Selasa, 27 Mei 2014



KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Stanislaus Nugroho[1]
“Kita mimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan.
Dunia dengan keadilan dan harapan .
Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesama,
tanda damai dan persaudaraan”
(sebagian lirik lagu The Prayer)
Istilah kekerasan sekarang ini sedang marak dalam kehidupan sehari-hari, kasus kekerasan yang sekarang sedang ramai diperbincangkan adalah kasus kekerasan yang berkaitan dengan acara ospek di ITN, Malang, di mana mahasiswa barunya yang bernama Fikri harus kehilangan nyawa. Tetapi tulisan ini tidak akan membahas masalah tersebut, melainkan akan fokus dengan kekerasan yang terjadi pada lingkungan/komunitas yang dibentuk atas dasar cintakasih. Cinta antara suami dan isteri, dan kasih antara orangtua dan anak, serta sebaliknya.
Suatu gejala yang aneh dan tidak mudah untuk dimengerti, bagaimana dalam lingkungan/komunitas yang dibentuk berdasarkan cintakasih bisa diwarnai dengan kekerasan. Dari pengalaman yang kami peroleh lewat perbincangan baik dengan pelaku maupun dengan korban, biasanya dalih di belakang peristiwa kekerasan itu tidak lain pendidikan. Padahal tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, mensubyekkan manusia, sedang kekerasan justru sebaliknya yaitu mengobyekkan manusia. Dalam kekerasan manusia diobyekkan dan bukan disubyekkan. Pasangan saya – dulu – sering mengatakan bahwa dalam kekerasan manusia hanya menjadi pelengkap penderita dan tidak pernah menjadi subyek.
Pertanyaan yang muncul adalah, apa yang menjadi akar dari kekerasan dalam keluarga. Kerapkali kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga disebabkan oleh kuatnya dorongan maskulinitas. Dengan kata lain kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh konstruksi sosial masyarakat yang patriarkis. Masyarakat yang patriarkis membebani para laki-laki untuk tampil kuat, tegar, jantan, mampu secara ekonomis dan bentuk-bentuk maskulinitas lainnya. Bila mengalami kegagalan maka sebagai kompensasinya melakukan kekerasan kepada mereka yang seharusnya dicintai, suatu ironi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa akar dari kekerasan dalam rumah tangga adalah budaya patriarki yang menyebabkan adanya perongrongan terhadap kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Keluarga merupakan suatu komunitas hidup dan cintakasih antar subyek, antar pribadi yang terkait di dalamnya. Mencintai adalah memberi, memberikan dirinya bagi kebahagiaan dan keselamatan sesamanya. Itulah yang secara total dan penuh kita temukan pada diri Yesus Kristus.
Strauss A. Murray dalam bukunya Primordial Violence mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
a.       Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan perempuan, sehingga mampu  mengatur dan mengendalikan perempuan.
b.      Diskriminasi dan pembatasan di bidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja mengakibatkan perempuan (istri) mengalami ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c.       Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.  Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
d.      Perempuan sebagai anak-anak
Konsep perempuan sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban perempuan.  Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bagaimana menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga?
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b. Harus  tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, agama mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling menghargai sesamanya sebagai pribadi, sebagai subyek.
c. Harus ada komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan di antara kedua belah pihak maka bisa memicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d. Butuh adanya saling percaya, saling pengertian, saling menghargai dan hormat  antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih.
e. Seorang istri harus mampu mengelola berapapun uang yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomis dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
Sejak tahun 2004 Indonesia telah memiliki undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada pasal 1 ayat 1 dirumuskan apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga. Yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Mungkin kita akan bertanya mengapa anak-anak tidak termasuk? Untuk anak-anak diatur melalui undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Berkaitan dengan itu maka masyarakat perlu memantau bagaimana Negara menegakkan hukum/undang-undang tersebut, agar tercipta ketertiban masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan. Berkaitan dengan itu maka kita perlu menyimak apa yang dikatakan oleh seorang pakar sosiologi hukum  Prof. Soeryono Soekanto. Bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi proses penegakkan hukum, yaitu: yang pertama adalah faktor hukum atau perundang-undangan itu sendiri, kedua, yang kedua faktor aparat penegak hukumnya, yang ketiga, faktor  sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakkan hukum, yang keempat faktor masyarakatnya, yang dimaksud adalah faktor lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, hal ini berkaitan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum  yang terefleksi dalam perilaku masyarakat. Yang terakhir adalah faktor kebudayaan.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu mensyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni ; komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture).
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa proses pengenalan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara bijaksana/hati-hati dan jangan grusah-grusuh.
Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self Regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut satu sama lain.
Namun perlu diingat bahwa jaman terus berubah, manusia juga berubah, maka mau tidak mau hukum juga mengalami perubahan terus menerus. Itulah yang oleh Moore disebut sebagai semi-autonomous social field. Dalam perspektif sosio-legal sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang “memberi celah (loop holes)” kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum negara dengan kentalnya budaya patriarki. Budaya hukum yang patriarkis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada.
Disini menjadi nyata bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya patriarkis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap perempuan dan anak-anak. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya.
Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagai persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-batasnya, berkedudukan superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain.
Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memiliki kesatuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat.
Akhirnya sebagai orang beriman pada Yesus Kristus maka sebenarnya kita harus berpegang pada apa yang tercatat dalam Kitab Kejadian 1:27, manusia sebagai ciptaan merupakan citra Allah, sebagai citra Allah maka kita adalah setara, dalam hal ini maka prinsip yang paling penting adalah hormat. Dengan membangun budaya hormat maka relasi antar manusia akan harmonis. Mari dalam tahun yang baru ini kita kembangkan semangat kesetaraan dan jauhi kekerasan, lebih-lebih kekerasan dalam rumah tangga. Shalom!
Bogor, 27 Desember 2013.


[1] Penulis adalah seorang aktivis Kerasulan Keluarga, tinggal di Bogor.


Komunikasi Dalam Keluarga
Stanislaus Nugroho[1]
Pemicu satu-satunya dan yang paling mendasar dalam keretakan keluarga adalah
kurangnya ketrampilan dalam berkomunikasi secara asertif.
Itulah kesimpulan yang dapat saya tarik setelah lebih dari 32 tahun berkecimpung dalam kerasulan keluarga. Lalu, what next? John Powell, SJ dalam bukunya yang berjudul Happiness is An Inside Job, 1989 menulis “Komunikasi adalah kata yang indah, bagus. Setiap orang rupanya mendukungnya, seperti mereka mendukung cintakasih dan perdamaian. Komunikasi itu dapat disebut akar hidup cintakasih. Menurut akar katanya, komunikasi berarti tindakan berbagi-bagi. Terkandung maksud dua orang atau lebih memiliki sesuatu ‘bersama-sama’ karena sesuatu itu telah dibagi-bagi. Menurut maknanya yang paling dalam, komunikasi adalah berbagi rasa-pribadi orang-orang itu sendiri. Dengan berkomunikasi terus menerus, anda menjadi tahu tentang saya, dan saya menjadi tahu tentang anda. Kita mempunyai sesuatu ini sebagai milik kita bersama yaitu: diri kita sendiri”.
Namun, kita semua pasti mengalami bahwa dalam hidup sehari-hari yang terjadi bukannya komunikasi namun mis-komunikasi. Mengapa? Karena kita semua masih terperangkap dalam egosentrisme kita masing-masing. Komunikasi mengandaikan/menuntut adanya kerendahan hati yang tinggi, mengapa? Karena komunikasi mengandaikan kerelaan seseorang untuk membuka dirinya apa adanya, perasaan-perasaan kita, pikiran-pikiran kita, kehendak kita, pokoknya diri kita seutuh mungkin, dengan demikian kita dapat menjadi akrab/dekat satu sama lain.
Berkaitan dengan ini dalam diri saya timbul pertanyaan yang agak mendasar, yaitu: “Apakah pada dasarnya manusia takut menjadi akrab/dekat satu sama lain?” Pertanyaan ini timbul dari pengalaman mendampingi keluarga-keluarga yang datang curhat kepada saya. Lebih-lebih dari proses pendampingan selama ini saya menemukan beberapa gejala yang menimbulkan pertanyaan tersebut di atas. Gejala pertama berkaitan dengan seringnya ucapan yang saya dengar “Saya tidak mau menjadi terlalu dekat dengan seseorang, sebab saya khawatir orang itu akan meninggalkan saya, entah karena menceraikan saya, entah karena meninggal, maka saya akan merasa lebih aman dengan tidak mencintai seseorang daripada nanti kehilangan orang itu”. Karena sering ucapan itu saya dengar maka saya menyebut gejala itu dengan sebutan adanya ketakutan akan terjadinya perpisahan.
Gejala lain yang saya temukan adalah seringnya saya mendengar ungkapan sebagai berikut: “Jika saya berbagi segala-galanya kepada seseorang, berbagi diri saya seutuh mungkin, lalu apa yang akan tersisa pada saya, apakah saya masih akan memiliki privacy? Saya tidak ingin lebur, saya tidak ingin kehilangan identitas saya”. Berkaitan dengan ini maka gejala seperti saya sebut sebagai gejala ketakutan terjadinya persatuan, terjadinya kemanunggalan.
 Fenomena lain yang saya sering temukan dalam perjumpaan dengan banyak orang adalah ucapan-ucapan semacam ini: “Jika orang lain sungguh-sungguh tahu tentang diri saya, kekurangan dan kelebihan saya, maka mungkin saja orang itu akan menolak saya, meninggalkan saya, menyingkir dari saya, menjauhi saya,  tidak suka pada saya. Orang lain itu akan kehilangan gairah untuk mengenal saya, untuk bergaul dengan saya, karena semuanya sudah ‘telanjang’ dihadapannya. Maka kemudian orang lain itu akan ‘berpindah’ pada orang lain. Gejala ini saya sebut dengan ketakutan akan penolakan.
Berikutnya saya juga sering mendengar ungkapan sebagai berikut: “JIka saya menjadi terlalu dekat dengan orang lain, maka dalam diri saya akan timbul adanya kewajiban untuk berada di dekat orang lain itu pada saat dia membutuhkan bantuan saya, kalau tidak saya bantu maka  akan timbul rasa bersalah, padahal saya tidak ingin memiliki keterikatan tertentu yang membuat saya tidak bebas”. Gejala ini saya sebut sebagai ketakutan akan tanggungjawab.
Ketakutan-ketakutan tersebut di atas memang manusiawi, namun itu bukan segala-galanya. Hubungan antar manusia merupakan hubungan komplementaritas, hubungan saling melengkapi, karena manusia bukan makhluk sempurna, biarpun demikian manusia adalah makhluk yang unik, satu-satunya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Selain  itu manusia juga merupakan ciptaan Allah, yang tidak lain adalah Kasih. Bahkan manusia bukan sekadar ciptaan begitu saja sebagaimana halnya dengan ciptaan lainnya yang bukan manusia, tapi manusia adalah citra Allah (Kej.1:26) sebagai citra Allah maka relasi antar manusia pada dasarnya merupakan hubungan kasih.
Berkaitan dengan ketiga gejala tersebut di atas yang sangat manusiawi itu  maka saya teringat seorang pemikir Perancis yang bernama Jean-Paul Sartre (1905-1980), pemikir ini pernah mengatakan bahwa ‘orang lain adalah neraka kita’. Ungkapan yang termashyur itu bisa kita temukan dalam bukunya yang terbit pada tahun 1943 dan berjudul L’Etre et le Neant. Essai d’Ontologie Phenomenologique (= Keberadaan dan ketiadaan, esai tentang ontology fenomenologis). Bila kita membaca buku yang tidak terlalu mudah itu maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa relasi mendasar antar manusia ditandai dengan konflik. Hubungan antar manusia bukan intersubyektivitas tapi hubungan antara subyek dengan obyek, hubungan antara manasia tidak lain adalah persaingan. Atau kalau meminjam ungkapan yang dikatakan oleh seorang pemikir Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679) Homo homini lupus (= manusia adalah serigala bagi sesamanya). Bagi Hobbes manusia adalah makhluk yang anti-sosial, karena dalam mempertahankan hidupnya manusia akan bertabrakan dengan manusia lain yang juga ingin mempertahankan hidupnya. Maka salah satu ungkapan Hobbes yang terkenal adalah bellum omnes contra omnia (= perang semua melawan semua).
Namun, seorang pemikir Perancis lain yang bernama Gabriel Marcel (1889-1973) memiliki pemikiran yang sebaliknya. Diawali dengan pemikirannya bahwa ‘Ada’ selalu berarti – bagi Marcel - Ada bersama, dari sini Marcel sampai pada suatu konsep yang penting yaitu kehadiran (presence). Hadir tidak berarti hanya sekadar berada di tempat yang sama pada waktu yang sama. karena yang terjadi mungkin terjadi komunikasi  tetapi tidak ada kontak yang sungguh-sungguh (communication sans communion). Bagi Marcel seseorang baru sungguh hadir bila orang itu mengarahkan diri yang satu  terhadap yang lain dengan cara yang sama sekali lain dengan cara mereka menghadapi obyek-obyek, komunikasi bagi Marcel tidak lain adalah intersubyektivitas. Hubungan antar manusia adalah hubungan aku-engkau (hubungan antar subyek) dan bukan aku-ia (hubungan antara subyek dan obyek). Bahkan bagi Marcel hubungan antar manusia tidak berakhir dengan kematian, hubungan antara aku-engkau membuat mereka menjadi kita, menjadi manunggal, tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Saya pikir hubungan antara aku-engkau inilah yang harus menjadi ciri hubungan dalam keluarga. Suami dan isteri telah menjadi pasangan (couple), menjadi kami. Sedang anak-anak yang merupakan buah cintakasih mereka bukan lagi anakku atau anakmu melainkan menjadi anak kami.
Komunikasi menjadi sarana mewujudkan kasih dalam keluarga. Untuk itu maka ada dua syarat penting yang harus dipenuhi secara konsisten yaitu: yang pertama anggota keluarga harus mampu saling memberikan dirinya; sedang yang kedua adalah anggota keluarga harus dapat memandang anggota keluarga yang lain sebagai anugerah yang ditawarkan kepada anggota keluarga yang lain. Maka komunikasi tidak lain adalah proses pemberian diri baik komunikator maupun komunikan. Dan dengan demikian komunikasi menjadi sarana mewujudkan kasih dalam keluarga, di mana lewat komunikasi terjadilah pemberian dirinya sendiri satu sama lain, baik itu perasaannya, pikirannya maupun kemauannya. Dengan demikian proses komunikasi merupakan suatu proses yang penuh makna, penuh nilai karena mengandung yang baik. Maka bila cinta kasih antar anggota keluarga ingin berlangsung langgeng maka proses komunikasi bukanlah suatu kemewahan malainkan suatu kebutuhan. Maka bila dalam proses komunikasi yang asertif itu merupakan suatu proses perayaan akan perbedaan antar anggota keluarga, karena setiap pribadi adalah unik.
Komunikasi bisa berlangsung baik secara verbal, lewat suatu percakapan, suatu dialog antara subyek yang satu dengan subyek yang lain, bahkan bisa melibatkan seluruh anggota keluarga yang hadir; namun di lain pihak komunikasi juga bisa terjadi secara non-verbal, lewat bahasa tubuh, lewat bahasa isyarat. Di mana sang komunikator ingin menyampaikan apa yang ada dalam dirinya, dalam perasaannya baik yang positif maupun yang negatif, dalam pikiran-pikirannya maupun dalam kemauannya kepada para komunikan. Dengan demikian akan terjadi suatu proses pemerkayaan (= enrichment). Dengan demikian maka para komunikan akan dapat lebih mengenal dan memahami si komunikator.
Namun, agar proses komunikasi bisa berlangsung secara berdaya guna maka ada satu syarat dasar yang harus kita camkan dengan sungguh-sungguh. Syarat itu tidak lain adalah mendengarkan, mendengarkan merupakan kunci bagi suatu proses komunikasi yang berdaya guna. Dalam bahasa Inggris kita mengenal dua kata yaitu to hear dan to listen. To hear tidak lain adalah mendengar, di mana lewat mendengar kita bisa mendengar sekaligus banyak suara, sedang dalam istilah to listen itulah yang dimaksud dengan mendengarkan, mendengarkan tidak sama dengan mendengar, karena mendengarkan berarti mendengar dengan penuh per-hati-an, atau dengan kata lain mendengar dengan hati. Untuk lebih memahami makna mendengarkan maka ada suatu bacaan yang paling menarik – bagi saya sekurang-kurangnya – yaitu: Mt.13:1-23 yang berbicara tentang Perumpamaan tentang seorang penabur, di mana dalam perikop tersebut ada kalimat yang perlu direnungkan, yaitu: “Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar”. Bagi saya kutipan tersebut bermakna pendengar yang baik karena dia memiliki hati yang subur dan gembur, sehingga benih yang ditabur berbuah banyak.
Jika kita ingin menjadi pendengar yang baik maka saya akan menyela atau menginterupsi bila saya ingin memperoleh penjelasan tentang maksud dari kata-kata yang disampaikan oleh si komunikator, karena saya kurang faham dengannya.
Agar proses komunikasi bisa berlangsung dengan baik dan efektif, kita perlu memperhatikan ketiga hambatan yang menghadang proses komunikasi. Ketiga hambatan tersebut adalah: hambatan fisik, hambatan bahasa dan hambatan psikologis. Yang dimaksud dengan hambatan fisik adalah suasana yang ada pada waktu komunikasi dilakukan, misalnya suasananya ramai. Sedang yang dimaksud dengan hambatan bahasa, misalnya penggunaan bahasa prokem. Akhirnya yang dimaksud dengan hambatan psikologis, adalah suasana hati entah dari komunikator entah komunikan tidak terlalu baik, misalnya tidak bisa fokus. Ketiga hambatan ini perlu dicermati dan kemudian perlu disingkirkan, bila komunikasi ingin berlangsung dengan berdayaguna.
Akhirnya perlu dicatat bahwa ada satu pepatah yang berbunyi sebagai berikut: Pemenang tidak pernah melarikan diri, yang melarikan diri tidak pernah menang. Pepatah ini mengandung kebenaran yang dapat diterapkan pada proses komunikasi. Seperti telah disinggung tentang adanya ketiga hambatan dalam komunikasi, maka baik komunikator maupun komunikan jangan pernah mundur dalam menghadapi ketiga hambatan itu, kita tidak pernah boleh melarikan diri dari ketiga hambatan itu yang menghadang proses komunikasi yang sedang dijalankan. Ketiga hambatan itu harus dihadapi baik komunikator maupun komunikan perlu berusaha secara optimal untuk mengatasinya. Bila berhasil mengatasi ketiga hambatan itu maka kita pasti akan mengalami proses komunikasi yang efektif. Salam keluarga!


[1] Penulis adalah aktivis Kerasulan Keluarga, tinggal di Bogor.