Sabtu, 18 September 2010

Peran Keluarga Kristiani

Peranan keluarga kristiani dalam dunia yang tunggang langgang
Oleh: Stanislaus Nugroho

Keluarga kristiani dewasa ini hidup dalam dunia yang sedang (karena masih berjalan terus) dan sekaligus sudah memasuki zaman yang ditandai oleh terjadinya revolusi di bidang transportasi dan di bidang informasi. Dunia sekarang ini seperti tanpa batas , oleh karena itu dunia dewasa ini sedang mengalami perubahan yang begitu cepat dan substansial (berkaitan langsung dengan seluruh aspek hidup manusia), yang hampir tak dapat dikendalikan dan dipradugakan. Dewasa ini sering orang berkata bahwa yang pasti adalah ketidakpastian. Menghadapi kondisi seperti ini ada empat sikap yang mungkin.
Yang pertama banyak orang yang bersikap acuh tak acuh dan karenanya ikut arus saja (dalam bahasa gaul rumusannya adalah emangnya gue pikirin). Sikap yang pertama ini cukup berbahaya, karena mereka baru akan sadar setelah mereka terjebak dalam situasi dan kondisi yang mengancam keluarganya.
Yang kedua, mencoba mengantisipasi dengan integritas diri, sikap inilah yang paling positif. Sikap seperti ini membuat kita menjadi manusia pembelajar, yang selalu siap membaca dan mempelajari tanda-tanda jaman serta bersikap kritis tentangnya, namun tetap bijaksana.
Yang ketiga bersikap melawan, dan cenderung bersikap fundamentalis dan primordialis, sikap ini juga sangat berbahaya karena akan mendorong terjadinya kekerasan baik secara fisik maupun secara psikologis. Dengan demikian akan menimbulkan keresahan masyarakat (salah satu gejala yang nampak di Indonesia adalah terjadinya ‘militerisasi sipil’, padahal sejak reformasi kita menginginkan profesionalisme militer, dan mengembalikan otoritas pada sipil).
Yang keempat adalah mereka yang dapat dan mampu memanfaatkan situasi dan kondisi tersebut karena mereka memiliki akses berkat kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Inipun mengandung kelemahan, yaitu pada saat egosentrisme menjadi panglima. Sikap ini kini makin menggejala, oleh karenanya tidaklah mengherankan bila terjadi tabrakan kepentingan. Singkat kata kita hidup dalam dunia yang “sedang sakit”. Penyakit sosial yang sedang dialami oleh kita dirumuskan oleh banyak ahli secara berbeda-beda , namun jelas bahwa penyakit sosial tersebut menerpa dan menghantui keluarga-keluarga kita juga, karena keluarga adalah sel masyarakat. Dalam kondisi seperti itulah kita sebagai keluarga kristiani harus merealisasikan panggilan kita.
Berkaitan dengan situasi dan kondisi tersebut di atas maka almarhum Bapa Suci Yohanes Paulus II telah mengundang Pertemuan Sedunia Keluarga-Keluarga pada empat kesempatan yang berbeda, dengan maksud untuk menunjukkan betapa besar “peranan keluarga kristiani dalam menentukan arah dan tujuan umat manusia, dipandang dari sudut iman dan Injil” .
Mengacu pada surat Rasul Paulus kepada kepada Umat di Efesus (5:31-32) keluarga kristiani dipanggil untuk menjadi tanda dari cintakasih Yesus Kristus kepada umat manusia . Dunia saat ini sangat haus akan kasih, betapa bahagianya kita, bila kita dapat melaksanakan dan memerankan panggilan kita tersebut dengan sebaik-baiknya.
Namun, dalam hidup sehari-hari saya pikir sebagian dari kita masih jauh dari panggilan kita tersebut. Hal itu disebabkan baik karena kelemahan-kelemahan kita sendiri maupun karena lingkungan di mana kita hidup saat sedang mengidap “penyakit sosial” yang sudah kronis. Beberapa simptonnya nampak jelas dalam beberapa arus yang sekarang ini sedang menggejala, seperti materialisme (banyak di antara kita terjangkit penyakit mendewakan materi, seolah-seolah materi menjamin hidup kita, padahal materi hanya sarana hidup kita), selanjutnya pola hidup yang sangat konsumtif dan hedonistis (banyak di antara kita yang terkena penyakit ‘enjoy aja’dan mencari kenikmatan sesaat), formalisme agama (asal sudah ke Gereja beres sudah, ada kesenjangan yang lebar antara kehidupan dalam menjalankan ibadah dengan kehidupan sehari-hari di tempat kerja, tempat bergaul), dan lain-lain. Selain daripada itu (dari hasil penelitian sementara yang dilakukan oleh Komisi Keluarga KWI) salah satu penyakit yang menjangkiti keluarga-keluarga katolik dewasa ini adalah tidak efektifnya komunikasi (khususnya yang berkaitan dengan bidang-bidang yang sulit dikomunikasikan, seperti bidang keuangan, bidang seksualitas, dan lain-lain) dalam keluarga, baik antara suami dan isteri maupun antara orangtua dan anak-anak.
‘Mengantisipasi semua itu maka pada 22 Nopember 1981 almarhum Bapak Suci Yohanes Paulus II mengeluarkan dokumen Familiaris Consortio yang tidak lain merupakan Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II kepada para Uskup, Imam-imam dan umat beriman seluruh Gereja Katolik tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern. Pada artikel pertama dari Anjuran Apostolik tersebut almarhum menegaskan bahwa Gereja dipanggil untuk melayani keluarga, “khususnya Gereja menyapa kaum muda yang sedang merintis jalan menuju pernikahan dan hidup berkeluarga, dengan maksud menyajikan kepada mereka cakrawala baru, menolong mereka menggali keindahan dan keagungan panggilan untuk cintakasih dan bakti kepada kehidupan” .
Keluarga kristiani sebagaimana telah dikatakan di atas dipanggil untuk menjadi tanda dari cintakasih Yesus Kristus kepada umat manusia, khususnya dalam empat bidang utama. Keempat bidang tersebut tidak lain adalah keluarga kristiani 1) dipanggil untuk membentuk persekutuan pribadi-pribadi; 2) dipanggil untuk mengabdi kepada kehidupan ; 3) dipanggil untuk ikut serta dalam pengembangan masyarakat ; dan yang terakhir 4) dipanggil untuk berperanserta dalam kehidupan dan misi Gereja .
Hal ini tentunya merupakan pekerjaan rumah yang tidak ringan, namun yang menjadi masalah utama adalah bahwa ajaran, ajakan dan anjuran pastoral dari Gereja sering kurang disosialisasikan. Masalah menjadi lebih berat lagi karena bagi umat sendiri hidup perkawinan sering lebih merupakan suatu keharusan sesuai dengan tuntutan adat, tuntutan biologis dan dilaksanakan secara trial and error. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila kita terjerumus pada usaha untuk lebih mempersiapkan wedding daripada marriage. Memang Gereja melakukan apa yang biasa kita kenal dengan sebutan kursus persiapan perkawinan yang dilakukan tidak lebih dari 12 jam efektif, namun yang lebih dibutuhkan adalah persiapan perkawinan yang seharusnya sudah dijalankan dalam keluarga sejak dini, melalui pendidikan seksualitas dan pendidikan nilai.
Namun, terlepas dari segala kekurangannya bagaimanapun juga kursus persiapan perkawinan masih mempunyai peran yang cukup strategis. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan sulitnya mengumpulkan pasangan yang sedang pacaran maupun pasangan yang sudah menikah, untuk mengikuti program-program yang disiapkan oleh seksi kerasulan keluarga paroki dan yang dimaksudkan untuk lebih membekali kaum muda dalam mempersiapkan perkawinan dan keluarganya. Dewasa ini baik sebagai pasangan suami-isteri maupun sebagai orangtua kita dituntut untuk menjadi lebih professional. Pendekatan trial and error sudah sangat tidak memadai, karena baik sebagai suami-isteri maupun sebagai orangtua kita sedang berhadapan dengan perubahan yang begitu cepat, yang membuat kehidupan kita tidak pasti, bahkan beban persoalan makin lama makin kompleks.
Masalahnya, bagaimana kita seharusnya berusaha untuk mempersiapkan kursus persiapan perkawinan yang lebih bermutu. Tentunya dengan para fasilitator yang bermutu pula, baik ‘ilmunya’ maupun metode memfasilitasinya. Metode ini berkaitan dengan para peserta yang sudah dewasa, dan pendidikan bagi kaum dewasa tidak bisa disamakan begitu saja dengan metode pendidikan anak-anak. Untuk itu kita semua, khususnya para pastor dan pengurus seksi kerasulan keluarga, hendaknya lebih bersedia memberikan waktu dan usahanya untuk selalu meningkatkan kemampuan para fasilitator kursus persiapan perkawinan. Bulan-bulan terakhir ini kami komisi keluarga dari tiga keuskupan yang ada di pulau Jawa bagian Barat sedang bekerja keras untuk mempersiapkan bahan-bahan kursus persiapan perkawinan yang lebih up-to-date, dan setelah itu kami akan mensosialisasikannya pada saat kami (komisi keluarga Keuskupan Bogor) melakukan rapat tahunan dengan seksi kerasulan keluarga se Keuskupan Bogor pada tanggal 14-15 Oktober mendatang. Semoga hal ini membangkitkan semangat dan tanggungjawab kita semua sebagai warga Gereja dalam mempersiapkan kaum muda membentuk keluarga baru sesuai dengan rencana Allah, karena bagaimanapun juga bila Keluarga Sehat maka Masyarakat (Gereja) kuat sebaliknya bila Keluarga Retak maka Masyarakat (Gereja) Rusak.


Bogor, 9 Oktober 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar