Sabtu, 08 Januari 2011

keluarga

Keluarga Katolik pada Milenium III

Milenium III ditandai dengan revolusi di bidang teknologi informasi, dan hal itu mendorong globalisasi, proses “menyempitnya” dunia dalam segala bidang. Keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat, dengan demikian tidak akan terlepas dari pengaruh proses globalisasi tersebut. Secara umum proses tersebut mengandung beberapa unsur positif, seperti munculnya kesadaran pluralistis, kesadaran akan persaudaraan universal (solidaritas), namun di lain pihak ada beberapa unsur yang negatif. Untuk melihat hal itu ada baiknya bila kita melihat secara lebih spesifik menurut beberapa dimensi kehidupan manusia.
1. bidang sosial-ekonomi, dewasa ini sistem ekonomi dunia cenderung untuk tidak berpihak pada kaum marginal. Bisnis ditandai dengan mass-production dan sekaligus juga mass-consumption. Berkaitan dengan itu maka orientasi ekonomis (homo economicus) menjadi sangat menonjol, “saya membeli maka saya ada”, di lain pihak uang menjadi dewa atau berhala modern.
2. bidang sosial-budaya, dewasa ini muncul budaya alternatif yang cenderung mengancam keluarga, seperti budaya hidup yang sangat konsumtif, budaya kematian, budaya kenikmatan, budaya materialistis, budaya instant, budaya hidup semu (perhatikan sinetron-sinetron kita), budaya horor (acara-acara tv kita), budaya mumpung, dan lain-lain.
3. bidang sosial-religius, dewasa ini ada kecenderungan kuat bahwa kita telah terjebak pada sikap hidup yang sangat ritualistik, formalistik dan legalistik, agama tidak mengubah kehidupan kita sehari-hari. Ada kesenjangan yang sangat lebar antara kehidupan beribadah dan kehidupan sosial kemasyarakatan.
4. bidang moral, paralel dengan kehidupan beragama maka kehidupan moral kita ditandai dengan sangat menipisnya rasa malu dan rasa bersalah. Sungguh tidak masuk akal bahwa secara formal semua orang Indonesia adalah orang beragama, namun sekaligus sebagai bangsa kita adalah salah satu bangsa yang paling korup (masuk sepuluh besar di dunia). Selain daripada itu sikap adil, hormat, peduli dan empati mengalami erosi yang sangat besar sehingga kehidupan kita ditandai dengan the rule of survival.
5. bidang lingkungan hidup, telah terjadi kerusakan lingkungan hidup yang sangat mengkhawatirkan, pada musim panas kita kekeringan, pada musim hujan kita kebanjiran dan terjadi longsor di mana-mana. Telah terjadi proses gurunisasi.
Perlu perubahan orientasi pendidikan (sejak dini dalam keluarga) yang mendasar, di mana kita perlu mengembangkan beberapa nilai, seperti tanggungjawab, kepedulian, keadilan, keterbukaan dan lain-lain. Penghayatan suatu nilai bukanlah barang jadi, melainkan suatu proses yang berlangsung secara berkesinambungan. Dalam hal ini keluarga sebagai wahana pendidikan yang pertama dan utama, punya peran sangat penting, untuk tahun-tahun pertama anak lebih banyak berada di bawah asuhan orangtuanya, padahal secara psikologis tahun-tahun pertama itu menjadi sangat menentukan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Sehubungan dengan itu maka komisi keluarga keuskupan Bogor ingin mengembangkan program sebagai berikut:
1. Pada tahun 2004 kami ingin memantapkan dan membuat menarik kursus persiapan perkawinan, sebagai persiapan dekat dari kehidupan berumahtangga, oleh karena itu kami telah melakukan pembekalan kepada para aktivis SKK Paroki dan para fasilitator KPP (biarpun peminatnya sangat mengecewakan. Kemudian memberikan pembekalan bagi para aktivis paroki/lingkungan yang berminat menjadi pendamping-pendamping keluarga di lingkungan-lingkungan, dari aspek konseling pastoral dan konseling spiritual.
2. Pada tahun 2005 kami akan menaruh perhatian pada masalah “menjadi orangtua yang efektif” (parenting), mengingat orangtua adalah pendidik yang pertama dan utama.
3. pada tahun 2006 kami akan menaruh perhatian pada persiapan menengah dari persiapan perkawinan, dan ini merupakan proyek bersama antar komisi dan terutama yang berada di bawah bidang kehidupan.
Namun, program ini bukan program yang ‘mati’, melainkan program yang terbuka terhadap masukan dari paroki-paroki, dan untuk itulah kami datang untuk mendengarkan apa yang sebenarnya dibutuhkan. (Stanislaus Nugroho, 21-02-2004)