PERKAWINAN ANTARAGAMA DARI PERSPEKTIF KATOLIK
Sebelum masuk ke persoalannya sendiri maka ada baiknya saya mencoba memberikan sedikit catatan tentang dua kata penting dari judul di atas, yaitu kata agama dan perkawinan. Dalam kehidupan sehari-hari baik agama maupun perkawinan mempunyai nilai yang penting dan istimewa. Namun, ada kecenderungan bahwa kedua hal tersebut diterima begitu saja, maka dalam kaitan dengan persoalan yang ingin dibahas hari ini ada baiknya kedua hal tersebut lebih direfleksikan sedikit.
Bagi saya agama merupakan “suatu lembaga di mana manusia baik sebagai pribadi maupun bersama-sama dengan mereka yang se agama mencoba menghayati dan mengungkapkan relasinya dengan Allah baik secara batin dan terutama secara lahir dalam bentuk tindakan-tindakan tertentu”.
Sedang perkawinan, bagi saya merupakan “suatu persekutuan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan atas dasar cintakasih yang mengutuh, lewat suatu persetujuan yang bebas antara keduanya, bersifat eksklusif, seumur hidup dan merupakan suatu peristiwa iman yang membuahkan rahmat yang melimpah bagi pasangan yang bersangkutan”.
Bila memperhatikan rumusan saya tentang perkawinan maka dengan jelas sekali bahwa rumusan tersebut sangat dipengaruhi oleh agama yang saya peluk, dan hal itu saya kira jelas, karena bagi saya sebagai orang beragama antara perkawinan dan agama tidak dapat dipisahkan.
Perkawinan dari perspektif Katolik
Bila kita membuka Kitab Suci Perjanjian Lama pada halaman-halaman yang pertama maka kita sudah bisa menemukan teks-teks yang memperlihatkan bahwa perkawinan merupakan suatu kenyataan yang luhur karena diberkati oleh Allah sendiri (lihat Kejadian 1, 27-28). Selain daripada itu perkawinan juga dilihat sebagai suatu persekutuan yang begitu erat antara suami dan isteri (lihat Kejadian 2, 24-25). Lebih lanjut bila kita membuka Kitab Tobit maka pada bab 6 - 8 dinyatakan bahwa Allah yang menjadi perencana perkawinan antara Tobias dan Sarah, Allahlah yang menjodohkan mereka berdua. Begitu pula bila kita membaca Kitab Maleakhi bab 2 maka dinyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian di mana Allah sendiri menjadi saksinya. Sehubungan dengan Kitab Maleakhi maka kita juga menemukan adanya penolakan terhadapan perceraian dan perkawinan beda agama, karena dianggap tidak sesuai dengan keluhuran perkawinan. Dalam Kitab Hosea bab 1-3 dilukiskan secara indah sekali hubungan cintakasih antara suami dan isteri. Betapa tidak, hubungan suami dan isteri melambangkan hubungan Allah dan UmatNya.
Selanjutnya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru maka dalam Injil Markus bab 10 yang paralel dengan Injil Mateus bab 19, dengan jelas dinyatakan bahwa hubungan antara suami dan isteri merupakan suatu persekutuan yang erat sekali dan juga bahwa persekutuan itu bukanlah urusan manusia semata malainkan urusan Allah dan karena itu tidak boleh diceraikan. Injil Yohanes bab 2 dengan indah sekali melukiskan betapa Allah begitu memperhatikan dan menghargai perkawinan dan pestanya. Begitu pula dalam pandangan Paulus lewat surat-suratnya, di mana Paulus melihat perkawinan sebagai sesuatu yang baik (lihat 1 Kor. 7) dan bahwa hubungan suami – isteri melambangkan hubungan Kristus dengan JemaatNya (lihat Ef. 5), begitu pula dalam tradisi Gereja sebagaimana terungkap dalam Hukum Gereja kanon 1055 di mana dinyatakan bahwa perkawinan merupakan “perjanjian dengan mana laki-laki dan perempuan membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup ….. oleh Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen”. Maka perkawinan katolik bersifat monogami, tak terceraikan dan sakramental.
Selanjutnya dari perspektif Katolik perkawinan mempunyai beberapa tujuan penting, yaitu:
[1] membangun persekutuan hidup dan kasih yang
[2] terbuka pada keturunan, atau dengan perkataan lain mengabdi kepada
kehidupan,
[3] ikut serta dalam pembangunan masyarakat, dan
[4] mengambil bagian dalam Perutusan Gereja (FC 16-64).
Perkawinan antaragama
Tanpa menutup mata pada kenyataan bahwa ada perkawinan antaragama yang berhasil, dalam arti mencapai kebahagiaan, namun kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa banyak perkawinan antaragama yang tidak berhasil, biarpun telah banyak “biaya fisik, psikis, sosial dan ekonomi” yang dikorbankan sebagaimana telah dikorbankan pada saat akan melangsungkan perkawinan itu sendiri.
Gereja Katolik secara prinsipiil menolak perkawinan beda agama (Ulangan 7, 3-4; Nehemia, 13, 23-27, 2. Kor. 6, 14-15), namun dengan dispensasi dari Pimpinan Gereja maka perkawinan antaragama dapat dilaksanakan dengan syarat:
[1] diteguhkan secara sah;
[2] yang katolik berjanji untuk mendidik anak-anaknya secara katolik;
[3] yang tidak katolik berjanji untuk tidak menghalangi pasangannya dalam
melaksanakan kewajibannya sebagai orang katolik.
Bila agama tidak dilihat sekedar sebagai sehelai baju yang suatu saat akan dilepas dan ganti dengan baju lain maka anjuran yang paling bijaksana adalah tidak melakukan perkawinan antaragama. Lewat Kitab Suci menjadi jelas bahwa Allah tidak menghendaki perkawinan antar agama, biarpun berbeda namun itu tidak berarti harus ada “konflik”. Bila kita sadar bahwa kita berbeda dan lewat perbedaan itu kita bisa saling melengkapi maka tetap akan ada sinergi. Dengan demikian, bila ada orang yang setelah sadar akan adanya perbedaan, kesulitan dan hambatan dalam perkawinan antaragama tetap mengambil keputusan untuk melakukan perkawinan antaragama maka perlu secara terus menerus melakukan dialog iman, agar pasangan tersebut semakin dapat saling mengerti dan mau mengerti agama pasangannya.
Bogor, 29 Nopember 2000
Stanislaus Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar