Sabtu, 11 September 2010

hubungan antara kekuasaan dan kekerasan dalam konteks politik

Hubungan antara Kekuasaan dan Kekerasan dalam Konteks Politik
Stanislaus Nugroho

Pendahuluan
Setelah jatuhnya Orde Baru maka pembicaraan tentang politik saya pikir menjadi jauh lebih hidup, selain daripada itu orang yang mau terjun ke dunia politik juga jauh lebih banyak. Lebih-lebih bulan-bulan terakhir ini kehidupan berpolitik terasa jauh lebih hangat, karena pembicaraan tentang politik tidak hanya menjadi monopoli para politisi dan para pengamat politik tetapi menjadi pembicaraan masyarakat biasa, bahkan sampai di warung kopi di pinggir jalan. Saya pikir suatu gejala yang sangat baik, karena berpolitik memang merupakan suatu kegiatan bersama, suatu kegiatan publik. Maka tulisan ini bukanlah ungkapan kelatahan, melainkan suatu usaha untuk memahami secara lebih baik kegiatan berpolitik yang santun, biarpun pada akhirnya akan bermuara kepada kekuasaan, namun kekuasaan yang berpihak pada kepentingan masyarakat ‘kecil’, masyarakat yang terpinggirkan oleh derap kegiatan ekonomi yang sangat ditandai oleh keberpihakan pada yang ‘besar’.
Tulisan ini merupakan hasil suatu studi yang mengambil tema ‘hubungan kekuasaan dan kekerasan dalam konteks politik’. Mengapa saya melakukan studi dengan tema tersebut di atas? Studi ini di latarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1965 sampai akhir-akhir ini. Setelah hampir empat tahun lamanya masyarakat Indonesia hidup dengan cukup aman dan tentram, maka pada tanggal 17 Juli 2009 masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan suatu bentuk kekerasan yang menggunakan bahan peledak. Ledakan bom ini ini terjadi Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, Mega Kuningan Jakarta, yang akhirnya menimbulkan korban jiwa sebanyak 9 orang dan 53 orang mengalami luka-luka, baik luka-luka ringan maupun parah .
Dalam rangka melakukan studi ini saya menggunakan acuan pemikiran seorang pemikir perempuan yang hidup dan berkarya pada abad ke 20. Pemikir perempuan yang saya maksud adalah Hannah Arendt (1906-1975), seorang perempuan keturunan Yahudi yang mengalami Perang Dunia II dengan segala kekerasan yang terjadi pada saat itu, khususnya kekerasan terhadap orang-orang keturunan Yahudi. Sehingga akhirnya Arendt terpaksa berimigrasi ke Amerika Serikat. Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan bila Hannah Arendt memiliki minat sangat besar di bidang filsafat politik khususnya yang berkaitan dengan kekuasaan dan kekerasan. Karya-karyanya dituangkan dalam banyak buku, namun saya dengan keterbatasan waktu yang saya miliki maka sengaja membatasi diri dan lebih berfokus pada dua bukunya, yaitu On Violence dan The Human Condition . Pemikiran-pemikirannya - menurut pendapat saya - masih relevan dengan situasi dan kondisi Indonesia saat ini. Mengapa? Berpolitik sebenarnya merupakan sesuatu yang luhur, betapa tidak. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang unik, yang tidak ada duanya. Dengan perkataan lain kemajemukan merupakan hakekat dari kemanusiaan, dan kemajemukan mengundang manusia untuk berpolitik, untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada, demi suatu kebersamaan yang selaras. Namun, masalahnya mengapa panggilan tersebut sering dinodai oleh kekerasan. Bahkan kekerasan merupakan suatu gejala yang akhir-akhir ini ada di depan mata kita, entah yang kita baca melalui surat kabar dan majalah, entah yang kita dengar dan lihat melalui televisi, entah itu kekerasan vertikal (= kekerasan yang dilakukan oleh Negara kepada rakyatnya) entah itu kekerasan horisontal (= kekerasan yang terjadi antar anggota/kelompok masyarakat).
Untuk itu tulisan ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan, yaitu: ‘Apakah itu politik?’; ‘Apakah itu kekuasaan?’; ‘Apakah itu kekerasan?’; dan ‘Adakah hubungan antara kekuasaan dan kekerasan?’

Apakah itu politik?
Kata kunci dalam karangan ini adalah politik, kekuasaan dan kekerasan. Berkaitan dengan itu maka sebelum membahas tema di atas ada baiknya bila kita memahami dahulu apa yang dimaksudkan dengan ‘politik’.
Sudah sejak jaman Aristoteles kegiatan berpolitik merupakan suatu kegiatan yang istimewa, bahkan menurut Aristoteles manusia secara kodrati adalah makhluk yang berpolitik, manusia adalah zoon politikon. Dengan demikian bagi Aristoteles manusia mewujudkan dirinya dengan berpolitik. Atau dengan perkataan lain dengan berpolitik tidak lain berarti manusia mengaktualisasikan potensinya yang paling khas, dan itu terjadi dalam polis. Bagi Aristoteles dengan berpolitik manusia memiliki tujuan untuk merealisasikan kebaikan tertinggi dan hidup bahagia bagi semua warga polis yang bebas.
Hannah Arendt sedikit banyak mengikuti pemikiran Aristoteles tersebut di atas, hanya konsep manusia bagi Arendt bukanlah manusia universal , bukan manusia pada umumnya (zoon politikon), melainkan manusia konkret. Pemikiran Hannah Arendt diungkapkan secara jelas lewat bukunya yang berjudul The Human Condition.
Sudah pada halaman pertama dari bukunya tersebut di atas Hannah Arendt membagi kegiatan manusia-aktif menjadi tiga macam, yaitu Arbeiten atau labor atau kerja; Herstellen atau work atau karya dan Handeln atau action atau tindakan (politis). Sebelum kita berbicara tentang pandangan Arendt tentang politik secara lebih mendalam, ada baiknya bila kita mengerti secara lebih dalam apa yang dimaksud dengan tiga macam kegiatan manusia-aktif tersebut di atas. Karena dengan pemahaman yang lebih baik tentang ketiga kegiatan manusia-aktif itu maka kita akan lebih mudah memahami pandangan Arendt tentang politik, kekuasaan dan kekerasan.
Bagi Arendt ‘kerja’ merupakan suatu kegiatan yang dilakukan setiap orang, agar mereka bisa hidup. Dengan perkataan lain kerja berkaitan dengan usaha setiap orang untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Lewat kerja maka manusia mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya agar dapat hidup, maka hasil kerja akan habis dikonsumsi, maka bagi Arendt makna dan nilai kerja tergantung sepenuhnya pada kondisi sosial-budaya masing-masing orang. Kerja bagi Arendt belum berkaitan dengan ruang publik, kerja ditandai dengan adanya keseragaman . Pada tahap ini manusia tidak lebih dari ‘animal laborans’, di mana yang penting adalah bahwa proses bekerja dapat berlangsung dengan baik dan aman, begitu pula dalam proses mengkonsumsi dapat terjadi keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan.
Lain halnya dengan karya, bagi Arendt ‘karya’ merupakan kegiatan manusia untuk memproduksi sesuatu yang berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi sesamanya. Lewat karya-karyanya manusia membedakan dirinya dengan binatang. Lewat karya-karyanya manusia mampu melipatgandakan dayanya, berkat alat-alat dan perlengkapan-perlengkapan kerja yang diproduksinya. Maka bagi Arendt ‘karya’ menuntut kehadiran yang lain, karena itu karya sudah berkaitan dengan ruang publik, yang dalam hal ini tidak lain adalah pasar, sedang yang menjadi makna dan nilainya tidak lain adalah ‘kegunaan’ atau ‘manfaat’. Pada tahap ini manusia tidak lagi sekadar ‘animal laborans’ melainkan sudah menjadi ‘homo faber’, makhluk produktif berkat ciptaan-ciptaannya.
Aksi (politik) bagi Arendt merupakan kegiatan yang khas manusiawi, sebagaimana diungkapkannya dengan sangat jelas sebagai berikut “Aksi politik merupakan satu-satunya kegiatan manusia yang menghubungkan secara langsung antar manusia tanpa perantara obyek maupun materi. Kegiatan manusia yang satu ini berhubungan dengan kondisi pluralitas manusia ….. Jika semua segi kondisi manusia dalam arti tertentu berkaitan dengan politik, pluralitas ini merupakan corak khas dan mutlak kondisi seluruh kehidupan politik” .
Bagi Arendt melakukan aksi (politik) tidak lain berarti bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengatur dan mengendalikan dunia, dengan perkataan lain lewat aksi politiknyanya manusia memperlihat bahwa dirinya mampu bertanggungjawab. Selain daripada itu bagi Arendt aksi (politik) merupakan ungkapan dari kemajemukan, di mana mereka yang berpolitik melakukan proses tawar menawar, persetujuan, penolakan, yang semuanya itu dilakukan dalam ruang publik lewat komunikasi verbal, lewat diskursus, kerjasama atau oposisi. Singkat kata berpolitik bagi Arendt tidak lain berarti berkomunikasi, atau politik adalah komunikasi. Maka tidaklah mengherankan bila bagi Arendt yang menjadi ukuran keberhasilan seseorang dalam melakukan aksi (politik) adalah kebebasan (= mereka yang berpolitik mampu untuk menentukan dirinya dalam kebersamaan dengan yang lain) dan solidaritas (= melakukan aksi politik demi kebaikan bersama).
Akhirnya bagi Arendt berpolitik merupakan suatu seni untuk mengabadikan diri. Maksudnya berkat usaha mereka yang melakukan aksi (politik) yang bertanggungjawab terbangunlah kehidupan bersama yang harmonis, dan karenanya jasa-jasa tersebut tercatat dan diabadikan dalam sejarah. Namun, aksi politik tetap mengandung dua kelemahan , kelemahan yang pertama adalah bahwa aksi politik tidak bisa diramalkan hasilnya, dan kelemahan kedua adalah bahwa aksi politik yang tidak tepat tidak bisa diulang dari nol. Untuk itu maka Arendt menawarkan jalan keluar berupa ‘janji’ dan ‘pengampunan’. Janji berorientasi ke depan sedang pengampunan berorientasi ke belakang. Janji menumbuhkan harapan dan kepercayaan, sedang pengampunan ‘membebaskan’ pelaku aksi politik dari kesalahannya. Dengan demikian berpolitik bukanlah aksi untuk mendominasi, melainkan aksi kebebasan yang dilakukan bersama dengan kelompok-kelompok masyarakat seperti pers, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dan lain sebagainya.

Apakah itu kekuasaan?
Kekuasaan memiliki dua ‘wajah’, wajah yang pertama adalah wajah yang memikat, mempesona sehingga banyak orang yang tertarik untuk dapat memilikinya, namun di lain pihak wajah kedua merupakan wajah yang menakutkan, mengerikan, khususnya bagi mereka yang dikuasai. Kedua ‘wajah’ itu berkaitan erat dengan bagaimana kita mengartikan apa yang namanya kekuasaan tersebut. Sebagai contoh wajah kedua dapat kita temukan pada pemikiran Max Weber yang merumuskan kekuasaan sebagai “setiap peluang untuk memaksakan kehendak sendiri dalam sebuah hubungan sosial, juga kalau kehendak itu ditentang” . Dengan perkataan lain bagi Max Weber kekerasan merupakan sarana yang dipakai oleh sang penguasa untuk memaksakan kehendaknya.
Sebaliknya wajah pertama diwakili oleh Hannah Arendt yang melihat kekuasaan sebagai “solidaritas politis para warganegara”. Arendt menulis sebagai berikut “Kita tidak pernah tidak akan mengalami kekuasaan, jika kata-kata dan perbuatan-perbuatan saling terkait, jadi di mana kata-kata tidak kosong dan perbuatan-perbuatan tidak bungkam dan berubah menjadi kekerasan, di mana kata-kata tidak disalahgunakan untuk menyelubungi maksud-maksud, melainkan dikatakan untuk menyingkapkan kenyataan, dan di mana perbuatan-perbuatan tidak disalahgunakan untuk memperkosa dan menghancurkan, melainkan untuk menciptakan dan menetapkan hubungan-hubungan baru, dan dengan jalan itu menciptakan kenyataan-kenyataan baru” . Dalam konteks ini maka kita bisa mengerti mengapa bagi Arendt, berpolitik tidak lain adalah merealisasikan kebebasan yang dimiliki oleh manusia, dan bukan mendominasi.
Untuk lebih memahami pemikiran Hannah Arendt, maka ada baiknya bila kita berusaha untuk memahami distingsi yang dibuatnya, antara apa yang dikenal dengan kekuatan (= strength); daya (= force); otoritas (= authority) kekuasaan (= power), dan kekerasan (= violence) .
Bagi Arendt ‘kekuatan’ merupakan ciri individual, maka biarpun kekuatan itu luar biasa sekalipun akan tidak dapat bertahan bila berhadapan dengan ‘yang banyak (= rakyat)’. Sedang ‘daya’ bagi Arendt lebih tepat digunakan untuk menunjuk pada kekuatan alam, maka bagi Arendt tidaklah tepat bila digunakan dalam konteks kekerasan. Otoritas atau wewenang berkaitan dengan kedudukan seseorang dan juga butuh adanya pengakuan dari pihak lain, dalam kaitan dengan itu maka dibutuhkan adanya sikap saling hormat menghormati antar semua pihak yang terkait. Kekuasaan bagi Arendt mengacu pada kemampuan manusia tidak hanya untuk menentukan dan melakukan sesuatu, tetapi juga menentukan dan melakukan sesuatu bersama orang-orang lain. Selain daripada itu bila kita berbicara bahwa seseorang ‘memiliki kekuasaan’ maka dalam kenyataannya seseorang memiliki kekuasaan karena mandat yang diterimanya dari sejumlah orang, dan karenanya orang yang menerima mandat tersebut dapat bertindak atas nama mereka yang memberi mandat. Dengan demikian bagi Hannah Arendt kekuasaan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk bertindak dalam dan atas nama kebersamaan berkat mandat yang diterimanya, sebagaimana diungkapkannya dengan sangat bagus “Faktor terpenting dalam pengembangan kekuasaan adalah kebersamaan manusia. Hanya pada saat manusia hidup bersama, potensialitas aksi akan selalu hadir dan kekuasaan akan tetap bersama mereka, dan fondasi dari kota-kota, di mana konsep negara- kota tetap menjadi paradigma bagi seluruh organisasi politik barat, menjadikan factor kebersamaan sebagai material yang mutlak bagi kekuasaan. Hal yang membuat manusia selalu bersama setelah masa aksi berakhir (yang sekarang disebut organisasi) pada saat yang sama, mereka tetap hidup dengan kebersamaan, yakni kekuasaan. Siapapun dengan alasan apapun, mengisolasikan dirinya dan tidak ambil bagian dalam kebersamaan, meluruhkan kekuasaan dan menjadi tidak berguna, meskipun dirinya kuat dan memiliki alasan yang valid” .

Apakah itu kekerasan?
Bagi Hannah Arendt kekerasan berciri instrumental, kekerasan merupakan sarana yang digunakan oleh si penguasa untuk melipatgandakan kekuatannya (= force), namun bagi Arendt kekerasan itu bersifat irrasional. Memang kita semua pasti bertanya-tanya, bagaimana mungkin ada orang bisa melakukan suatu tindakan (= dengan tahu dan mau) yang akan menghancurkan dirinya sendiri dan keluarganya serta orang-orang dan atau bangunan yang menjadi sasarannya? Padahal mereka yang menjadi korban biasanya bukanlah orang-orang yang terlibat baik langsung atau tidak langsung pada pokok yang dipermasalahkan, mereka adalah ‘orang-orang biasa’. Selain daripada itu tajuk rencana Kompas mencatat “Selebihnya, kita masih diliputi perasaan galau, geram dan penasaran, dan tak habis-habisnya, mengapa aksi terorisme masih punya peluang di negara kita, yang notabene sudah menerapkan pengamanan ketat, dengan detektor logam di mal, hotel, dan perkantoran” .
Memang masalah kekerasan meninggalkan banyak pertanyaan dan ketidak mengertian. Dalam kaitan ini ada baiknya bila kita menyimak apa yang dipikirkan oleh Johan Galtung berkaitan dengan enam dimensi penting dari kekerasan dalam kaitan dengan aspek akibat atau pengaruhnya pada manusia, yaitu:
1. Kekerasan fisik dan psikologis, dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. Sedangkan kekerasan psikologis adalah tekanan yang dimaksudkan untuk meredusir kemampuan mental atau otak.
2. Pengaruh positif dan negatif, system orientasi imbalan yang sebenarnya terdapat ‘pengendalian’, tidak bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif, meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria.
3. Ada obyek atau tidak, dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia.
4. Ada subyek atau tidak, kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya, dan bila tidak ada pelakunya disebut structural atau tidak langsung. Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu (strukturnya jelek) dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama.
5. Disengaja atau tidak, bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk melihat, mengatasi kekerasan structural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.
6. Yang tampak dan tersembunyi, kekerasan yang tampak, nyata, baik yang personal maupun struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan, tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual dapat menurun dengan mudah. Kekerasan tersembunyi yang struktural terjadi jika suatu struktur egaliter dapat dengan mudah diubah menjadi feodal, atau evolusi hasil dukungan militer yang hirarkis dapat berubah lagi menjadi struktur hirarkis setelah tantangan utama terlewati .
Catatan Galtung yang terakhir, yang berkaitan dengan perubahan struktur egaliter menjadi feodal umpamanya, saya pikir sejalan dengan pendapat Hannah Arendt, bahwa berpolitik itu tidak lain adalah berkomunikasi, orang hanya bisa sungguh-sungguh berkomunikasi kalau ada kesetaraan di antara mereka, tanpa kesetaraan tidak mungkin ada komunikasi yang sebenarnya, kalau tidak ada komunikasi maka tidak ada aksi politik. Maka tidaklah mengherankan bila Hannah Arendt berpendapat bahwa “Kekerasan tidak lain adalah komunikasi bisu par excellence” .

Adakah hubungan antara kekuasaan dan kekerasan?
Setelah saya mempelajari pemikiran Hannah Arendt tentang politik dan kekuasaan maka sudah seharusnya saya menarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan baik langsung maupun tidak langsung antara kekuasaan dan kekerasan. Kekuasaan dalam pemikiran Arendt merupakan kemampuan melakukan aksi politik dengan tujuan mencapai kepentingan bersama. Atau dengan perkataan lain adanya kekerasan hanya bisa dimengerti bila kita berpegang pada pendapat Max Weber tentang kekuasaan, di mana kekerasan digunakan sebagai sarana memperoleh dan atau mempertahankan kekuasaan.
Namun agar kesimpulan saya dapat lebih dipertanggungjawabkan maka ada baiknya bila kita menyimak pandangan Hannah Arendt sehubungan dengan kaitan antara kekuasaan dan kekerasan.
Yang pertama berkaitan dengan rumusan ‘homo est animal rationale’, bagi Arendt rumusan ini perlu dimengerti secara tepat, karena kalau tidak kita dapat terperangkap pada pandangan bahwa agresivitas manusia bisa dianggap sesuatu wajar karena manusia memang memiliki naluri kebinatangan, lebih-lebih pandangan tersebut diperkuat dengan hasil-hasil studi ilmu empiris seperti yang dilakukan oleh Konrad Lorenz lewat bukunya yang berjudul On Aggression, New York, 1966. Menurut Arendt manusia melakukan kekerasan bukan karena manusia mirip binatang, melainkan karena manusia mampu untuk bertindak culas. Selain daripada itu manusia mampu melakukan kekerasan karena manusia dapat kehilangan rasionalitasnya, dengan perkataan lain manusia tidak bisa mengendalikan emosi sehingga tidak mampu berpikir secara jernih .
Yang kedua, bagi Arendt kekerasan tidak pernah bisa dilegitimasi, karena kekuasaan dan kekerasan saling bertolak belakang. Pada saat kekuasaan ada, maka kekerasan akan hilang. Maka bila negara melakukan kekerasan, negara tersebut telah gagal, atau dengan perkataan lain kekuasaan telah hilang .
Yang ketiga kekuasaan mengandaikan besarnya kuantitas dukungan, semakin besar dukungan terhadap kekuasaan maka kekuasaan itu semakin kuat. Di lain pihak kekerasan tidak membutuhkan kuantitas dukungan, kekerasan membutuhkan efektif atau tidaknya ‘kekerasan sebagai sarana’ digunakan, atau dengan perkataan lain kekerasan membutuhkan kuantitas kepatuhan yang ditimbulkannya .
Yang keempat bila kita merefleksikan peristiwa tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, maka ketika kekuasaan yang sudah mulai tidak mendapat dukungan rakyat (dalam hal ini diwakili oleh kaum mahasiswa), maka yang terjadi ketika rezim Orde Baru ingin mempertahankan kekuasaannya maka yang terjadi adalah satu melawan semua, dan ketika kekerasan digunakan sebagai sarana mempertahankan kekuasaan maka yang terjadi adalah peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi satu dan peristiwa Semanggi dua .
Yang kelima bagi Arendt baik kekuasaan maupun kekerasan bukanlah sesuatu yang alamiah , keduanya merupakan suatu pengejawantahan dari proses kehidupan manusia yang ditandai dengan kemajemukan dan perbedaan. Keduanya merupakan bagian dari aksi politik dalam kaitan dengan usaha pemenuhan kepentingan bersama atau pemenuhan kepentingan sektarian. Maka mutu dari semua pihak yang terkait dengan aksi politik menjadi sangat penting. “Bila politik ditangani dengan mentalitas tingkat kerja di mana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi – konsumsi sangat dominant, maka orang cendeung menjadikan politik tempat mata pencaharian utama. Jangan heran bila politikus yang masih dalam orientasi ini miskin dalam visi dan misi politik. Apalagi keprihatinan untuk memperjuangkan penerimaan pluralitas. Sindrom yang menyertai politikus tingkat ini ialah mudah terlibat KKN. Selain itu, ia akan mengadopsi politik partisan demi penggalangan dukungan massa, sekuat tenaga mempertahankan posisi, bahkan bila harus membayar dengan kebohongan dan kekerasan” .
Yang keenam suatu pemerintahan akan tidak berperan secara baik bila pendekatan yang diakukan sangat diwarnai oleh dominasi, di mana biasanya kekerasan dipakai sebagai sarananya. Akhirnya akan mengantar pemerintahan itu pada kegagalan .
Akhirnya, kekerasan memiliki kekuatan untuk merusak dan tidak manusiawi, yang akan menghasilkan ketidakberdayaan, dan akhirnya akan meruntuhkan kekuasaan itu sendiri .

Penutup
Setelah mempelajari pemikiran Hannah Arendt tentang politik dan kekuasaan, maka yang membuat saya kagum adalah bahwa Arendt dengan pengalaman yang begitu negatif tentang politik dan kekuasan (yang membuatnya harus menyingkir dari tanah kelahirannya), tetap memiliki pemikiran yang positif tentangnya. Dan saya pikir hal itu tidak bisa dilepaskan dari pemikirannya tentang ‘janji’ dan ‘pengampunan’. Dengan ‘janji’ Arendt tetap optimis akan masa depan yang lebih baik. Dengan ‘pengampunan’ Arendt tidak memiliki beban masa lalu yang membuatnya menjadi traumatis. Namun untuk itu maka Arendt sangat menuntut kualitas manusia. Dan di sinilah letak permasalahannya, di mana dunia saat ini sangat diwarnai oleh ‘uang’ yang telah menjadi penjamin hidup manusia dewasa ini. Uang telah menjadi ilah, maka politik dewasa ini sangat diwarnai oleh ‘politik uang’, dalam kaitan ini maka ‘janji’ menjadi gombal. ‘Pengampunan’ kehilangan makna. Memang Hannah Arendt hidup pada jaman di mana uang belum menjadi ilah, uang belum terlalu menodai aksi politik. Saya pikir inilah tantangan yang perlu refleksi lebih lanjut.



Daftar Pustaka
1. Arendt, Hannah, The Human Condition, Chicago, The Chicago UP, 1958.
2. Arendt, Hannah, On Violence, New York, A Harvest Book, Harcourt Brace and Co., 1970.
3. Budi Hardiman, F., Memahami Negativitas. Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005.
4. Thomas Santoso (ed.), Teori-teori Kekerasan, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar