Sabtu, 18 September 2010

Perlindungan Hak Anak

PERLINDUNGAN HAK ANAK DALAM PERSPEKTIF AGAMA KATOLIK
Oleh Drs. Stanislaus Nugroho, M.Hum.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyelenggarakan “Konferensi Tokoh Lintas Agama Untuk Perlindungan Anak dengan tema ‘Menuju Indonesia Ramah Anak’”. Penyelenggaraan konferensi ini sangat menarik karena dua alasan: Yang pertama konferensi ini diikuti oleh para tokoh lintas agama dan yang kedua temanya adalah Menuju Indonesia Ramah Anak. Mungkin baik bila kita mulai dengan temanya ‘Menuju Indonesia Ramah Anak’. Temanya secara jujur menunjukkan bahwa kita masih dalam perjalanan/masih dalam proses menuju Indonesia Ramah Anak atau dengan perkataan lain kita belum ramah anak, dan dalam rangka menuju Indonesia Ramah Anak tersirat adanya harapan agar para Tokoh Lintas Agama dapat menjadi fasilitator agar tujuan tersebut dapat cepat tercapai. Sebuah panggilan yang sangat luhur, namun mungkin merupakan sebuah pekerjaan rumah yang mungkin tidak akan cepat selesai, mengingat begitu banyak pekerjaan rumah yang ada dipundak para tokoh agama untuk melakukan pendidikan hati umatnya yang sedang terjangkit penyakit sosial yang sangat parah. Yang lebih parah lagi penyakit sosial tersebut juga tidak terlepas dari diri kita masing-masing. Kalau kita mau jujur maka sering kita juga tidak menjadi imun terhadap penyakit sosial tersebut. Kita perlu melakukan refleksi diri secara sungguh-sungguh, dan melakukan transformasi diri. Maka dalam menyiapkan tulisan ini terus terang saja, saya mau tidak mau harus melakukan refleksi diri, sehingga tulisan ini tidak semata-mata merupakan tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan dari sudut ilmu, tetapi juga merupakan tulisan hasil mawas diri baik sebagai ‘bekas’ anak yang dibesarkan oleh orangtua saya, dan juga sebagai orangtua yang membesarkan anak-anak kami sendiri.

Laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka
Sebagai orang beriman saya sangat yakin dan percaya bahwa Allah (Sang Sumber Kehidupan) telah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan , dengan tujuan agar manusia mengambil bagian dan berperanserta dalam melanjutkan kehidupan, lewat kemanunggalan mereka sebagai laki-laki dan perempuan (dalam lembaga perkawinan), untuk itu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; …..” . Dengan demikian anak tidak lain merupakan ungkapan rencana Allah sendiri, dan sekaligus merupakan buah dari persekutuan cinta antara laki-laki dan perempuan yang berketetapan untuk membangun keluarga, karena mereka merasa dipanggil oleh Allah untuk ikut ambil bagian dalam karya kehidupan Allah yang berkesinambungan. Maka anak, yang tidak lain adalah buah cinta seorang laki-laki dan perempuan, seharusnya tumbuh dalam suasana cinta orangtuanya. Anak sejak hari pertama kelahirannya seharusnya tumbuh dan berkembang dalam dekapan cinta orangtuanya, bahkan cinta antara orangtuanya itu seharusnya tidak pernah boleh pudar, tidak pernah dapat ditarik kembali dan tanpa syarat apapun, itulah tanggungjawab yang paling utama dan yang seharusnya dibangun oleh seorang laki-laki dan perempuan yang berkomitmen untuk membangun keluarga sebagaimana yang diinginkan oleh Allah, Sang Sumber Cinta dan Kehidupan itu sendiri . Dalam hal prokreasi, anak selalu harus dipandang sebagai anugerah dari Allah yang merupakan kelangsungan karya penciptaan Allah. Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan yang terikat dalam perkawinan menerima anugerah hidup baru dan hidup baru terbuka pada masa depan .

Keluarga sebagai persekutuan hidup dan kasih
Sebagai persekutuan hidup dan kasih, maka keluarga merupakan komunitas (persekutuan) pribadi-pribadi – antara suami, isteri dan anak-anak – di mana cinta kasih menjadi dasar dan menjadi kekuatan bagi keberlangsungan persekutuan tersebut . Almarhum Bapa Suci Yohanes Paulus II mencatat bahwa “Tanpa cintakasih itu keluarga bukanlah rukun hidup antar pribadi, dan begitu pula, tanpa cintakasih keluarga tidak dapat hidup, berkembang atau menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi-pribadi” . Cintakasih bukanlah barang-jadi yang tinggal dinikmati, tetapi merupakan suatu proses dinamis (jatuh bangun) yang tidak akan pernah berhenti selama kita hidup, namun dengan demikian keluarga yang tetap setia terhadap janji perkawinan akan semakin menjadi persekutuan pribadi-pribadi yang semakin mendalam dan sangat intensif, dan sekaligus dapat menjadi ‘tanda’ dari cinta Allah kepada Umat manusia .
Sebagai persekutuan hidup dan kasih, keluarga hendaknya dapat “menyambut, menghormati, dan mengembangkan masing-masing anggotanya dalam martabatnya yang luhur sebagai pribadi, artinya sebagai gambar Allah yang hidup. ….. norma moral bagi otentiknya hubungan suami isteri dan keluarga terletak pada pengembangan martabat serta panggilan masing-masing pribadi, yang mencapai kepenuhan mereka melalui cara penyerahan diri yang setulus-tulusnya” .

Hak-hak anak
Berkaitan dengan hak anak, maka almarhum Bapa Suci Yohanes Paulus II memberikan catatan sebagai berikut: “Dalam keluarga, yakni persekutuan pribadi-pribadi, perhatian khusus perlu diberikan kepada anak-anak, dengan mengembankan penghargaan yang mendalam terhadap martabat pribadi mereka, serta sikap sungguh menghormati dan memperhatikan sepenuhnya hak-hak mereka. Itu berlaku bagi setiap anak, tetapi menjadi makin mendesak, semakin anak masih kecil, dan semakin ia memerlukan segalanya, bila ia sakit, menderita atau menyandang cacat. Dengan memupuk serta menunjukkan kepedulian yang mesra dan besar terhadap setiap anak yang lahir di dunia, Gereja menunaikan perutusan yang mendasar. Sebab Gereja dipanggil untuk mengungkapkan dan mengutarakan sekali lagi dalam sejarah, teladan serta perintah Kristus Tuhan, yang menaruh kanak-kanak di jantung Kerajaan Allah: ‘Biarkanlah anak-anak datang kepadaKu, dan jangan menghalang-halangi mereka; sebab mereka itulah yang mempunyai Kerajaan Sorga’ (Lk. 18:16, bdk. Mt. 19:14; Mk. 10:14). Sekali lagi kami ulangi, apa yang kami sampaikan kepada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tangal 2 Oktober 1979: ‘Kami ingin menyatakan kegembiraan kami, bahwa kita semua menemukan dalam diri anak-anak musim semi kehidupan, antisipasi sejarah masa depan tanah air kita masing-masing di dunia ini. Tak satu pun negara di dunia, tak satu pun sistem politik dapat memikirkan masa depannya sendiri, tanpa melalui citra generasi-generasi baru itu, yang akan menerima dari orangtua mereka kekayaan warisan nilai-nilai, tugas-tugas serta aspirasi-aspirasi bangsa mereka dan segenap keluarga manusia. Kepedulian terhadap anak, juga sebelum ia lahir, sejak saat pertama ia dikandung, kemudian selama masa kanak-kanak dan keremajaannya, merupakan batu ujian utama dan fundamental bagi hubungan antar manusia. Demikianlah, himbauan manakah yang lebih baik, yang dapat kami ucapkan bagi setiap bangsa dan bagi seluruh umat manusia, begitu pula bagi semua anak-anak di dunia, daripada masa depan yang lebih cerah, saatnya sikap menghormati hak-hak manusiawi akan terwujudkan sepenuhnya selama milenium ketiga, yang kian mendekat’. Sikap menerima, cintakasih, penghargaan, kepedulian terhadap setiap anak yang lahir di dunia ini, perhatian dengan pelbagai seginya yang semuanya terpadu: di bidang jasmani, emosional, pendidilkan dan rohani, semuanya itu selalu harus menjadi ciri khas yang pokok bagi semua orang kristen, khususnya bagi keluarga kristen. Begitulah anak-anak akan mampu bertambah ‘hikmatNya dan besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia’ (Lk. 2:52), dan sementara itu membawa sumbangan mereka sendiri yang berharga bagi pembangunan rukun hidup keluarga bahkan juga bagi pengudusan orangtua mereka” .
Dari kutipan di atas menjadi jelas Gereja melihat anak sebagai pribadi, bahkan pribadi yang menjadi harapan terciptanya dunia yang lebih baik, untuk itu maka orangtua pada khususnya dan masyarakat pada umumnya memiliki tugas/ memiliki kewajiban untuk mengantar anak-anak tersebut berkiprah dan berperanserta dalam usaha menciptakan dunia yang lebih baik. Untuk itu orangtua mempunyai kewajiban untuk memelihara dan menjadi pendidik yang pertama dan utama terhadap anak-anak mereka, khususnya di bidang iman dan nilai-nilai, tanpa terjebak dalam perangkap formalisme, ritualisme dan legalisme.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa anak dan hak-haknya memiliki tempat yang istimewa dalam ajaran kristiani, karena itu bersumber pada ajaran Yesus Kristus sendiri. Persoalannya, menjadi suami isteri dan menjadi orangtua dalam dunia yang tunggang langgang saat ini, tidak pernah dipersiapkan secara serius dan juga banyak di antara mereka yang merasa tidak perlu dipersiapkan secara serius, karena setiap orang harus menikah. Maka tidaklah mengherankan bila banyak di antara kita secara sangat sungguh-sungguh mempersiapkan wedding (bahkan dewasa ini ada kecenderungan kuat orang berlomba-lomba untuk menggunakan peristiwa wedding untuk mengejar prestise/mengejar gengsi), tetapi – kalau kita mau jujur – maka kita tidak pernah secara sungguh-sungguh mempersiapkan marriage. Menjadi suami isteri dan menjadi orangtua sekadar ‘trial and error’, sekadar belajar dari orangtua kita masing-masing dan/atau masyarakat di sekitar kita, padahal dunia saat ini mengalami perubahan yang sangat luar biasa, di mana yang pasti saat ini hanyalah ketidakpastian, berkat perubahan yang begitu cepat berlangsung. Saya pikir dewasa ini diperlukan suami isteri/orangtua yang profesional dan kompeten, tidak cukup hanya coba-coba. Agar rumah tangga menjadi tanah yang subur bagi tumbuhnya pribadi-pribadi yang ‘fully human, fully alive’, cerdas secara intelektual, cerdas secara emosional, cerdas secara moral, cerdas secara spiritual, sehingga mampu berpikir dan bersikap positif dalam situasi apapun, dengan perkataan lain memiliki integritas baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial.
Inilah tantangan kita bersama, marilah kita bergandengan tangan untuk menjawab tantangan tersebut.

Bogor, 3 Juli 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar