Sabtu, 22 Oktober 2011

refleksi ttg harapan

Pengharapan Kristiani, ungkapan penantian yang indah dan menantang, belajar dari Abraham
Stanislaus Nugroho

”....... ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus dihadapan Allah dan Bapa kita” (1Tes.1:3).

Dewasa ini banyak orang – sejauh kita mengikuti media massa, entah itu TV, surat kabar – mengeluh bahwa hidup menjadi semakin sulit, biaya hidup semakin tinggi. Maka tidak heran fenomena ’mengakhiri hidup sebelum waktunya’ (= bunuh diri) semakin banyak. Kemarin siang, 21 Oktober 2011 saya mendengar berita di Metro TV ada seorang laki-laki yang ditinggal oleh pasangannya bekerja sebagai TKW di luar negeri bunuh diri bersama anak bayinya.
Salah satu alasannya tidak lain adalah ’kemiskinan’, memang kemiskinan merupakan salah satu penyakit sosial yang bertentangan dengan martabat manusia, mereka menjadi putus harapan atau putus asa akan masa depannya. Mengapa seorang manusia bisa putus asa, kehilangan pengharapan?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , kita dapat menemukan penjelasan tentang ’pengharapan sebagai harapan’, sedang harapan sendiri dijelaskan sebagai: (1) sesuatu yang (dapat) diharapkan; (2) keinginan supaya menjadi kenyataan; (3) orang yang diharapkan atau dipercaya. Dengan demikian pengharapan atau harapan berkaitan dengan masa depan, berkaitan dengan sesuatu yang belum menjadi fakta, berkaitan dengan sesuatu yang kita nantikan kenyataannya.
Dalam kaitan dengan pengharapan, apa bedanya dengan optimisme. John Macquarrie tidak menyamakan antara pengharapan dan optimisme. Bagi John Macquarrie, optimisme merupakan suatu sikap percaya akan masa depan dengan alasan dan perhitungan yang pasti, sedang pengharapan merupakan suatu keutamaan teologis dan berkaitan dengan kehidupan religius. Di samping itu ada dua keutamaan teologis yang lain, yaitu: iman dan kasih.Berkaitan dengan itu maka St. Thomas Aquinas merumuskannya sebagai berikut: ”Pengharapan merupakan suatu keutamaan. Disebut sebagai pengharapan sejauh memiliki Allah sebagai tujuan masa depannya dan dengan tekun dapat dicapainya dengan bantuan Allah” . Selanjutnya St. Thomas Aquinas menulis ”Pengharapan mengarah kepada Tuhan sebagai prinsip kebaikan sempurna dalam kita. Tujuan pengharapan ialah tercapainya kebaikan sempurna” . Dengan demikian pengharapan berciri eskatologis, mengacu pada masa depan, jaitu: akhir Jaman. Salah satu kritik Karl Marx berkaitan dengan soal ini, ’agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasarnya. Keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam. Agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri” .
Pengharapan mengandaikan adanya keutamaan iman akan adanya Penjamin yang bisa dipercaya. Tapi bagaimana itu harus kita mengerti, agar dengan demikian kita dapat menghayatinya dengan tepat, agar kita tidak terkena kritik Karl Marx tersebut di atas. Untuk itu maka marilah kita belajar dari seorang tokoh perjanjian lama yang bernama Abraham, yang awalnya bernama Abram , yang kita kenal sebagai ’bapak orang-orang beriman’.
Kisah tentang Abram (Abraham) merupakan kisah seorang beriman dan sekaligus berpengharapan, dapat kita baca dan renungkan pada Kej.11:26 – 25:18. suatu kisah yang inspiratif dan menantang. Bila kita telah membaca dan merenungkan kisah tersebut di atas maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa orang beriman dan berpengharapan merupakan kisah orang yang mampu ’melampaui’ dirinya sendiri, artinya mampu melepaskan perhitungan-perhitungan manusiawi, dan mampu berpasrah diri pada penyelenggaraan ilahi, mampu hidup berdasrkan janji Allah. Betapa tidak! Pada waktu Abram (Abraham) dipanggil Allah usianya sudah 75 tahun (Kej.12:4), sudah tinggal dan mapan di Haran (Kej.11:31), dan isterinya – Sarai (Sara) – mandul (Kej.11:30), dan diminta untuk meninggalkan Haran untuk pergi ’ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu’, serta dijanjikan ’Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu mashur; dan engkau akan menjadi berkat’ (Kej. 12:1-2). Janji Allah sungguh di luar perhitungan manusiawi, namun Abraham percaya pada janji Allah tersebut, sehingga ”Lalu pergilah Abram seperti yang difirmankan Tuhan kepadanya, ....” (Kej.12:4). Biarpun janji itu tidak segera terjadi sehingga Abram sempat mengeluh kepada Allah ”...., apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, ....” (Kej.15:2). Keluhan Abram dijawab oleh Allah ”.....anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu” (Kej. 15:4). Selanjutnya penulis Kitab Kejadian menulis ”Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran” (Kej. 15:6), atau bahasa Rasul Paulus ’karena imannya maka Abraham dibenarkan oleh Allah’ (bdk. Rom. 4:1-25). Namun, jawaban Allah masih perlu dinantikan .... sampai akhirnya Sara ’melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abraham dalam masa tuanya’ (Kej.21:2).
Namun, tiba saatnya iman Abraham diuji, Allah berfirman ”Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu” (Kej. 22: 2). Pasti dengan perasaan sangat sedih dan dengan pikiran kosong karena tidak mampu memahami firman tersebut, ”Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham ..... lalu berangkatlah ia dan dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya” (Kej. 22: 3). Akhir cerita Abraham lulus ujian iman (Kej. 22:12).
Pada perikop 22 ini ada teks yang sangat mengesan bagi saya, teks yang saya maksud adalah ”Aku bersumpah demi diriKu sendiri – demikianlah firman Tuhan – karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu, maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firmanKu” (Kej. 22: 16-18). Bandingkan teks tersebut dengan teks yang berasal dari tradisi yang berbeda, yaitu dari Ulangan. ”.... supaya baik keadaanmu dan engkau memasuki dan menduduki negeri yang baik, yang dijanjikan Tuhan dengan sumpah kepada nenek moyangmu .....” (Ul. 6:18) dan ”..... kita dibawaNya keluar dari sana, supaya kita dapat dibawaNya masuk untuk memberikan kepada kita negeri yang telah dijanjikanNya dengan sumpah kepada nenek moyang kita” (Ul. 6: 23).
Kesaksian Perjanjian Lama ini mau menampilkan Tuhan sebagai Pembuat janji yang berkuasa dan dapat diandalkan, Tuhan adalah jaminan hidup kita, sebagaimana dikidungkan oleh pemazmur (Mzm, 119:122) dan sebagaimana dikidungkan oleh Hizkia (Yes. 38: 14).
Pada kutipan Kej. 22: 16-18 dan Ul. 6: 18, 23 ada tiga kata yang dengan sengaja saya tulis dengan huruf italic, karena kata-kata itu sangat menarik bagi saya, yaitu bersumpah, memberkati dan memberikan. Betapa tidak! Biasanya dalam kehidupan sehari-hari seseorang bersumpah/sumpah pasti demi sesuatu yang melampaui dirinya, demi sesuatu yang transenden. Maka bersumpah/sumpah pada kutipan teks tersebut ingin menunjuk pada kekuasaan Allah.
Kata memberkati dalam hidup Kamus Besar Bahasa Indonesia diberi penjelasan sebagai berikut: ’memberi berkat (tentang Tuhan); mendoa supaya Tuhan mendatangkan berkah; mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan sebagainya’ . Dalam hal ini Allah ingin menganugerahkan keturunan, tanah, penyertaan kepada Abraham dan keturunannya, baik keturunan menurut darah maupun keturunan menurut iman (lihat Kej. 26:3-5, ). Begitu pula dengan kata ’memberikan’, Allah berjanji untuk memberikan atau menyerahkan dengan rela negeri yang telah dijanjikan.
Iman Abraham diungkapkan dalam pergulatan hidupnya tanpa putus asa, tanpa putus harapan akan janji Allah lewat sumpahNya (lihat Kej.22:16). Abraham tidak ragu-ragu akan Allah yang berjanji, biarpun realisasi janji itu tertunda-tunda, tetapi Abraham percaya bahwa Allah itu setia. Iman dan harapan demikian yang diwariskan Abraham kepada kita sebagai pengikut dan murid Kristus Yesus. Sebagai ahli waris iman-Abraham, maka kita perlu mengungkapkannya dalam hidup kita sehari-hari. Selain daripada itu sebagaimana diungkapkan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma (lihat Rm.4:1-25), bahwa janji Allah tidak didasarkan pada prestasi Abraham, melainkan semata-mata karena Allah itu kasih.
Akhirnya, kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa ’berharap’ itu hanya mungkin bila kita ’beriman’ dan kita harus rela untuk bergulat dalam hidup kita sehari-hari tanpa pernah putus asa. Perjuangan seperti itulah yang memberi ’makna’ bagi hidup kita.
Bogor, 23 Oktober 2011