Selasa, 27 Mei 2014



KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Stanislaus Nugroho[1]
“Kita mimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan.
Dunia dengan keadilan dan harapan .
Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesama,
tanda damai dan persaudaraan”
(sebagian lirik lagu The Prayer)
Istilah kekerasan sekarang ini sedang marak dalam kehidupan sehari-hari, kasus kekerasan yang sekarang sedang ramai diperbincangkan adalah kasus kekerasan yang berkaitan dengan acara ospek di ITN, Malang, di mana mahasiswa barunya yang bernama Fikri harus kehilangan nyawa. Tetapi tulisan ini tidak akan membahas masalah tersebut, melainkan akan fokus dengan kekerasan yang terjadi pada lingkungan/komunitas yang dibentuk atas dasar cintakasih. Cinta antara suami dan isteri, dan kasih antara orangtua dan anak, serta sebaliknya.
Suatu gejala yang aneh dan tidak mudah untuk dimengerti, bagaimana dalam lingkungan/komunitas yang dibentuk berdasarkan cintakasih bisa diwarnai dengan kekerasan. Dari pengalaman yang kami peroleh lewat perbincangan baik dengan pelaku maupun dengan korban, biasanya dalih di belakang peristiwa kekerasan itu tidak lain pendidikan. Padahal tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, mensubyekkan manusia, sedang kekerasan justru sebaliknya yaitu mengobyekkan manusia. Dalam kekerasan manusia diobyekkan dan bukan disubyekkan. Pasangan saya – dulu – sering mengatakan bahwa dalam kekerasan manusia hanya menjadi pelengkap penderita dan tidak pernah menjadi subyek.
Pertanyaan yang muncul adalah, apa yang menjadi akar dari kekerasan dalam keluarga. Kerapkali kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga disebabkan oleh kuatnya dorongan maskulinitas. Dengan kata lain kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh konstruksi sosial masyarakat yang patriarkis. Masyarakat yang patriarkis membebani para laki-laki untuk tampil kuat, tegar, jantan, mampu secara ekonomis dan bentuk-bentuk maskulinitas lainnya. Bila mengalami kegagalan maka sebagai kompensasinya melakukan kekerasan kepada mereka yang seharusnya dicintai, suatu ironi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa akar dari kekerasan dalam rumah tangga adalah budaya patriarki yang menyebabkan adanya perongrongan terhadap kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Keluarga merupakan suatu komunitas hidup dan cintakasih antar subyek, antar pribadi yang terkait di dalamnya. Mencintai adalah memberi, memberikan dirinya bagi kebahagiaan dan keselamatan sesamanya. Itulah yang secara total dan penuh kita temukan pada diri Yesus Kristus.
Strauss A. Murray dalam bukunya Primordial Violence mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
a.       Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan perempuan, sehingga mampu  mengatur dan mengendalikan perempuan.
b.      Diskriminasi dan pembatasan di bidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja mengakibatkan perempuan (istri) mengalami ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c.       Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.  Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
d.      Perempuan sebagai anak-anak
Konsep perempuan sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban perempuan.  Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bagaimana menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga?
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b. Harus  tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, agama mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling menghargai sesamanya sebagai pribadi, sebagai subyek.
c. Harus ada komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan di antara kedua belah pihak maka bisa memicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d. Butuh adanya saling percaya, saling pengertian, saling menghargai dan hormat  antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih.
e. Seorang istri harus mampu mengelola berapapun uang yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomis dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
Sejak tahun 2004 Indonesia telah memiliki undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada pasal 1 ayat 1 dirumuskan apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga. Yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Mungkin kita akan bertanya mengapa anak-anak tidak termasuk? Untuk anak-anak diatur melalui undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Berkaitan dengan itu maka masyarakat perlu memantau bagaimana Negara menegakkan hukum/undang-undang tersebut, agar tercipta ketertiban masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan. Berkaitan dengan itu maka kita perlu menyimak apa yang dikatakan oleh seorang pakar sosiologi hukum  Prof. Soeryono Soekanto. Bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi proses penegakkan hukum, yaitu: yang pertama adalah faktor hukum atau perundang-undangan itu sendiri, kedua, yang kedua faktor aparat penegak hukumnya, yang ketiga, faktor  sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakkan hukum, yang keempat faktor masyarakatnya, yang dimaksud adalah faktor lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, hal ini berkaitan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum  yang terefleksi dalam perilaku masyarakat. Yang terakhir adalah faktor kebudayaan.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu mensyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni ; komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture).
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa proses pengenalan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara bijaksana/hati-hati dan jangan grusah-grusuh.
Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self Regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut satu sama lain.
Namun perlu diingat bahwa jaman terus berubah, manusia juga berubah, maka mau tidak mau hukum juga mengalami perubahan terus menerus. Itulah yang oleh Moore disebut sebagai semi-autonomous social field. Dalam perspektif sosio-legal sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang “memberi celah (loop holes)” kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum negara dengan kentalnya budaya patriarki. Budaya hukum yang patriarkis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada.
Disini menjadi nyata bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya patriarkis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap perempuan dan anak-anak. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya.
Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagai persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-batasnya, berkedudukan superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain.
Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memiliki kesatuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat.
Akhirnya sebagai orang beriman pada Yesus Kristus maka sebenarnya kita harus berpegang pada apa yang tercatat dalam Kitab Kejadian 1:27, manusia sebagai ciptaan merupakan citra Allah, sebagai citra Allah maka kita adalah setara, dalam hal ini maka prinsip yang paling penting adalah hormat. Dengan membangun budaya hormat maka relasi antar manusia akan harmonis. Mari dalam tahun yang baru ini kita kembangkan semangat kesetaraan dan jauhi kekerasan, lebih-lebih kekerasan dalam rumah tangga. Shalom!
Bogor, 27 Desember 2013.


[1] Penulis adalah seorang aktivis Kerasulan Keluarga, tinggal di Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar