Kamis, 23 Januari 2014

Perselingkuhan Merupakan Penodaan Terhadap Martabat Perkawinan? 
Stanislaus Nugroho 
Manusia itu bukan malaikat dan bukan binatang; 
 dan siapa yang ingin memainkan peranan malaikat 
akan berakhir sebagai binatang (Blaise Pascal).

Dewasa ini telah terjadi perubahan besar dalam sikap manusia terhadap tubuhnya. Filsafat masa kini menemukan kembali paradigma Aristoteles (384-322) dan Santo Thomas Aquinas (1225-1274), paradigma yang mana? Bahwa manusia merupakan suatu kesatuan hakiki antara roh dan materi (tubuh). Manusia tidak lain adalah ‘roh yang berdaging dan daging yang ber-roh’. Bahkan bisa dikatakan bahwa manusia tidak hanya bertubuh, tetapi pada suatu tingkat tertentu manusia adalah tubuhnya. Dengan kata lain tubuh bukan sekadar pakaian yang dikenakan melainkan tubuh merupakan unsur hakiki kemanusiaan. Namun dewasa ini ada yang memprihatinkan terhadap tafsir atas paradigma Aristoteles dan Thomas Aquinas, mengapa? Karena ada kecenderungan yang sangat kuat, bahwa manusia sangat memuja tubuhnya (?). salah satu gejala yang bagi saya dapat digunakan sebagai tanda dari pemujaan tersebut adalah laku kerasnya produk komestik baik untuk perempuan maupun untuk laki-laki. Saya jadi teringat pada kata-kata yang diucapkan oleh Blaise Pascal (1623-1662) yang sangat terkenal, yaitu: “Manusia itu bukan malaikat dan bukan binatang; dan siapa yang ingin memainkan peranan malaikat, akan berakhir sebagai binatang”. Namun yang sebaliknya juga bisa dikatakan bahwa siapa yang hanya mengais-ngais tanah, maka dia akan menjadi binatang dan dengan demikian dia telah kehilangan martabat kemanusiaannya. Selain itu manusia terikat dengan tanah, ia tidak terbang di atas bumi, namun ia berjalan selangkah-demi selangkah di atas tanah. Ia harus merebut dunia dan sekaligus harus merebut dirinya sendiri, sebab manusia ‘menjadi satu’ dengan dunia, selangkah demi selangkah dan saat demi saat, dalam waktu. Namun di lain pihak kita juga berdiri tegak dan mampu memandang ke kejauhan/ke tepi langit yang luas, tidak hanya terbatas pada dunia ini saja. Kita mampu menembus jagat raya. Kita memang dipanggil unuk hidup dalam keabadian. Dan kenyataan ini dialami oleh manusia sebagai suatu tegangan, namun ketengan yang harus kita terima. Dengan kata lain bisa dirumuskan sebagai berikut: bahwa secara vertikal kita berdiri di antara surga dan bumi, namun sekaligus kita terarah ke atas dan terikat ke bawah, ditopang bumi dan ditarik oleh surga. Berkaitan dengan itu kita bertugas mencari keseimbangan dalam ketegangan tersebut. Bila kita membaca Kitab Suci Perjanjian Lama, kitab yang pertama Kej.1 yang mengisahkan penciptaan langit dan bumi serta isinya, khususnya ayat 26-2:4a maka bagi saya Kitab Suci memiliki paradigma yang sangat positif tentang tubuh manusia. Memang segala yang diciptakan Allah adalah baik, namun waktu manusia tercipta maka Allah bersabda ‘amat baik adanya’ (Kej.1:31). Mari kita mencoba melihat secara lebih rinci tubuh kita lebih-lebih yang berkaitan dengan bagian-bagian dari tubuh kita. Dalam hubungan dengan ini kembali kita akan terjebak pada masalah tegangan. Bila tadi tegangan yang pertama adalah tegangan antara kefanaan dan keabadian, maka kini kita mengalami tegangan dalam kaitan dengan organ-organ tubuh kita dalam kaitan dengan fungsinya sebagai tanda. Misalnya, jantung mempunyai tempatnya antara kepala dan rongga perut. Jantung melambangkan diri kita sendiri: sebab dalam jantung terdapat yang paling pribadi dari manusia, yakni cintakasihnya, dan kebebasannya. Rongga perut melambangkan gejolak nafsu dan sensitivitas inderawi, fungsi-fungsi yang vital, hal yang seksual, keterikatan pada bumi, alam dan materi. Sedang kepala adalah lambang dari roh dan dari seluruh kenyataan rohani dan surgawi. Aku yang ada di tengah-tengah harus membuat sintesa antara bumi dan yang surgawi. Terus terang saja hal ini mengingatkan saya pada Plato (427-347), seorang pemikir Yunani kuno yang sudah membagi tubuh manusia menjadi tiga bagian : akal di kepala yang menandakan bahwa manusia memiliki kebijaksanaan, penjiwaan di dada yang menandakan bahwa manusia memiliki keberanian dan keadilan dan gejolak nafsu di bagian bawah tubuh, yang membutuhkan pengendalian diri. Keempat keutamaan (kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri dan keadilan) itulah yang saat ini dikenal sebagai keutamaan filosofis. Nah, setelah sedikit melihat hakekat tubuh kita maka kita sekarang masuk pada inti permasalahan karangan ini yang berkaitan dengan penyakit sosial manusia, yaitu yang menjadi judul tulisan ini yaitu perselingkuhan. Waktu saya mencoba membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) yang saya miliki maka saya tidak menemukan istilah selingkuh, yang saya temukan adalah istilah zina. Ketika saya bertanya kepada teman saya ‘apa bedanya antara selingkuh dan zina?’, maka teman saya menjawab ‘zina merupakan sinonim dari istilah selingkuh’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) ada dua penjelasan tentang istilah zina. Yang pertama zina merupakan perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan perkawinan. Sedang yang kedua zina merupakan perbuatan bersanggama antara laki-laki yang sudah terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan isterinya, atau antara seorang perempuan yang sudah terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya. Perzinaan adalah perbuatan zina. Sedang bagi Gereja Katolik – sebagaimana dirumuskan dalam Katekismus Gereja Katolik (1993) – perselingkuhan (perzinaan) merupakan pelanggaran terhadap martabat perkawinan. Perselingkuhan merupakan pelanggaran terhadap kesetiaan suami isteri dan sekaligus juga merupakan suatu pelanggaran terhadap keadilan. Untuk jelasnya saya akan mengutip apa yang dirumuskan oleh Katekismus Gereja Katolik sebagai berikut: 2380 Perzinaan, artinya ketidaksetiaan suami isteri. Kalau dua orang, yang paling kurang seorang darinya telah kawin, mengadakan bersama hubungan seksual, walaupun hanya bersifat sementara, mereka melakukan perzinaan. Kristus malah mencela perzinaan dalam roh (Mt.5:27-28). Perintah keenam dan Perjanjian Baru secara absolut melarang perzinaan (Mt.5:32, Mk.10:11,1Kor.6:9-10). Mereka memandang perzinaan sebagai gambaran penyembahan berhala yang berdosa (bdk. Hos.2:7, Yer.5:7,13:27). Selanjutnya dinyatakan: 2381 Perzinaan adalah suatu ketidakadilan. Siapa yang berzina, ia tidak setia kepada kewajiban-kewajibannya. Ia menodai ikatan perkawinan yang adalah tanda perjanjian; ia juga menodai hak dari pihak yang menikah dengannya dan merusakkan lembaga perkawinan, dengan tidak memenuhi perjanjian, yang adalah dasarnya. Ia membahayakan martabat pembiakan manusiawi, serta kesejahteraan anak-anak, yang membutuhkan ikatan yang langgeng dari orangtuanya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa – bagi Gereja Katolik – perselingkuhan/perzinaan adalah dosa, karena melanggar martabat perkawinan, melanggar janji suami isteri, melanggar kesetiaan dan keadilan. Sebagai pasangan-pasangan Katolik pasti tahu hal itu karena mereka pasti sudah mengikuti Kursus Persiapan Perkawinan, maka yang menjadi pertanyaan apa yang menjadi sebab dari timbulnya pelanggaran terhadap martabat perkawinan? Dari pengalaman selama menjadi pendamping pasangan suami isteri, di mana salah satu tugasnya tidak lain adalah menjadi pendengar yang baik terhadap segala unek-unek entah dari suami atau isteri, maka ada 8 (delapan) sebab yang diungkapkan. Kedelapan sebab itu tidak lain adalah: 1) timbulnya rasa bosan dari salah satu pasangan terhadap pasangannya; 2) adanya godaan dari perempuan atau laki-laki lain terhadap salah satu pasangan; 3) timbulnya keinginan untuk mencari pasangan yang lebih baik dari pasangannya; 4) adanya perasaan dan pikiran salah satu pasangan bahwa dia selama ini telah salah pilih; 5) timbulnya perasaan iseng, maka ingin coba-coba; 6) adanya perasaan dendam terhadap salah satu pasangannya, dan salah satu sumber dendam adalah karena terjadinya kekerasan, entah itu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, maupun kekerasan ekonomis; 7) adanya kecenderungan superioritas yang kuat di kalangan para lelaki; dan yang terakhir 8) adanya kecenderungan dewasa ini di mana suami-suami dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai penopang ekonomi keluarga bekerja di tempat lain yang jauh jaraknya dari isteri dan anak-anaknya, sehingga tidak bisa pulang dan terpaksa harus kost di kota di mana suami-suami itu bekerja, biarpun pada awalnya baik-baik-baik dan lurus-lurus saja, namun karena berlangsung lama maka salah satu dari pasangan suami isteri akhirnya berselingkuh. Tentu saja bahwa ke 8 alasan itu tidak berdiri sendiri, memiliki kaitan satu sama lain. Dan bila digali lebih dalam maka menjadi jelas bahwa yang menjadi akar permasalahan adalah kurang harmonisnya komunikasi dan relasi suami isteri itu sendiri. Berkaitan dengan itu maka dalam membangun dan menjaga terjadinya komunikasi dan relasi yang harmonis maka ada 2 hal atau bisa dikatakan 2 prinsip yang perlu dipegang dan dihayati dengan dengan tulus dan sungguh-sungguh. Kedua prinsip tersebut tidak lain adalah 1) saling hormat menghormati; 2) adanya kemauan untuk menjadi pendengar yang baik. Agar kedua prinsip itu bisa dihayati dengan tulus dan sungguh-sungguh maka kita harus berani melakukan refleksi diri dan kemudian melakukan perubahan terhadap diri kita sendiri, Adanya baiknya sekarang kita mencoba memperbincngkan kedua prinsip tersebut di atas dengan lebih rinci. 1) Prinsip hormat Hubungan laki-laki dan perempuan merupakan hubungan kesetaraan. Kesetaraan itu berkaitan dengan kenyataan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan oleh Allah, bahkan diciptakan sebagai citraNya/gambarnya. Kesetaraan tidak berarti laki-laki dan perempuan sama melainkan berarti bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama subyek, maka hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan hubungan antar-subyek, bukan antar-obyek, juga bukan hubungan antara subyek dan obyek. Dalam bahasa psikologi manusia adalah pribadi, bahkan pribadi yang unik, yang tidak ada duanya. Maka hubungan agar hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi harmonis maka hubungan itu hendaknya dibangun atas dasar prinsip hormat, saling menghargai antar-subyek, antar-pribadi. 2) Prinsip mendengarkan Dalam bahasa Inggris dikenal dua istilah yaitu to hear dan to listen. To hear biasanya diterjemahkan sebagai mendengar, hanya sekadar apa yang ditangkap oleh telinga kita, bahkan ada kecenderungan masuk dari telinga kiri keluar dari telinga kanan. Dalam hal mendengar kita sekaligus mampu mendengar bermacam-macam suara. Lain halnya dengan to listen yang sebaiknya diterjemahkan dengan mendengarkan, yang dimaksud dengan mendengarkan adalah per-hati-an kita terfokus pada satu suara/berita, dengan kata lain mendengarkan berarti mendengar dengan hati. Sebuah perikop Kitab Suci yang bisa digunakan untuk merefleksikan makna dari mendengarkan adalah Mt.13:1-23 yang berbicara tentang Perumpamaan tentang seorang penabur. Agar mendengarkan itu efektif maka hati kita harus menjadi tanah yang subur dan dijaga serta dipelihara kesuburannya, agar benih yang ditaburkan dapat tumbuh dan berbuah banyak serta baik mutunya. Bila kedua prinsip itu diperhatikan dan dihayati maka hubungan antara laki-laki dan perempuan akan harmonis dan ke delapan sebab perselingkuhan tidak perlu kena pada diri mereka. Selamat belajar mendengarkan agar menjadi pendengar yang baik.