KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Stanislaus Nugroho[1]
“Kita mimpikan suatu
dunia yang bebas dari kekerasan.
Dunia dengan keadilan
dan harapan .
Setiap orang hendaknya mengulurkan
tangan kepada sesama,
tanda damai dan
persaudaraan”
(sebagian lirik lagu The Prayer)
Istilah kekerasan sekarang ini sedang
marak dalam kehidupan sehari-hari, kasus kekerasan yang sekarang sedang ramai
diperbincangkan adalah kasus kekerasan yang berkaitan dengan acara ospek di
ITN, Malang, di mana mahasiswa barunya yang bernama Fikri harus kehilangan
nyawa. Tetapi tulisan ini tidak akan membahas masalah tersebut, melainkan akan
fokus dengan kekerasan yang terjadi pada lingkungan/komunitas yang dibentuk
atas dasar cintakasih. Cinta antara suami dan isteri, dan kasih antara orangtua
dan anak, serta sebaliknya.
Suatu gejala yang aneh dan tidak
mudah untuk dimengerti, bagaimana dalam lingkungan/komunitas yang dibentuk
berdasarkan cintakasih bisa diwarnai dengan kekerasan. Dari pengalaman yang
kami peroleh lewat perbincangan baik dengan pelaku maupun dengan korban,
biasanya dalih di belakang peristiwa kekerasan itu tidak lain pendidikan. Padahal tujuan pendidikan adalah
memanusiakan manusia, mensubyekkan
manusia, sedang kekerasan justru sebaliknya yaitu mengobyekkan manusia. Dalam
kekerasan manusia diobyekkan dan bukan disubyekkan. Pasangan saya – dulu –
sering mengatakan bahwa dalam kekerasan manusia hanya menjadi pelengkap penderita dan tidak pernah
menjadi subyek.
Pertanyaan yang muncul adalah,
apa yang menjadi akar dari kekerasan dalam keluarga. Kerapkali kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga disebabkan oleh kuatnya dorongan maskulinitas.
Dengan kata lain kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh konstruksi sosial
masyarakat yang patriarkis. Masyarakat yang patriarkis membebani para laki-laki
untuk tampil kuat, tegar, jantan, mampu secara ekonomis dan bentuk-bentuk
maskulinitas lainnya. Bila mengalami kegagalan maka sebagai kompensasinya
melakukan kekerasan kepada mereka yang seharusnya dicintai, suatu ironi. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa akar dari kekerasan dalam rumah tangga adalah
budaya patriarki yang menyebabkan adanya perongrongan terhadap kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki.
Keluarga merupakan suatu
komunitas hidup dan cintakasih antar subyek, antar pribadi yang terkait di
dalamnya. Mencintai adalah memberi, memberikan dirinya bagi kebahagiaan dan
keselamatan sesamanya. Itulah yang secara total dan penuh kita temukan pada
diri Yesus Kristus.
Strauss A. Murray dalam bukunya Primordial Violence mengidentifikasi hal
dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
a. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai
superioritas sumber daya dibandingkan dengan perempuan, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan perempuan.
b. Diskriminasi dan pembatasan di bidang
ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan
kesempatan bagi perempuan untuk bekerja mengakibatkan perempuan (istri)
mengalami ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan
maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja,
menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan
terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga tejadi kekerasan
dalam rumah tangga.
d. Perempuan sebagai anak-anak
Konsep perempuan sebagai hak
milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk
mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban perempuan. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan
kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar
menjadi tertib.
Cara Penanggulangan Kekerasan
dalam Rumah Tangga. Bagaimana menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga?
a. Perlunya keimanan yang kuat
dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga kekerasan dalam
rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam
sebuah keluarga, agama mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak,
saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling menghargai
sesamanya sebagai pribadi, sebagai subyek.
c. Harus ada komunikasi yang baik
antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan
harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan
kerukunan di antara kedua belah pihak maka bisa memicu timbulnya kekerasan
dalam rumah tangga.
d. Butuh adanya saling percaya, saling
pengertian, saling menghargai dan hormat antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga
dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka
mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada kepercayaan maka yang
timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang
juga berlebih.
e. Seorang istri harus mampu
mengelola berapapun uang yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat
mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomis
dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
Sejak tahun 2004 Indonesia telah
memiliki undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada pasal 1 ayat 1
dirumuskan apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga. Yang dimaksud
dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah “Setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga”. Mungkin kita akan bertanya mengapa anak-anak tidak termasuk? Untuk
anak-anak diatur melalui undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Berkaitan dengan itu maka
masyarakat perlu memantau bagaimana Negara menegakkan hukum/undang-undang
tersebut, agar tercipta ketertiban masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan
keadilan dan kesetaraan. Berkaitan dengan itu maka kita perlu menyimak apa yang
dikatakan oleh seorang pakar sosiologi hukum
Prof. Soeryono Soekanto. Bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi proses
penegakkan hukum, yaitu: yang pertama adalah faktor hukum atau
perundang-undangan itu sendiri, kedua, yang kedua faktor aparat penegak
hukumnya, yang ketiga, faktor sarana
atau fasilitas yang mendukung proses penegakkan hukum, yang keempat faktor
masyarakatnya, yang dimaksud adalah faktor lingkungan sosial di mana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan, hal ini berkaitan dengan kesadaran dan
kepatuhan hukum yang terefleksi dalam
perilaku masyarakat. Yang terakhir adalah faktor kebudayaan.
Sementara itu, Lawrence M.
Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu mensyaratkan
berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman
terdiri dari tiga komponen, yakni ; komponen struktur hukum (legal structure),
komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal
culture).
Sosiologi Hukum menggambarkan
bahwa proses pengenalan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat,
sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa
udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di
dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang
dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini
membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan
memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara bijaksana/hati-hati
dan jangan grusah-grusuh.
Arena sosial itu sendiri memiliki
hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta
sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber dari
adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari
perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self Regulation dalam arena-arena
sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di
antara berbagai aturan tersebut satu sama lain.
Namun perlu diingat bahwa jaman
terus berubah, manusia juga berubah, maka mau tidak mau hukum juga mengalami
perubahan terus menerus. Itulah yang oleh Moore disebut sebagai semi-autonomous social field. Dalam
perspektif sosio-legal sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam
masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam
masyarakat yang “memberi celah (loop holes)” kepada terjadinya banyak kasus
tentang kekerasan terhadap perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah
tangga, dikarenakan himpitan hukum negara dengan kentalnya budaya patriarki.
Budaya hukum yang patriarkis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum
sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di
mana hukum itu berada.
Disini menjadi nyata bahwa hukum
dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama, dalam arti
hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu masyarakat. Bila
budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya patriarkis,
maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yang tidak
memberi keadilan terhadap perempuan dan anak-anak. Dalam hal ini, budaya
menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan
hukum melegitimasinya.
Sebagian Sarjana Hukum percaya,
bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagai persoalan dalam masyarakat
berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau
bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang
objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat.
Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh
negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-batasnya, berkedudukan
superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain.
Pendekatan Sosiologi Hukum
menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam
masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang menjadi acuan
berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan
hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara
turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka
bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang
mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari domain yang “asing”,
yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
Frederich von Savigny tidak dapat
menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya hukum positif yang sekali
dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat
merupakan kesatuan organis yang memiliki kesatuan keyakinan umum, yang
disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan
pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber
hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup
masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama
dengan kehidupan masyarakat.
Akhirnya sebagai orang beriman
pada Yesus Kristus maka sebenarnya kita harus berpegang pada apa yang tercatat
dalam Kitab Kejadian 1:27, manusia sebagai ciptaan merupakan citra Allah,
sebagai citra Allah maka kita adalah setara, dalam hal ini maka prinsip yang
paling penting adalah hormat. Dengan
membangun budaya hormat maka relasi antar manusia akan harmonis. Mari dalam
tahun yang baru ini kita kembangkan semangat kesetaraan dan jauhi kekerasan,
lebih-lebih kekerasan dalam rumah tangga. Shalom!
Bogor, 27 Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar