Rabu, 28 November 2012

Teologi Tubuh, belajar dari Beato Yohanes Paulus II

Berbicara tentang Teologi Tubuh maka kita sebenarnya berbicara tentang suatu buku yang memuat 129 ceramah plus 3 appendiks, dengan jumlah halaman 603 halaman, yang dibawakan oleh Beato Yohanes Paulus II untuk para pendengarnya dalam setiap audiensi umum sejak tanggal 5 September 1979. Ceramah-ceramah tersebut bagi John S. Grabowski merupakan suatu ‘magnificent vision’ (cfr. Foreword, yang ditulis oleh John S. Grabowski, dalam buku The Theology of the Body. Human Love in the Divine Plan, 1997, hal. 19) dari Beato Yohanes Paulus II tentang tubuh-manusia. Buku tersebut terdiri dari dua bagian. Bagian pertama memuat dua tema besar. Tema pertama yang memuat 23 sub tema membahas tentang kesatuan laki-laki dan perempuan pada awal mulanya sebagaimana digambarkan dalam Kitab Kejadian. Sedang tema kedua memuat 27 sub tema yang membahas tentang hati manusia yang terberkati sebagaimana digambarkan dalam Khotbah di Bukit. Bagian kedua memuat satu tema besar dengan tema hidup sesuai dengan Roh, tema besar ini terdiri dari lima sub tema, yaitu ajaran Santo Paulus tentang tubuh manusia, kebangkitan badan, hidup selibat, sakramentalitas perkawinan dan refleksi tentang Humanae Vitae. Lalu 3 apendiks yang berbicara tentang tentang Hidup Manusia, tentang Martabat dan Panggilan Perempuan dan tentang Injil Kehidupan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membicarakan seluruh buku tersebut, tetapi setelah membaca buku tersebut maka saya ingin menyampaikan suatu sinopsis singkat tentang tema pertama dari bagian pertama yang berbicara tentang Kesatuan asali antara laki-laki dan perempuan. Suatu katekese berdasarkan Kitab Kejadian. Saya teringat akan suatu ungkapan yang berbunyi ”Seorang filsuf besar hanya memiliki satu kata, dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk hanya mengatakan satu kata itu”. Rocco Buttiglione seorang filsuf dan politisi Italia yang tidak lain adalah sahabat dari Beato Yohanes Paulus II menyatakan bahwa sebagai filsuf Beato Yohanes Paulus II memiliki satu kata kunci dan itu tidak lain adalah kata PRIBADI. Begitu pula dengan Avery Dulles SJ, seorang teolog dan sekaligus seorang kardinal, dalam tulisannya yang berjudul John Paul II and the Mystery of The Human Person yang dapat kita temukan di America, vol. 190, no. 3, February 2, 2004 menyatakan bahwa “theologically the Pope is a personalist”. Mengapa demikian? Karena bagi Beato Yohanes Paulus II ’pribadi sebagai subyek’ ditempatkannya sebagai inti gagasannya. Hal itu dilatarbelakangi oleh keyakinannya akan misteri penciptaan, di mana manusia diciptakan sebagai citra Allah. Berkaitan dengan itu maka tidaklah mengherankan bila dalam surat apostoliknya yang berjudul Mulieris Dignitatem (1988) tertulis kalimat sebagai berikut ”Menjadi manusia berarti dipanggil ke dalam persekutuan interpersonal”, maka bagi Beato Yohanes Paulus II relasi antar manusia tidak lain adalah relasi kesetaraan sehingga perbedaan yang ada, juga dalam hal perbedaan gender sekalipun, haruslah ditandai dengan prinsip kesetaraan antara yang satu dengan lainnya, dan itu menjadi nyata dalam prinsip partisipasi. Dengan sedikit menguraikan kata kunci yang dimiliki oleh Beato Yohanes Paulus II maka kita akan lebih siap mengikuti rangkaian audiensi umum yang dibawakannya. Sudah pada audiensi umum yang pertama (5 September 1979) Beato Yohanes Paulus II mengutip Injil Mateus bab 19 yang berbicara tentang relasi lelaki dan perempuan khususnya dalam perkawinan (ayat 1-12). Pertama-tama bagi Beato Yohanes Paulus II ada satu kata yang sangat penting yang dikatakan Yesus sampai dua kali, yaitu kata sejak semula (pada ayat 4 ’.... Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka lelaki dan perempuan’; dan pada ayat 8 (’....sejak semula tidaklah demikian). Bagi Beato Yohanes Paulus II bahwa sejak semula Allah telah memiliki grand desain tentang penciptaan pada umumnya dan khususnya dalam penciptaan manusia. Selanjutnya Beato Yohanes Paulus II memfokuskan uraiannya dalam kaitan dengan Kitab Kejadian tentang penciptaan manusia baik pada bab 1 maupun bab 2. Dalam uraiannya Beato Yohanes Paulus II mulai dengan Kej.1:26a ”Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, .....”. Ayat ini dikaitkannya dengan Kej.1:27 yang berbunyi ”Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan”. Berkaitan dengan kedua ayat tersebut maka bagi Beato Yohanes Paulus II Allah menciptakan manusia sebagai gambar dan rupaNya menjadi nyata dan utuh dalam lelaki dan perempuan. Pemikiran tersebut akan menjadi lebih jelas bila kita mengikuti uraian selanjutnya lebih-lebih yang berkaitan dengan tiga konsep penting yang digunakannya, yaitu original solitude (kesendirian orisinil); original unity (kebersatuan orisinil) dan original nakedness (ketelanjangan orisinil). Selanjutnya Beato Yohanes Paulus II mengacu pada Kej.2:7 ”Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup”. Dibandingkan dengan yang dijelaskan pada Kej.1:26-27 maka kisah yang kedua jauh lebih rinci. Ada dua istilah penting pada kisah kedua yang perlu dielaborasi, yang pertama debu tanah dan yang kedua nafas hidup. Mengenai debu tanah yang merupakan terjemahan dari kata Ibrani adamah dibentuklah manusia yang dalam bahasa Ibrani istilah yang dipakai adalah adam. Dengan demikian istilah adam tidak mengacu pada nama-diri melainkan mengacu pada nama genus, dikenakan pada setiap makhluk yang bernama manusia, selain itu menurut para ahli tafsir Kitab Suci istilah adam juga mengacu pada tubuh manusia itu sendiri. Hal kedua yang perlu dielaborasi adalah nafas kehidupan, Allah menghembuskan nafas kehidupan pada adam (tubuh manusia)melalui lubang hidung. Berkat nafas kehidupan maka manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain (yang tidak mendapat hembusan nafas kehidupan dari Allah, berkat nafas kehidupan tersebut maka adam menjadi tubuh manusia yang hidup. Kemudian oleh Allah adam ditempat di taman eden untuk mengelola ciptaan Allah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berkat ketubuhannya manusia berada secara unik, manusia menjadi subyek. Berkaitan dengan itu maka Beato Yohanes Paulus II pada tanggal 19 September 1979 – pada saat audiensi umum – menyatakan ”kita mencapai keyakinan bahwa subyektivitas ini berhubungan dengan kenyataan obyektif bahwa manusia diciptakan ’sebagai gambar Allah’. Dan juga kenyataan ini adalah – dengan cara yang berbeda – penting bagi teologi tubuh” (TOB, 19-9-1979). Berkaitan dengan itu Beato Yohanes Paulus II kemudian mengajak kita semua untuk mengelaborasi tiga pengalaman dasar adam (manusia) sejak dia menjadi adam yang hidup. Pengalaman dasar yang pertama disebut oleh Beato Yohanes Paulus II sebagai pengalaman kesendirian orisinil. Apa yang dimaksud dengan kesendirian orisinil? Manusia yang memiliki daya hidup dari Allah dan sekaligus menjadi gambar dan rupa Allah juga memiliki kesadaran, berkat kesadarannya manusia melihat bahwa makhluk-makhluk yang ada di sekitarnya berbeda dengan dirinya, manusia sadar bahwa dia berbeda makhluk-makhluk lain yang biarpun diciptakan oleh Allah namun tidak memiliki nafas kehidupan seperti dirinya. Berkat nafas kehidupan manusia dengan ketubuhannya menjadi persona menjadi pribadi, menjadi subyek. Oleh karenanya dalam diri manusia ada kerinduan untuk memiliki teman yang setara dengannya. Dalam kaitan ini Beato Yohanes Paulus II mengatakan bahwa ”kesadaran akan kesendirian bisa disingkirkan justru oleh tubuh itu sendiri. Mendasarkan diri pada pengalaman akan tubuhnya, manusia (adam) dapat sudah mencapai kesimpulan bahwa ia secara mendasarkan nirip dengan segala makhluk hidup lain (animalia). Tetapi seperti kita baca, ia tidak sampai pada kesimpulan ini, tetapi sesungguhnya mencapai keyakinan bahwa ia ”seorang diri” (TOB, 24-10-1979). Pada Kej.2:20b tertulis ”tetapi bagi dirinya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia”, inilah pengalaman kesendirian orisinil yang disadari oleh manusia. Pengalaman dasar yang kedua disebut oleh Beato Yohanes Paulus II sebagai kebersatuan orisinil. Dalam kaitan ini ayat yang perlu dielaborasi adalah Kej.2:21-23 ”Lalu Tuhan Allah manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawanNya kepada manusia itu. lalu berkatalah manusia itu: ’Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki’”. Yang menarik perhatian adalah istilah laki-laki dan perempuan yang digunakan oleh manusia (adam). Mengapa menarik? Dalam kutipan tersebut jelas bahwa manusia (adam) menyadari bahwa dia menemukan persona lain yang setara dengan dirinya (lihat ayat 23a ”.... inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”. Selanjutnya dalam bahasa Ibrani dikenal kata ish yang diterjemahkan sebagai lelaki, sedang untuk kata perempuan dalam Ibrani digunakan kata ishshah, dengan demikian adam (manusia) yang sekarang menyebut dirinya laki-laki menemukan adam (manusia) yang lain yang disebutnya sebagai perempuan, maka kerinduan dasar dalam diri manusia sebagai persona untuk menemukan persona lain yang setara terkabul sudah. Kemuddian pada Kej.2:24 tertulis ”Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Perjumpaan antara laki-laki dan perempuan menjadi makin nyata dalam persatuan yang mendalam antara laki-laki dan perempuan lewat tubuhnya masing-masing, di mana mereka berdua menjadi ’satu daging’. Yang paling menarik dari semuanya itu adalah apa yang dikatakan leh Beato Yohanes Paulus II bahwa ”persetubuhan tidak lain adalah sebuah tindakan teologis” karena bagi Beato Yohanes Paulus II dengan kebersatuan dua tubuh itu berarti bersatunya dua persona, dan itu semua berkat penyelenggaraan Allah sebagaimana dikatakan oleh Beato Yohanes Paulus II sebagai berikut ”... manusia menjadi gambar Allah tidak hanya melalui kemanusiaannya, melainkan juga melalui persatuan pribadi-pribadi (communio personarum), yang sejak awal mula dibentuk oleh lelaki dan perempuan....” (TOB, 14-11-1979). Pengalaman dasar ketiga yang diperkenalkan oleh Beato Yohanes Paulus II adalah ketelanjangan orisinil, berkaitan dengan ini maka teks yang akan dipakai sebagai acuan adalah Kej.2:25 ”Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu”. Ada dua hal penting yang terkandung dalam teks tersebut yaitu ’mereka berdua telajang’ dan bahwa ’mereka tidak malu’. Pertanyaan yang muncul dalam diri kita adalah ’mengapa mereka tidak merasa malu biarpun telanjang?’ Berkaitan dengan kutipan tersebut maka Beato Yohanes Paulus II berkata ”Dengan kesadaran akan arti tubuhnya sendiri manusia sebagai lelaki dan perempuan masuk ke dalam dunia sebagai subyek kebenaran dan cinta. Bahkan bisa dikatakan bahwa Kejadian 2:23-25 berbicara tentang pesta perayaan kemanusiaan yang pertama, seolah-olah dalam kepenuhan pengalaman asali akan arti nupsial tubuh: dan itu adalah sebuah pesta perayaan kemanusiaan yang menimba asal usulnya dari sumber-sumber ilahi. Kebenaran dan cinta di dalam misteri penciptaan itu sendiri” (TOB, 20-2-1980). Dengan demikian baginya ketelanjangan itu suatu kekudusan, dan itu menjadi nyata dalam persatuan antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan. Di mana di dalam dan lewat perkawinan kedua pribadi mampu membangun keterbukaan diri (fisik, psikologis maupun spiritual) yang dilandasi oleh kebenaran, kasih dan hormat). Saya jadi teringat dengan apa yang dikatakan oleh seorang pemikir abad 20 yang bernama Martin Buber (1878-1965), bagi Buber relasi antara manusia dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu Ich – Es atau I – It atau Saya – Itu dan Ich – Du atau I - Thou atau Saya – Engkau. Apa yang dimaksud oleh Buber? Maksudnya relasi Aku – Itu menandai dunia di mana saya menggunakan benda-benda, memperalat benda, atau dengan kata lain relasi saya dengan yang-lain merupakan relasi subyek – obyek dan bukan relasi subyek – subyek. Dalam kaitan ini Buber menggunakan istilah bahasa Jerman Erfahrung. Sedang yang dimaksud dengan relasi Aku – Engkau adalah dunia di mana Aku menyapa Engkau dan Engkau menyapa Aku, sehingga menjadi suatu dialog yang utuh dan sejati. Dalam dunia ini maka relasi antar manusia adalah relasi antar subyek, antar pribadi (persona). Bagi Buber dalam dunia ini Aku tidak menggunakan, atau memperalat Engkau, melainkan Eku berjumpa (encounter) dengan Engkau, Aku dan Engkau saling memperkaya, terjadi suatu sinergi. Dalam kaitan ini Buber menggunakan istilah Jerman Beziehung. Betapa indahnya keluarga yang ditandai dengan relasi ketersalingan antar pribadi ( suami – isteri; orangtua – anak) , sebuah pekerjaan rumah yang sungguh menantang? Inilah setitik pemikiran yang tertuang dalam buku The Theology of The Body. Human Love in the Divine Plan, yang sempat saya ungkapkan dalam terbitan kali ini. (Stanislaus Nugroho, Seorang Aktivis Kerasulan Keluarga, tinggal di Bogor)