Jumat, 10 September 2010

sakramen Tobat. Sarana Pendidikan Hati Nurani dan Pembentukan habitus baru

Sakramen Tobat, Sarana Pendidikan Hati Nurani dan Pembentukan Habitus Baru
Stanislaus Nugroho, Komisi Keluarga Keuskupan Bogor

Manusia adalah citra Allah (Kej. 1:26-27), sebagai citra Allah manusia memiliki hati nurani, yang tidak lain adalah ”inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya” (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, art. 16). Dengan perkataan lain, hati nurani merupakan wahana perjumpaan antara manusia dengan Allah. Bila kita membaca Kitab Suci maka menjadi jelas bahwa setiap perjumpaan dengan Allah pasti menantang manusia, salah satu tantangannya tidak lain adalah untuk berubah menjadi baik/lebih baik, dengan kata lain menantang terjadinya pertobatan secara berkelanjutan dalam diri manusia.
Namun, di lain pihak karena manusia memiliki kehendak bebas, yang tidak lain merupakan kemampuan yang dimiliki manusia untuk menentukan dirinya sendiri, maka bisa saja manusia menerima atau menolak tantangan tersebut. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru kita bisa membaca cerita tentang Yudas Iskariot yang ”menolak” (biarpun pada akhirnya Yudas menyesal, Mt. 27:3) tantangan tersebut. Di lain pihak kita juga bisa membaca kisah pertobatan Petrus yang telah menyangkal Yesus (Mt. 26: 69-75), begitu pula dengan pertobatan Saulus setelah disapa oleh Tuhan (Kis. 9: 1-19a).
Dewasa ini ada gejala yang kuat bahwa manusia tidak lagi peduli dengan kemampuan untuk membedakan mana yang baik atau yang buruk, yang benar atau yang salah. Bahkan ada orang yang belajar dan menjadi ahli tentang filsafat atau teologi moral namun perilakunya bertentangan apa yang dipelajari sebaik baik atau buruk, benar atau salah secara moral. Dengan perkataan lain manusia seringkali telah mengabaikan hati nuraninya. Salah satu bukti kuatnya gejala tersebut adalah berkecamuknya penyakit sosial di tengah masyarakat kita, yang menurut Nota Pastoral 2004 tidak lain adalah korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan hidup (art. 6). Berkaitan dengan gejala tersebut maka Konferensi Waligereja Indonesia baik melalui Surat Gembala dan Nota Pastoralnya, sejak tahun 1997 sampai sekarang, mengingatkan kita semua untuk mau menumbuhkembangkan kemampuan hati nurani kita. Maka tidaklah mengherankan bila Nota Pastoral 2004 dengan tegas menyatakan bahwa ”Kematian hati nurani adalah akar dari segala kehancuran, dan tanpa hati nurani, kesejahteraan umum tidak akan pernah menjadi kenyataan” (art. 16). Untuk itu Konferensi Waligereja Indonesia menghimbau ”perlu ada usaha yang kuat untuk mengembangkan budaya alternatif lewat pendidikan nilai” (art. 19). Dengan perkataan lain perlu adanya penggalakkan pendidikan hati nurani, agar terciptalah budaya alternatif (habitus baru) menuju masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan.
Masalahnya adalah bagaimana kita dapat menghidupkan kembali hati nurani kita, yang memang bukan barang jadi. Di sini kita menjadi sadar perlunya pendidikan hati nurani sejak dini. Gabriel Madinier melalui bukunya yang berjudul La Conscience Morale, Paris, Presses Universitaires de France, 1954 menawarkan beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama-tama pendidikan hati nurani paling baik bila dilakukan di dalam keluarga, di mana anak-anak mulai dilatih untuk menyadari dan menghayati tanggungjawabnya sendiri, lewat latihan-latihan pemberian tanggungjawab mulai dari yang paling sederhana sampai ke yang rumit, sesuai dengan perkembangan diri masing-masing anak. Pendidikan hati nurani mengandaikan perlunya pendampingan secara pribadi, karena setiap anak adalah unik. Dengan demikian maka anak akan mengalami perkembangan dalam hal kepekaan batinnya akan yang baik, dan yang benar. Sehingga akhirnya anak akan mencapai otonomi moral, anak mampu bertindak bukan karena adanya keterpaksaan, namun karena keyakinannya sendiri bahwa yang akan dilakukan itu adalah baik dan benar. Namun dalam hal ini Madinier juga menekankan perlunya konsistensi dan integrasi orangtua dalam usaha memenuhi hukum-hukum moral, tanpa itu maka seluruh usaha pendidikan hati nurani tidak akan membuahkan hasil yang memadai.
Berkaitan dengan pemikiran Madinier – khususnya yang berkaitan dengan orangtua - maka saya memiliki keyakinan bahwa tradisi (yang sekarang ini memang agak kurang ditekankan) Gereja Katolik dapat sangat membantu, yaitu apa yang kita kenal sebagai sakramen tobat, sakramen rekonsiliasi. Sakramen tobat bila dipersiapkan dengan baik (dengan melakukan pemeriksaan batin yang sungguh-sungguh) akan membantu kita semua untuk melatih kepekaan hati nurani kita. Selain daripada itu dengan sakramen tobat kita juga dapat berdamai dengan Allah, dengan diri sendiri dan dengan sesama kita. Maka tidaklah mengherankan bila sejak awal karyaNya – sebagaimana di catat oleh Markus dalam Injilnya – Yesus mewartakan perlunya pertobatan ”Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu” (Mk. 1:4). Bertobat merupakan penyembuhan terhadap penyakit-penyakit rohani manusia, lihat Mk. 2:1-12 di mana Yesus selain menyembuhkan penyakit jasmani (kelumpuhan), juga menyembuhkan penyakit rohani (dosa) orang yang lumpuh tersebut. Dan luarbiasanya Yesus (yang memperoleh kuasa tersebut dari BapaNya, lihat Mt. 28:18 ”..... kepadaKu telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi” mewariskan kuasaNya itu kepada Petrus (”Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga”, Mt. 16:19) dan kepada Gereja (”Aku berkata kepadamu: sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga”, Mt. 18:18).
Oleh karena itu saya pikir Gereja perlu menggalakkan kembali – melalui katekese – praktek-praktek pertobatan. Misalnya dengan mengajak umat untuk melakukan pemeriksaan batin, menerima sakramen tobat secara lebih sering (tidak hanya pada waktu menjelang Natal dan Paskah, dengan waktu yang hanya beberapa jam/hari saja), dan memiliki pembimbing rohani. Di lain pihak para imam juga dihimbau agar menyediakan waktu lebih banyak, misalnya setengah jam sebelum misa pada hari Sabtu sore dan hari Minggu, berada di kamar pengakuan untuk mempermudah umat menerima sakramen tobat.
Saya yakin, bila kebiasaan ini digalakkan kembali maka usaha untuk menciptakan budaya alternatif atau habitus baru akan berjalan dengan lebih berhasilguna (Bogor, 26 Februari 2007).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar