Relasi Suami-Isteri : Relasi Dialogal
Dewasa ini istilah ‘relasi’ menjadi salah satu istilah yang sangat populer. Betapa tidak. Untuk memperoleh pendidikan di tempat yang bergengsi, untuk mulai bekerja pada salah satu kantor/instansi, untuk menjadi wiraniaga yang berhasil, untuk menjadi wiraswasta yang mantap, bahkan untuk menjadi pasangan suami-isteri yang bahagia – di samping prasyarat yang lain – rupanya relasi juga merupakan prasyarat pokok.
Biarpun seseorang kaya atau pandai, atau berkedudukan tinggi, atau berkemauan baik, namun bila tidak punya relasi (= teman), dan tidak bisa berelasi (= membina hubungan baik), rasanya hampir mustahil berhasil dalam hidupnya dengan mantap. Yang menjadi pertanyaan, sebenarnya relasi itu apa? Relasi itu selalu menunjuk baik pada orangnya (= siapa) maupun pada hubungan itu sendiri (= bagaimana). Oleh karena itu, sebenarnya tidak terlalu mudah untuk memberikan batasan yang tegas, namun sebagai ancangan awal mungkin dapat diusulkan batasan sebagai berikut: “hubungan antar manusia yang menampilkan perilaku timbal balik dan berdampak mendalam”.
Lewat tulisan ini kami ingin mencoba sedikit mendalami lika-liku relasi langsung di antara suami – isteri. Mengapa? Tanpa menutup mata terhadap bentuk-bentuk relasi yang lain, maka relasi antara suami-isteri merupakan relasi yang pertama dan utama. Pertama dan utama, karena relasi suami-isteri merupakan bentuk dasar dari semua bentuk relasi yang lain. Dengan perkataan lain bisa dikatakan bahwa “semua bentuk relasi yang lain diturunkan dari bentuk dasar yaitu relasi suami-isteri”.
Bila relasi antara suami-isteri sedang dingin dan jauh, pengaruhnya terasa dan terlihat dalam hubungan mereka dengan anak-anak, dengan teman-teman mereka, dengan atasan atau bawahan mereka, bahkan pada hasil karya mereka. Tidak jarang anak-anak, teman-teman, atasan/bawahan menjadi korban dan sasaran uneg-unegnya, tidak jarang mutu hasil karyanya menurun. Semuanya itu merupakan kenyataan hidup sehari-hari, biarpun kita memakai kedok, atau menekan uneg-uneg dan perasaan negatif kita sedemikian rupa sehingga nampak tidak ada persoalan.
Mungkin untuk suatu jangka waktu tertentu kita masih bisa memakai kedok, bahkan mungkin bisa menikmatinya sebagai sesuatu yang mengasyikkan, karena apa yang kita inginkan seolah-olah terpenuhi. Namun, sampai kapan? Seseorang mungkin hanya kuat untuk beberapa jam saja, sedang yang lain mungkin kuat untuk beberapa hari. Namun, akhirnya kedok itu akan terlepas juga. Perasaan negatif dan uneg-uneg yang ada dalam hati kita akan meletus juga.
Selain daripada itu memakai kedok atau menekan perasaan negatif membutuhkan ketrampilan khusus dan menguras tenaga kita yang sebenarnya tidak perlu. Perasaan negatif bisa diumpamakan sebagai bisul, yang bisa kena pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Bisul membuat tubuh kita merasa panas dingin, tidak enak makan, tidak enak tidur, berdiripun tidak enak. Perlu obat yang tepat agar bisul itu ‘matang’, agar sesudah itu dengan jarum yang steril tusuklah bisul itu – sedikit sakit – nanah keluar berikut darah mati – namun kita akan merasa lega. Begitu juga dengan relasi suami-isteri. Perlu cara yang tepat, entah itu obatnya, jarumnya maupun keberanian untuk sedikit merasa sakit.
Bila kepada pasangan suami-isteri ditanya tentang saat-saat mana dalam hidup kerelasiannya yang paling indah, hangat dan dekat. Maka biasanya sebagian terbesar akan memberikan jawaban yang senada, yaitu pada masa pacaran dan pada tahun-tahun pertama perkawinan. Saat-saat itu dirasa yang paling indah, hangat dan dekat. Mengapa? Jawabannya tidak terlalu tegas. Mungkin karena pada saat-saat itu kebutuhan pokok batiniah manusia yaitu kebutuhan akan cinta, harga diri, keterlibatan dan kemandirian dipenuhi oleh pasangan kita masing-masing.
Pada masa pacaran dan tahun-tahun pertama perkawinan semua ciri cinta secara sadar atau tidak kita hayati atau kita laksanakan, biarpun tidak jarang dengan menggunakan kedok, dengan harapan agar saya tetap dicintai atau agar saya dianggap mencintainya. Namun, setelah cinta membuahkan anak, setelah perhatian mulai terbagi, setelah karir semakin menanjak, setelah keaktifan di masyarakat semakin menyita waktu, kedok yang selama ini dipakai mulai tanggal atau ditanggalkan. Lho, pasanganku ternyata koq demikian, terasa asing dan lain, dia menjadi tidak sabar, tidak baik hati, cemburuan, suka membual, tinggi hati, kasar, suka ngomel, senang memaksakan kehendaknya sendiri, cepat tersinggung, suka menyimpan dalam hati bila aku berbuat salah terhadapnya. Titik-titik rawan mulai muncul dalam relasi, rasanya tidak cocok lagi. Persoalan bertambah dengan ikutnya mertua, adik, kemenakan dalam keluarga kita, yang lebih peka masalah datangnya permintaan bantuan keuangan dari sanak keluarga pasangan, perbedaan pendapat dalam hal mendidik anak-anak, menu yang itu saja-saja dan masih banyak persoalan lain yang seringkali menjadi batu-batu kerikil, menjadikan perjalanan menyakitkan.
Mulailah masing-masing mengambil keputusan sendiri-sendiri, kemudian saling menyalahkan. Relasi menjadi semakin dingin dan jauh. Bila tidak segera dijembatani, maka masing-masing akan semakin pasang kuda-kuda. Masing-masing mulai mencari kompensasi, masing-masing mulai mempertahankan harga dirinya, dan tidak mau mulai dulu untuk berbaik, maka alangkah perlu untuk mempunyai beberapa kesepakatan yang dapat dipakai sebagai aturan main dalam pertengkaran, agar dapat bertengkar secara berdayaguna. Umpamanya, tidak memperlihatkan perbedaan sudut pandang terhadap anggota keluarga yang lain. Bila salah seorang sudah mulai mengalami tegangan tinggi, maka pasangan hendaknya berusaha menahan diri sungguh-sungguh. Alangkah baiknya bila yang bertegangan tinggi berusaha menurunkan tegangannya dengan mengungkapkannya secara tertulis. Menulis merupakan salah satu cara menurunkan tegangan tinggi dan sekaligus apa yang kita tulis dapat menjadi cermin diri sendiri. Usahakanlah mencari waktu yang tepat untuk mulai mengungkapkan secara lisan uneg-uneg kita. Biasanya waktu yang paling baik adalah saat-saat menjelang tidur. Berdoa malam sekeluarga, mohon bimbingan Tuhan untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di antara anggota keluarga, kemudian ungkapkan perasaan masing-masing, saling meminta maaf dan kemudian saling memaafkan, suatu happy ending, dan anda tidur dengan nyenyak. Oleh karena itu, pada saat seperti itu kita hendaknya berusaha untuk saling mengungkapkan isi hati kita sedemikian rupa sehingga dapat menjadi jembatan yang berdayaguna dalam usaha memulihkan relasi suami isteri, itulah dialog. Dengan berdialog kita bisa saling mengungkapkan diri, saling mendengarkan tanpa saling menyalahkan. Dengan berdialog kita menjadi lebih mengerti perasaan, pikiran, sikap dan kebutuhan pokok batiniah pasangan dan begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian dialog bisa diartikan sebagai “proses berbagi diri dengan pasangan dalam rangka meningkatkan relasi, agar dapat menjadi semakin akrab, hangat, mesra dan bertanggungjawab”.
Namun, proses ini tidaklah mudah dan tidaklah ringan, karena bila proses ini kita laksanakan secara taat azas maka kita sebenarnya menuntut diri sendiri untuk berubah. Padahal kita lebih biasa dan lebih enak menuntut pasangan untuk berubah. Tidaklah mengherankan bila proses dialog dirasa menyakitkan dan membuat kita segan untuk berdialog.
Akhirnya, bila kita kembali pada perumpamaan ‘bisul’ di atas, maka untuk merasa bebas dari panas dingin, bebas dari rasa tidak enak dan dapat memperoleh kelegaan, rupanya kita dituntut untuk berani mengalami ‘sedikit sakit’. Demikian pula dalam kaitan dengan usaha meningkatkan relasi dengan pasangan, kita memang dituntut untuk meninggalkan kedok yang kita pakai agar relasi kita dengan pasangan bukannya relasi semu melainkan relasi dialogal, relasi yang saling membagikan diri, atau bila meminjam istilah yang dipakai oleh seorang pemikir Perancis, Emmanuel Levinas, berkomunikasi dengan ‘wajah yang telanjang’. (Stanislaus Nugroho, Komisi Keluarga Keuskupan Bogor).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar