Komunikasi Dalam Keluarga
Stanislaus Nugroho[1]
Pemicu satu-satunya dan
yang paling mendasar dalam keretakan keluarga adalah
kurangnya ketrampilan
dalam berkomunikasi secara asertif.
Itulah kesimpulan yang dapat saya
tarik setelah lebih dari 32 tahun berkecimpung dalam kerasulan keluarga. Lalu,
what next? John Powell, SJ dalam bukunya yang berjudul Happiness is An Inside Job, 1989 menulis “Komunikasi adalah kata
yang indah, bagus. Setiap orang rupanya mendukungnya, seperti mereka mendukung
cintakasih dan perdamaian. Komunikasi itu dapat disebut akar hidup cintakasih.
Menurut akar katanya, komunikasi berarti tindakan berbagi-bagi. Terkandung
maksud dua orang atau lebih memiliki sesuatu ‘bersama-sama’ karena sesuatu itu
telah dibagi-bagi. Menurut maknanya yang paling dalam, komunikasi adalah berbagi
rasa-pribadi orang-orang itu sendiri. Dengan berkomunikasi terus menerus, anda
menjadi tahu tentang saya, dan saya menjadi tahu tentang anda. Kita mempunyai
sesuatu ini sebagai milik kita bersama yaitu: diri kita sendiri”.
Namun, kita semua pasti mengalami
bahwa dalam hidup sehari-hari yang terjadi bukannya komunikasi namun
mis-komunikasi. Mengapa? Karena kita semua masih terperangkap dalam
egosentrisme kita masing-masing. Komunikasi mengandaikan/menuntut adanya
kerendahan hati yang tinggi, mengapa? Karena komunikasi mengandaikan kerelaan
seseorang untuk membuka dirinya apa adanya, perasaan-perasaan kita, pikiran-pikiran
kita, kehendak kita, pokoknya diri kita seutuh mungkin, dengan demikian kita
dapat menjadi akrab/dekat satu sama lain.
Berkaitan dengan ini dalam diri
saya timbul pertanyaan yang agak mendasar, yaitu: “Apakah pada dasarnya manusia
takut menjadi akrab/dekat satu sama lain?” Pertanyaan ini timbul dari
pengalaman mendampingi keluarga-keluarga yang datang curhat kepada saya.
Lebih-lebih dari proses pendampingan selama ini saya menemukan beberapa gejala
yang menimbulkan pertanyaan tersebut di atas. Gejala pertama berkaitan dengan
seringnya ucapan yang saya dengar “Saya tidak mau menjadi terlalu dekat dengan
seseorang, sebab saya khawatir orang itu akan meninggalkan saya, entah karena
menceraikan saya, entah karena meninggal, maka saya akan merasa lebih aman
dengan tidak mencintai seseorang daripada nanti kehilangan orang itu”. Karena
sering ucapan itu saya dengar maka saya menyebut gejala itu dengan sebutan adanya ketakutan akan terjadinya perpisahan.
Gejala lain yang saya temukan
adalah seringnya saya mendengar ungkapan sebagai berikut: “Jika saya berbagi
segala-galanya kepada seseorang, berbagi diri saya seutuh mungkin, lalu apa
yang akan tersisa pada saya, apakah saya masih akan memiliki privacy? Saya
tidak ingin lebur, saya tidak ingin kehilangan identitas saya”. Berkaitan
dengan ini maka gejala seperti saya sebut sebagai gejala ketakutan terjadinya persatuan, terjadinya kemanunggalan.
Fenomena lain yang saya sering temukan dalam
perjumpaan dengan banyak orang adalah ucapan-ucapan semacam ini: “Jika orang
lain sungguh-sungguh tahu tentang diri saya, kekurangan dan kelebihan saya,
maka mungkin saja orang itu akan menolak saya, meninggalkan saya, menyingkir
dari saya, menjauhi saya, tidak suka
pada saya. Orang lain itu akan kehilangan gairah untuk mengenal saya, untuk
bergaul dengan saya, karena semuanya sudah ‘telanjang’ dihadapannya. Maka
kemudian orang lain itu akan ‘berpindah’ pada orang lain. Gejala ini saya sebut
dengan ketakutan akan penolakan.
Berikutnya saya juga sering
mendengar ungkapan sebagai berikut: “JIka saya menjadi terlalu dekat dengan
orang lain, maka dalam diri saya akan timbul adanya kewajiban untuk berada di
dekat orang lain itu pada saat dia membutuhkan bantuan saya, kalau tidak saya
bantu maka akan timbul rasa bersalah,
padahal saya tidak ingin memiliki keterikatan tertentu yang membuat saya tidak
bebas”. Gejala ini saya sebut sebagai ketakutan
akan tanggungjawab.
Ketakutan-ketakutan tersebut di
atas memang manusiawi, namun itu bukan segala-galanya. Hubungan antar manusia
merupakan hubungan komplementaritas, hubungan saling melengkapi, karena manusia
bukan makhluk sempurna, biarpun demikian manusia adalah makhluk yang unik,
satu-satunya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Selain itu manusia juga merupakan ciptaan Allah,
yang tidak lain adalah Kasih. Bahkan
manusia bukan sekadar ciptaan begitu saja sebagaimana halnya dengan ciptaan
lainnya yang bukan manusia, tapi manusia adalah citra Allah (Kej.1:26) sebagai
citra Allah maka relasi antar manusia pada dasarnya merupakan hubungan kasih.
Berkaitan dengan ketiga gejala
tersebut di atas yang sangat manusiawi itu maka saya teringat seorang pemikir Perancis
yang bernama Jean-Paul Sartre (1905-1980), pemikir ini pernah mengatakan bahwa ‘orang
lain adalah neraka kita’. Ungkapan yang termashyur itu bisa kita temukan dalam
bukunya yang terbit pada tahun 1943 dan berjudul L’Etre et le Neant. Essai d’Ontologie Phenomenologique (=
Keberadaan dan ketiadaan, esai tentang ontology fenomenologis). Bila kita
membaca buku yang tidak terlalu mudah itu maka kita bisa menarik kesimpulan
bahwa relasi mendasar antar manusia ditandai dengan konflik. Hubungan antar manusia bukan intersubyektivitas tapi hubungan antara subyek dengan obyek,
hubungan antara manasia tidak lain adalah persaingan.
Atau kalau meminjam ungkapan yang dikatakan oleh seorang pemikir Inggris, Thomas
Hobbes (1588-1679) Homo homini lupus
(= manusia adalah serigala bagi sesamanya). Bagi Hobbes manusia adalah makhluk
yang anti-sosial, karena dalam mempertahankan hidupnya manusia akan bertabrakan
dengan manusia lain yang juga ingin mempertahankan hidupnya. Maka salah satu
ungkapan Hobbes yang terkenal adalah bellum
omnes contra omnia (= perang semua melawan semua).
Namun, seorang pemikir Perancis
lain yang bernama Gabriel Marcel (1889-1973) memiliki pemikiran yang
sebaliknya. Diawali dengan pemikirannya bahwa ‘Ada’ selalu berarti – bagi
Marcel - Ada bersama, dari sini
Marcel sampai pada suatu konsep yang penting yaitu kehadiran (presence). Hadir tidak berarti hanya sekadar berada di
tempat yang sama pada waktu yang sama. karena yang terjadi mungkin terjadi
komunikasi tetapi tidak ada kontak yang
sungguh-sungguh (communication sans communion). Bagi Marcel seseorang baru
sungguh hadir bila orang itu mengarahkan diri yang satu terhadap yang lain dengan cara yang sama
sekali lain dengan cara mereka menghadapi obyek-obyek, komunikasi bagi Marcel
tidak lain adalah intersubyektivitas. Hubungan antar manusia adalah hubungan aku-engkau (hubungan antar subyek) dan
bukan aku-ia (hubungan antara subyek
dan obyek). Bahkan bagi Marcel hubungan antar manusia tidak berakhir dengan
kematian, hubungan antara aku-engkau
membuat mereka menjadi kita, menjadi
manunggal, tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Saya pikir hubungan antara
aku-engkau inilah yang harus menjadi
ciri hubungan dalam keluarga. Suami dan isteri telah menjadi pasangan (couple), menjadi kami. Sedang
anak-anak yang merupakan buah cintakasih mereka bukan lagi anakku atau anakmu
melainkan menjadi anak kami.
Komunikasi menjadi sarana
mewujudkan kasih dalam keluarga. Untuk itu maka ada dua syarat penting yang harus
dipenuhi secara konsisten yaitu: yang pertama anggota keluarga harus mampu saling memberikan dirinya;
sedang yang kedua adalah anggota keluarga harus dapat memandang anggota
keluarga yang lain sebagai anugerah yang
ditawarkan kepada anggota keluarga yang lain. Maka komunikasi tidak lain
adalah proses pemberian diri baik komunikator maupun komunikan. Dan dengan
demikian komunikasi menjadi sarana mewujudkan kasih dalam keluarga, di mana
lewat komunikasi terjadilah pemberian dirinya sendiri satu sama lain, baik itu
perasaannya, pikirannya maupun kemauannya. Dengan demikian proses komunikasi
merupakan suatu proses yang penuh makna, penuh nilai karena mengandung yang baik. Maka bila cinta kasih antar
anggota keluarga ingin berlangsung langgeng maka proses komunikasi bukanlah
suatu kemewahan malainkan suatu kebutuhan. Maka bila dalam proses komunikasi
yang asertif itu merupakan suatu proses perayaan akan perbedaan antar anggota
keluarga, karena setiap pribadi adalah unik.
Komunikasi bisa berlangsung baik
secara verbal, lewat suatu percakapan, suatu dialog antara subyek yang satu
dengan subyek yang lain, bahkan bisa melibatkan seluruh anggota keluarga yang
hadir; namun di lain pihak komunikasi juga bisa terjadi secara non-verbal,
lewat bahasa tubuh, lewat bahasa isyarat. Di mana sang komunikator ingin
menyampaikan apa yang ada dalam dirinya, dalam perasaannya baik yang positif
maupun yang negatif, dalam pikiran-pikirannya maupun dalam kemauannya kepada
para komunikan. Dengan demikian akan terjadi suatu proses pemerkayaan (=
enrichment). Dengan demikian maka para komunikan akan dapat lebih mengenal dan
memahami si komunikator.
Namun, agar proses komunikasi
bisa berlangsung secara berdaya guna maka ada satu syarat dasar yang harus kita
camkan dengan sungguh-sungguh. Syarat itu tidak lain adalah mendengarkan, mendengarkan merupakan
kunci bagi suatu proses komunikasi yang berdaya guna. Dalam bahasa Inggris kita
mengenal dua kata yaitu to hear dan to listen. To hear tidak lain adalah
mendengar, di mana lewat mendengar kita bisa mendengar sekaligus banyak suara,
sedang dalam istilah to listen itulah yang dimaksud dengan mendengarkan,
mendengarkan tidak sama dengan mendengar, karena mendengarkan berarti mendengar
dengan penuh per-hati-an, atau dengan kata lain mendengar dengan hati. Untuk
lebih memahami makna mendengarkan maka ada suatu bacaan yang paling menarik –
bagi saya sekurang-kurangnya – yaitu: Mt.13:1-23 yang berbicara tentang Perumpamaan tentang seorang penabur, di
mana dalam perikop tersebut ada kalimat yang perlu direnungkan, yaitu: “Dan
sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat,
ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa
bertelinga, hendaklah ia mendengar”. Bagi saya kutipan tersebut bermakna pendengar yang baik karena dia memiliki hati
yang subur dan gembur, sehingga benih yang ditabur berbuah banyak.
Jika kita ingin menjadi pendengar
yang baik maka saya akan menyela atau menginterupsi bila saya ingin memperoleh penjelasan tentang maksud dari kata-kata yang
disampaikan oleh si komunikator, karena saya kurang faham dengannya.
Agar proses komunikasi bisa
berlangsung dengan baik dan efektif, kita perlu memperhatikan ketiga hambatan
yang menghadang proses komunikasi. Ketiga hambatan tersebut adalah: hambatan
fisik, hambatan bahasa dan hambatan psikologis. Yang dimaksud dengan hambatan
fisik adalah suasana yang ada pada waktu komunikasi dilakukan, misalnya
suasananya ramai. Sedang yang dimaksud dengan hambatan bahasa, misalnya
penggunaan bahasa prokem. Akhirnya yang dimaksud dengan hambatan psikologis,
adalah suasana hati entah dari komunikator entah komunikan tidak terlalu baik,
misalnya tidak bisa fokus. Ketiga hambatan ini perlu dicermati dan kemudian
perlu disingkirkan, bila komunikasi ingin berlangsung dengan berdayaguna.
Akhirnya perlu dicatat bahwa ada
satu pepatah yang berbunyi sebagai berikut: Pemenang
tidak pernah melarikan diri, yang melarikan diri tidak pernah menang.
Pepatah ini mengandung kebenaran yang dapat diterapkan pada proses komunikasi.
Seperti telah disinggung tentang adanya ketiga hambatan dalam komunikasi, maka
baik komunikator maupun komunikan jangan pernah mundur dalam menghadapi ketiga
hambatan itu, kita tidak pernah boleh melarikan diri dari ketiga hambatan itu
yang menghadang proses komunikasi yang sedang dijalankan. Ketiga hambatan itu
harus dihadapi baik komunikator maupun komunikan perlu berusaha secara optimal
untuk mengatasinya. Bila berhasil mengatasi ketiga hambatan itu maka kita pasti
akan mengalami proses komunikasi yang efektif. Salam keluarga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar