UANG SEBAGAI SALAH SATU SARANA KOMUNIKASI CINTA DALAM KELUARGA
Stanislaus Nugroho
“Karena di mana hartamu berada,
di situ juga hatimu berada” (Mt. 6:21).
Pendahuluan
Pada tahun 1984 di Nijmegen telah terbit sebuah buku, yang awalnya merupakan sebuah disertasi, dengan judul De Nacht van Het Kapitaal dan ditulis oleh A. Th. van Leeuwen. Buku ini sangat menarik – sekurang-kurangnya untuk saya – betapa tidak. Leeuwen dalam bukunya menggambarkan bahwa dewasa ini telah muncul sebuah agama baru yang tidak lain adalah agama ekonomi. Agama ekonomi menjanjikan pekerjaan, kesejahteraan, sandang, pangan, papan, kebebasan dan keadilan bagi para pemeluknya. Kepercayaan kepada pasar bebas dan ekonomi global merupakan satu-satunya jalan keselamatan. Agama ekonomi hanya mengenal satu macam tata peribadatan, yang tidak lain adalah persaingan bebas. Dalam agama ekonomi yang menjadi tuhan tidak lain adalah uang. Uang hadir di mana-mana, menjadi perhatian dan pembicaraan setiap orang. Uang menguasai setiap jengkal kehidupan manusia dewasa ini. Uang menjadi tuhan, ini bukan kiasan melainkan suatu kenyataan, uang betul-betul ’mahakuasa’. Hal ini sudah pernah diramalkan oleh Karl Marx (1818 – 1883) lebih dari seratus tahun yang lalu, yaitu bahwa agama masyarakat modern yang telah kehilangan Tuhan adalah kapital.
Apa yang dikatakan oleh Leeuwen sulit untuk disangkal kebenarannya. Begitu kita membuka mata, maka pikiran kita sudah terpusat pada uang, seharian kita bekerja keras untuk memperoleh uang, malam hari kita juga masih berpikir tentang uang, maka tidaklah mengherankan bila kita mimpi juga masih tentang uang. Masalahnya adalah apa yang dijanjikan oleh agama ekonomi belum menjadi suatu kenyataan, dan kemungkinan besar tidak akan pernah menjadi kenyataan. Bahkan keprihatinan yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh seperti David Korten, William Greider, Will Hutton, Edward Luttwak, Noreena Hertz, Paul Krugman, sampai pemenang hadiah Nobel Ekonomi 2001, Joseph Stiglitz menyingkapkan kenyataan lain. Dunia tidak menjadi lebih makmur, apalagi adil .
Bahkan, dewasa ini demi uang orang menjadi sangat serakah (korupsi adalah gejala keserakahan yang paling nyata). Demi uang lahir mafia pembakar dan pengkapling hutan negara, demi uang lahir mafia pembuat skripsi, diploma dan surat ijin mengemudi yang asli tapi palsu.
Janganlah sarana hidup dijadikan jaminan hidup
Sub judul di atas merupakan salah satu peringatan yang diungkapkan oleh etika Stoa (lebih dari 2300 tahun yang lalu). Peringatan tersebut menjadi sangat relevan, uang sebenarnya adalah sekadar salah satu sarana hidup, namun sekarang ini telah dijadikan satu-satunya penjamin kehidupan. Logika ekonomi sebagaimana dikembangkan oleh kapitalisme global saat ini tidak lain adalah maksimalisasi keuntungan lewat efisiensi dan efektivitas dalam berbisnis. Logika maksimalisasi keuntungan mempengaruhi seluruh kegiatan manusia, baik dalam bidang produksi, distribusi maupun konsumsi. Akibatnya sangat jelas, di mana ekonomi sebagaimana tercermin dalam kegiatan bisnis telah menjadi salah satu penyebab timbulnya tiga permasalahan mendasar yaitu:
[1] terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang sangat memprihatinkan karena eksploitasi habis-habisan terhadap sumber daya alam;
[2] terjadinya kesenjangan sosial ekonomi yang sangat lebar, yang kaya semakin kaya sedang yang miskin semakin miskin ;
[3] dan terjadinya pola hidup yang sangat konsumtif . Bila Descartes (1596-1650) berujar ’Cogito ergo sum’ (saya berpikir maka saya ada), maka dewasa ini banyak orang berujar ’saya membeli maka saya ada’.
Dalam kaitan dengan persoalan-persoalan tersebut di atas maka menarik bahwa Sidang Parlemen Agama-Agama Dunia di Chicago 1993 yang lalu memberikan pernyataan sebagai berikut: “bahwa kaum muda sebaiknya sudah mulai dididik dalam keluarga dan sekolah; bahwa hak milik, betapa pun sedikitnya, terikat pada kewajiban-kewajiban. Penggunaannya harus mengabdi kepada kesejahteraan umum. Hanya dengan demikian cita-cita dunia tentang tata ekonomi yang adil dapat ditegakkan” . Pernyataan ini mengingatkan saya pada salah satu penemuan Karl Marx dan Friedrich Engels yaitu tentang dimensi transindividual dari milik, bahwa milik selalu memiliki suatu fungsi sosial dan tidak pernah boleh dibatasi hanya pada dimensi kepentingan pribadi belaka.
Peranan keluarga dalam pendidikan kepekaan sosial dan solidaritas
Apa yang menjadi pernyataan sikap dari Sidang Parlemen Agama-Agama Dunia di Chicago menjadi sangat relevan bagi kita. Mengapa? Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, art. 52 menyatakan bahwa “Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan”, selanjutnya Pernyataan tentang Pendidikan Kristen, art. 3 menyatakan bahwa “Karena orangtua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Maka orangtualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama” khususnya yang berkaitan dengan pendidikan nilai dan pendidikan iman. Nilai dirumuskan secara sangat menarik oleh Hans Jonas sebagai “the addressee of a yes”, kurang lebih bisa diterjemahkan sebagai ‘sesuatu, kepadanya aku mengatakan ya’. Sesuatu yang bernilai selalu berciri positif, maka kepadanya aku mau mengamininya. Permenungan mengenai nilai, saya pikir saat ini menjadi sangat relevan, sejak tahun 1997 KWI dalam Surat Gembala Prapaskah menampilkan uraian mengenai kerusakan moral hampir di segala bidang kehidupan bermasyakarat, berbangsa dan bernegara. Berikutnya pada tahun 2001 KWI dalam surat Gembala Paskah mengajukan pertanyaan “….. betulkan sekarang ini hanya ada kemerosotan moral saja atau sudah matikah moral dan etika yang seharusnya menjadi dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?” Kemudian pada tahun 2003 melalui Nota Pastoralnya KWI menyatakan bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami proses “hancurnya keadaban”. Dan, akhirnya melalui Nota Pastoral 2004 KWI menyatakan ikut bertanggungjawab untuk membangun kembali keadaban publik yang rusak tersebut, agar berkembanglah habitus baru bangsa Indonesia . Dalam kerangka ini, kita bisa menyumbangkan suatu habitus baru yang kecil, bila kita menggunakan uang (mengingat – sadar atau tidak sadar – peranan uang yang begitu mendominasi bahkan kadang-kadang mendeterminasi kehidupan kita sehari-hari) sebagai sarana pendidikan nilai, misalnya yang berkaitan dengan nilai kejujuran, tanggungjawab, keadilan, kemandirian dan solidaritas khususnya kepada mereka yang marjinal. Begitu juga uang bisa dipakai sebagai sarana pendidikan iman, misalnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan ilahi dalam hidup kita sebagai manusia yang beriman. Masalahnya bagaimana kita bisa menggunakan uang sebagai sarana pendidikan nilai?
Gunakanlah bahasa uang
Bila kita ingin menggunakan uang sebagai sarana pendidikan nilai maka kita harus menggunakan bahasa uang. Bahasa uang itu lugas, bahasa uang itu hitam putih. Dalam kothbah di Bukit Yesus dengan sangat jelas mengingatkan kita dengan kata-kata sebagai berikut “….. di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” . Kata hati dalam Kitab Suci mengacu pada perasaan, cita-cita dan kehendak manusia, padahal hati manusia secara hakiki mengarah pada Allah, namun karena kurangnya kepekaan kita akan Allah maka hati kita sering terarah hanya pada uang, yang secara “nyata” menjanjikan kesejahteraan dan kebahagiaan. Dalam kaitan itulah maka saya pikir Yesus mengingatkan kita agar selalu waspada. Dalam kaitan dengan ini maka Rasul Paulus dalam suratnya yang pertama kepada Timotius mengungkapkan beberapa syarat bagi penilik jemaat, salah satu di antaranya adalah “….., bukan hamba uang”. Selanjutnya dalam surat yang sama Rasul Paulus memberikan nasihat kepada kita semua agar berhati-hati dengan uang, karena “akar segala kejahatan ialah cinta uang” . Peringatan dan nasehat Rasul Paulus tersebut sangat relevan dengan kondisi kita di Indonesia saat ini. Indonesia merupakan suatu negara beragama, bukan negara agama, namun sekaligus menjadi salah satu negara paling korup di dunia , bagaimana kita bisa menjelaskan fenomena tersebut. Menurut pendapat saya fenomena tersebut dapat dijelaskan dari dua sisi, sisi yang pertama bahwa kita telah terjebak pada formalisme, ritualisme dan legalisme agama. Sedang dari sisi yang lain kita juga terjebak pada arus neoliberalisme di mana kita semua memuja sistem pasar bebas sebagai satu-satunya sistem yang akan memberikan kemakmuran pribadi. Padahal kita semua sadar bahwa sumberdaya alam adalah terbatas, mengeksploitasi sumberdaya alam secara habis-habisan akan menimbulkan ketidakseimbangan ekologis, padahal kita secara hakiki memiliki tanggungjawab penuh terhadap generasi-generasi mendatang. Berkaitan dengan itu maka kita – dewasa ini – perlu memikirkan ulang seluruh konsep kemakmuran dan pembangunan. Kemakmuran harus dipikirkan tidak lagi secara individual melainkan harus dipikirkan secara transindividual dan berkesinambungan baik pada masa sekarang ini maupun untuk masa depan. Pemikiran ini mulai terbersit dengan adanya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable growth) yang disuarakan oleh World Commission on Environment and Development. Komisi tersebut dalam laporannya mencoba mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari generasi sekarang, tanpa membahayakan kesanggupan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri” . Namun, hasil komisi ini masih kurang gaungnya dibandingkan dengan gaung dari neoliberalisme yang disuarakan oleh Forum Ekonomi Dunia (corong dari para kapitalis global).
Perubahan paradigma sebagaimana dikumandangkan oleh Forum Sosial Dunia sudah harus diperkenalkan sejak dini yaitu melalui keluarga, di mana prinsip kesetaraan dan keadilan mulai ditanamkan, dan ini hanya mungkin bila kita menggunakan uang sebagai salah satu sarana pendidikan nilai yang penting.
Bahasa uang
Sejauh pengalaman saya sebagai “pendamping keluarga”, membicarakan uang dalam keluarga merupakan salah satu bidang komunikasi yang paling sulit. Saya menduga hal itu disebabkan karena uang menjadi simbol dari kekayaan, kekuasaan dan gengsi . Padahal ketiga hal itulah yang menimbulkan kesombongan dan egosentrisme (selfishness), kesombongan mengandaikan adanya subordinasi, dengan demikian kesombongan tidak mungkin melahirkan dialog, karena dialog mengandaikan kesetaraan. Selain daripada itu dialog juga mengandaikan kesadaran bahwa yang sedang berdialog belumlah sempurna. Keluarga merupakan persekutuan pribadi-pribadi yang unik dan semartabat serta berdasarkan pada kasih. Biarpun demikian masing-masing anggota keluarga sebagai pribadi memiliki kepentingan yang berbeda, memiliki kebutuhan yang berbeda, memiliki persepsi yang berbeda, dan hal itu bisa menimbulkan konflik di antara mereka. Oleh karena itu setiap keluarga perlu mengembangkan dialog, perlu mengembangkan komunikasi hati penuh kebaikan di antara para anggota keluarga. Oleh karena itu, almarhum Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio menekankan perlunya keluarga membangun komunitas (persekutuan) pribadi-pribadi sebagai salah satu misi keluarga (FC art. 18 – 27). John Powell melalui bukunya yang berjudul Will the Real Me Please Stand Up? Mendefinisikan komunikasi sebagai memberikan sesuatu agar sesuatu itu menjadi milik bersama. Sesuatu itu bisa bermacam-macam, mulai dari basa-basi, gosip, pikiran, perasaan sampai dirinya. Dialog merupakan komunikasi di mana sesuatu itu tidak lain adalah dirinya sendiri, baik itu perasaannya, pikirannya maupun perilakunya, dengan demikian melalui dialog kita berusaha untuk saling mengenal satu sama lain, pun bila itu berkaitan dengan uang, yang sering merupakan sumber konflik.
Dalam kaitan dengan usaha untuk menjadikan uang sebagai sarana pendidikan nilai, maka kita perlu mengembangkan kebiasaan ANDIKA (Anggaran, Dialog dan Kasih), atau bila kita menggunakan bahasa KWI maka kita perlu mengembangkan habitus baru yang bernama ANDIKA. Setiap keluarga baru pasti memiliki impian, dan impiannya tidak lain (bila meminjam bahasanya Lukas sang pengarang Injil ) adalah mendirikan menara keluarga yang indah dan asri sehingga membuat kerasan/betah para anggota keluarga. Namun sebagaimana ditulis oleh Lukas maka dalam usaha mendirikan menara tersebut kita diminta untuk duduk dan menghitung anggarannya, agar tidak gagal di tengah jalan dan ditertawai orang. Dengan perkataan lain dalam usaha mengikuti Yesus dalam membangun keluarga sesuai dengan rencana Allah (salah satu bidang, dalam hal ini adalah ekonomi keluarga) maka kita perlu menyusun anggaran lewat dialog dalam keluarga, serta didasarkan pada kasih, dan dengan demikian uang bisa menjadi sarana komunikasi cinta dalam keluarga. Untuk itu ada tujuh langkah dialog yang harus dilakukan, yaitu: 1) bagaimana perasaan saya saat ini atau akhir-akhir ini; 2) bagaimana pikiran saya saat ini atau akhir-akhir ini yang menyertai perasaan saya; 3) perilaku saya yang menyertai perasaan dan pikiran saya; 4) kebutuhan-kebutuhan pokok batiniah mana yang goncang dalam diriku (kasih, harga diri, keterlibatan dan kemandirian); 5) bagaimana saya menangani kebutuhan pokok batiniah saya yang goncang selama ini (tetap dalam relasi atau di luar relasi); 6) alternatif apa saja yang dapat membuat situasi lebih baik; 7) pilihlah alternatif yang paling baik saat ini. Selamat mencoba.
Bogor, 23 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar