belajar pada Ruth, bacalah Kitab Ruth bab 1 dan 2, khususnya bab 1 ayat 16 – 17, yang mengungkapkan suatu kesetiaan dan komitmen total. Suatu komitmen pribadi untuk masa depan yang di luar kendalinya dan melibatkan suatu bentuk pengorbanan. Dalam kondisi seperti itu maka orang muda membutuhkan keberadaan dan kehadiran orang-orang yang mau mengerti dirinya, orangtuanya, saudara-saudaranya dan para sahabatnya. Bila situasi dan kondisi yang negatif itu bisa diatasi maka orang muda akan menemukan apa yang dikatakan oleh Erikson aku tidak lain adalah persatuan dan cintakasih.
Dengan demikian bila orang muda mampu mengatasi perlawanan yang ada dalam dirinya baik pada tahap 5 maupun pada tahap 6, maka kaum muda mampu menyumbangkan sesuatu yang positif, seperti sikap mengabdi, setia, persatuan dan cintakasih dalam usaha membangun keluarga sebagai Gereja Domestik. Untuk itu semua kaum muda perlu merenungkan apa yang ditulis Rasul Paulus dalam suratnya kepada Umat di Efesus 6: 1-9, khususnya ayat 1 dan 2, di mana Rasul Paulus menekankan pentingnya sikap taat dan sikap hormat kepada orangtua, namun di lain pihak para orangtua juga perlu merenungkan pesan Rasul Paulus pada ayat 4, agar menjadi pendidik dalam Tuhan bagi anak-anak mereka.


Kaum muda bertanggungjawab
Keluarga adalah komunitas pribadi-pribadi yang unik, yang tidak ada duanya. Dengan perkataan lain keluarga merupakan suatu persekutuan pribadi-pribadi yang saling berbeda satu dengan lainnya. Setiap perbedaan bisa menimbulkan konflik, namun di lain pihak perbedaan juga dapat memperkaya. Dalam konteks ini kaum muda memiliki tanggungjawab untuk mampu mengelola perbedaan-perbedaan yang ada dalam keluarganya, sehingga akan tercipta keluarga yang harmonis, di mana masing-masing anggota dapat tumbuh dan berkembang seutuh mungkin.
Di samping itu orang muda juga ikut bertanggungjawab terhadap masa depan dirinya sendiri, dan masa depan masyarakat yang lebih baik. Lebih-lebih dewasa ini di mana bangsa dan negara kita sedang mengalami begitu banyak tantangan. Nota Pastoral 2004 menunjuk pada 3 macam tantangan, yaitu korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan hidup. Sedang Sidang Pleno ke 8 Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup se Asia di Korea pada tahun 2004 menunjuk pada masalah kemiskinan. Memang keempat permasalahan tersebut sering berada di luar kendali kita. Namun, baik kalau kita merenungkan apa yang dikatakan oleh Hans Jonas sebagai prinsip tanggungjawab masa depan yang berbunyi: Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di bumi (kutipan ini diambil dari buku Hans Jonas yang berjudul Das PrinzipVerantwortung. Versuch einer Ethik fur die technologische Zivilisation = Prinsip Tanggungjawab. Percobaan sebuah etika bagi peradaban teknologis) yang terbit pada tahun 1979. Masalahnya, beranikah kita melawan arus, dan tidak seperti orang muda kaya yang tidak berani mengikuti Yesus, karena Yesus selalu melawan arus (Mt. 19: 16 – 26).

Penutup
Demikianlah beberapa titik pemikiran dalam rangka mempersiapkan diri menyambut Paskah 2011, setiap usaha baik selalu dimulai dari diri sendiri. Marilah kita membuat niat untuk pembaruan diri sendiri dan kemudian berjalan bersama, bergandengan tangan membangun dunia baru.


Bogor, akhir Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar