Gerakan “Membangun Budaya Nilai Dalam Keluarga”
Stanislaus Nugroho, Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Bogor
Tahun 2004 Konferensi Wali Gereja Indonesia menerbitkan Nota Pastoral yang berjudul Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa. Keadilan Sosial Bagi Semua: Pendekatan Sosio-budaya. Dalam Nota Pastoral 2004 tersebut para Uskup Indonesia mensinyalir bahwa bangsa Indonesia sedang menderita 3 penyakit sosial yang parah. Ketiga penyakit sosial tersebut tidak lain adalah korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan hidup. Ketiga penyakit sosial tersebut lahir karena dalam masyarakat kita sedang berkembang budaya bukan-nilai (culture by dis-value), seperti pola hidup yang sangat konsumtif, keserakahan, meng-ilah-kan uang dan materi, serta mengejar gengsi dan bukan prestasi atau secara singkat dapat dirumuskan munculnya a greedy and a needy being . Berkaitan dengan itu maka Nota Pastoral 2004 menghimbau agar umat katolik berusaha untuk menciptakan budaya tandingan, budaya alternatif, dan itu tidak lain adalah budaya nilai (culture by value).
Dalam proses persiapan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 (SAGKI-2005) panitia pusat menghimbau agar keuskupan-keuskupan di seluruh Indonesia melakukan proses pemilihan paling sedikit 3 isu yang ingin dijadikan fokus gerakan akar rumput di keuskupannya masing-masing. Berkaitan dengan itu maka Keuskupan Bogor memilih tiga isu, yaitu pendidikan nilai (dalam keluarga); pemberdayaan ekonomi masyarakat marginal dan kerukunan hidup beragama. Berhubungan dengan isu tentang pendidikan nilai (dalam keluarga) maka Bapak Uskup Bogor menugaskan Komisi Keluarga Keuskupan Bogor untuk merealisasikannya.
Berkaitan dengan penugasan tersebut di atas maka Komisi Keluarga telah mengirim 7 orang untuk mengikuti pendidikan/lokakarya tentang pendidikan nilai yang diselenggarakan oleh Komisi Keluarga KWI. Pendidikan/lolakarya tersebut berlangsung dalam tiga tingkat, yaitu elementry, intermediate dan advance. Pada tanggal 2 Desember yang lalu ke 7 utusan Komisi Keluarga Keuskupan Bogor telah menyelesaikan pendidikannya dan siap untuk menularkan pengetahuan dan ketrampilannya ke paroki-paroki, agar paroki-paroki memiliki pelatih-pelatih yang akan menularkan ‘budaya nilai’ ke akar rumput .
Melalui tulisan ini kami ingin mensosialisasikan apa yang dimaksudkan dengan ‘Gerakan Membangun Budaya Nilai Dalam Keluarga’. Untuk itu kami ingin menjelaskan apa yang dimaksud dengan budaya nilai, mengapa budaya nilai itu perlu, dan mengapa kita harus mulai dalam keluarga.
Apa itu budaya nilai?
Nilai adalah sesuatu yang positif, sesuatu yang baik, oleh karenanya patut kita kejar, kita miliki dan kita tumbuhkembangkan. Hans Jonas seorang pemikir Jerman-Amerika pernah merumuskan dengan sangat indah, yaitu “a value is the addressee of a yes” (nilai adalah sesuatu yang kepadanya manusia mengatakan ya). Sedang bagi seorang pendidik yang bernama Christopher Gleeson, S.J. “nilai tidak lain adalah akar yang membuat kita dapat berdiri dengan kokoh menghadapi terpaan angin yang sangat kuat sekalipun”. Dalam tradisi pemikiran manusia dikenal tujuh nilai atau keutamaan, yaitu kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri , keadilan, iman, harapan dan kasih. Empat yang pertama dikenal sebagai nilai atau keutamaan filosofis, sedang tiga yang terakhir dikenal sebagai nilai atau keutamaan teologis.
Dewasa ini melalui penelitian internasional ditemukan adanya dua belas nilai universal, yaitu cintakasih, kebahagiaan, kebebasan, kedamaian, kejujuran, kerjasama, kerendahan hati, kesederhanaan, penghargaan, persatuan, tanggungjawab dan toleransi. Sedang bagi Stephen R. Covey ada tujuh kebiasaan/nilai/keutamaan yang tidak lain adalah “jadilah proaktif, tetapkan tujuan akhir, dahulukan yang harus didahulukan, berpikir menang-menang, berusaha mengerti dulu baru dimengerti, wujudkan sinergi dan jadilah manusia pembelajar”.
Dengan demikian budaya nilai tidak lain adalah “proses maupun hasil dari hubungan manusia dengan sesamanya, dengan alam semesta dan dengan Sang Pencipta yang membuat kehidupan manusia sebagai keseluruhan dan berkesinambungan semakin kondusif, semakin positif, semakin baik”. Dengan demikian budaya nilai bersifat dinamis dan bukan statis.
Mengapa budaya nilai itu perlu?
Seperti sudah disinggung di atas, dewasa ini kita hidup dalam situasi dan kondisi yang ditandai dengan yang-bukan-nilai. Anthony Giddens dalam bukunya menyatakan bahwa “Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi kita – dalam seksualitas, hubungan pribadi, perkawinan dan keluarga. Ada sebuah revolusi global yang tengah berlangsung mengenai bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita membangun ikatan dan hubungan dengan orang lain. Inilah revolusi yang merebak dalam takaran yang berbeda-beda di berbagai wilayah dan budaya, dengan banyak perlawanan terhadapnya”.
Dengan perkataan lain dalam menghadapi segala tantangan yang ada di depan kita, maka kita perlu kembali ke basis, yaitu kepada nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Memang dalam kaitan dengan itu maka kita harus berani melawan arus. Namun, saya percaya bila kita mau bergandengan tangan, maka kita akan mampu menciptakan ‘dunia baru’ yang kita cita-citakan bersama. Saat ini Komisi Keluarga KWI sudah memiliki lebih dari 30 orang kader yang memiliki komitmen untuk menggulirkan gerakan membangun budaya nilai. Mulai tahun depan Komisi Keluarga KWI akan melayani beberapa provinsi Gerejawi dan beberapa regio yang sudah menyatakan akan mengundang kami dalam rapat kerja tahunan mereka. Marilah kita mulai gerakan ini dalam Keuskupan kita sendiri sebagai realisasi dari komitmen Keuskupan kita pada waktu SAGKI-2005 dan waktu Tepas-2007.
Mengapa kita harus mulai dengan keluarga?
Keluarga merupakan persekutuan hidup dan kasih antara suami, isteri dan anak-anak. Padahal ‘kehidupan dan kasih’ merupakan dua nilai dasar dalam iman kristiani , itulah panggilan kita sebagai keluarga kristiani . Bila kita menghayati dan mengoperasionalisasikan nilai-nilai kehidupan dan kasih dengan sungguh-sungguh maka kita dapat menjadi “tanda kasih Allah kepada dunia” . Saya pikir panggilan kita sebagai keluarga merupakan suatu panggilan yang luar biasa luhur dan mulia.
Namun, dewasa ini keluarga sering bukan lagi ‘tempat’ yang aman dan damai. Keluarga dewasa ini sering menjadi ‘neraka’ dunia, pun dalam keluarga-keluarga kristiani .
Rupanya ada kesenjangan yang begitu lebar antara impian dan kenyataan, antara panggilan serta penghayatan dan operasionalisasinya dalam kehidupan sehari-hari. Itulah tantangan yang kita hadapi.
Penutup
Untuk itulah kami mencoba mensosialisasikan apa yang menjadi keprihatinan kami, semoga apa yang menjadi keprihatinan kami menyentuh hati anda, dan menjadi keprihatinan anda juga. Bila nanti paroki anda mengundang anda untuk ikut serta dalam gerakan ‘membangun budaya nilai dalam keluarga’ hendaknya anda melibatkan diri dalam gerakan tersebut, dengan mengikuti program lokakarya “Membangun Budaya Nilai dalam Keluarga”, sisihkanlah waktu selama 32 jam untuk menjawab panggilan luhur ini.
Bogor, 1 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar