BUDAYA KEHIDUPAN VERSUS BUDAYA KEMATIAN
Sewaktu Thomas bertanya kepada Yesus “Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?” Maka Jesus menjawab “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup” (Yo. 14: 5-6). Dalam konteks tulisan ini maka jawaban Yesus menjadi sangat penting dan relevan terutama yang berkaitan dengan kata “kehidupan”. Mengapa? Karena kalau dikaitkan dengan misi Yesus sebagai mana ditulis oleh Yohanes dalam injilnya bab 10 ayat 10b yang berbunyi “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan”, maka menjadi jelas bahwa Injil Yesus Kristus sebagaimana ditulis oleh Yohanes adalah injil kehidupan. Dalam bagian lain dari Injil Yohanes dengan tegas Yesus bersabda bahwa “Akulah kebangkitan dan hidup; barang siapa percaya kepadaku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan percaya kepadaku, tidak akan mati selama-lamanya” (11: 25-26). Kita semua adalah pengikut dan murid-murid Yesus, sebagai pengikut dan murid-murid sudah seharusnya kita menghayati, menularkan dan menjadi saksi dari injil Yesus Kristus tersebut. Masalahnya bagaimana Injil Kehidupan tersebut dapat dinyatakan secara nyata? Dalam kaitan ini maka Virginia Saldanha seorang Secretary of Women’s Desk (Mumbai, India) menulis “bila kita kehilangan sikap hormat pada kehidupan maka kita juga akan kehilangan sikap hormat kepada Allah sebagai Pencipta kehidupan itu sendiri”. Sikap hormat kepada kehidupan tidak lain berarti bahwa kita menghormati kemanusiaan tanpa membedakan agama, warna kulit, miskin, lemah, cacat, sakit, tua dan lain sebagainya. Hormat pada kehidupan juga berarti bahwa kita menghormati kehidupan sejak saat konsepsi tanpa perlu mengutamakan laki-laki atau perempuan. Hormat pada kehidupan itu juga berarti menghargai martabat manusia. Bahkan sikap hormat juga berarti bahwa hormat pada lingkungan hidup dengan segala yang ada di dalamnya karena semuanya itu merupakan suatu sistem yang mengkonstituir ekosistem kita. Dengan perkataan lain, menurut Virginia Saldanha, menghayati injil kehidupan berarti bahwa kita [1] menghargai dan memelihara kehidupan manusia sejak konsepsi sampai meninggal, [2] menghargai seseorang sebagai pribadi melampaui segala hal lain, [3] menghargai alam semesta yang berperan dalam kesinambungan hidup manusia, dan yang terakhir [4] menghargai dan mempromosikan hak-hak asasi manusia.
Namun, saat ini yang terjadi justru sebaliknya, hidup sudah tidak terlalu berharga kalau tidak mau mengatakan bahwa hidup itu sangat murah. Ingat saja akan beberapa peristiwa yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini, seperti peristiwa Warakas (temuan 11 janin ditempat pembuangan sampah), peristiwa Nyi Ronggeng dari Kabupaten Lebak (bidan yang melakukan pengguguran kandungan), peristiwa di Depok dan entah di mana lagi. Kemudian kita juga bisa membaca pernyataan Ibu Khofifah waktu menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan bahwa di Indonesia setiap tahun terjadi 2.000.000 (dua juta) aborsi. Sehubungan dengan ini mungkin baik bila ingat apa yang dikatakan oleh Ibu Teresa “Jika kita bisa menerima bahwa seorang ibu boleh membunuh anaknya sendiri, maka bagaimana kita bisa berkata kepada sesama kita bahwa jangan saling membunuh satu sama lainnya”.
Namun, sejak awal kehidupan manusia kita sudah menemukan akar-akar kekerasan melawan kehidupan, sebagaimana dapat kita baca dalam Kitab Kejadian bab 4: 1-16 tentang Kain dan Habel. “….., tiba-tiba Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia. ………..Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” Egosentrisme Kain menjadi ancaman bagi kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri dalam dimensi relasional, manusia menjadi arogan, menjadi sombong. Kesombongan atau arogansi tersebut biasanya didasarkan pada kekayaan, kekuasaan dan gengsi (bandingkan dengan Mt. 4: 1-11 tentang pencobaan di padang gurun). Padahal pada dasarnya keluarga dipanggil untuk menjadi suatu gugus kasih, suatu kenisah kehidupan, di mana Allah mempercayakan kita satu kepada yang lain (Injil Kehidupan, art. 19). Namun mengapa bisa timbul situasi di mana hidup menjadi sangat murah? Ensiklik Paus Yohanes Paulus II yang berjudul “Injil Kehidupan” dan diterbitkan pada tanggal 25 Maret 1995 yang lalu mencoba menjawab pertanyaan tersebut, dengan catatan sebagai berikut: “Banyak faktor yang perlu diperhatikan. Pada latar belakang ada krisis kebudayaan yang mendalam, yang menimbulkan sikap skeptis terhadap dasar-dasar pengetahuan dan etika sendiri, dan mungkin mempersukar pengertian jelas tentang makna manusia, makna hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Kemudian ada segala macam kesulitan konkret-aktual dan antarpribadi, yang masih diperberat lagi karena kompleksnya masyarakat, yang membiarkan orang-orang perorangan, pasangan-pasangan dan keluarga-keluarga sering menghadapi sendiri masalah-masalah mereka. Ada situasi-situasi kemiskinan, kecemasan atau frustrasi yang meruncing; di situ perjuangan untuk masih tercukupi kebutuhannya, pengalaman pedih yang tidak tertanggung lagi, atau peristiwa-peristiwa kekerasan, khususnya melawan wanita, begitu memperberat pilihan untuk membela dan meningkatkan kehidupan sehingga membutuhkan sikap kepahlawanan” (art. 11).
Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas maka para Uskup Indonesia pada tanggal 22 Nopember 1990 menerbitkan Surat Gembala bertema “Sayangilah Kehidupan” di mana para Uskup Indonesia menyampaikan beberapa asas yang melindungi hidup manusia pada tahapnya yang paling dini, sebagai berikut:
a. Setiap orang memiliki hak asasi untuk hidup. Hak hidup manusia harus dilindungi sejak awal. Artinya sejak pembuahan yang merupakan momen paling menentukan dalam proses terjadinya hidup baru. Konsili Vatikan II berkata “Allah, Tuhan kehidupan, mempercayakan kepada manusia tugas luhur memelihara hidup yang harus dilindungi dengan saksama sejak pembuahan. Pengguguran dan pembunuhan anak adalah kejahatan yang keji” (GS 51).
b. Martabat dan nilai hidup manusia tetap sama sebelum dan sesudah kelahiran. Karena itu sebagaimana orang tidak tega membunuh anaknya yang sudah lahir, demikian pula seharusnya ia menghargai hidup anaknya yang masih dalam kandungan.
c. Martabat dan nilai hidup manusia tidak tergantung pada sifat-sifatnya seperti jenis kelamin, keturunan, cacat atau penyakit.
d. Hidup manusia juga dan justru yang paling lemah dan tak dapat melindungi dirinya sendiri, merupakan nilai yang demikian asasi sehingga negara, apalagi negara Pancasila dengan komitmennya terhadap nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, tak boleh menghindari tanggungjawabnya untuk melindungi hak janin atas hidup.
e. Sistem hukum Indonesia bersumber pada Pancasila, maka sepantasnyalah bahwa perundang-undangan Negara, termasuk KUHP mempunyai dampak atas kesadaran etis rakyat, maka dengan sendirinya wajib menjamin hak janin atas hidup.
Demikianlah beberapa catatan tentang budaya kehidupan versus budaya kematian, di mana kita harus berpihak pada budaya kehidupan (Stanislaus Nugroho).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar