KESETARAAN GENDER DAN PENGHAYATAN IMAN KRISTIANI
Menjelang akhir bulan Juli 2000 yang baru lalu ada seorang ibu yang baru membangun hidup berkeluarga sekitar 16 tahun datang kepada saya untuk curhat. Selama 16 tahun hidup sebagai sepasang suami isteri telah dijalaninya dengan apa adanya, yang penting tidak berantem. Namun akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganggu hatinya, sesuatu yang mengganggu tersebut berawal dari hadirnya ibu tersebut dalam suatu seminar tentang keluarga, di mana salah seorang pembicaranya adalah penulis. Menurut si ibu penulis berucap bahwa berkeluarga berarti membangun suatu persekutuan lahir batin atas dasar cinta kasih antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sebagai suatu persekutuan maka kedua insan yang berlainan jenisnya itu bersekutu untuk membangun suatu kebersamaan, dalam segala aspek kehidupan pun dalam hal uang. Kata-kata “pun dalam hal uang” itulah yang mengganggu keterlenaan si ibu selama ini, si ibu menjadi bangun dari keterlenaannya. Penulis tergoda untuk tahu lebih banyak tentang pengalaman si ibu selama lebih kurang 16 tahun dalam mengelola keuangan keluarganya. Ternyata selama ini si suami berperan ganda, baik sebagai pencari uang maupun sebagai kasir, bahkan juga yang pergi belanja. Tugas si ibu hanya masak, itu pun sering tidak di makan karena si suami lebih senang jajan masakan Padang. Penulis lalu ingat akan suatu ungkapan dalam tradisi di mana penulis dibesarkan , yaitu tradisi Jawa, di mana tugas isteri adalah 3 M (masak, manak/melahirkan dan macak/berhias). Pola hidup seperti itu cukup banyak penulis jumpai dalam pendampingan keluarga, yang merupakan salah satu bentuk pelayanan yang penulis berikan kepada keluarga-keluarga yang membutuhkan pendampingan dalam perjalanannya membangun kebersamaan. Pengalaman ini bagi penulis bisa dirumuskan sebagai ketidakadilan ekonomis, bahkan ada teman yang mengatakan sebagai kekerasan ekonomis.
Pengalaman lain yang belum lama ini penulis alami adalah datangnya seorang ibu muda, yang kebetulan seorang aktivis Gereja, yang menyatakan niatnya untuk berpisah dengan suaminya, alasannya sudah tidak kuat dengan perilaku suaminya yang ringan tangan, suka memukul. Pengalaman seperti ini bukan barang langka, cukup banyak ditemui dalam kehidupan berumah tangga. Terus terang saja penulis merasa heran, apakah perilaku seperti ini juga merupakan ungkapan cinta, sebagaimana dinyatakan dalam upacara saling menerimakan sakramen perkawinan di depan pejabat Gereja dan umat. Pengalaman ini bisa dirumuskan sebagai ketidakadilan fisik atau kekerasan fisik.
Pengalaman lain adalah pengalaman seorang isteri yang oleh suaminya selalu diberi cap sebagai perempuan yang pemboros, pemalas, tidak tahu diri dan lain-lain. Sampai-sampai si isteri datang pada penulis untuk curhat. Pengalaman ini mengungkapkan adanya ketidakadilan atau kekerasan psikis, di mana cap-cap negatip dikenakan kepada seseorang, dalam hal ini isterinya sendiri. . Pertanyaan yang menarik, mengapa dalam kehidupan sehari-hari bisa kita temukan pengalaman-pengalaman yang memberi gambaran adanya ketidaksetaraan, entah yang bersifat ekonomis, fisik dan juga psikis?
Padahal Gereja Katolik menekankan bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup dan kasih suami-isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan oleh hukum-hukumnya, dibangun oleh janji perkawinan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali (GS art. 48). Ajaran Gereja Katolik sebagaimana dirumuskan dalam Gaudium et Spes tersebut jelas memberikan gambaran adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sehubungan dengan itu maka keluarga kristiani mempunyai misi (1) membentuk komunitas pribadi-pribadi, (2) mengabdi pada kehidupan, (3) ikut serta dalam pembanguan masyarakat, dan (4) mengambil bagian dalam peutusan Gereja (FC art. 16-64).
Bila kita mencoba membuka dan membaca Kitab Suci maka kita bisa menemukan teks yang jelas-jelas mendukung adanya kesetaraan (Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, …… menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka” Kej. 1.26-27), tetapi ada juga teks yang kurang mendukung kesetaraan (“…. perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat” ,1 Kor. 14. 34, bdk. 1 Tim. 2. 11-15) dan ada teks-teks yang bias, artinya bisa ditafsirkan secara positif tapi juga bisa ditafsirkan secara negatif (“…. DibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawanya kepada manusia itu …… Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki” Kej. 2. 22-23).
Richard Leonard dalam bukunya yang berjudul ‘Beloved Daughters. 100 Years of Papal Teaching on Women, 1995’ menarik kesimpulan sebagai berikut “terdapat kesenjangan antara peneguhan mengenai kesetaraan kaum perempuan dan kaum laki-laki sebagai citra begitu pula hak-hak pribadi yang penuh di satu pihak, dan di lain pihak mengenai panggilan kaum perempuan dalam Gereja. Letak perdebatan bukanlah mengenai pandangan mengenai keluhuran martabat perempuan, melainkan mengenai panggilan kaum perempuan”. Saya pikir kesimpulan dari Richard Leonard tersebut benar, Gereja mengakui keluhuran martabat perempuan, namun masih banyak di antara umat dan juga pejabat Gereja yang belum menghayatinya dengan pernuh dalam praktek sehari-hari.
Menurut banyak ahli kekerasan terhadap perempuan mempunyai awal dalam budaya patriarki - di mana perempuan hanya menjadi subordinan dan dengan demikian didominasi bahkan dideterminasi oleh laki-laki – dan budaya kiriarki, di mana laki-laki menjadi yang dipertuan, yang dinomor satukan, sedang perempuan menjadi pelayan. Budaya patriarki dan kiriarki dengan mudah kita temukan dalam keluarga, bahkan sampai sekarang. Budaya patriarki dan kiriarki inilah menumbuhkan perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks, tapi tidak selalu identik dengannya dan kemudian menciptakan ketidakadilan. Perbedaan dan ketidakadilan yang lahir dari budaya patriarki dan kiriarki inilah yang disebut sebagai perbedaan dan ketidakadilan gender, yang menurut J.B. Banawiratmo merupakan salah satu dari lima agenda mendesak yang perlu ditangani (empat yang lain adalah ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan hidup, disorientasi nilai, kepedulian untuk hidup menggereja baru yang dapat dipertanggungjawabkan).
Sebagai akhir dari tulisan ini maka saya ingin mengutip kidung Magnificat yang bisa kita temukan dalam Lk. 1. 45-55 “ Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku. Sebab Ia memperhatikan kerendahan hambaNya. Sesungguhnya mulai sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia. Karena yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan namaNya adalah kudus. Dan rahmatNya turun temurun atas orang yang takwa. Ia memperlihatkan kuasaNya dengan perbuatan tanganNya. Dan menceraiberaikan orang-orang yang congkak hatinya. Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah. Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa. Ia menolong Israel, hambaNya karena Ia mengingat rahmatNya seperti yang dijanjikanNya kepada nenek moyang kita kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya”.
Masalah yang perlu kita renungkan adalah “bila kita mendengar dan memperhatikankan kidung Magnificat tersebut, apakah gambaran kita tentang Bunda Maria yang lembut, keibuan sudah lengkap, apakah Bunda Maria bukannya orang yang revolusioner?”
Bogor, 20 Februari 2006
Stanislaus Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar