Jumat, 10 September 2010

Kant dan Scheler

Formalisme dalam Etika dan Etika-nilai yang Bersifat Material

Judul karangan ini merupakan judul dari buku yang ditulis oleh Max Scheler (1874 - 1928), bukan maksud kami untuk mengungkapkan seluruh pemikiran dari Max Scheler sebagaimana termaktub dalam buku tersebut, namun maksud kami hanya ingin memperlihatkan secara ringkas ‘dialog’ yang terjadi antara Max Scheler dengan Immanuel Kant (1724 – 1804) sehubungan dengan kekaguman Max Scheler di satu pihak dan dilain pihak keinginan untuk melampaui Immanuel Kant. Berkaitan dengan maksud dari karangan ini maka pertama-tama kami ingin mencoba mendeskripsikan pokok-pokok pemikiran Immanuel Kant di bidang etika, selanjutnya kami juga mencoba mendeskripsikan pokok-pokok pemikiran Max Scheler di bidang etika. Akhirnya beberapa catatan kritis terhadap pemikiran Max Scheler.

Etika Kewajiban Immanuel Kant
Pada awal karir akademisnya, Immanuel Kant masih sangat dipengaruhi oleh suasana jamannya, yaitu rasionalisme yang menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio. Pada waktu itu yang menjadi salah seorang tokohnya adalah Christian Wolff (1679 – 1754). Namun, dalam perkembangan pemikirannya – sebagaimana diakui oleh Kant sendiri, dia merasa terbangun dari tidur dogmatisnya oleh empirisme yang menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman inderawi. Empirisme ini berkembang di Inggris, dan Immanuel dibangunkan dari tidur dogmatisnya oleh pemikiran-pemikiran David Hume (1711 – 1776). Sejak perkenalannya dengan empirisme Inggris Kant mulai berusaha untuk mencari jalan tengah antara rasionalisme di satu pihak dan dengan empirisme di lain pihak. Usaha tersebut dilandasi dengan keyakinan bahwa baik rasionalisme maupun empirisme masing-masing adalah berat sebelah. Di satu pihak rasionalisme tidak mengakui peranan pengalaman inderawi bagi proses pengetahuan manusia, sedang di lain pihak empirisme – bila konsisten – akan bermuara pada skeptisisme (= suatu paham yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat mencapai kebenaran karena manusia tidak dapat mengetahui realitas . Di dalam kerangka permasalahan di atas, maka seluruh usaha pemikiran Kant diabdikan untuk menguji kemampuan rasio manusia, bahkan pengujiannya itu dilakukan secara kritis, dan menurut Kant inilah yang pertama dan juga yang paling utama bagi filsafat .
Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai oleh manusia di bidang matematika dan fisika, maka Kant menunjuk pada salah satu ciri yang paling khusus dari rasio manusia, yaitu kemampuannya untuk melampaui data-data empiris. Yang dimaksudkan oleh Kant adalah bahwa rasio manusia mampu untuk menyatakan sesuatu yang tidak begitu saja mendasarkan diri pada pengalaman inderawi, atau dengan perkataan lain rasio manusia memiliki ciri apriori. Bagi Kant, kemampuan atau ciri yang khusus dari rasio manusia itu tidak hanya berlaku dalam bidang teoritis, melainkan juga dalam bidang kehidupan praktis, atau dalam bidang etis manusia. dengan demikian Kant bermaksud untuk menyatakan bahwa manusia dalam kehidupannya sehari-hari seringkali mengalami adanya suatu kewajiban, di mana kewajiban tersebut menuntut dirinya untuk dilaksanakannya, bahkan bila kewajiban tersebut tidak cocok dengan apa yang sebenarnya dinginkannya.
Oleh karena itu – sebagaimana dengan matematika dan fisika – menurut Kant etika harus juga menjadi absolut dan universal. Dengan demikian, yang menjadi tujuan utama dari seluruh pemikiran Kant adalah menolak setiap bentuk relativisme etis dan eudaimonisme. Karena menurut Kant – jika etika ingin menjadi absolut dan universal – maka etika harus melandaskan diri pada suatu prinsip yang samasekali bersifat apriori dan formal. Menurut Kant semua yang bersifat material merupakan suatu bentuk turunan dari yang bersifat aposteriori. Dengan demikian tidak bersifat absolut dan universal, melainkan bersifat relatif dan kontingen .
Bagi Kant, manusia dalam usaha mempertimbangkan tindakan apa yang harus diambil hendaknya mendasarkan keputusannya pada rasio praktis, maksudnya keputusan yang diambil hendaknya bebas dari setiap keinginan atau kecenderungan yang muncul dalam diri manusia. selain dariopada itu manusia jangan mendasarkan keputusannya pada pengalaman tentang hal-hal yang menimbulkan rasa bahagia atau tidfak bahagia. Manusia hendaknya mendasarkan diri atas keputusan yang diambilnya pada hukum moral yang berlaku secara absolut dan bersifat universal . Atau dengan perkataan lain, bagi Kant, bertindak bagi manusia berarti berlaku menurut prinsip-prinsip praktis atau menurut peraturan-peraturan. Bagi Kant ada beberapa prinsip praktis yang mengatur tindakan manusia, yaitu:
1. Prinsip-prinsip praktis yang bersifat subyektif; yaitu prinsip-prinsip yang dipilih oleh seseorang dalam usahanya mengatur dan menentukan tingkahlakunya sendiri.
2. Prinsip-prinsip praktis yang bersifat obyektif; yaitu prinsip-prinsip yang berlaku bagi tiap-tiap orang, atau dengan perkataan lain prinsip-prinsip tersebut mengikat setiap orang. Dengan demikian prinsip-prinsip itu mengandung keharusan yang serentak mewajibkan. Bagi Kant prinsip-prinsip praktis yang bersifat obyektif meliputi dua macam, yaitu:
a. imperatif hipotetis, yaitu peraturan-peraturan yang mengikat seseorang bila orang tersebut mau mencapai suatu sasaran tertentu. Dengan demikian peraturan ini merupakan peraturan bersyarat, maksudnya bila kita ingin mencapai suatu sasaran tertentu, maka syaratnya kita harus memenuhi peraturan-peraturan yang terikat dalam sasaran tersebut. Imperatif hipotetis secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut: “bila kita ingin ….., maka kita harus …..”.
b. imperatif kategoris, yaitu peraturan-peraturan yang berlaku bagi setiap orang tanpa suatu syarat apapun. Bagi Kant imperatif kategoris merupakan suatu prinsip praktis yang paling istimewa, dan seluruh pemikiran Kant dalam bidang etika terutama memperhatikan prinsip-prinsip praktis ini.
Namun, timbullah pertanyaan atau masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut: “bagaimanakah imperatif kategoris itu mungkin?”, atau secara lain dapat juga dirumuskan sebagai berikut: “syarat-syarat apa yang harus diandaikan agar imperatif kategoris itu mungkin?”
Sebelum kita melihat pemecahan masalah tersebut di atas, maka baiklah bila kita melihat dulu dua macam pertimbangan yang oleh Kant dibedakan satu dengan yang lainnya. Kant membedakan antara pertimbangan yang bersifat analitis dengan yang bersifat sintetis . Pertimbangan yang bersifat sintetis masih dibedakan menjadi pertimbangan sintetis yang bersifat apriori dan yang bersifat aposteriori. Dengan pertimbangan sintetis maka yang dimaksudkan oleh Kant adalah suatu pertimbangan di mana predikatnya tidak termuat dalam subyek, atau dengan perkataan lain predikatnya ditambahkan dari luar. Umpamanya, air mendidih pada suku 100 derajat Celsius.
Biasanya pertimbangan sintetis dianggap pasti bersifat aposteriori, atau dengan perkataan lain dibentuk atas dasar pengalaman. Namun – menurut Immanuel Kant – tidak semua pertimbangan sintetis merupakan hasil dari suatu pengalaman, maksudnya ada juga yang bersifat apriori. Contohnya, berdusta itu tidak boleh. Dengan contoh ini menjadi jelas bahwa perimbangan sintetis apriori itu mungkin.
Menurut Kant imperatif kategoris itu merupakan pertimbangan yang bersifat sintetis apriori. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah “mengapa imperatif kategoris itu bersifat apriori? Menurut Kant, imperatif kategoris itu bersifat apriori karena imperatif kategoris itu berlaku secara mutlak perlu dan universal.
Dengan istilah mutlak perlu maka yang dimaksudkan adalah bahwa imperatif kategoris tidak mengungkapkan atau menjawab masalah “bagaimana seseorang de facto bertindak?”, melainkan mengungkapkan atau menjawab masalah “bagaimana seseorang mutlak perlu harus bertindak?”, atau dengan perkataan lain yang dimaksudkan dengan istilah mutlak perlu adalah bahwa seseorang mau tidak mau harus melakukan suatu tindakan tertentu demi melaksanakan imperatif kategoris tersebut.
Sedang dengan istilah universal yang dimaksudkan adalah bahwa imperatif kategoris itu berlaku bagi setiap orang tanpa kecuali. Masalah lain yang timbul adalah “mengapa imperatif kategoris bersifat sintetis?” Imperatif kategoris bersifat sintetis karena bila kita menganalisis suatu konsep dari tindakan manusia, maka kita tidak akan dapat menentukan apakah tindakan tertentu itu secara kategoris diperintahkan atau dilarang. Umpamanya, konsep ‘membunuh’, kita tidak bisa menentukan bahwa membunuh seseorang yang tidak bersalah adalah tidak boleh.
Sekarang kita kembali pada masalah “bagaimanakah imperatif kategoris itu mungkin?” Untuk menjawab masalah tersebut maka Kant – dengan bertolak dari pengertian di atas – mencoba untuk membedakan antara bentuk dan isi dari imperatif kategoris. Yang dimaksudkan dengan bentuk imperatif kategoris adalah apa yang tinggal jika segala isi (= materi) dipisahkan daripadanya. Menurut Immanuel Kant yang tinggal adalah bahwa hal itu berlaku bagi umum, maksudnya tiap-tiap makhluk yang berasio harus mengikuti imperatif itu, karena bentuk ini berasal dari rasio dan hanya bentuk inilah yang membuat suatu imperatif menjadi hukum moral yang tidak bersyarat. Yang dimaksudkan dengan isi atau materi adalah apa yang saya buat, jika saya bertindak menurut imperatif tersebut.
Menurut Kant tidaklah mungkin bahwa suatu imperatif berlaku atas dasar isi atau materinya. Dalam kenyataannya bentuk selalu disertai isi, dan justru karena itulah kita harus mempelajari bentuk suatu imperatif secara tersendiri. Untuk itu Kant mencoba untuk merumuskan suatu imperatif kategoris yang bersifat mutlak perlu dan universal, rumusannya adalah sebagai berikut: “bertindaklah selalu menurut peraturan yang sekaligus dapat kaukehendaki menjadi hukum umum”.
Bila kita memperhatikan rumusan tersebut di atas maka rumusan itu bukan merupakan suatu rumusan yang bersifat materiil – yang tergantung pada pengalaman dan keinginan-keinginan kita – melainkan merupakan suatu rumusan yang samasekali bersifat formal. Artinya, rumusan itu tidak menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan melainkan menunjukkan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi bila kita bertindak, yaitu peraturan-peraturan yang berlaku secara umum. Oleh karena itu – bagi Kant – suatu tindakan baru memiliki nilai moral jika dan hanya jika tindakan itu dilakukan karena suatu kewajiban, dalam arti sesuai dengan dan demi memenuhi suatu kewajiban tertentu . Namun, hal ini tidak berlaku jika pelaksanaannya disebabkan oleh adanya suatu paksaan atau tidak bebas.
Dengan demikian – menurut Kant – manusia tidak pernah boleh menjadi sarana belaka, juga terhadap hukum umum. Maka biarpun Kant mengandaikan bahwa kehendak mesti tunduk pada hukum umum yang universdal, namun menurut Kant manusia sendirilah yang menjadi sumber dari hkum umum, kepadanya manusia tunduk dan menaklukkan dirinya. Dengan perkataan lain, manusia adalah legislator, kehendak manusia adalah bebas. Dalam etika Kant kebebasan manusia memegang peranan yang sangat penting, karena kebebeasan merupakan syarat bagi kewajiban moral dan dengan itu serentak juga merupakan dasar keinsyafan moral.
Setelah kita melihat secara sepintas lalu, maka ada beberapa hal – dari pemikiran Kant di bidang etika yang menarik untuk diperhatikan. Yang pertama adalah bahwa bagi Immanuel Kant kewajiban merupakan pusat dan dasar dari etikanya. Baik atau tidaknya suatu tindakan tergantung pada pelaksanaan akan kewajiban itu. Dengan demikian Kant dengan etikanya ingin menunjukkan syarat yang harus dipenuhi agar suatu tindakan tertentu adalah baik secara moral, yaitu memenuhi kewajiban sebagai kewajiban (oleh karenanya etika Kant bersifat sama sekali formalistis). Yang kedua adalah bahwa menurut Kant suatu tindakan yang digerakkan oleh perasaan belaka bukan merupakan suatu tindakan yang memiliki nilai moral, karena suatu tindakan baru memiliki nilai moral bila tindakan tersebut semata-mata merupakan pelaksanaan dari kewajiban (etika Kant bersifat sama sekali rigoristis atau sangat kaku). Yang ketiga, biarpun nilai moral suatu tindakan tergantung pada pelaksanaan suatu kewajiban, namun di lain pihak Kant tetap mengakui bahwa dalam melaksanakan kewajibannya manusia tetap bebas, jadi yang menjadi sumber dari kewajiban tersebut adalah manusia sendiri.

Etika-Nilai yang berifat material Max Scheler
Sebagaimana telah dikatakan di atas bahwa di satu pihak Scheler sangat kagum terhadap pemikiran Kant di bidang etika. Kekaguman tersebut secara sangat jelas tersurat dalam bukunya, di mana Scheler menulis sebagai berikut “But even in the section of criticism it was always my assumption that Kant’s ethics, and not the ethics of any other modern philosopher, represent the most perfect we have in the area of philosophical ethics – although not in the form of a Weltanschauung or a consciousness of faith, but rather in the form of strict scientific insight” . Oleh karena itu, kritik yang dilancarkan oleh Scheler terhadap etika Kant tidak dimaksudkan bahwa Scheler anti-Kant, atau bahwa Scheler ingin kembali kepada pemikiran-pemikiran sebelum Kant, melainkan maksud Scheler dengan kritiknya adalah bahwa Scheler berusaha untuk menemukan kembali dimensi-dimensi yang telah dilalaikan oleh Kant. Bahkan menurut Alfons Deeken - usaha Scheler ini sangat sesuai dengan sikap dasar yang dimiliki oleh Scheler, dan yang telah mewarnai seluruh pemikirannya, yaitu keterbukaannya akan kekayaan pengalaman dan pengetahuan manusia. dalam rangka untuk lebih dapat memahami dan menangkap pemikiran atau alternatif yang ditawarkan oleh Scheler – yaitu etika-nilai yang bersifat material – maka kami akan berusaha untuk merumuskan kembali – secara singkat – kritik yang telah diajukan oleh Scheler terhadap etika Kant.
Berbeda dengan Kant – yang sangat menekankan peranan rasio dalam tindakan moral manusia – maka Scheler berusaha untuk menekankan kembali diomensi-dimensi emosional manusia, atau tindakan-tindakan bukan rasional dalam tingkahlaku moral manusia. dalam hal ini Scheler sanga dipengaruhi oleh Augustinus (354 – 430) dan Blaise Pascal (1623 – 1662), dan pengaruh mereka terutama nampak dalam hal bahwa emosi manusia mempunyai suatu struktur kognitif dan bahwa etika sekaligus dapat bersifat emotif dan absolut. Namun, biarpun Scheler dipengaruhi baik oleh Augustinus maupun Blaise Pascal, tetaplah merupakan suatu kenyataan bahwa pemikiran Scheler merupakan suatu pemikiran yang orisinal, dalam arti bahwa bagi Scheler ada hubungan yang sangat erat antara yang apriori di bidang emosi dengan obyektivitas nilai-nilai. Dengan perkataan lain – bila kami meminjam rumusan Alfons Deeken – maka bagi Scheler “the heart of man is not a chaos of blind feelings but an ordered counterpart to the cosmos of values. There is a correspondence between man’s heart and the cosmos of values, or a strict parallel between the apriori ordre du coeur and the objective hierarchical of higher and lower values” .
Pada prinsipnya Scheler setuju dengan Kant dalam hal bahwa etika harus mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang bersifat apriori. Di lain pihak Scheler sama sekali tidak setuju dengan pandangan Kant bahwa yang apriori hanya berasal dari rasio murni saja, atau dengan perkataan lain bahwa yang apriori adalah yang rasional saja. Menurut pendapat Scheler, pandangan sebagaimana yang dianut oleh Kant dipengaruhi oleh empirisme Inggris – terutama oleh pikiran-pikiran David Hume – di mana menurut empirisme yang bukan-rasional merupakan hasil dari pengalaman inderawi belaka. Dengan perkataan lain, Kant telah mengidentifikasi antara yang material dengan yang inderawi, dengan demikian yang material tidak dapat menjadi sumber pengetahuan yang bersifat apriori, yang seharusnya bersifat absolut dan universal. Bagi Scheler yang apriori berarti “all those ideal units of meaning and those propositions which are selfgiven by way of an immediate intuitive content” . Dengan demikian bagi Scheler yang apriori dengan yang aposteriori bukannya berbeda karena yang satu tidak berdasarkan pengalaman sedang yang lain berdasarkan pengalaman. Bagi Scheler yang apriori dan yang aposteriori merupakan dua macam pengalaman yang saling berbeda satu dengan yang lainnya. Pengalaman apriori merupakan suatu pengalaman yang diperoleh berdasarkan suatu intuisi fenomenologis, atau pengalaman yang diperoleh secara langsung. Sedang pengalaman aposteriori merupakan suatu pengalaman yang diperoleh berdasarkan suatu persepsi empiris belaka. Dengan pengalaman intuitif fenomenologis atau pengalaman langsung dimaksudkan suatu pengalaman mengenai suatu fakta yang diperoleh tanpa melalui simbol, tanda dan lain-lain , dan di samping itu juga merupakan suatu pengalaman yang bersifat immanen . Dengan demikian dalam pengalaman fenomenologis antara yang dimaksudkan dengan yang diberikan tidak dibedakan satu dengan yang lainnya, atau bila kita meminjam rumusan yang dipergunakan oleh Scheler sendiri, yaitu “in phenomenological experience nothing is meant that is not given, and nothing is given that is not meant” . Justru pengalaman yang sedemikian tidak dikenal oleh Kant , karena bagi Kant yang apriori adalah yang rasional, bagi Kant yang apriori tidak mungkin bersumber atau berasal dari yang bukan-rasional. Sebaliknya bagi Scheler yang apriori lebih luas daripada hanya yang rasional. Untuk menunjang pandangannya, Scheler mengacu pada pengalaman manusia akan cinta dan benci. Melalui pengalaman akan cinta menjadi nyata bahwa manusia tidak hanya menjawab nilai-nilai yang telah dikenalnya, melainkan manusia juga menemukan nilai-nilai yang baru. Bahkan – bagi Scheler – cinta merupakan suatu pendorong atau motivator yang mendorong manusia untuk mencari nilai-nilai yuang lebih baru, dan yang lebih tinggi. Dalam pengalaman akan cinta manusia merasa menjadi lebih ‘kaya’ dan lebih manusiawi. Padahal pengalaman akan cinta tidak merupakan suatu pengalaman empiris yang biasa, melainkan merupakan suatu pengalaman yang hanya dapat ditangkap atau dirasakan secara intensional, atau dengan perkataan lain pengalaman akan cinta merupakan suatu pengalaman yang hanya dapat ditangkap oleh intuisi fenomenologis . Dalam hidup sehari-hari tindakan-tindakan manusia yang dilatarbelakangi oleh pengalaman akan cinta dan benci seringkali tidak masuk akal atau bukan-rasional, namun secara tegas Scheler menyatakan bahwa “the emotive elements of spirit, such as feeling, preferring, loving, hating dan willing, also possess original apriori contents which are not borrowed from ‘thinking’, and which ethics must show to be independent of logic” . Dengan demikian secara tegas Scheler menolak pendirian Kant bahwa yang apriori adalah identik dengan yang rasional. Dari hasil penyelidikannya terhadap kesadaran manusia menjadi jelas bahwa yang apriori juga meliputi yang bukan-rasional. Dengan perkataan lainyang apriori juga meliputi pengalaman langsung atau pengalaman intuitifbahkan, menurut pendapat Scheler, pandangan Kant tersebut berlandaskan pada kekeliruan yang lebih mendasar, yaitu bahwa yang apriori diidentikkan dengan yang formal.
Kant dengan imperatif kategorisnya ingin menawarkan suatu norma yang seragam dalam usaha menilai tindakan moral manusia. dengan perkataan lain Kant ingin menentukan syarat apa yang harus dipenuhi oleh manusia agar suatu tindakan moral adalah baik, dan syarat tersebut tidak lain adalah hukum moral yang mewajibkan manusia secara absolut dan universal. Dengan demikian Kant tidak memperhatikan bahhkan melalikan keanekaragaman dan kekayaan serta perbedaan yang ada dalam kehidupan moral manusia yang kongkret.
Padahal, bagi Scheler tugas etika seharusnya tidak hanya memperhatikan hukum-hukum moral yang berlaku secara absolut dan umum, melainkan hendaknya juga harus berusaha untuk membantu manusia dalam menemukan kekayaan serta keanekaragaman hidup moral yang konkret, baik secara individual maupun secara sosial.dengan perkataan lain, etika hendaknya membantu manusia dalam menentukan suatu tindakan moral yang kongkret, tanpa melalaikan situasi yang nyata dihadapi oleh seseorang. Dengan bantuan etika manusia hendaknya dapat mempertimbangkan tindakan apa yang perlu diambilnya dalam menjawab situasi yang ada.
Bahkan menurut Alfons Deeken - dengan mengambil alih pandangan dari Otto Friedrich Bollnow – kritik yang dilancarkan oleh Scheler tidak hanya kena pada formalisme Kant, melainkan juga kena pada setiap pemikiran dalam bidang etika yang berlandaskan pada konstruktivisme, yaitu setiap kecenderungan yang mencoba untuk menurutnkan kekayaan dan keanekaragaman gejala moral pada satu prinsip saja. Umpamanya, bagi F. Nietzsche (1844 – 1900) kekuasaan, sedang bagi A. Schopenhauer (1788 – 1860) rasa belas kasihan, sedang bagi Kant kewajiban menjadi prinsip yang pertama dan utama dari etikanya.
Berkaitan dengan pandangannya tentang keanekaragaman nilai, maka Scheler juga sangat menekankan adanya suatu “vision of the totality of life and a fine ear for unique demand of the hour” . Dengan itu maksud Scheler adalah bahwa manusia agar selalu berusaha untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya untuk dapat menangkap nilai-nilai yang tersebid baginya dan serentak tidak melalaikan nilai-nilai yang telah berlaku secara umum, dengan demikian manusia memiliki suatu pandangan yang menyeluruh tentang kehidupannya. Bagi Scheler tanda-tanda jaman (= the unique demand of the hour) menghadirkan suatu dimensi yang paling hakiki dalam suatu keseluruhan kewajiban moral manusia. karena bagi Scheler setiap jaman mempersembahkan suatu kemungkinan dari suatu wawasan akan nilai-nilai yang unik, dengan demikian akan mengundang manusia akan suatu tugas dan langkah atau tindakan moral sebagai jawabannya, dan justru dalam hal ini peranan pengalaman intuitif sangat besar. Dengan demikian Scheler mau menunjukkan bahwa setiap etika rasionalistis gagal dalam usahanya untuk memperlihatkan dimensi Kairos (= demand of the hour of our human and historical humanity and life), karena setiap etika rasionalistis menolak adanya keanekaragaman dan perubahan nilai-nilai moral.
Di satu pihak Scheler mengakui kebenaran pendapat Kant yang menekankan sifat universal dan absolut dari etika, serta menolak setiap relativisme etis. Namun, di lain pihak pendapat Kant kurang memperhatikan, bahkan melalaikan kekayaan dan keanekaragaman nilai-nilai moral yang kongkret. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan nilai oleh Scheler? Bagi Scheler nilai adalah suatu kualitas material yang tidak akan mengalami perubahan biarpun wahananya berubah atau rusak, sebagai analog Scheler mengacu pada warna. Bagi Scheler kita dapat membayangkan suatu warna tertentu, misalnya warna merah, tanpa perlu membayangkan suatu benda tertentu yang berwarna merah, seperti mawar merah . Bahkan biarpun mawar merah tersebut sudah layu dan warnanya sudah berubah, maka kondisi itu tidak akan dapat menghapuskan bayangan kita tentang warna merah. Selain daripada itu bagi Scheler semua nilai bisa dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu nilai-nilai yang positif dan yang negatif, dengan demikian tidak mungkin nilai tertentu sekaligus positif dan negatif. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa bagi Scheler nilai-nilai dapat ditangkap melalui suatu pengalaman langsung atau intuitif, maka nilai bersifat material dan bersifat apriori karena secara hakiki tidak tergantung pada wahananya.
Hal lain yang perlu dicatat tentang pemikiran Scheler berkaitan dengan nilai adalah masalah hirarki nilai. Scheler berpendapat bahwa dalam keseluruhan nilai-nilai yang ada, maka nilai-nilai tersebut tersusun menurut suatu hirarki tertentu, di mana nilai yang satu lebih tinggi dari nilai yang lain. Scheler membagi nilai-nilai menjadi empat jenjang – mulai dari yang terendah - yaitu nilai-nilai yang berhubungan dengan kenikmatan, kemudian nilai-nilai yang berkaitan dengan vitalitas, berikutnya adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan hal-hal rohani dan yang terakhir adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan yang kudus dan yang profan. Di mana nilai-nilai moral? Bagi Scheler nilai-nilai moral bersifat unik sehingga lain daripada nilai-nilai bukan moral, hal itu menjadi jelas dari kenyataan bahwa nilai moral ditemukan dalam tindakan manusia yang mencoba mengejar nilai-nilai bukan moral. Masalahnya adalah apa yang menjadi kriteria dari hirarki nilai tersebut. Menurut pendapat Scheler ada lima macam kriteria yang menentukan hirarki nilai, yaitu:
a. kriteria pertama adalah lamanya suatu nilai, artinya suatu kecenderungan yang bersifat intrinsik untuk bertahan terus, seperti kebahagiaan.
b. Kriteria yang kedua berhubungan sifat suatu nilai, yaitu dapat atau tidak dapat suatu nilai dibagi-bagi, misalnya sepotong roti yang enak dan sebuah lukisan yang indah.
c. Kriteria yang ketiga adalah sifat ketergantungan suatu nilai terhadap nilai-nilai yang lain, misalnya nilai ‘yang berguna’ dan nilai ‘yang menyenangkan’.
d. Kriteria yang keempat adalah nilai yang lebih tinggi memberikan kepuasan yang lebih mendalam, misalnya cinta yang utuh dengan kenikmatan seksual.
e. Kriteria yang kelima adalah tingkat relativitas suatu nilai terhadap nilai yang absolut, misalnya nilai kebenaran dan nilai kesehatan.

Sebagai catatan akhir dari tulisan ini dapat dikatakan bahwa Scheler telah membuka mata kita bahwa melalui penelitian fenomenologisnya Scheler sampai pada suatu pendapat yang penting untuk dewasa ini yaitu apa yang disebutnya sebagai ‘tindakan manusia atas dasar perasaan intensional (= acts of intentional feelings). Sebagaimana halnya dengan warna yang merupakan obyek penglihatan, begitu pula suara merupakan obyek dari pendengaran, sedang konsep-konsep merupakan obyek dari penalaran, maka nilai-nilai merupakan obyek dari perasaan intensional. Bagi Scheler manusia yang hanya memiliki intelek dan kehendak, namun tidak memiliki perasaan intensional maka manusia yang bersangklutan tidak dapat mengalami nilai apapun. Adakah hubungan antara kecerdasan emosional yang sekarang banyak dibicarakan dengan dengan perasaan intensionalnya Scheler?

Bogor, 12 Desember 2004


Stanislaus Nugroho

1 komentar: