Sabtu, 18 September 2010

bersikap Proaktif

Bersikap proaktif: belajar dari Bunda Maria.
Salah satu usaha untuk membangun habitus baru.

Dewasa ini kita sering mendengar istilah proaktif. Apa itu bersikap proaktif? Untuk mengerti makna dari bersikap proaktif mungkin lebih mudah bila kita melihat sikap sebaliknya, yaitu bersikap reaktif. Bersikap reaktif adalah kecenderungan spontan yang muncul dalam diri kita terhadap suatu rangsangan tertentu. Dengan perkataan lain bersikap reaktif tidak lain adalah reaksi kita yang mengikuti perasaan yang secara spontan muncul dalam diri kita berkaitan dengan suatu rangsangan tertentu. Menurut Stephen R. Covey orang yang reaktif adalah orang yang semata-mata digerakkan oleh perasaannya, oleh situasi dan kondisi tertentu, atau oleh lingkungan yang ada di sekitarnya. Sedang orang yang proaktif adalah orang yang digerakkan oleh nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang sudah dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Orang yang proaktif adalah orang yang dikuasai oleh kesadaran diri yang kuat, digerakkan oleh kehendak bebas dan dikendalikan oleh suara hatinya. Maka Stephen R. Covey secara tegas menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sikap proaktif tidak lain adalah sikap bertanggungjawab atas hidup kita sendiri, karena kita melakukannya setelah melalui proses pengambilan keputusan secara sadar. Maka ada kata-kata bijak yang berbunyi ”jangan pernah mengambil keputusan dalam kondisi diri sedang berperasaan negatif”. Masalahnya bagaimana kita bisa bersikap proaktif? Kita bisa belajar dari Bunda Maria.
Bila kita membaca Injil Lukas 2: 41-52, kita dapat menemukan sikap Bunda Maria yang mengacu pada sikap proaktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Betapa tidak! Dalam perikopa tersebut di atas – yang saya pikir tidak asing bagi kita – diceritakan bahwa setiap tahun orang tua Yesus, sebagai orang Yahudi yang saleh, pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Pada saat Yesus berusia 12 tahun, Yesus diajak oleh orangtuanya untuk merayakan Paskah di Yerusalem . Setelah selesai melaksanakan ziarah, maka para peziarah kembali ke tempat asal mereka masing-masing. Pada waktu itu menjadi suatu kebiasaan bahwa rombongan peziarah terbagi dua, para perempuan dan anak-anak berjalan bersama dan ada di depan rombongan laki-laki. Maka tidak mengherankan bila ayah Yesus berpikir Yesus berada bersama Maria atau dengan sanak keluarga yang lain, begitu pula Maria berpikir bahwa Yesus berada bersama ayahNya atau dengan sanak keluarga yang lain. Setelah melakukan perjalanan beberapa jam maka orangtua Yesus baru menjadi sadar bahwa Yesus tidak berada bersama mereka atau sanak saudaranya, maka akhirnya orangtua Yesus kembali ke Yerusalem untuk mencari Yesus. Setelah mencari sampai hari ketiga mereka baru bisa menemukan Yesus. Ternyata Yesus sedang bersoal jawab dengan para pemuka agama Yahudi, dan ternyata kehadiran Yesus membuat banyak orang terkagum-kagum . Saya pikir orangtua Yesus sangat gembira karena telah menemukan Yesus, namun di lain pihak orangtua Yesus juga terheran-heran dengan anaknya yang pada usia muda telah dapat bersoal jawab dengan para pemuka agama Yahudi. Dalam suasana tersebut, akhirnya ibu Yesus mengajukan pertanyaan ”Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? bapaMu dan aku dengan cemas mencari Engkau”. Sebuah pertanyaan yang sangat wajar diajukan oleh orangtua kepada anaknya, namun jawaban Yesus sungguh mengherankan, betapa tidak. Lukas mencatat jawaban Yesus sebagai berikut ”Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah BapaKu?” Berkaitan dengan jawaban Yesus maka kedua orangtua Yesus tidak bisa mengerti, dan itu sangat wajar. Seandainya kita yang mendapat jawaban seperti itu dari anak kita, maka saya pikir reaksi kita adalah akan marah. Namun, Lukas mencatat dalam Injilnya sebagai berikut ”Dan ibuNya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya” , dengan demikian ibu Yesus tidak bersikap reaktif, tidak terperangkap pada perasaan-perasaannya belaka.
Kita juga memiliki kesadaran diri, kehendak bebas dan hati nurani, maka tidaklah tertutup kemungkinan kita mencontoh Bunda Maria. Kita perlu membangun sikap proaktif dan tidak reaktif, bila kita mampu membangun sikap proaktif maka kita tidak akan perangkap dan hanya dikendalikan oleh perasaan-perasaan kita. Perasaan memang penting, karena perasaan merupakan tanda atau signal yang menandakan situasi diri kita. Perasaan memberi tanda bahwa diri kita sedang mengalami ketidakstabilan, karena kebutuhan-kebutuhan pokok batiniah kita goncang. Namun, orang yang proaktif adalah orang yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan pokok batiniahnya, namun kebutuhan tersebut tetap menjadi tanggungjawabnya sendiri dan tidak dituntut dari orang lain, sebagaimana Bunda Maria telah memberikan contoh secara konkret.
Masalahnya kenapa Bunda Maria mampu, dan kenapa kita jarang sekali mampu bersikap proaktif. Dalam konteks ini jawabannya jelas, yaitu karena Bunda Maria menempatkan pengalaman-pengalaman hidupnya selalu dalam konteks hubungannya dengan Allah. Dengan perkataan lain Bunda Maria sungguh orang beriman, orang yang selalu dapat meletakkan pengalamannya dalam konteks penyelenggaraan ilahi. Untuk itu baik bila pada bulan Mei ini kita banyak berdoa melalui Bunda Maria agar kita diberi iman yang sungguh oleh Putranya. Amin. (St. Nugroho, Komisi Keluarga Keuskupan Bogor)

Perlindungan Hak Anak

PERLINDUNGAN HAK ANAK DALAM PERSPEKTIF AGAMA KATOLIK
Oleh Drs. Stanislaus Nugroho, M.Hum.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyelenggarakan “Konferensi Tokoh Lintas Agama Untuk Perlindungan Anak dengan tema ‘Menuju Indonesia Ramah Anak’”. Penyelenggaraan konferensi ini sangat menarik karena dua alasan: Yang pertama konferensi ini diikuti oleh para tokoh lintas agama dan yang kedua temanya adalah Menuju Indonesia Ramah Anak. Mungkin baik bila kita mulai dengan temanya ‘Menuju Indonesia Ramah Anak’. Temanya secara jujur menunjukkan bahwa kita masih dalam perjalanan/masih dalam proses menuju Indonesia Ramah Anak atau dengan perkataan lain kita belum ramah anak, dan dalam rangka menuju Indonesia Ramah Anak tersirat adanya harapan agar para Tokoh Lintas Agama dapat menjadi fasilitator agar tujuan tersebut dapat cepat tercapai. Sebuah panggilan yang sangat luhur, namun mungkin merupakan sebuah pekerjaan rumah yang mungkin tidak akan cepat selesai, mengingat begitu banyak pekerjaan rumah yang ada dipundak para tokoh agama untuk melakukan pendidikan hati umatnya yang sedang terjangkit penyakit sosial yang sangat parah. Yang lebih parah lagi penyakit sosial tersebut juga tidak terlepas dari diri kita masing-masing. Kalau kita mau jujur maka sering kita juga tidak menjadi imun terhadap penyakit sosial tersebut. Kita perlu melakukan refleksi diri secara sungguh-sungguh, dan melakukan transformasi diri. Maka dalam menyiapkan tulisan ini terus terang saja, saya mau tidak mau harus melakukan refleksi diri, sehingga tulisan ini tidak semata-mata merupakan tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan dari sudut ilmu, tetapi juga merupakan tulisan hasil mawas diri baik sebagai ‘bekas’ anak yang dibesarkan oleh orangtua saya, dan juga sebagai orangtua yang membesarkan anak-anak kami sendiri.

Laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka
Sebagai orang beriman saya sangat yakin dan percaya bahwa Allah (Sang Sumber Kehidupan) telah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan , dengan tujuan agar manusia mengambil bagian dan berperanserta dalam melanjutkan kehidupan, lewat kemanunggalan mereka sebagai laki-laki dan perempuan (dalam lembaga perkawinan), untuk itu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; …..” . Dengan demikian anak tidak lain merupakan ungkapan rencana Allah sendiri, dan sekaligus merupakan buah dari persekutuan cinta antara laki-laki dan perempuan yang berketetapan untuk membangun keluarga, karena mereka merasa dipanggil oleh Allah untuk ikut ambil bagian dalam karya kehidupan Allah yang berkesinambungan. Maka anak, yang tidak lain adalah buah cinta seorang laki-laki dan perempuan, seharusnya tumbuh dalam suasana cinta orangtuanya. Anak sejak hari pertama kelahirannya seharusnya tumbuh dan berkembang dalam dekapan cinta orangtuanya, bahkan cinta antara orangtuanya itu seharusnya tidak pernah boleh pudar, tidak pernah dapat ditarik kembali dan tanpa syarat apapun, itulah tanggungjawab yang paling utama dan yang seharusnya dibangun oleh seorang laki-laki dan perempuan yang berkomitmen untuk membangun keluarga sebagaimana yang diinginkan oleh Allah, Sang Sumber Cinta dan Kehidupan itu sendiri . Dalam hal prokreasi, anak selalu harus dipandang sebagai anugerah dari Allah yang merupakan kelangsungan karya penciptaan Allah. Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan yang terikat dalam perkawinan menerima anugerah hidup baru dan hidup baru terbuka pada masa depan .

Keluarga sebagai persekutuan hidup dan kasih
Sebagai persekutuan hidup dan kasih, maka keluarga merupakan komunitas (persekutuan) pribadi-pribadi – antara suami, isteri dan anak-anak – di mana cinta kasih menjadi dasar dan menjadi kekuatan bagi keberlangsungan persekutuan tersebut . Almarhum Bapa Suci Yohanes Paulus II mencatat bahwa “Tanpa cintakasih itu keluarga bukanlah rukun hidup antar pribadi, dan begitu pula, tanpa cintakasih keluarga tidak dapat hidup, berkembang atau menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi-pribadi” . Cintakasih bukanlah barang-jadi yang tinggal dinikmati, tetapi merupakan suatu proses dinamis (jatuh bangun) yang tidak akan pernah berhenti selama kita hidup, namun dengan demikian keluarga yang tetap setia terhadap janji perkawinan akan semakin menjadi persekutuan pribadi-pribadi yang semakin mendalam dan sangat intensif, dan sekaligus dapat menjadi ‘tanda’ dari cinta Allah kepada Umat manusia .
Sebagai persekutuan hidup dan kasih, keluarga hendaknya dapat “menyambut, menghormati, dan mengembangkan masing-masing anggotanya dalam martabatnya yang luhur sebagai pribadi, artinya sebagai gambar Allah yang hidup. ….. norma moral bagi otentiknya hubungan suami isteri dan keluarga terletak pada pengembangan martabat serta panggilan masing-masing pribadi, yang mencapai kepenuhan mereka melalui cara penyerahan diri yang setulus-tulusnya” .

Hak-hak anak
Berkaitan dengan hak anak, maka almarhum Bapa Suci Yohanes Paulus II memberikan catatan sebagai berikut: “Dalam keluarga, yakni persekutuan pribadi-pribadi, perhatian khusus perlu diberikan kepada anak-anak, dengan mengembankan penghargaan yang mendalam terhadap martabat pribadi mereka, serta sikap sungguh menghormati dan memperhatikan sepenuhnya hak-hak mereka. Itu berlaku bagi setiap anak, tetapi menjadi makin mendesak, semakin anak masih kecil, dan semakin ia memerlukan segalanya, bila ia sakit, menderita atau menyandang cacat. Dengan memupuk serta menunjukkan kepedulian yang mesra dan besar terhadap setiap anak yang lahir di dunia, Gereja menunaikan perutusan yang mendasar. Sebab Gereja dipanggil untuk mengungkapkan dan mengutarakan sekali lagi dalam sejarah, teladan serta perintah Kristus Tuhan, yang menaruh kanak-kanak di jantung Kerajaan Allah: ‘Biarkanlah anak-anak datang kepadaKu, dan jangan menghalang-halangi mereka; sebab mereka itulah yang mempunyai Kerajaan Sorga’ (Lk. 18:16, bdk. Mt. 19:14; Mk. 10:14). Sekali lagi kami ulangi, apa yang kami sampaikan kepada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tangal 2 Oktober 1979: ‘Kami ingin menyatakan kegembiraan kami, bahwa kita semua menemukan dalam diri anak-anak musim semi kehidupan, antisipasi sejarah masa depan tanah air kita masing-masing di dunia ini. Tak satu pun negara di dunia, tak satu pun sistem politik dapat memikirkan masa depannya sendiri, tanpa melalui citra generasi-generasi baru itu, yang akan menerima dari orangtua mereka kekayaan warisan nilai-nilai, tugas-tugas serta aspirasi-aspirasi bangsa mereka dan segenap keluarga manusia. Kepedulian terhadap anak, juga sebelum ia lahir, sejak saat pertama ia dikandung, kemudian selama masa kanak-kanak dan keremajaannya, merupakan batu ujian utama dan fundamental bagi hubungan antar manusia. Demikianlah, himbauan manakah yang lebih baik, yang dapat kami ucapkan bagi setiap bangsa dan bagi seluruh umat manusia, begitu pula bagi semua anak-anak di dunia, daripada masa depan yang lebih cerah, saatnya sikap menghormati hak-hak manusiawi akan terwujudkan sepenuhnya selama milenium ketiga, yang kian mendekat’. Sikap menerima, cintakasih, penghargaan, kepedulian terhadap setiap anak yang lahir di dunia ini, perhatian dengan pelbagai seginya yang semuanya terpadu: di bidang jasmani, emosional, pendidilkan dan rohani, semuanya itu selalu harus menjadi ciri khas yang pokok bagi semua orang kristen, khususnya bagi keluarga kristen. Begitulah anak-anak akan mampu bertambah ‘hikmatNya dan besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia’ (Lk. 2:52), dan sementara itu membawa sumbangan mereka sendiri yang berharga bagi pembangunan rukun hidup keluarga bahkan juga bagi pengudusan orangtua mereka” .
Dari kutipan di atas menjadi jelas Gereja melihat anak sebagai pribadi, bahkan pribadi yang menjadi harapan terciptanya dunia yang lebih baik, untuk itu maka orangtua pada khususnya dan masyarakat pada umumnya memiliki tugas/ memiliki kewajiban untuk mengantar anak-anak tersebut berkiprah dan berperanserta dalam usaha menciptakan dunia yang lebih baik. Untuk itu orangtua mempunyai kewajiban untuk memelihara dan menjadi pendidik yang pertama dan utama terhadap anak-anak mereka, khususnya di bidang iman dan nilai-nilai, tanpa terjebak dalam perangkap formalisme, ritualisme dan legalisme.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa anak dan hak-haknya memiliki tempat yang istimewa dalam ajaran kristiani, karena itu bersumber pada ajaran Yesus Kristus sendiri. Persoalannya, menjadi suami isteri dan menjadi orangtua dalam dunia yang tunggang langgang saat ini, tidak pernah dipersiapkan secara serius dan juga banyak di antara mereka yang merasa tidak perlu dipersiapkan secara serius, karena setiap orang harus menikah. Maka tidaklah mengherankan bila banyak di antara kita secara sangat sungguh-sungguh mempersiapkan wedding (bahkan dewasa ini ada kecenderungan kuat orang berlomba-lomba untuk menggunakan peristiwa wedding untuk mengejar prestise/mengejar gengsi), tetapi – kalau kita mau jujur – maka kita tidak pernah secara sungguh-sungguh mempersiapkan marriage. Menjadi suami isteri dan menjadi orangtua sekadar ‘trial and error’, sekadar belajar dari orangtua kita masing-masing dan/atau masyarakat di sekitar kita, padahal dunia saat ini mengalami perubahan yang sangat luar biasa, di mana yang pasti saat ini hanyalah ketidakpastian, berkat perubahan yang begitu cepat berlangsung. Saya pikir dewasa ini diperlukan suami isteri/orangtua yang profesional dan kompeten, tidak cukup hanya coba-coba. Agar rumah tangga menjadi tanah yang subur bagi tumbuhnya pribadi-pribadi yang ‘fully human, fully alive’, cerdas secara intelektual, cerdas secara emosional, cerdas secara moral, cerdas secara spiritual, sehingga mampu berpikir dan bersikap positif dalam situasi apapun, dengan perkataan lain memiliki integritas baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial.
Inilah tantangan kita bersama, marilah kita bergandengan tangan untuk menjawab tantangan tersebut.

Bogor, 3 Juli 2006.

Peran Keluarga Kristiani

Peranan keluarga kristiani dalam dunia yang tunggang langgang
Oleh: Stanislaus Nugroho

Keluarga kristiani dewasa ini hidup dalam dunia yang sedang (karena masih berjalan terus) dan sekaligus sudah memasuki zaman yang ditandai oleh terjadinya revolusi di bidang transportasi dan di bidang informasi. Dunia sekarang ini seperti tanpa batas , oleh karena itu dunia dewasa ini sedang mengalami perubahan yang begitu cepat dan substansial (berkaitan langsung dengan seluruh aspek hidup manusia), yang hampir tak dapat dikendalikan dan dipradugakan. Dewasa ini sering orang berkata bahwa yang pasti adalah ketidakpastian. Menghadapi kondisi seperti ini ada empat sikap yang mungkin.
Yang pertama banyak orang yang bersikap acuh tak acuh dan karenanya ikut arus saja (dalam bahasa gaul rumusannya adalah emangnya gue pikirin). Sikap yang pertama ini cukup berbahaya, karena mereka baru akan sadar setelah mereka terjebak dalam situasi dan kondisi yang mengancam keluarganya.
Yang kedua, mencoba mengantisipasi dengan integritas diri, sikap inilah yang paling positif. Sikap seperti ini membuat kita menjadi manusia pembelajar, yang selalu siap membaca dan mempelajari tanda-tanda jaman serta bersikap kritis tentangnya, namun tetap bijaksana.
Yang ketiga bersikap melawan, dan cenderung bersikap fundamentalis dan primordialis, sikap ini juga sangat berbahaya karena akan mendorong terjadinya kekerasan baik secara fisik maupun secara psikologis. Dengan demikian akan menimbulkan keresahan masyarakat (salah satu gejala yang nampak di Indonesia adalah terjadinya ‘militerisasi sipil’, padahal sejak reformasi kita menginginkan profesionalisme militer, dan mengembalikan otoritas pada sipil).
Yang keempat adalah mereka yang dapat dan mampu memanfaatkan situasi dan kondisi tersebut karena mereka memiliki akses berkat kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Inipun mengandung kelemahan, yaitu pada saat egosentrisme menjadi panglima. Sikap ini kini makin menggejala, oleh karenanya tidaklah mengherankan bila terjadi tabrakan kepentingan. Singkat kata kita hidup dalam dunia yang “sedang sakit”. Penyakit sosial yang sedang dialami oleh kita dirumuskan oleh banyak ahli secara berbeda-beda , namun jelas bahwa penyakit sosial tersebut menerpa dan menghantui keluarga-keluarga kita juga, karena keluarga adalah sel masyarakat. Dalam kondisi seperti itulah kita sebagai keluarga kristiani harus merealisasikan panggilan kita.
Berkaitan dengan situasi dan kondisi tersebut di atas maka almarhum Bapa Suci Yohanes Paulus II telah mengundang Pertemuan Sedunia Keluarga-Keluarga pada empat kesempatan yang berbeda, dengan maksud untuk menunjukkan betapa besar “peranan keluarga kristiani dalam menentukan arah dan tujuan umat manusia, dipandang dari sudut iman dan Injil” .
Mengacu pada surat Rasul Paulus kepada kepada Umat di Efesus (5:31-32) keluarga kristiani dipanggil untuk menjadi tanda dari cintakasih Yesus Kristus kepada umat manusia . Dunia saat ini sangat haus akan kasih, betapa bahagianya kita, bila kita dapat melaksanakan dan memerankan panggilan kita tersebut dengan sebaik-baiknya.
Namun, dalam hidup sehari-hari saya pikir sebagian dari kita masih jauh dari panggilan kita tersebut. Hal itu disebabkan baik karena kelemahan-kelemahan kita sendiri maupun karena lingkungan di mana kita hidup saat sedang mengidap “penyakit sosial” yang sudah kronis. Beberapa simptonnya nampak jelas dalam beberapa arus yang sekarang ini sedang menggejala, seperti materialisme (banyak di antara kita terjangkit penyakit mendewakan materi, seolah-seolah materi menjamin hidup kita, padahal materi hanya sarana hidup kita), selanjutnya pola hidup yang sangat konsumtif dan hedonistis (banyak di antara kita yang terkena penyakit ‘enjoy aja’dan mencari kenikmatan sesaat), formalisme agama (asal sudah ke Gereja beres sudah, ada kesenjangan yang lebar antara kehidupan dalam menjalankan ibadah dengan kehidupan sehari-hari di tempat kerja, tempat bergaul), dan lain-lain. Selain daripada itu (dari hasil penelitian sementara yang dilakukan oleh Komisi Keluarga KWI) salah satu penyakit yang menjangkiti keluarga-keluarga katolik dewasa ini adalah tidak efektifnya komunikasi (khususnya yang berkaitan dengan bidang-bidang yang sulit dikomunikasikan, seperti bidang keuangan, bidang seksualitas, dan lain-lain) dalam keluarga, baik antara suami dan isteri maupun antara orangtua dan anak-anak.
‘Mengantisipasi semua itu maka pada 22 Nopember 1981 almarhum Bapak Suci Yohanes Paulus II mengeluarkan dokumen Familiaris Consortio yang tidak lain merupakan Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II kepada para Uskup, Imam-imam dan umat beriman seluruh Gereja Katolik tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern. Pada artikel pertama dari Anjuran Apostolik tersebut almarhum menegaskan bahwa Gereja dipanggil untuk melayani keluarga, “khususnya Gereja menyapa kaum muda yang sedang merintis jalan menuju pernikahan dan hidup berkeluarga, dengan maksud menyajikan kepada mereka cakrawala baru, menolong mereka menggali keindahan dan keagungan panggilan untuk cintakasih dan bakti kepada kehidupan” .
Keluarga kristiani sebagaimana telah dikatakan di atas dipanggil untuk menjadi tanda dari cintakasih Yesus Kristus kepada umat manusia, khususnya dalam empat bidang utama. Keempat bidang tersebut tidak lain adalah keluarga kristiani 1) dipanggil untuk membentuk persekutuan pribadi-pribadi; 2) dipanggil untuk mengabdi kepada kehidupan ; 3) dipanggil untuk ikut serta dalam pengembangan masyarakat ; dan yang terakhir 4) dipanggil untuk berperanserta dalam kehidupan dan misi Gereja .
Hal ini tentunya merupakan pekerjaan rumah yang tidak ringan, namun yang menjadi masalah utama adalah bahwa ajaran, ajakan dan anjuran pastoral dari Gereja sering kurang disosialisasikan. Masalah menjadi lebih berat lagi karena bagi umat sendiri hidup perkawinan sering lebih merupakan suatu keharusan sesuai dengan tuntutan adat, tuntutan biologis dan dilaksanakan secara trial and error. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila kita terjerumus pada usaha untuk lebih mempersiapkan wedding daripada marriage. Memang Gereja melakukan apa yang biasa kita kenal dengan sebutan kursus persiapan perkawinan yang dilakukan tidak lebih dari 12 jam efektif, namun yang lebih dibutuhkan adalah persiapan perkawinan yang seharusnya sudah dijalankan dalam keluarga sejak dini, melalui pendidikan seksualitas dan pendidikan nilai.
Namun, terlepas dari segala kekurangannya bagaimanapun juga kursus persiapan perkawinan masih mempunyai peran yang cukup strategis. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan sulitnya mengumpulkan pasangan yang sedang pacaran maupun pasangan yang sudah menikah, untuk mengikuti program-program yang disiapkan oleh seksi kerasulan keluarga paroki dan yang dimaksudkan untuk lebih membekali kaum muda dalam mempersiapkan perkawinan dan keluarganya. Dewasa ini baik sebagai pasangan suami-isteri maupun sebagai orangtua kita dituntut untuk menjadi lebih professional. Pendekatan trial and error sudah sangat tidak memadai, karena baik sebagai suami-isteri maupun sebagai orangtua kita sedang berhadapan dengan perubahan yang begitu cepat, yang membuat kehidupan kita tidak pasti, bahkan beban persoalan makin lama makin kompleks.
Masalahnya, bagaimana kita seharusnya berusaha untuk mempersiapkan kursus persiapan perkawinan yang lebih bermutu. Tentunya dengan para fasilitator yang bermutu pula, baik ‘ilmunya’ maupun metode memfasilitasinya. Metode ini berkaitan dengan para peserta yang sudah dewasa, dan pendidikan bagi kaum dewasa tidak bisa disamakan begitu saja dengan metode pendidikan anak-anak. Untuk itu kita semua, khususnya para pastor dan pengurus seksi kerasulan keluarga, hendaknya lebih bersedia memberikan waktu dan usahanya untuk selalu meningkatkan kemampuan para fasilitator kursus persiapan perkawinan. Bulan-bulan terakhir ini kami komisi keluarga dari tiga keuskupan yang ada di pulau Jawa bagian Barat sedang bekerja keras untuk mempersiapkan bahan-bahan kursus persiapan perkawinan yang lebih up-to-date, dan setelah itu kami akan mensosialisasikannya pada saat kami (komisi keluarga Keuskupan Bogor) melakukan rapat tahunan dengan seksi kerasulan keluarga se Keuskupan Bogor pada tanggal 14-15 Oktober mendatang. Semoga hal ini membangkitkan semangat dan tanggungjawab kita semua sebagai warga Gereja dalam mempersiapkan kaum muda membentuk keluarga baru sesuai dengan rencana Allah, karena bagaimanapun juga bila Keluarga Sehat maka Masyarakat (Gereja) kuat sebaliknya bila Keluarga Retak maka Masyarakat (Gereja) Rusak.


Bogor, 9 Oktober 2006

Relasi Suami-Isteri: Relasi Dialogal

Relasi Suami-Isteri : Relasi Dialogal

Dewasa ini istilah ‘relasi’ menjadi salah satu istilah yang sangat populer. Betapa tidak. Untuk memperoleh pendidikan di tempat yang bergengsi, untuk mulai bekerja pada salah satu kantor/instansi, untuk menjadi wiraniaga yang berhasil, untuk menjadi wiraswasta yang mantap, bahkan untuk menjadi pasangan suami-isteri yang bahagia – di samping prasyarat yang lain – rupanya relasi juga merupakan prasyarat pokok.
Biarpun seseorang kaya atau pandai, atau berkedudukan tinggi, atau berkemauan baik, namun bila tidak punya relasi (= teman), dan tidak bisa berelasi (= membina hubungan baik), rasanya hampir mustahil berhasil dalam hidupnya dengan mantap. Yang menjadi pertanyaan, sebenarnya relasi itu apa? Relasi itu selalu menunjuk baik pada orangnya (= siapa) maupun pada hubungan itu sendiri (= bagaimana). Oleh karena itu, sebenarnya tidak terlalu mudah untuk memberikan batasan yang tegas, namun sebagai ancangan awal mungkin dapat diusulkan batasan sebagai berikut: “hubungan antar manusia yang menampilkan perilaku timbal balik dan berdampak mendalam”.
Lewat tulisan ini kami ingin mencoba sedikit mendalami lika-liku relasi langsung di antara suami – isteri. Mengapa? Tanpa menutup mata terhadap bentuk-bentuk relasi yang lain, maka relasi antara suami-isteri merupakan relasi yang pertama dan utama. Pertama dan utama, karena relasi suami-isteri merupakan bentuk dasar dari semua bentuk relasi yang lain. Dengan perkataan lain bisa dikatakan bahwa “semua bentuk relasi yang lain diturunkan dari bentuk dasar yaitu relasi suami-isteri”.
Bila relasi antara suami-isteri sedang dingin dan jauh, pengaruhnya terasa dan terlihat dalam hubungan mereka dengan anak-anak, dengan teman-teman mereka, dengan atasan atau bawahan mereka, bahkan pada hasil karya mereka. Tidak jarang anak-anak, teman-teman, atasan/bawahan menjadi korban dan sasaran uneg-unegnya, tidak jarang mutu hasil karyanya menurun. Semuanya itu merupakan kenyataan hidup sehari-hari, biarpun kita memakai kedok, atau menekan uneg-uneg dan perasaan negatif kita sedemikian rupa sehingga nampak tidak ada persoalan.
Mungkin untuk suatu jangka waktu tertentu kita masih bisa memakai kedok, bahkan mungkin bisa menikmatinya sebagai sesuatu yang mengasyikkan, karena apa yang kita inginkan seolah-olah terpenuhi. Namun, sampai kapan? Seseorang mungkin hanya kuat untuk beberapa jam saja, sedang yang lain mungkin kuat untuk beberapa hari. Namun, akhirnya kedok itu akan terlepas juga. Perasaan negatif dan uneg-uneg yang ada dalam hati kita akan meletus juga.
Selain daripada itu memakai kedok atau menekan perasaan negatif membutuhkan ketrampilan khusus dan menguras tenaga kita yang sebenarnya tidak perlu. Perasaan negatif bisa diumpamakan sebagai bisul, yang bisa kena pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Bisul membuat tubuh kita merasa panas dingin, tidak enak makan, tidak enak tidur, berdiripun tidak enak. Perlu obat yang tepat agar bisul itu ‘matang’, agar sesudah itu dengan jarum yang steril tusuklah bisul itu – sedikit sakit – nanah keluar berikut darah mati – namun kita akan merasa lega. Begitu juga dengan relasi suami-isteri. Perlu cara yang tepat, entah itu obatnya, jarumnya maupun keberanian untuk sedikit merasa sakit.
Bila kepada pasangan suami-isteri ditanya tentang saat-saat mana dalam hidup kerelasiannya yang paling indah, hangat dan dekat. Maka biasanya sebagian terbesar akan memberikan jawaban yang senada, yaitu pada masa pacaran dan pada tahun-tahun pertama perkawinan. Saat-saat itu dirasa yang paling indah, hangat dan dekat. Mengapa? Jawabannya tidak terlalu tegas. Mungkin karena pada saat-saat itu kebutuhan pokok batiniah manusia yaitu kebutuhan akan cinta, harga diri, keterlibatan dan kemandirian dipenuhi oleh pasangan kita masing-masing.
Pada masa pacaran dan tahun-tahun pertama perkawinan semua ciri cinta secara sadar atau tidak kita hayati atau kita laksanakan, biarpun tidak jarang dengan menggunakan kedok, dengan harapan agar saya tetap dicintai atau agar saya dianggap mencintainya. Namun, setelah cinta membuahkan anak, setelah perhatian mulai terbagi, setelah karir semakin menanjak, setelah keaktifan di masyarakat semakin menyita waktu, kedok yang selama ini dipakai mulai tanggal atau ditanggalkan. Lho, pasanganku ternyata koq demikian, terasa asing dan lain, dia menjadi tidak sabar, tidak baik hati, cemburuan, suka membual, tinggi hati, kasar, suka ngomel, senang memaksakan kehendaknya sendiri, cepat tersinggung, suka menyimpan dalam hati bila aku berbuat salah terhadapnya. Titik-titik rawan mulai muncul dalam relasi, rasanya tidak cocok lagi. Persoalan bertambah dengan ikutnya mertua, adik, kemenakan dalam keluarga kita, yang lebih peka masalah datangnya permintaan bantuan keuangan dari sanak keluarga pasangan, perbedaan pendapat dalam hal mendidik anak-anak, menu yang itu saja-saja dan masih banyak persoalan lain yang seringkali menjadi batu-batu kerikil, menjadikan perjalanan menyakitkan.
Mulailah masing-masing mengambil keputusan sendiri-sendiri, kemudian saling menyalahkan. Relasi menjadi semakin dingin dan jauh. Bila tidak segera dijembatani, maka masing-masing akan semakin pasang kuda-kuda. Masing-masing mulai mencari kompensasi, masing-masing mulai mempertahankan harga dirinya, dan tidak mau mulai dulu untuk berbaik, maka alangkah perlu untuk mempunyai beberapa kesepakatan yang dapat dipakai sebagai aturan main dalam pertengkaran, agar dapat bertengkar secara berdayaguna. Umpamanya, tidak memperlihatkan perbedaan sudut pandang terhadap anggota keluarga yang lain. Bila salah seorang sudah mulai mengalami tegangan tinggi, maka pasangan hendaknya berusaha menahan diri sungguh-sungguh. Alangkah baiknya bila yang bertegangan tinggi berusaha menurunkan tegangannya dengan mengungkapkannya secara tertulis. Menulis merupakan salah satu cara menurunkan tegangan tinggi dan sekaligus apa yang kita tulis dapat menjadi cermin diri sendiri. Usahakanlah mencari waktu yang tepat untuk mulai mengungkapkan secara lisan uneg-uneg kita. Biasanya waktu yang paling baik adalah saat-saat menjelang tidur. Berdoa malam sekeluarga, mohon bimbingan Tuhan untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di antara anggota keluarga, kemudian ungkapkan perasaan masing-masing, saling meminta maaf dan kemudian saling memaafkan, suatu happy ending, dan anda tidur dengan nyenyak. Oleh karena itu, pada saat seperti itu kita hendaknya berusaha untuk saling mengungkapkan isi hati kita sedemikian rupa sehingga dapat menjadi jembatan yang berdayaguna dalam usaha memulihkan relasi suami isteri, itulah dialog. Dengan berdialog kita bisa saling mengungkapkan diri, saling mendengarkan tanpa saling menyalahkan. Dengan berdialog kita menjadi lebih mengerti perasaan, pikiran, sikap dan kebutuhan pokok batiniah pasangan dan begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian dialog bisa diartikan sebagai “proses berbagi diri dengan pasangan dalam rangka meningkatkan relasi, agar dapat menjadi semakin akrab, hangat, mesra dan bertanggungjawab”.
Namun, proses ini tidaklah mudah dan tidaklah ringan, karena bila proses ini kita laksanakan secara taat azas maka kita sebenarnya menuntut diri sendiri untuk berubah. Padahal kita lebih biasa dan lebih enak menuntut pasangan untuk berubah. Tidaklah mengherankan bila proses dialog dirasa menyakitkan dan membuat kita segan untuk berdialog.
Akhirnya, bila kita kembali pada perumpamaan ‘bisul’ di atas, maka untuk merasa bebas dari panas dingin, bebas dari rasa tidak enak dan dapat memperoleh kelegaan, rupanya kita dituntut untuk berani mengalami ‘sedikit sakit’. Demikian pula dalam kaitan dengan usaha meningkatkan relasi dengan pasangan, kita memang dituntut untuk meninggalkan kedok yang kita pakai agar relasi kita dengan pasangan bukannya relasi semu melainkan relasi dialogal, relasi yang saling membagikan diri, atau bila meminjam istilah yang dipakai oleh seorang pemikir Perancis, Emmanuel Levinas, berkomunikasi dengan ‘wajah yang telanjang’. (Stanislaus Nugroho, Komisi Keluarga Keuskupan Bogor).

Jumat, 17 September 2010

Perkawinan antaragama dari perspektif Katolik

PERKAWINAN ANTARAGAMA DARI PERSPEKTIF KATOLIK

Sebelum masuk ke persoalannya sendiri maka ada baiknya saya mencoba memberikan sedikit catatan tentang dua kata penting dari judul di atas, yaitu kata agama dan perkawinan. Dalam kehidupan sehari-hari baik agama maupun perkawinan mempunyai nilai yang penting dan istimewa. Namun, ada kecenderungan bahwa kedua hal tersebut diterima begitu saja, maka dalam kaitan dengan persoalan yang ingin dibahas hari ini ada baiknya kedua hal tersebut lebih direfleksikan sedikit.
Bagi saya agama merupakan “suatu lembaga di mana manusia baik sebagai pribadi maupun bersama-sama dengan mereka yang se agama mencoba menghayati dan mengungkapkan relasinya dengan Allah baik secara batin dan terutama secara lahir dalam bentuk tindakan-tindakan tertentu”.
Sedang perkawinan, bagi saya merupakan “suatu persekutuan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan atas dasar cintakasih yang mengutuh, lewat suatu persetujuan yang bebas antara keduanya, bersifat eksklusif, seumur hidup dan merupakan suatu peristiwa iman yang membuahkan rahmat yang melimpah bagi pasangan yang bersangkutan”.
Bila memperhatikan rumusan saya tentang perkawinan maka dengan jelas sekali bahwa rumusan tersebut sangat dipengaruhi oleh agama yang saya peluk, dan hal itu saya kira jelas, karena bagi saya sebagai orang beragama antara perkawinan dan agama tidak dapat dipisahkan.

Perkawinan dari perspektif Katolik

Bila kita membuka Kitab Suci Perjanjian Lama pada halaman-halaman yang pertama maka kita sudah bisa menemukan teks-teks yang memperlihatkan bahwa perkawinan merupakan suatu kenyataan yang luhur karena diberkati oleh Allah sendiri (lihat Kejadian 1, 27-28). Selain daripada itu perkawinan juga dilihat sebagai suatu persekutuan yang begitu erat antara suami dan isteri (lihat Kejadian 2, 24-25). Lebih lanjut bila kita membuka Kitab Tobit maka pada bab 6 - 8 dinyatakan bahwa Allah yang menjadi perencana perkawinan antara Tobias dan Sarah, Allahlah yang menjodohkan mereka berdua. Begitu pula bila kita membaca Kitab Maleakhi bab 2 maka dinyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian di mana Allah sendiri menjadi saksinya. Sehubungan dengan Kitab Maleakhi maka kita juga menemukan adanya penolakan terhadapan perceraian dan perkawinan beda agama, karena dianggap tidak sesuai dengan keluhuran perkawinan. Dalam Kitab Hosea bab 1-3 dilukiskan secara indah sekali hubungan cintakasih antara suami dan isteri. Betapa tidak, hubungan suami dan isteri melambangkan hubungan Allah dan UmatNya.
Selanjutnya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru maka dalam Injil Markus bab 10 yang paralel dengan Injil Mateus bab 19, dengan jelas dinyatakan bahwa hubungan antara suami dan isteri merupakan suatu persekutuan yang erat sekali dan juga bahwa persekutuan itu bukanlah urusan manusia semata malainkan urusan Allah dan karena itu tidak boleh diceraikan. Injil Yohanes bab 2 dengan indah sekali melukiskan betapa Allah begitu memperhatikan dan menghargai perkawinan dan pestanya. Begitu pula dalam pandangan Paulus lewat surat-suratnya, di mana Paulus melihat perkawinan sebagai sesuatu yang baik (lihat 1 Kor. 7) dan bahwa hubungan suami – isteri melambangkan hubungan Kristus dengan JemaatNya (lihat Ef. 5), begitu pula dalam tradisi Gereja sebagaimana terungkap dalam Hukum Gereja kanon 1055 di mana dinyatakan bahwa perkawinan merupakan “perjanjian dengan mana laki-laki dan perempuan membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup ….. oleh Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen”. Maka perkawinan katolik bersifat monogami, tak terceraikan dan sakramental.
Selanjutnya dari perspektif Katolik perkawinan mempunyai beberapa tujuan penting, yaitu:
[1] membangun persekutuan hidup dan kasih yang
[2] terbuka pada keturunan, atau dengan perkataan lain mengabdi kepada
kehidupan,
[3] ikut serta dalam pembangunan masyarakat, dan
[4] mengambil bagian dalam Perutusan Gereja (FC 16-64).

Perkawinan antaragama

Tanpa menutup mata pada kenyataan bahwa ada perkawinan antaragama yang berhasil, dalam arti mencapai kebahagiaan, namun kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa banyak perkawinan antaragama yang tidak berhasil, biarpun telah banyak “biaya fisik, psikis, sosial dan ekonomi” yang dikorbankan sebagaimana telah dikorbankan pada saat akan melangsungkan perkawinan itu sendiri.
Gereja Katolik secara prinsipiil menolak perkawinan beda agama (Ulangan 7, 3-4; Nehemia, 13, 23-27, 2. Kor. 6, 14-15), namun dengan dispensasi dari Pimpinan Gereja maka perkawinan antaragama dapat dilaksanakan dengan syarat:
[1] diteguhkan secara sah;
[2] yang katolik berjanji untuk mendidik anak-anaknya secara katolik;
[3] yang tidak katolik berjanji untuk tidak menghalangi pasangannya dalam
melaksanakan kewajibannya sebagai orang katolik.
Bila agama tidak dilihat sekedar sebagai sehelai baju yang suatu saat akan dilepas dan ganti dengan baju lain maka anjuran yang paling bijaksana adalah tidak melakukan perkawinan antaragama. Lewat Kitab Suci menjadi jelas bahwa Allah tidak menghendaki perkawinan antar agama, biarpun berbeda namun itu tidak berarti harus ada “konflik”. Bila kita sadar bahwa kita berbeda dan lewat perbedaan itu kita bisa saling melengkapi maka tetap akan ada sinergi. Dengan demikian, bila ada orang yang setelah sadar akan adanya perbedaan, kesulitan dan hambatan dalam perkawinan antaragama tetap mengambil keputusan untuk melakukan perkawinan antaragama maka perlu secara terus menerus melakukan dialog iman, agar pasangan tersebut semakin dapat saling mengerti dan mau mengerti agama pasangannya.

Bogor, 29 Nopember 2000


Stanislaus Nugroho

Kesetaraan gender dan penghayatan iman kristiani

KESETARAAN GENDER DAN PENGHAYATAN IMAN KRISTIANI

Menjelang akhir bulan Juli 2000 yang baru lalu ada seorang ibu yang baru membangun hidup berkeluarga sekitar 16 tahun datang kepada saya untuk curhat. Selama 16 tahun hidup sebagai sepasang suami isteri telah dijalaninya dengan apa adanya, yang penting tidak berantem. Namun akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganggu hatinya, sesuatu yang mengganggu tersebut berawal dari hadirnya ibu tersebut dalam suatu seminar tentang keluarga, di mana salah seorang pembicaranya adalah penulis. Menurut si ibu penulis berucap bahwa berkeluarga berarti membangun suatu persekutuan lahir batin atas dasar cinta kasih antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sebagai suatu persekutuan maka kedua insan yang berlainan jenisnya itu bersekutu untuk membangun suatu kebersamaan, dalam segala aspek kehidupan pun dalam hal uang. Kata-kata “pun dalam hal uang” itulah yang mengganggu keterlenaan si ibu selama ini, si ibu menjadi bangun dari keterlenaannya. Penulis tergoda untuk tahu lebih banyak tentang pengalaman si ibu selama lebih kurang 16 tahun dalam mengelola keuangan keluarganya. Ternyata selama ini si suami berperan ganda, baik sebagai pencari uang maupun sebagai kasir, bahkan juga yang pergi belanja. Tugas si ibu hanya masak, itu pun sering tidak di makan karena si suami lebih senang jajan masakan Padang. Penulis lalu ingat akan suatu ungkapan dalam tradisi di mana penulis dibesarkan , yaitu tradisi Jawa, di mana tugas isteri adalah 3 M (masak, manak/melahirkan dan macak/berhias). Pola hidup seperti itu cukup banyak penulis jumpai dalam pendampingan keluarga, yang merupakan salah satu bentuk pelayanan yang penulis berikan kepada keluarga-keluarga yang membutuhkan pendampingan dalam perjalanannya membangun kebersamaan. Pengalaman ini bagi penulis bisa dirumuskan sebagai ketidakadilan ekonomis, bahkan ada teman yang mengatakan sebagai kekerasan ekonomis.
Pengalaman lain yang belum lama ini penulis alami adalah datangnya seorang ibu muda, yang kebetulan seorang aktivis Gereja, yang menyatakan niatnya untuk berpisah dengan suaminya, alasannya sudah tidak kuat dengan perilaku suaminya yang ringan tangan, suka memukul. Pengalaman seperti ini bukan barang langka, cukup banyak ditemui dalam kehidupan berumah tangga. Terus terang saja penulis merasa heran, apakah perilaku seperti ini juga merupakan ungkapan cinta, sebagaimana dinyatakan dalam upacara saling menerimakan sakramen perkawinan di depan pejabat Gereja dan umat. Pengalaman ini bisa dirumuskan sebagai ketidakadilan fisik atau kekerasan fisik.
Pengalaman lain adalah pengalaman seorang isteri yang oleh suaminya selalu diberi cap sebagai perempuan yang pemboros, pemalas, tidak tahu diri dan lain-lain. Sampai-sampai si isteri datang pada penulis untuk curhat. Pengalaman ini mengungkapkan adanya ketidakadilan atau kekerasan psikis, di mana cap-cap negatip dikenakan kepada seseorang, dalam hal ini isterinya sendiri. . Pertanyaan yang menarik, mengapa dalam kehidupan sehari-hari bisa kita temukan pengalaman-pengalaman yang memberi gambaran adanya ketidaksetaraan, entah yang bersifat ekonomis, fisik dan juga psikis?
Padahal Gereja Katolik menekankan bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup dan kasih suami-isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan oleh hukum-hukumnya, dibangun oleh janji perkawinan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali (GS art. 48). Ajaran Gereja Katolik sebagaimana dirumuskan dalam Gaudium et Spes tersebut jelas memberikan gambaran adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sehubungan dengan itu maka keluarga kristiani mempunyai misi (1) membentuk komunitas pribadi-pribadi, (2) mengabdi pada kehidupan, (3) ikut serta dalam pembanguan masyarakat, dan (4) mengambil bagian dalam peutusan Gereja (FC art. 16-64).
Bila kita mencoba membuka dan membaca Kitab Suci maka kita bisa menemukan teks yang jelas-jelas mendukung adanya kesetaraan (Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, …… menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka” Kej. 1.26-27), tetapi ada juga teks yang kurang mendukung kesetaraan (“…. perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat” ,1 Kor. 14. 34, bdk. 1 Tim. 2. 11-15) dan ada teks-teks yang bias, artinya bisa ditafsirkan secara positif tapi juga bisa ditafsirkan secara negatif (“…. DibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawanya kepada manusia itu …… Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki” Kej. 2. 22-23).
Richard Leonard dalam bukunya yang berjudul ‘Beloved Daughters. 100 Years of Papal Teaching on Women, 1995’ menarik kesimpulan sebagai berikut “terdapat kesenjangan antara peneguhan mengenai kesetaraan kaum perempuan dan kaum laki-laki sebagai citra begitu pula hak-hak pribadi yang penuh di satu pihak, dan di lain pihak mengenai panggilan kaum perempuan dalam Gereja. Letak perdebatan bukanlah mengenai pandangan mengenai keluhuran martabat perempuan, melainkan mengenai panggilan kaum perempuan”. Saya pikir kesimpulan dari Richard Leonard tersebut benar, Gereja mengakui keluhuran martabat perempuan, namun masih banyak di antara umat dan juga pejabat Gereja yang belum menghayatinya dengan pernuh dalam praktek sehari-hari.
Menurut banyak ahli kekerasan terhadap perempuan mempunyai awal dalam budaya patriarki - di mana perempuan hanya menjadi subordinan dan dengan demikian didominasi bahkan dideterminasi oleh laki-laki – dan budaya kiriarki, di mana laki-laki menjadi yang dipertuan, yang dinomor satukan, sedang perempuan menjadi pelayan. Budaya patriarki dan kiriarki dengan mudah kita temukan dalam keluarga, bahkan sampai sekarang. Budaya patriarki dan kiriarki inilah menumbuhkan perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks, tapi tidak selalu identik dengannya dan kemudian menciptakan ketidakadilan. Perbedaan dan ketidakadilan yang lahir dari budaya patriarki dan kiriarki inilah yang disebut sebagai perbedaan dan ketidakadilan gender, yang menurut J.B. Banawiratmo merupakan salah satu dari lima agenda mendesak yang perlu ditangani (empat yang lain adalah ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan hidup, disorientasi nilai, kepedulian untuk hidup menggereja baru yang dapat dipertanggungjawabkan).
Sebagai akhir dari tulisan ini maka saya ingin mengutip kidung Magnificat yang bisa kita temukan dalam Lk. 1. 45-55 “ Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku. Sebab Ia memperhatikan kerendahan hambaNya. Sesungguhnya mulai sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia. Karena yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan namaNya adalah kudus. Dan rahmatNya turun temurun atas orang yang takwa. Ia memperlihatkan kuasaNya dengan perbuatan tanganNya. Dan menceraiberaikan orang-orang yang congkak hatinya. Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah. Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa. Ia menolong Israel, hambaNya karena Ia mengingat rahmatNya seperti yang dijanjikanNya kepada nenek moyang kita kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya”.
Masalah yang perlu kita renungkan adalah “bila kita mendengar dan memperhatikankan kidung Magnificat tersebut, apakah gambaran kita tentang Bunda Maria yang lembut, keibuan sudah lengkap, apakah Bunda Maria bukannya orang yang revolusioner?”

Bogor, 20 Februari 2006


Stanislaus Nugroho

Dari Kesadaran Gender menuju Humanisasi

DARI KESADARAN GENDER MENUJU HUMANISASI

Lebih kurang pada tahun 1996 untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan istilah “penyadaran gender”. Biarpun pada awalnya saya merasa sedikit alergi namun setelah saya mencoba mendalaminya (dengan mengikuti pelatihan dan studi pribadi) maka saya merasa dibukakan mata akan salah satu bentuk ketidakadilan sosial (terutama yang berkaitan dengan aspek gender. Yang saya maksudkan dengan gender adalah semua hal yang dapat dipertukarkan antara ciri perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain) yang terjadi dalam masyarakat manusia, namun banyak di antara manusia sudah tidak menyadarinya sebagai ketidakadilan. Yang saya maksud dengan ketidakadilan sosial adalah ketidakadilan yang tidak mungkin diselesaikan oleh maksud baik seseorang atau sekelompok orang saja, mengingat ketidakadilan tersebut telah terstruktur sedemikian rupa sehingga setiap manusia baik sadar maupun tidak sadar terlibat di dalamnya. Dengan demikian untuk melakukan perubahan dibutuhkan kesadaran baru, kemauan yang sangat kuat dan usaha dari semua pihak yang terlibat di dalamnya, dengan perkataan lain terjadilah perubahan struktural, yang bisa dilakukan secara revolusioner atau evolusioner.
Sehubungan dengan itu maka sejak tahun 1998 saya mulai aktif dalam gerakan penyadaran Gender, dari aktivitas tersebut dan juga dari refleksi yang saya lakukan maka saya semakin yakin bahwa ketidakadilan gender yang terjadi saat ini merupakan hasil dari perjalanan panjang dari proses humanisasi yang tidak seimbang, atau dengan perkataan lain hasil dari proses pendidikan (dalam arti seluas-luasnya) yang salah kaprah. Maka menurut pendapat saya jalur yang paling tepat untuk dapat mengeliminir ketidakadilan jender tersebut adalah melalui proses pendidikan pula (pendekatan evolusioner). Memang, saya sadar bahwa jalur pendidikan membutuhkan waktu yang lama, oleh karena itu banyak orang merasa tidak sabar karenanya. Namun menurut saya tetap yang paling efektif dan yang lebih penting tidak menimbulkan alergi dan resistensi. Untuk itu kita perlu back to basic, yaitu keluarga. Keluarga merupakan wahana yang pertama dan utama dalam melakukan proses pendidikan. Menurut pendapat saya masalah utamanya adalah ”bagaimana caranya mempersiapkan keluarga-keluarga muda agar memiliki budaya dialog yang mantap dan sekaligus tidak bias gender”. Mengapa dialog? Dialog hanya mungkin antara dua orang yang berbeda namun setara. Selain daripada itu bagi saya keluarga merupakan benteng yang pertama dan yang terakhir dari tegaknya nilai-nilai manusia, seperti tanggungjawab, partisipasi, solidaritas, hormat, adil, peduli dan lain-lain, atau dengan perkataan lain keluarga merupakan wahana pendidikan yang pertama dan utama, oleh karena itu orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama. Masalah ini menjadi lebih rumit karena aspek ekonomis dalam kehidupan saat ini menjadi sangat dominan bahkan determinan. Ekonomi telah menjadi agama baru yang menjanjikan keselamatan sedang Tuhannya adalah uang (lihat De Nacht van Het Kapitaal karangan A. Th. Van Leeuwen, Nijmegen, 1984). Sehubungan dengan itu maka tidaklah terlalu mengherankan bila dewasa ini ada kecenderungan kuat tumbuhnya nilai-nilai yang berseberangan dengan nilai-nilai manusiawi, seperti superioritas, dominasi, determinasi dan lain-lain. Sehubungan dengan itu maka saya bersama beberapa teman mencoba mengembangkan pelatihan bagi keluarga muda yang kami beri nama “Membangun Budaya Keluarga Yang Mantap”, di mana selama 24 jam efektif kami berusaha menularkan beberapa konsep yang berkaitan erat dengan humanisasi dalam keluarga, yaitu: [1] persepsi kita tentang keluarga, sebagaimana dikatakan oleh John Powell “pada dasarnya seluruh hidup kita terbentuk oleh persepsi kita, yakni cara kita memandang sesuatu”. [2] menciptakan visi dan misi keluarga, visi dan misi keluarga merupakan arah dasar pembangunan keluarga oleh karena itu perlu disepakati bersama. [3] membangun sikap proaktif, sikap bertanggungjawab karena keputusan diambil berdasarkan kehendak bebas, hati nurani, kesadaran diri dan kreativitas. [4] Menentukan prioritas, kemampuan untuk memilih secara tepat. [5] Membangun sikap “jangan ada yang kalah”, sehingga tidak ada yang merasa terpinggirkan. [6] Membangun sikap mau mendengarkan, yang merupakan kunci komunikasi yang produktif. [7] Bersinergi, mensyukuri perbedaan, membangun semangat untuk saling melengkapi dan saling memperkaya karena kita sadar bahwa kita bukan super-human. [8] Menjadi manusia pembelajar (kita dipangil untuk menjadi sempurna sebagaimana BapaMu di surga sempurna adanya, bdk. Mt. 5: 48) melalui sesama kita baik laki-laki maupun perempuan.
Demikianlah refleksi singkat dan tindakan kongkret yang kami lakukan dalam usaha mengeliminir ketidakadilan gender. Bagi mereka yang berminat dapat menghubungi Komisi Keluarga Keuskupan Bogor, setiap hari Kamis dan Jum’at antara jam 09.00 – 12.00 di jl. A. Yani 31, Bogor (Stanislaus Nugroho, Komisi Keluarga Keuskupan Bogor).

Globalisasi, Globalisme dan Etik global

Globalisasi, Globalisme dan Etik Global
Stanislaus Nugroho, Unika Atmajaya, Jakarta

Kata-kata Kunci: Globalisasi, Globalisme dan Etik Global.

Hari Senin tanggal 15 September merupakan hari kelabu bagi keuangan global. Betapa tidak. Perusahaan sekuritas nomor empat di Amerika Serikat – Lehman Brothers – yang sudah berusia 158 tahun dan memiliki aset sebesar 639 miliar dollar AS menyatakan diri bangkrut. Sedang Merrill Lynch siap-siap diakuisisi oleh Bank of America. Begitu pula perusahaan asuransi American International Group (AIG) putus asa mencari modal. Apa yang terjadi di Amerika Serikat ternyata langsung berdampak di Indonesia. Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada tanggal 15 September di Bursa Efek Indonesia ditutup melemah 4,7% atau turun 84,8 poin menjadi 1719,25 .
Selanjutnya Kompas 17 September 2008 menurunkan berita utama Lehman menggoyang dunia. Sebagai perusahaan sekuritas nomor empat di Amerika Serikat bangkrutnya Lehman mempengaruhi banyak sekali simpul finansial di berbagai Negara dan membuat risiko investasi tersebar dengan sangat cepat. Berkaitan dengan itu maka tidak mengherankan bila A. Tony Prasetiantono, seorang dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM dan seorang Chief Economist BNI menulis pada kolom Opini Ekonomi Global di Tepi Jurang. Dampak peristiwa tersebut sudah barang tentu tidak hanya kepada Indonesia tetapi juga ke Eropa dan Asia. Sebagaimana dapat kita baca di Kompas, 30 September 2008 bahwa bank-bank di Eropa mengalami krisis keuangan, sehingga pemerintah-pemerintah di Eropa harus turun tangan menolong dan mengatasi masalah perbankan tersebut.
Selanjutnya Kompas, 20 November 2008 menurunkan berita Resesi Memukul 4 Sektor. Aktivitas Ekonomi di India, Cina, Brasil dan Rusia menurun. 4 Sektor yang dimaksud adalah perdagangan, otomotif, penerbangan dan aliran investasi & bantuan internasional. Berita-berita semacam di atas sampai sekarang masih bisa kita baca di media massa. Salah satu yang paling meresahkan saat ini adalah pemutusan hubungan kerja. Lagi-lagi yang menjadi tumbal adalah kaum marginal.
Peristiwa-peristiwa tersebut di atas tentunya tidak bisa dilepaskan dari globalisasi (ekonomi) dan perilaku bisnis yang tidak etis (misalnya diabaikannya prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang sangat longgar, hal ini berkaitan erat dengan salah satu akar masalah yaitu apa yang disebut dengan subprime mortgage loan = pemberian kredit perumahan kepada debitur yang sebenarnya tidak layak). Berkaitan dengan itu maka tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba mengungkapkan hubungan antara globalisasi, globalisme dan perlunya etika global (sebagaimana yang diusahakan oleh Hans Kung dan kawan-kawan dengan etik globalnya).

Apa itu globalisasi dan dampaknya?
Istilah globalisasi belum menjadi populer pada awal dasarwarsa 60-an (bahkan belum dikenal), baru pada akhir dasawarsa 60-an sampai sekarang istilah globalisasi menjadi sangat populer, baik di kalangan akademisi, politisi maupun di kalangan masyarakat pada umumnya. Wacana tentang globalisasi bisa kita temukan di mana-mana, mulai dari mimbar akademis sampai warung kopi. Namun, anehnya sampai saat ini istilah tersebut belum memiliki konsep yang baku, ada banyak definisi yang ditawarkan. Misalnya R. Robertson dalam bukunya yang berjudul Globalization mencoba menawarkan definisi globalisasi sebagai “pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu keseluruhan”. Sedang Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul Consequenses of Modernity mencoba mendefinisikan globalisasi sebagai “intensifikasi relasi-relasi sosial seluas dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa di satu tempat ditentukan oleh peristiwa lain yang terjadi bermil-mil jauhnya dari situ dan sebaliknya”. Berkaitan dengan kedua definisi tersebut maka saya mencoba menyimpulkan bahwa globalisasi tidak lain adalah “suatu proses perubahan – yang dipicu dan didukung oleh kemajuan dan perkembangan yang luar biasa di bidang teknologi, khususnya teknologi informasi dan teknologi transportasi – yang berintensitas, berekstensitas dan bervelositas sangat tinggi sehingga menghasilkan dampak yang sangat luar biasa ke hampir seluruh pelosok-pelosok dunia dan merasuki hampir seluruh bidang-bidang kehidupan manusia, khususnya di bidang ekonomi, politik dan sosial budaya”.
Namun – bagi saya – yang lebih menarik adalah adanya diskusi yang cukup seru di antara mereka yang skeptis dengan mereka yang antusias globalisasi itu sendiri. Paul Hirst dan Graham Thompson melalui bukunya dengan tegas menyatakan bahwa globalisasi tidak lebih hanya merupakan mitos atau paling-paling merupakan suatu kelanjutan dari suatu tren yang sudah lama mapan, dengan pendapatnya tersebut maka mereka adalah wakil dari pihak yang skeptis tentang globalisasi. Pendapat mereka tidak terlalu salah, karena sejak abad ke 15 – tepatnya tahun 1497 – Vasco da Gama sudah mulai proses globalisasi. Namun ada faktor yang membedakan anatara globalisasi pada abad 15 dengan globalisasi saat ini, yaitu faktor kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan transportasi. Di lain pihak Martin Wolf melihat globalisasi sebagai suatu proses menuju kesejahteraan karena membawa manfaat yang sangat besar bagi manusia. Untuk mendukung pendapatnya tersebut maka Wolf mengacu pada dua negara besar di Asia, yaitu Cina dan India. Sejak Cina dan India membuka diri dan ikut serta dalam proses globalisasi maka kedua negara tersebut mengalami kemajuan yang luar biasa. Cina sekarang sering disebut sebagai ‘raksasa yang sudah bangun dari tidurnya’. Pendapat Wolf tidak dapat disangkal, biarpun Wolf lupa pada kenyataan lain yaitu globalisasi saat ini menciptakan kesenjangan yang luar biasa antara negara-negara berkembang dengan Negara-negara yang sedang berkembang.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila Joseph E. Stiglitz melalui bukunya berpendapat bahwa globalisasi memiliki 2 wajah. Wajah yang pertama menampilkan harapan besar akan terciptanya kemakmuran bagi seluruh umat manusia. Wajah kedua menampilkan keprihatinan yang mendalam sebagaimana dikutip oleh Stiglitz dari laporan World Commission on the Social Dimension of Globalization, A Fair Globalization: Creating Opportunities for All, Jenewa: International Labour Office, 2004, halaman 10 sebagai berikut “Proses globalisasi yang sedang berjalan memicu suatu kondisi yang timpang , baik di negara maju maupun negara berkembang. Kemakmuran sedang digalakkan, namun masih terlalu banyak negara maupun masyarakat yang tidak ikut merasakannya. Mereka hampir tidak memiliki hak suara dalam proses (globalisasi) tersebut. Dari kacamata mayoritas masyarakat, pria maupun wanita, globalisasi tidak memenuhi aspirasi mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Sebagian besar mereka hidup sebagai ‘kaum terbuang’ dalam sektor ekonomi informasi tanpa hak-hak formal di negara-negara miskin, mencari nafkah tanpa jaminan keselamatan, dan menjadi kaum marjinal dalam perekonomian global. Bahkan di negara-negara makmur secara ekonomi, masih ada sebagian pekerja dan kelompok masyarakat yang mengalami kesulitan akibat pengaruh globalisasi. Sementara itu, revolusi komunikasi memperkuat kesadaran akan besarnya kesenjangan tersebut ….. ketimpangan global ini tidak dapat diterima secara moral dan tak akan bertahan secara politis”. Berkaitan dengan itu maka World Commission on the Social Dimension mengemukakan lima masalah yang harus diperhatikan yaitu:
1. Aturan main globalisasi tidak adil, dirancang secara khusus untuk menguntungkan negara industri maju. Kenyataannya, dewasa ini beberapa perubahan sangat tidak adil sehingga membuat negara-negara miskin menjadi makin terpuruk.
2. Globalisasi mendahulukan nilai-nilai kebendaan di atas nilai-nilai lain, seperti lingkungan dan kehidupan itu sendiri.
3. Cara pengelolaan globalisasi telah mencabut sebagian besar kedaulatan negara-negara berkembang, termasuk kemampuan membuat keputusan-keputusan di bidang-bidang penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Hal ini tentu saja memperlemah demokrasi.
4. Sementara para pendukung globalisasi mengklaim bahwa setiap orang akan mendapat keuntungan secara ekonomi, terdapat banyak bukti yang menunjukkan banyak pihak yang dirugikan, baik di negara maju maupun berkembang.
5. Barangkali yang terpenting, sistem ekonomi yang dipaksakan (pada negara-negara berkembang), bahkan untuk beberapa kasus terlalu dipaksakan, kurang tepat dan seringkali sangat merusak. Globalisasi seharusnya bukan merupakan Amerikanisasi dalam hal kebijakan ekonomi maupun budaya, tetapi memang hal itulah yang sering terjadi. Kondisi demikianlah yang pada akhirnya menimbulkan kemarahan.

Globalisme = Ideologi Pasar?
Bagi Manfred Steger globalisasi ekonomi sebagaimana berlangsung saat ini dilatarbelakangi oleh neoliberalisme. Apa itu neoliberalisme? Bagi I. Wibowo, neoliberalisme adalah suatu ideologi pemujaan pasar (= fundamentalisme pasar) yang bukan hanya mengenai produksi, distribusi dan konsumsi yang tunduk pada hokum pasar, melainkan mengenai seluruh kehidupan . Maksudnya neoliberalisme percaya bahwa kesejahteraan umat manusia akan dicapai bila kita memprioritaskan pertumbuhan ekonomi; pentingnya perdagangan bebas untuk merangsang pertumbuhan; pasar bebas yang tidak terbatas; pilihan individual; pemangkasan regulasi pemerintah; dan dukungan pada model pembangunan social yang evolusioner sesuai dengan pengalaman Barat yang diyakini dapat diterapkan di seluruh dunia, inilah kredo neoliberalisme . Dengan perkataan lain globalisme adalah ideologi pasar neoliberal yang mengurapi globalisasi dengan norma, makna dan nilai-nilai tertentu yang menopang perwujudan masyarakat global yang berdasar pada prinsip-prinsip pasar. Menurut Steger ada lima klaim utama yang diajukan oleh globalisme, yaitu:
1. Globalisasi adalah liberalisasi dan integrasi pasar
Bagi kaum neoliberalis pasar akan bekerja secara otomatis (= self regulating market), dengan perkataan lain hasil interaksi pasar bukanlah sesuatu yang disengaja atau direkayasa, tetapi merupakan hasil dari kerja ‘tangan yang tak terlihat’. Selain daripada itu kaum neoliberalis juga berpendapat bahwa politik dan ekonomi merupakan dua wilayah yang terpisah, atau dengan perkataan lain ekonomi dipahami bersifat apolitis. Berkaitan dengan itu maka Steger mengutip tulisan Thomas Friedman dalam bukunya yang berjudul The Lexus and The Olive Tree: Understanding Globalization sebagai berikut “Gagasan pendorong dibalik globalisasi adalah kapitalisme pasar bebas – semakin anda biarkan kekuatan pasar untuk berkuasa dan semakin anda membuka perekonomian anda pada kompetisi dan perdagangan bebas, maka akan semakin efisien perekonomian anda. Globalisasi berarti penyebaran kapitalisme pasar bebas ke semua Negara di dunia. Karena itu globalisasi juga memiliki perangkat aturan ekonominya sendiri – aturan-aturan seputar pembukaan, deregulasi dan privatisasi perekonomian untuk menjadikannya lebih kompetitif dan menarik bagi investasi asing”.
2. Globalisasi adalah sesuatu yang tak terelakkan, begitulah keyakinan bebeberapa tokoh, di antaranya sebagaimana dikutip oleh Steger, seperti “Globalisasi adalah elemen kehidupan kita yang tidak bisa dielakkan. Tidak seperti kita bisa mencegah ombak membentur pantai, globalisasi tidak lagi bisa dihentikan. Argumen yang mendukung liberalisasi perdagangan dan pasar terbuka sangat kuat – argument-argumen itu dibuat oleh banyak di antara kalian dan kita tidak boleh takut untuk berhadapan dengan mereka yang tidak sependapat” (Eizenstat, wakil menteri dalam pemerintahan Clinton)
Globalisasi sangat sulit untuk dibendung sebab ia didorong oleh aspirasi manusia yang amat kuat untuk mendapatkan standar hidup yang lebih baik dan juga oleh teknologi-teknologi yang sangat kuat yang semakin mengintegrasikan kita, hari demi hari, suka atau tidak suka (Thomas Friedman)
3. Tak seorangpun memegang kendali atas globalisasi, kecuali pasar dan teknologilah yang memegang kendali.
4. Globalisasi menguntungkan semua orang
Pada pertemuan puncak G7 1996 di Lyon, Perancis, para pemimpin Negara dan pemerintahan tujuh Negara maju menyampaikan komunike yang mengandung kalimat berikut: “Pertumbuhan dan kemajuan ekonomi di dunia yang interdependen dewasa ini berkaitan erat dengan proses globalisasi. Globalisasi memberikan peluang yang sangat besar bagi masa depan, tidak hanya bagi negara-negara kita, namun juga bagi semua Negara lain. Aspek-aspek positifnya meliputi ekspansi investasi dan perdagangan yang belum pernah terjadi sebelumnya; pembukaan perdagangan internasional di wilayah paling padat dan berbagai peluang bagi lebih banyak negara berkembang untuk memperbaiki standar hidup mereka; penyebaran informasi yang kian cepat, inovasi teknologi, dan menjamurnya lapangan kerja dengan tenaga yang terlatih. Karakter globalisasi ini telah melahirkan perluasan kekayaan dan kemakmuran yang luar biasa di dunia. Karena itu kami yakin bahwa proses globalisasi adalah sumber harapan bagi masa depan”.
5. Globalisasi meningkatkan penyebaran demokrasi di seluruh dunia
Dalam kaitan dengan klaim yang ke lima ini Steger mengutip pernyataan Francis Fukuyama bahwa “tingkat perkembangan ekonomi yang dihasilkan globalisasi sangat kondusif bagi terciptanya masyarakat sipil dan kelas menengah yang kuat. Kelas menengah yang kuat dan struktur masyarakat inilah yang akan mendorong demokrasi”. Selanjutnya Steger juga mengutip pernyataan Hillary Clinton kepada public Polandia (1999) bahwa “Pilihan pada jalan demokrasi, pasar bebas dan kebebasan membutuhkan visi, keberanian dan kepemimpinan moral yang hebat. Sepuluh tahun silam, hal itu bukanlah pilihan yang memungkinkan, dan tidak mudah. Tapi saat ini di banak Negara seperti kalian tak ada lagi keraguan bahwa jalan pasar bebas dan demokrasi adalah pilihan yang tepat”.
Akhirnya Steger berpendapat bahwa dengan “lima klaim globalisasi tersebut di atas menunjukkan bahwa globalisme cukup komprehensif dan sistematis untuk dianggap sebagai ideologi …. Ia menyediakan perekat kultural dan konseptual yang mempertahankan kekuasaan politik dan sosial elit-elit neoliberal di segala penjuru dunia. …. Namum tidak berarti bahwa ideologi ini menikmati dominasi ideologis yang tanpa tentangan” . Maka bagi Steger “memahami globalisasi tidak cukup hanya dengan mendiskusikan tentang proses-proses material obyektif yang berada di luar sana, melainkan harus mendiskusikan aspek normatif dan ideologis yang merupakan bagian dari proses-proses sosial dan ekonomi” . Lebih-lebih dengan terjadinya krisis finansial global akhir-akhir ini. Persoalannya – terlepas dari persoalan teknis ekonomis, yang tidak akan dibahas pada kesempatan ini – apa penyebab ketidakstabilan globalisasi dan globalisme saat ini?

Etik global sebuah jawaban atas pertanyaan di atas?
Etik global lahir dari suatu keprihatinan mendalam atas situasi dan kondisi dunia saat ini. “Dunia ada dalam penderitaan yang mendalam” (The world is in agony) begitulah kalimat pertama yang membuka deklarasi tentang etik global , hasil dari pertemuan Parlemen Agama-agama Dunia yang berlangsung dari tanggal 28 Agustus sampai 5 September 1993 yang lalu di Chaicago, Amerika Serikat. Penderitaan yang dialami oleh dunia menjadi sangat nyata dalam dua fakta yang paling menyakitkan, yaitu kemiskinan dan kerusakan ekosistem dunia. Selain daripada itu etik global juga lahir dari sebuah keyakinan bahwa dunia yang sedang menderita membutuhkan etika dunia, membutuhkan etik global.
Salah satu tokoh yang berada dibalik deklarasi tentang etik global adalah Hans Kung seorang teolog katolik dan Presiden Global Ethic Foundation di Tubingen, Jerman. Melalui bukunya Hans Kung mengungkapkan keyakinannya bahwa hanya dengan etik global maka dunia yang sakit bisa disembuhkan dan perdamaian akan tercipta. Berkaitan dengan itu maka Kung merumuskan keyakinannya sebagai berikut “tidak ada kehidupan manusiawi bersama tanpa sebuah etik dunia bagi bangsa-bangsa; tidak ada perdamaian di antara bangsa-bangsa tanpa perdamaian di antara agama-agama; tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog antar-agama” .
Sebenarnya apa yang dimaksud oleh Kung dengan etik global tersebut? Bagi Hans Kung etik global adalah “konsensus mendasar atas nilai-nilai, norma-norma dan sikap-sikap tertentu” (a minimal basic consensus on certain values, norms dan attitudes) . Sebagai dokumen maka etik global merupakan suatu usaha yang mau menanggapi kenyataan dunia dewasa ini yang sedang menderita. Untuk itu maka etik global mengacu pada empat komitmen, yaitu:
(1) Komitmen pada budaya tanpa kekerasan dan hormat pada kehidupan, kehidupan merupakan kata kunci, ini menjadi nyata dengan pernyataan yang berbunyi “Tidak ada peluang kehidupan bagi manusia tanpa perdamaian global” (There is no survival for humanity without global peace).
(2) Komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil, kita berkewajiban untuk membangun tatanan ekonomi yang adil dan mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik hendaknya memanfaatkannya demi melayani kemanusiaan, untuk itu kita perlu mengembangkan sikap tidak berlebihan dan kesederhanaan dan bukan kerakusan/keserakahan, karena “tidak ada perdamaian dunia tanpa keadilan global” (There is no global peace without global justice)
(3) Komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus, “tidak ada keadilan global tanpa rasa saling percaya dan kemanusiaan” (There is no global justice without truthfulness and humaneness) , dan
(4) Komitmen pada budaya kesetaraan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. Nilai kesetaraan, kerjasama (partnership) dan cintakasih menjadi kata kunci di sini. “Tidak ada kemanusiaan yang otentik tanpa sebuah kehidupan bersama dalam kerjasama” (There is no authentic humaneness without a living together in partnership)
Keempat komitmen tersebut bukan sama sekali baru dan itu sejak awal diakui dengan pernyataan “Kami mengakui bahwa kebenaran ini sudah dikenal, namun belum hidup dalam hati dan tindakan. Kami mengakui bahwa ada suatu norma yang tidak bisa diganggu gugat, berlaku umum bagi semua wilayah kehidupan, keluarga dan masyarakat, ras, bangsa dan agama. Bahwa sudah terdapat garis-garis petunjuk kuno bagi sikap manusia, dalam ajaran agama-agama dunia, yang merupakan syarat bagi tatanan dunia yang berkelanjutan” .
Akhirnya etik global menuntut saling ketergantungan dan tanggungjawab global, hal ini dinyatakan secara tegas dengan pernyataan “Kami mendeklarasikan: kami saling bergantung. Masing-masing dari kami bergantung kepada kebaikan semuanya, karenanya kami menghormati komunitas makhluk hidup, umat manusia, binatang, tumbuhan, dan bagi pemeliharaan bumi, udara, air dan tanah. Kami bertanggungjawab secara individual untuk semuayang kami lakukan. Semua keputusan, tindakan dan kegagalan kami dalam bertindak mempunyai konsekuensi” .



Penutup
Globalisasi sebagai proses perubahan saya pikir merupakan suatu keniscayaan, maka persoalannya bukan pro atau kontra globalisasi, melainkan bagaimana mengelola globalisasi berwajah manusiawi. Dalam kaitan ini maka globalisme yang tidak lain adalah ideologi yang memuja pasar, bahwa pendekatan pasar bisa menyelesaikan segala masalah manusia hendaknya dihadapi dengan sikap kritis. Dalam kaitan ini maka etik global memberikan sumbangan yang berarti, biarpun tidak memiliki kekuatan memaksa.


Bogor, 12 Januari 2009.

Kepustakaan
Robertson, R. 1992, Globalization, London: Sage.
Giddens, A. 1990, The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity.
Hirst, Paul & Graham Thompson, 1996, Globalization in Question, Cambridge: Polity Press.
Wolf, Martin, 2004, Why Globalization Works, Oxford: Tuttle-Mori Agency Co., Ltd.
Stiglitz, Joseph E., 2007, Making Globalization Work, diterjemahkan oleh Edrijani Azwaldi, Bandung: Mizan.
Steger, Manfred B., 2005, Globalism. The New Market Ideology, diterjemahkan oleh Heru Prasetia, Yogyakarta: Lafald Pustaka.
Wibowo, I. & Francis Wahono, 2003, Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka.
Kung, Hans & Karl-Josef Kuschel, 1999, Etik Global, diterjemahkan oleh Ahmad Murtajib, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kung, Hans, 1991, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic, New York: Crossroad.
Kung, Hans, 1997, A Global Ethic for Global Politics and Economics, London: SCM Press.

Membangun etos kerja yang efektif

MEMBANGUN ETOS KERJA YANG EFEKTIF

Pendahuluan
Sejak John Locke (1632-1704) pekerjaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Bagi Locke lewat pekerjaannya manusia melegitimasi miliknya. Lebih-lebih bagi Locke milik merupakan salah satu dari tiga hak kodrati yang dimiliki manusia, dua lainnya adalah kehidupan dan kebebasan. Selanjutnya Adam Smith (1723-1790) beranggapan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari kerja manusia. Kemudian Hegel (1770-1831) mengembangkan suatu filsafat tentang pekerjaan yang nantinya akan menjadi titik tolak bagi filsafat tentang pekerjaan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Sebelum itu pekerjaan kurang mendapat perhatian bahkan dianggap rendah. Dewasa ini pekerjaan merupakan suatu gejala yang biasa, bahkan bisa dikatakan bahwa bekerja merupakan sesuatu yang khas manusiawi. Dewasa ini orang harus mempersiapkan diri bertahun-tahun dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit agar mendapat pekerjaan yang layak. Oleh karena itu ada baiknya bila kita merenungkan sejenak gejala manusiawi ini, agar kita semakin menyadari apa yang kita lakukan selama lebih kurang 10 jam per hari.

Apa tujuan kita bekerja?
Mengawali renungan ini maka ada baiknya bila kita mencoba menjawab pertanyaan tersebut di atas. Pada umumnya secara spontan kita akan menjawab bahwa kita bekerja agar mendapat uang? Jawaban ini tentunya tidak salah, namun apakah jawaban seperti ini sudah cukup memadai. Sebagai tujuan antara, kita harus menjawab secara afirmatif, namun pasti bukan sebagai tujuan akhir (bila kita meminjam istilah yang dipakai Aristoteles untuk membedakan antara tujuan antara dan tujuan akhir). Tujuan antara adalah tujuan yang dikejar bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi batu loncatan ke tujuan lebih lanjut, sedang tujuan akhir adalah tujuan yang dikejar demi dirinya sendiri.
Namun dewasa ini terdapat kecenderungan kuat bahwa mencari uang merupakan tujuan akhir (uang harus dimengerti sebagai harta/kekayaan). Dewasa ini orang cenderung melakukan segala hal agar dapat mengakumulasi harta/kekayaan (lihat lampiran 1). Bahkan sering dengan sedikit bercanda saya berkata bahwa sila pertama dari Pancasila kita yang berbunyi “Ketuhanan yang mahaesa” telah bermetamorfosa menjadi “keuangan yang mahakuasa”. Lalu, apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari bekerja itu? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut alangkah baiknya bila kita menjawab pertanyaan yang lebih mendasar yaitu “apa itu pekerjaan?” Pekerjaan merupakan sesuatu yang sangat serius, karena bekerja merupakan suatu kegiatan yang seharusnya betul-betul direncanakan agar dapat mencapai suatu tujuan tertentu. Selain daripada itu pekerjaan merupakan suatu kegiatan yang serius karena melibatkan seluruh aspek kemanusiaan kita, baik itu sikap, penalaran, emosi, bakat, ketrampilan, pengalaman, pengetahuan maupun kemauan kita. Dalam kaitan ini ada baiknya bila kita sedikit merenungkan apa yang dikatakan oleh Konfusius, ketika ada orang bertanya kepada Konfusius, “apa yang paling mengherankan anda mengenai kemanusiaan?” Jawaban Konfusius adalah sebagai berikut “manusia kehilangan kesehatannya untuk menghasilkan uang dan kemudian kehilangan uang mereka untuk mengembalikan kesehatannya. Dengan khawatir mereka memikirkan mengenai masa depan, namun mereka melupakan masa kini, seolah-olah mereka tidak hidup untuk masa kini maupun untuk masa depan dan mereka hidup seolah-olah mereka tidak akan pernah mati, dan mereka mati seolah-olah mereka belum pernah hidup”.
Bila bekerja merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seluruh kemanusiaan kita maka pasti tujuan akhir dari bekerja bukanlah uang, melainkan bertumbuhkembangnya kemanusiaan kita, atau kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Abraham Maslow maka tujuan bekerja adalah agar manusia bisa mengaktualisasikan dirinya secara utuh dengan mengelola bumi dan segala isinya secara bijaksana, agar hidupnya menjadi “fully human, fully alive” sebagaimana diimpikan oleh John Powell. (lihat lampiran 2). Masalahnya bagaimana impian tersebut dapat direalisasikan? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita perlu membangun etos kerja yang efektif, sebagaimana ditawarkan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People.

Membangun etos kerja
Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) maka kita menemukan penjelasan tentang etos sebagai “pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial”. Sedang bila kita membuka kamus Concise Oxford Dictionary maka kita menemukan penjelasan tentang ethos sebagai “characteristic spirit of community, people or system”. Sedang bagi Clifford Geertz dalam artikelnya yang berjudul “Ethos, world view and the analysis of sacred symbols” kita menemukan penjelasan sebagai berikut “ethos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup”. Dengan demikian maka etos merupakan semangat yang khas yang dihidupi oleh seseorang, sekelompok orang atau bangsa. Selain daripada itu bagi Clifford Geertz etos juga memiliki aspek evaluatif, dengan demikian bersifat penilaian.
Selanjutnya bagaimana kita bisa memiliki etos kerja tertentu? Dalam kaitan ini maka saya ingin menawarkan apa yang dikembangkan oleh Stephen R. Covey melalui bukunya yang berjudul “The Seven Habits of highly effective people”. Mengapa saya memilih Covey? Bagi saya Covey sangat serius, dia melakukan studi kepustakaan dengan rentang wakyu yang sangat panjang tentang pertanyaan yang berbunyi “Bagaimana mencapai hidup yang berhasil?” Selain daripada itu Covey secara “populer” mencoba untuk mengaplikasikan apa yang secara filosofis dibuat oleh Alasdair MacIntyre, yaitu kembali ke keutamaan, sebagaimana dipikirkan oleh Aristoteles sekitar 2500 tahun yang lalu. Secara tradisional (sejak Sokrates dan Plato) kita mengenal ada empat keutamaan dasar yaitu, kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri dan keadilan. Covey mencoba menterjemahkan keempat keutamaan tersebut menjadi tujuh kebiasaan (keutamaan merupakan suatu disposisi batin seseorang yang bersifat relatif tetap dan merupakan hasil dari suatu proses pembiasaan diri/hasil latihan yang ajeg), yaitu jadilah proaktif di mana orang bertindak karena didorong oleh nilai-nilai yang sudah dipertimbangkan dengan cermat, diseleksi dan dihati; mulailah tujuan akhir yang ada dalam pikiran anda ayau dengan perkataan lain tetapkanlah apa yang menjadi visi hidup anda; dahulukan yang utama artinya kita bisa menentukan apa yang prioritas dalam hidup kita ini; berpikir menang-menang atau dengan perkataan lain berusahalah sedemikian rupa sehingga tidak ada pihak yang kalah; berusahalah untuk mengerti lebih dulu atau secara sederhana belajarlah mendengarkan/mendengar dengan hati; wujudkanlah sinergi atau wujudkanlah nilai tambah dan yang terakhir asahlah gergajimu atau jadilah manusia pembelajar. Dalam studinya Covey menemukan bahwa selama kurun waktu 150 tahun pertama sejak bangsa Amerika merdeka (1776) maka etika keutamaan lebih diutamakan, di mana kualitas batin serta disiplin diri (yang sorotan majalah Warta edisi no. 12 Th. XIV/II/2003) menjadi sangat penting. Oleh karena itu nilai-nilai seperti kesederhanaan, ketulusan, kerendahan hati, keberanian, integritas, kejujuran, kerajinan dan hidup hemat sangat ditekankan. Namun sejak tahun 1930 an sampai sekarang bukan lagi keutamaan yang diutamakan melainkan tehnik-tehnik mempengaruhi orang lain, di mana pembinaan kehidupan sosial dan karir seseorang lebih diutamakan dan dipisahkan dari pembinaan keutamaan. Dengan lain perkataan terjadi pergeseran dari etika keutamaan ke etika kepribadian. Bagi etika kepribadian “keberhasilan hanyalah sekadar fungsi dari popularitas kita di masyarakat”. Dengan demikian tidaklah mengherankan bila berakibat bahwa banyak orang dewasa ini bagaikan pohon tanpa akar yang kuat sehingga mudah terombang-ambing oleh mode dan godaan yang seolah-olah menawarkan sesuatu yang sangat menguntungkan.

Kembali ke etika keutamaan
Keutamaan merupakan hasil dari pembiasaan. Bagi Covey kebiasaan hidup efektif dibangun di atas prinsip-prinsip kebenaran abadi, a.l. hukum panen, yang berbunyi “kita akan memanen apa yang kita tanam”. Marilah kita renungkan bersama sebuah peribahasa Tiongkok kuno yang berbunyi “tanamlah pikiran, panenlah perbuatan; tanamlah perbuatan, panenlah kebiasaan; tanamlah kebiasaan, panenlah keutamaan; tanamlah keutamaan, maka anda akan memanen nasib anda sendiri”.
Manusia lahir sebagai bayi yang tak berdaya, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menjadi matang dan dewasa. Dimensi fisik, mental, emosi, sosial maupun spiritual kita berkembang bersamaan, meskipun tidak perlu sama cepatnya. Kematangan diri seseorang merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Namun secara garis besar proses kematangan diri dapat digambarkan dalam tiga tahap, berawal dari tahap ketergantungan, tumbuh menjadi tahap kemandirian dan akan bermuara pada tahap kesalingtergantungan. Dalam saling ketergantungan manusia mengalami kekayaan perasaan dan keintiman hubungan antar-pribadi di samping hasil nyata dari suatu kegotongan royongan antar manusia. Saling ketergantungan melengkapi proses kematangan diri karena memungkinkan kita menjadi orang yang efektif (efektif tidak hanya berarti perolehan hasil (yang memang penting) melainkan kemampuan kita untuk memelihara serta meningkatkan mutu aset kita, seperti barang-barang, uang dan terutama kemanusiaan kita) dan sekaligus merasa bahagia dalam berbagai segi kehidupan kita.
Ketujuh kebiasaan yang ditawarkan oleh Covey merupakan rangkaian keutamaan yang tumbuh secara bertahap, dan sekaligus menampilkan aspek kemenangan pribadi dan kemenangan publik. Kebiasaan pertama, kedua dan ketiga mengantar kita ke gerbang kemenangan pribadi, maksudnya memungkinkan kita mencapai kedaulatan dan kepemimpinan diri yang efektif. Karena dengan kebiasaan pertama “jadilah proaktif” maka kita menjadi bertanggungjawab karena sadar bahwa kita senantiasa bebas untuk memilih dan menentukan diri kita sendiri, dan dengan kebiasaan ini kita mampu membentuk visi atau wawasan pribadi apa yang menjadi cita-cita hidup kita. Dengan kebiasaan kedua “memulai dengan tujuan akhir yang ada dalam pikiran kita” atau memiliki visi maka kita mampu menentukan tujuan akhir hidup kita, dan dengan demikian kita mampu memimpin/mengarahkan diri kita sendiri. Sedang dengan kebiasaan ketiga “dahulukan yang utama” atau mampu menentukan prioritas maka kita melaksanakan berbagai aktivitas menurut urutan kepentingannya dan bukan berdasarkan urutan kegentingannya, dengan demikian kita mampu mengelola kehidupan pribadi.
Kebiasaan keempat, kelima dan keenam membimbing kita menuju pintu gerbang kemenangan publik, artinya kemenangan yang memungkinkan kita meraih keberhasilan dalam kerangka kerja sama dengan orang lain. Kebiasaan keempat “berpikir menang-menang” atau berpikir “jangan ada yang kalah” membuat kita selalu mencari alternatif yang memungkinkan semua pihak yang terkait dengan kita tidak ada yang kalah dan memperoleh manfaat, dengan demikian kita mampu memimpin orang lain. Kebiasaan kelima “berusahalah untuk mengerti dulu” atau sikap mendengarkan membuat kita selalu berusaha untuk mengerti orang lain dengan penuh perhatian, dan demikian kita mampu berkomunikasi secara efektif. Sedang kebiasaan keenam “wujudkanlah sinergi” atau menciptakan nilai tambah membuat kita berusaha selalu kreatif dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada di antara kita dengan orang lain, dan dengan demikian kita mampu menciptakan kerjasama yang kreatif.
Akhirnya kebiasaan ketujuh “asahlah gergajimu” atau jadilah manusia pembelajar merupakan suatu kebiasaan yang melingkupi keenam kebiasaan terdahulu. Kebiasaan ini tidak lain adalah aktivitas sederhana yang kita lakukan setiap hari yang dapat menanamkan prinsip-prinsip efektivitas ke dalam hidup kita. Dengan ini maka kita mengalami kemenangan atas diri sendiri yang sesungguhnya dan menjadi kunci perubahan yang kita kendalikan sendiri. Oleh karena itu membangun etos kerja tidak lain adalah membangun kepemimpinan yang visioner, di mana kita mampu memimpin diri sendiri, mampu memimpin orang lain dan bersama-bersama menuju ke masa depan, menuju dunia yang baru.
Keutamaan adalah pembiasaan, maka bila kita ingin menghayati apa yang telah kita renungkan selama ini maka tidak ada jalan lain marilah kita mulai melaksanakan pekerjaan rumah kita ini dengan tekun dan ulet dan disiplin, siap untuk menjadi murid (disciple) dari dan dalam kehidupan ini.

Bogor, 28 April 2003

Stanislaus Nugroho

Beberapa catatan tentang neoliberalisme

Beberapa catatan tentang Neoliberalisme
Drs. Stanislaus Nugroho, M.Hum.

Pendahuluan
Pada abad 18 lahirlah liberalisme sebagai suatu ajaran tentang masyarakat, negara dan ekonomi yang menempatkan kebebasan sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan ini. Sebagai ajaran liberalisme sangat dipengaruhi oleh cita-cita zaman pencerahan, yaitu individualisme, rasionalisme dan deisme. Liberalisme memperjuangkan perkembangan dan kebahagiaan masing-masing individu, sedang kesejahteraan umum sekedar penjumlahan perkembangan dan kebahagiaan masing-masing individu. Liberalisme yakin setiap individu memiliki kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, karena kemampuan rasional yang dimilikinya. Akal budi individual menjadi hakim tertinggi dalam hal kebenaran dan moralitas. Liberalisme juga memiliki keyakinan bahwa setelah proses penciptaan selesai maka sudah tidak ada lagi penyelenggaraan ilahi, Allah menarik diri, Allah tidak lagi campur tangan dalam penyelenggaraan ciptaanNya.
Sebagai ajaran politik maka liberalisme memperjuangkan adanya negara hukum, konstitusi negara, kesamaan setiap orang di depan hukum, demokratisasi dan lain-lain. Dewasa ini apa yang diperjuangkan oleh liberalisme telah berhasil dicapai, hampir semua negara di dunia saat ini telah menerapkan ajaran liberalisme ini.
Sebagai ajaran di bidang ekonomi, maka liberalisme sebenarnya ingin menerapkan etika yang bersifat utilitaristis, mengejar manfaat sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang, untuk mencapainya maka liberalisme memperjuangkan kebebasan berusaha, dan karenanya liberalisme berhasil menghapus feodalisme namun sekaligus menciptakan kapitalisme yang merupakan suatu sistem perekonomian yang mendasarkan diri pada pengakuan akan hak milik perorangan dan kebebasan berusaha. Negara tidak perlu ikut campur dalam kegiatan ekonomi, kegiatan ekonomi melandaskan dirinya semata-mata pada mekanisme pasar.

Neoliberalisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari liberalisme
Akhir-akhir ini istilah neoliberalisme menjadi sangat populer, yaitu sejak awal dekade 1990-an. Neoliberalisme bagaikan siluman yang telah berhasil menyusup ke hampir segala aspek kehidupan kita tanpa kita sadar atau sempat memikirkannya. Pada awal abad ke 20 negara-negara maju (Eropa dan Amerika) mulai menyadari bahwa kapitalisme telah membawa dampak yang kurang baik, yaitu adanya ketidakadilan distributif. Oleh karena itu negara-negara maju mulai melakukan intervensi sosial, dengan mulai membangun sistem penjaminan dan kesejahteraan sosial (welfare state), kesadaran ini dipicu oleh keruntuhan pasar saham Wall Street, terjadinya depresi besar dan akibat-akibat perang dunia II serta usaha untuk meredam ancaman komunisme. Hal ini berlangsung sampai awal dekade 1970-an.
Pada 1973 muncul sebuah kartel para produsen minyak dunia (OPEC) yang menyebabkan harga minyak melambung, akibatnya harga-harga dan upah meningkat serta akhirnya terjadi resesi ekonomi, pengangguran, di sejumlah negara terjadi tingkat inflasi di atas 20%, dunia ketiga tidak mampu membayar utangnya. Berkaitan dengan itu maka perlu cara baru, cara lama sudah gagal. Cara baru yang akan ditempuh adalah melakukan pembatasan fiskal dan kontrol atas money supply serta memerangi inflasi dan mengendalikan sektor publik. Diilhami oleh Friedrich August von Hayek dan Milton Friedman yang memiliki keyakinan bahwa pasar bebas mampu mengalokasikan barang dan jasa secara lebih efektif dibandingkan negara dan bahwa usaha-usaha negara dalam memerangi kegagalan pasar lebih mendatangkan kerugian daripada keuntungan, maka pada tahun 1979 Margareth Thatcher dan tahun 1980 Ronald Reagan memperjuangkan terjadinya pasar bebas. Berkat usaha dari Margareth Thatcher dan Ronald Reagan maka pada dekade 1990-an kapitalisme neoliberal/pasar bebas telah menjadi ideologi dunia yang dominan, di mana kepedulian pada keadilan sosial diganti oleh kepedulian pada bisnis, investasi, daya saing dan perdagangan bebas. Dengan perkataan lain tujuan full employment dan welfare state digantikan oleh usaha untuk menurunkan tingkat inflasi dan memangkas pengeluaran publik serta melakukan privatisasi. Fungsi negara terbatas hanya pada mengatur kontrak, menyediakan mata uang yang stabil dan memastikan bahwa pelaku pasar tidak mengalami distorsi .

Pendasaran filosofis terhadap neoliberalisme
Pada tahun 1947 Friedrich August von Hayek dan kawan-kawan membentuk The Mont Pelerin Society, mereka prihatin dengan munculnya kolektivisme yang melanda Eropa dalam bentuk komunisme dan fascisme. Sepuluh tahun sebelumnya Hayek menerbitkan buku yang berjudul Economics and Knowledge di mana Hayek menyatakan bahwa kapitalisme pasar bebas bukan sekadar bentukan sosial, melainkan suatu mekanisme alami untuk mengelola informasi. Tujuh tahun kemudian Hayek menerbitkan buku yang berjudul The Road to Serfdom, melalui buku ini Hayek mengeritik sosialisme dan segala bentuk ekonomi perencanaan yang terpusat. Di lain pihak Hayek membela kapitalisme pasar bebas karena memiliki keunggulan. Dengan membiarkan jutaan individu bereaksi secara individual terhadap harga pasar yang tercapai secara bebas, terjadilah optimalisasi alokasi modal, kreativitas manusia dan tenaga kerja dengan cara yang tidak mungkin ditiru oleh perencanaan terpusat secerdas apapun. Bagi neoliberalisme hakekat manusia adalah makhluk ekonomi (homo economicus), artinya cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomis merupakan satu-satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia. Oleh karena itu hubungan antar pribadi dan sosial harus dipahami dengan memanfaatkan konsep dan tolok ukur ekonomi, atau dengan perkataan lain prinsip ekonomi juga merupakan tolok ukur untuk mengevaluasi berbagai tindakan dan kebijakan pemerintah suatu negara. Dari hakekat manusia sebagai makhluk ekonomi lahirlah cara pandang dan cara berperilaku ekonomi.
Dengan demikian neoliberalisme merupakan proyek politik yang mau menjelaskan dan mendekati berbagai perkara dalam hidup bermasyarakat sebagai masalah ekonomi semata-mata. Atau dengan perkataan lain, neoliberalisme merupakan proyek politik yang melihat perkara sosial sebagai urusan individual, masalah social welfare sebagai masalah self-care.

Gagasan-gagasan pokok neoliberalisme
Bagi neoliberalisme, ekonomi merupakan kunci untuk memahami, mendekati dan memecahkan berbagai masalah kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Selain daripada itu bagi neoliberalisme arena hidup sosial telah digusur menjadi urusan individual, suatu gerakan individualisme yang ekstrim, maka terjadi pemindahan aturan-aturan dari arena sosial ke urusan personal. Bila pada jaman Adam Smith, pemilikan privat masih dianggap punyai fungsi sosial, yaitu untuk menyejahterakan seluruh masyarakat (ingat judul buku yang ditulis oleh Adam Smith adalah The Wealth of Nation). Kini pada jaman Milton Friedman, kepemilikan privat menjadi absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat, sebagaimana kita baca pernyataan Milton Friedman “The social responsibility of business is to increase its profits” (New York Times Magazine, 13-9-1970). Milton Friedman dan teman-temannya yang dikenal sebagai mazhab Chicago mengembangkan argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu lintas barang, jasa, modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun; optimalisasi itu juga akan terjadi bila barang, jasa dan modal dimiliki dan dikuasai oleh orang perorangan, yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi. Namun, apakah neoliberalisme sungguh membawa kemakmuran? Majalah The Independent yang terbit pada 18 Maret 2002 mengemukakan fakta sebaliknya, di mana 1,3 milyar manusia di bumi ini masih hidup dengan uang kurang dari $ 1, sementara 2,8 Milyar hidup dengan $ 2 per hari. Sedangkan seperlima penduduk bumi menikmati 80% dari pendapatan dunia. Selanjutnya The Economist yang terbit pada 10 -11-2001 mengungkapkan fakta bahwa “dari 1223 obat-obatan baru yang diproduksi antara 1975-1996, misalnya, hanya 13 jenis obat yang diciptakan untuk penyakit orang miskin di daerah tropis. Dalam tahun 1998, dari total 70 milyar dollar Amerika biaya riset perusahaan-perusahaan obat raksasa, hanya 300 juta dollar (0,43%) ditujukan bagi pengembangan vaksin AIDS, dan hanya 100 juta dollar (0,14%) bagi riset obat malaria. Sebagian besar biaya produksi dipakai untuk riset obat-obat kegemukan, kecantikan dan semcamnya”.

Beberapa faktor pemicu gelombang neoliberalisme
Yang pertama adanya revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi transportasi dan komunikasi, sehingga dunia menjadi makin “sempit” atau kalau meminjam istilah yang dipakai oleh Konichi Ohmae “the Borderless World”.
Yang kedua, munculnya organisasi-organisasi yang berfungsi sebagai surveillance system, seperti WTO, IMF dan World Bank. Organisasi-organisasi ini bertugas menjamin bahwa negara-negara di seluruh dunia patuh dalam menjalankan prinsip-prinsip pasar bebas dan perdagangan bebas.
Yang ketiga, munculnya perusahaan-perusahaan multinasional, yang bagi John Pilger seorang wartawan BBC, para MNC ini merupakan The New Rulers in the World.
Yang keempat, negara-negara kuat (umumnya negara-negara maju) memakai kekuatannya untuk ‘menaklukkan’ negara yang lebih lemah (umumnya negara-negara yang sedang berkembang) bukan dalam arti politis namun ekonomis.

Beberapa situasi dan kondisi ironis sehubungan dengan neoliberalisme
Yang pertama adalah dominasi dari perusahaan multinasional. Sebagai perusahaan swasta seharusnya mereka tunduk kepada otoritas politik di mana mereka bekerja, karena otoritas politik memiliki mandat dari rakyat, namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.
Yang kedua peran negara dewasa ini tidak lebih dari peran penjaga malam, yaitu menjaga ketertiban dan keamanan agar iklim bisnis menjadi kondusif.
Yang ketiga adalah berkaitan dengan inkonsistensi dalam melaksanakan perdagangan bebas dan pasar bebas. Lagu merdu tersebut hanya berlaku bagi negara-negara yang lemah secara ekonomi, sedang bagi negara-negara maju tetap membentengi diri dengan non-tariff-barriers maupun aneka macam subsidi khususnya di bidang pertanian.

Beberapa catatan etis sehubungan dengan neoliberalisme
Sehubungan dengan arus neoliberalisme (yang mengejawantah dalam Forum Ekonomi Dunia) tersebut telah muncul arus sebaliknya yaitu anti neoliberalisme, yang merupakan gerakan untuk menentang sistem ekonomi yang dikembangkan oleh neoliberalisme, yaitu sistem yang tidak berpihak pada mereka yang marginal. Gerakan (Forum Sosial Dunia ) yang menentang neoliberalisme makin banyak mendapat dukungan dari segala macam golongan dalam masyarakat dunia. Mereka menuntut penghapusan pekerja anak, pengenaan pajak korporasi yang lebih tinggi dan perbaikan gaji buruh. Namun, dalam hal ini belum banyak yang bisa dilakukan, bagaikan Daud melawan Goliat.
Secara etis Neoliberalisme ikut bertanggungjawab terhadap tiga masalah besar, yaitu:
1. Timbulnya kesenjangan sosial-ekonomi yang makin melebar antara yang kaya dan yang miskin ,
2. Muncullah pola hidup yang sangat konsumtif , dan
3. Kerusakan lingkungan hidup yang amat parah, bisnis telah melakukan eksploitasi sehabis-habisnya terhadap sumber daya alam dan akibatnya kerusakan lingkungan hidup, seperti terjadi proses gurunisasi .
Namun, di lain pihak sebenarnya di bidang bisnis dan ekonomi telah muncul gagasan yang menarik yaitu pendekatan stakeholders, yang melahirkan konsep “manfaat bagi stakeholders” di mana bisnis mulai memperhatikan kemaslahatan semua pihak yang terkait dengan bisnis yang bersangkutan; dan juga pendekatan yang disebut pembangunan berkelanjutan (= pembangunan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari generasi sekarang, tanpa membahayakan kesanggupan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri). Bila pendekatan-pendekatan ini sungguh dikembangkan sebagai gerakan moral maka ada harapan bahwa kesadaran akan tanggungjawab sosial korporasi makin meningkat dan dorongan untuk mengejar keuntungan pribadi semaksimal mungkin akan makin dapat dikurangi.


Bogor, 8 Februari 2005

Uang sebagai salah satu sarana komunikasi cinta dalam keluarga

UANG SEBAGAI SALAH SATU SARANA KOMUNIKASI CINTA DALAM KELUARGA
Stanislaus Nugroho
“Karena di mana hartamu berada,
di situ juga hatimu berada” (Mt. 6:21).

Pendahuluan
Pada tahun 1984 di Nijmegen telah terbit sebuah buku, yang awalnya merupakan sebuah disertasi, dengan judul De Nacht van Het Kapitaal dan ditulis oleh A. Th. van Leeuwen. Buku ini sangat menarik – sekurang-kurangnya untuk saya – betapa tidak. Leeuwen dalam bukunya menggambarkan bahwa dewasa ini telah muncul sebuah agama baru yang tidak lain adalah agama ekonomi. Agama ekonomi menjanjikan pekerjaan, kesejahteraan, sandang, pangan, papan, kebebasan dan keadilan bagi para pemeluknya. Kepercayaan kepada pasar bebas dan ekonomi global merupakan satu-satunya jalan keselamatan. Agama ekonomi hanya mengenal satu macam tata peribadatan, yang tidak lain adalah persaingan bebas. Dalam agama ekonomi yang menjadi tuhan tidak lain adalah uang. Uang hadir di mana-mana, menjadi perhatian dan pembicaraan setiap orang. Uang menguasai setiap jengkal kehidupan manusia dewasa ini. Uang menjadi tuhan, ini bukan kiasan melainkan suatu kenyataan, uang betul-betul ’mahakuasa’. Hal ini sudah pernah diramalkan oleh Karl Marx (1818 – 1883) lebih dari seratus tahun yang lalu, yaitu bahwa agama masyarakat modern yang telah kehilangan Tuhan adalah kapital.
Apa yang dikatakan oleh Leeuwen sulit untuk disangkal kebenarannya. Begitu kita membuka mata, maka pikiran kita sudah terpusat pada uang, seharian kita bekerja keras untuk memperoleh uang, malam hari kita juga masih berpikir tentang uang, maka tidaklah mengherankan bila kita mimpi juga masih tentang uang. Masalahnya adalah apa yang dijanjikan oleh agama ekonomi belum menjadi suatu kenyataan, dan kemungkinan besar tidak akan pernah menjadi kenyataan. Bahkan keprihatinan yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh seperti David Korten, William Greider, Will Hutton, Edward Luttwak, Noreena Hertz, Paul Krugman, sampai pemenang hadiah Nobel Ekonomi 2001, Joseph Stiglitz menyingkapkan kenyataan lain. Dunia tidak menjadi lebih makmur, apalagi adil .
Bahkan, dewasa ini demi uang orang menjadi sangat serakah (korupsi adalah gejala keserakahan yang paling nyata). Demi uang lahir mafia pembakar dan pengkapling hutan negara, demi uang lahir mafia pembuat skripsi, diploma dan surat ijin mengemudi yang asli tapi palsu.

Janganlah sarana hidup dijadikan jaminan hidup
Sub judul di atas merupakan salah satu peringatan yang diungkapkan oleh etika Stoa (lebih dari 2300 tahun yang lalu). Peringatan tersebut menjadi sangat relevan, uang sebenarnya adalah sekadar salah satu sarana hidup, namun sekarang ini telah dijadikan satu-satunya penjamin kehidupan. Logika ekonomi sebagaimana dikembangkan oleh kapitalisme global saat ini tidak lain adalah maksimalisasi keuntungan lewat efisiensi dan efektivitas dalam berbisnis. Logika maksimalisasi keuntungan mempengaruhi seluruh kegiatan manusia, baik dalam bidang produksi, distribusi maupun konsumsi. Akibatnya sangat jelas, di mana ekonomi sebagaimana tercermin dalam kegiatan bisnis telah menjadi salah satu penyebab timbulnya tiga permasalahan mendasar yaitu:
[1] terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang sangat memprihatinkan karena eksploitasi habis-habisan terhadap sumber daya alam;
[2] terjadinya kesenjangan sosial ekonomi yang sangat lebar, yang kaya semakin kaya sedang yang miskin semakin miskin ;
[3] dan terjadinya pola hidup yang sangat konsumtif . Bila Descartes (1596-1650) berujar ’Cogito ergo sum’ (saya berpikir maka saya ada), maka dewasa ini banyak orang berujar ’saya membeli maka saya ada’.
Dalam kaitan dengan persoalan-persoalan tersebut di atas maka menarik bahwa Sidang Parlemen Agama-Agama Dunia di Chicago 1993 yang lalu memberikan pernyataan sebagai berikut: “bahwa kaum muda sebaiknya sudah mulai dididik dalam keluarga dan sekolah; bahwa hak milik, betapa pun sedikitnya, terikat pada kewajiban-kewajiban. Penggunaannya harus mengabdi kepada kesejahteraan umum. Hanya dengan demikian cita-cita dunia tentang tata ekonomi yang adil dapat ditegakkan” . Pernyataan ini mengingatkan saya pada salah satu penemuan Karl Marx dan Friedrich Engels yaitu tentang dimensi transindividual dari milik, bahwa milik selalu memiliki suatu fungsi sosial dan tidak pernah boleh dibatasi hanya pada dimensi kepentingan pribadi belaka.

Peranan keluarga dalam pendidikan kepekaan sosial dan solidaritas
Apa yang menjadi pernyataan sikap dari Sidang Parlemen Agama-Agama Dunia di Chicago menjadi sangat relevan bagi kita. Mengapa? Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, art. 52 menyatakan bahwa “Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan”, selanjutnya Pernyataan tentang Pendidikan Kristen, art. 3 menyatakan bahwa “Karena orangtua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Maka orangtualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama” khususnya yang berkaitan dengan pendidikan nilai dan pendidikan iman. Nilai dirumuskan secara sangat menarik oleh Hans Jonas sebagai “the addressee of a yes”, kurang lebih bisa diterjemahkan sebagai ‘sesuatu, kepadanya aku mengatakan ya’. Sesuatu yang bernilai selalu berciri positif, maka kepadanya aku mau mengamininya. Permenungan mengenai nilai, saya pikir saat ini menjadi sangat relevan, sejak tahun 1997 KWI dalam Surat Gembala Prapaskah menampilkan uraian mengenai kerusakan moral hampir di segala bidang kehidupan bermasyakarat, berbangsa dan bernegara. Berikutnya pada tahun 2001 KWI dalam surat Gembala Paskah mengajukan pertanyaan “….. betulkan sekarang ini hanya ada kemerosotan moral saja atau sudah matikah moral dan etika yang seharusnya menjadi dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?” Kemudian pada tahun 2003 melalui Nota Pastoralnya KWI menyatakan bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami proses “hancurnya keadaban”. Dan, akhirnya melalui Nota Pastoral 2004 KWI menyatakan ikut bertanggungjawab untuk membangun kembali keadaban publik yang rusak tersebut, agar berkembanglah habitus baru bangsa Indonesia . Dalam kerangka ini, kita bisa menyumbangkan suatu habitus baru yang kecil, bila kita menggunakan uang (mengingat – sadar atau tidak sadar – peranan uang yang begitu mendominasi bahkan kadang-kadang mendeterminasi kehidupan kita sehari-hari) sebagai sarana pendidikan nilai, misalnya yang berkaitan dengan nilai kejujuran, tanggungjawab, keadilan, kemandirian dan solidaritas khususnya kepada mereka yang marjinal. Begitu juga uang bisa dipakai sebagai sarana pendidikan iman, misalnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan ilahi dalam hidup kita sebagai manusia yang beriman. Masalahnya bagaimana kita bisa menggunakan uang sebagai sarana pendidikan nilai?



Gunakanlah bahasa uang
Bila kita ingin menggunakan uang sebagai sarana pendidikan nilai maka kita harus menggunakan bahasa uang. Bahasa uang itu lugas, bahasa uang itu hitam putih. Dalam kothbah di Bukit Yesus dengan sangat jelas mengingatkan kita dengan kata-kata sebagai berikut “….. di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” . Kata hati dalam Kitab Suci mengacu pada perasaan, cita-cita dan kehendak manusia, padahal hati manusia secara hakiki mengarah pada Allah, namun karena kurangnya kepekaan kita akan Allah maka hati kita sering terarah hanya pada uang, yang secara “nyata” menjanjikan kesejahteraan dan kebahagiaan. Dalam kaitan itulah maka saya pikir Yesus mengingatkan kita agar selalu waspada. Dalam kaitan dengan ini maka Rasul Paulus dalam suratnya yang pertama kepada Timotius mengungkapkan beberapa syarat bagi penilik jemaat, salah satu di antaranya adalah “….., bukan hamba uang”. Selanjutnya dalam surat yang sama Rasul Paulus memberikan nasihat kepada kita semua agar berhati-hati dengan uang, karena “akar segala kejahatan ialah cinta uang” . Peringatan dan nasehat Rasul Paulus tersebut sangat relevan dengan kondisi kita di Indonesia saat ini. Indonesia merupakan suatu negara beragama, bukan negara agama, namun sekaligus menjadi salah satu negara paling korup di dunia , bagaimana kita bisa menjelaskan fenomena tersebut. Menurut pendapat saya fenomena tersebut dapat dijelaskan dari dua sisi, sisi yang pertama bahwa kita telah terjebak pada formalisme, ritualisme dan legalisme agama. Sedang dari sisi yang lain kita juga terjebak pada arus neoliberalisme di mana kita semua memuja sistem pasar bebas sebagai satu-satunya sistem yang akan memberikan kemakmuran pribadi. Padahal kita semua sadar bahwa sumberdaya alam adalah terbatas, mengeksploitasi sumberdaya alam secara habis-habisan akan menimbulkan ketidakseimbangan ekologis, padahal kita secara hakiki memiliki tanggungjawab penuh terhadap generasi-generasi mendatang. Berkaitan dengan itu maka kita – dewasa ini – perlu memikirkan ulang seluruh konsep kemakmuran dan pembangunan. Kemakmuran harus dipikirkan tidak lagi secara individual melainkan harus dipikirkan secara transindividual dan berkesinambungan baik pada masa sekarang ini maupun untuk masa depan. Pemikiran ini mulai terbersit dengan adanya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable growth) yang disuarakan oleh World Commission on Environment and Development. Komisi tersebut dalam laporannya mencoba mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari generasi sekarang, tanpa membahayakan kesanggupan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri” . Namun, hasil komisi ini masih kurang gaungnya dibandingkan dengan gaung dari neoliberalisme yang disuarakan oleh Forum Ekonomi Dunia (corong dari para kapitalis global).
Perubahan paradigma sebagaimana dikumandangkan oleh Forum Sosial Dunia sudah harus diperkenalkan sejak dini yaitu melalui keluarga, di mana prinsip kesetaraan dan keadilan mulai ditanamkan, dan ini hanya mungkin bila kita menggunakan uang sebagai salah satu sarana pendidikan nilai yang penting.

Bahasa uang
Sejauh pengalaman saya sebagai “pendamping keluarga”, membicarakan uang dalam keluarga merupakan salah satu bidang komunikasi yang paling sulit. Saya menduga hal itu disebabkan karena uang menjadi simbol dari kekayaan, kekuasaan dan gengsi . Padahal ketiga hal itulah yang menimbulkan kesombongan dan egosentrisme (selfishness), kesombongan mengandaikan adanya subordinasi, dengan demikian kesombongan tidak mungkin melahirkan dialog, karena dialog mengandaikan kesetaraan. Selain daripada itu dialog juga mengandaikan kesadaran bahwa yang sedang berdialog belumlah sempurna. Keluarga merupakan persekutuan pribadi-pribadi yang unik dan semartabat serta berdasarkan pada kasih. Biarpun demikian masing-masing anggota keluarga sebagai pribadi memiliki kepentingan yang berbeda, memiliki kebutuhan yang berbeda, memiliki persepsi yang berbeda, dan hal itu bisa menimbulkan konflik di antara mereka. Oleh karena itu setiap keluarga perlu mengembangkan dialog, perlu mengembangkan komunikasi hati penuh kebaikan di antara para anggota keluarga. Oleh karena itu, almarhum Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio menekankan perlunya keluarga membangun komunitas (persekutuan) pribadi-pribadi sebagai salah satu misi keluarga (FC art. 18 – 27). John Powell melalui bukunya yang berjudul Will the Real Me Please Stand Up? Mendefinisikan komunikasi sebagai memberikan sesuatu agar sesuatu itu menjadi milik bersama. Sesuatu itu bisa bermacam-macam, mulai dari basa-basi, gosip, pikiran, perasaan sampai dirinya. Dialog merupakan komunikasi di mana sesuatu itu tidak lain adalah dirinya sendiri, baik itu perasaannya, pikirannya maupun perilakunya, dengan demikian melalui dialog kita berusaha untuk saling mengenal satu sama lain, pun bila itu berkaitan dengan uang, yang sering merupakan sumber konflik.
Dalam kaitan dengan usaha untuk menjadikan uang sebagai sarana pendidikan nilai, maka kita perlu mengembangkan kebiasaan ANDIKA (Anggaran, Dialog dan Kasih), atau bila kita menggunakan bahasa KWI maka kita perlu mengembangkan habitus baru yang bernama ANDIKA. Setiap keluarga baru pasti memiliki impian, dan impiannya tidak lain (bila meminjam bahasanya Lukas sang pengarang Injil ) adalah mendirikan menara keluarga yang indah dan asri sehingga membuat kerasan/betah para anggota keluarga. Namun sebagaimana ditulis oleh Lukas maka dalam usaha mendirikan menara tersebut kita diminta untuk duduk dan menghitung anggarannya, agar tidak gagal di tengah jalan dan ditertawai orang. Dengan perkataan lain dalam usaha mengikuti Yesus dalam membangun keluarga sesuai dengan rencana Allah (salah satu bidang, dalam hal ini adalah ekonomi keluarga) maka kita perlu menyusun anggaran lewat dialog dalam keluarga, serta didasarkan pada kasih, dan dengan demikian uang bisa menjadi sarana komunikasi cinta dalam keluarga. Untuk itu ada tujuh langkah dialog yang harus dilakukan, yaitu: 1) bagaimana perasaan saya saat ini atau akhir-akhir ini; 2) bagaimana pikiran saya saat ini atau akhir-akhir ini yang menyertai perasaan saya; 3) perilaku saya yang menyertai perasaan dan pikiran saya; 4) kebutuhan-kebutuhan pokok batiniah mana yang goncang dalam diriku (kasih, harga diri, keterlibatan dan kemandirian); 5) bagaimana saya menangani kebutuhan pokok batiniah saya yang goncang selama ini (tetap dalam relasi atau di luar relasi); 6) alternatif apa saja yang dapat membuat situasi lebih baik; 7) pilihlah alternatif yang paling baik saat ini. Selamat mencoba.

Bogor, 23 Januari 2009