Jumat, 17 September 2010

Dari Kesadaran Gender menuju Humanisasi

DARI KESADARAN GENDER MENUJU HUMANISASI

Lebih kurang pada tahun 1996 untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan istilah “penyadaran gender”. Biarpun pada awalnya saya merasa sedikit alergi namun setelah saya mencoba mendalaminya (dengan mengikuti pelatihan dan studi pribadi) maka saya merasa dibukakan mata akan salah satu bentuk ketidakadilan sosial (terutama yang berkaitan dengan aspek gender. Yang saya maksudkan dengan gender adalah semua hal yang dapat dipertukarkan antara ciri perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain) yang terjadi dalam masyarakat manusia, namun banyak di antara manusia sudah tidak menyadarinya sebagai ketidakadilan. Yang saya maksud dengan ketidakadilan sosial adalah ketidakadilan yang tidak mungkin diselesaikan oleh maksud baik seseorang atau sekelompok orang saja, mengingat ketidakadilan tersebut telah terstruktur sedemikian rupa sehingga setiap manusia baik sadar maupun tidak sadar terlibat di dalamnya. Dengan demikian untuk melakukan perubahan dibutuhkan kesadaran baru, kemauan yang sangat kuat dan usaha dari semua pihak yang terlibat di dalamnya, dengan perkataan lain terjadilah perubahan struktural, yang bisa dilakukan secara revolusioner atau evolusioner.
Sehubungan dengan itu maka sejak tahun 1998 saya mulai aktif dalam gerakan penyadaran Gender, dari aktivitas tersebut dan juga dari refleksi yang saya lakukan maka saya semakin yakin bahwa ketidakadilan gender yang terjadi saat ini merupakan hasil dari perjalanan panjang dari proses humanisasi yang tidak seimbang, atau dengan perkataan lain hasil dari proses pendidikan (dalam arti seluas-luasnya) yang salah kaprah. Maka menurut pendapat saya jalur yang paling tepat untuk dapat mengeliminir ketidakadilan jender tersebut adalah melalui proses pendidikan pula (pendekatan evolusioner). Memang, saya sadar bahwa jalur pendidikan membutuhkan waktu yang lama, oleh karena itu banyak orang merasa tidak sabar karenanya. Namun menurut saya tetap yang paling efektif dan yang lebih penting tidak menimbulkan alergi dan resistensi. Untuk itu kita perlu back to basic, yaitu keluarga. Keluarga merupakan wahana yang pertama dan utama dalam melakukan proses pendidikan. Menurut pendapat saya masalah utamanya adalah ”bagaimana caranya mempersiapkan keluarga-keluarga muda agar memiliki budaya dialog yang mantap dan sekaligus tidak bias gender”. Mengapa dialog? Dialog hanya mungkin antara dua orang yang berbeda namun setara. Selain daripada itu bagi saya keluarga merupakan benteng yang pertama dan yang terakhir dari tegaknya nilai-nilai manusia, seperti tanggungjawab, partisipasi, solidaritas, hormat, adil, peduli dan lain-lain, atau dengan perkataan lain keluarga merupakan wahana pendidikan yang pertama dan utama, oleh karena itu orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama. Masalah ini menjadi lebih rumit karena aspek ekonomis dalam kehidupan saat ini menjadi sangat dominan bahkan determinan. Ekonomi telah menjadi agama baru yang menjanjikan keselamatan sedang Tuhannya adalah uang (lihat De Nacht van Het Kapitaal karangan A. Th. Van Leeuwen, Nijmegen, 1984). Sehubungan dengan itu maka tidaklah terlalu mengherankan bila dewasa ini ada kecenderungan kuat tumbuhnya nilai-nilai yang berseberangan dengan nilai-nilai manusiawi, seperti superioritas, dominasi, determinasi dan lain-lain. Sehubungan dengan itu maka saya bersama beberapa teman mencoba mengembangkan pelatihan bagi keluarga muda yang kami beri nama “Membangun Budaya Keluarga Yang Mantap”, di mana selama 24 jam efektif kami berusaha menularkan beberapa konsep yang berkaitan erat dengan humanisasi dalam keluarga, yaitu: [1] persepsi kita tentang keluarga, sebagaimana dikatakan oleh John Powell “pada dasarnya seluruh hidup kita terbentuk oleh persepsi kita, yakni cara kita memandang sesuatu”. [2] menciptakan visi dan misi keluarga, visi dan misi keluarga merupakan arah dasar pembangunan keluarga oleh karena itu perlu disepakati bersama. [3] membangun sikap proaktif, sikap bertanggungjawab karena keputusan diambil berdasarkan kehendak bebas, hati nurani, kesadaran diri dan kreativitas. [4] Menentukan prioritas, kemampuan untuk memilih secara tepat. [5] Membangun sikap “jangan ada yang kalah”, sehingga tidak ada yang merasa terpinggirkan. [6] Membangun sikap mau mendengarkan, yang merupakan kunci komunikasi yang produktif. [7] Bersinergi, mensyukuri perbedaan, membangun semangat untuk saling melengkapi dan saling memperkaya karena kita sadar bahwa kita bukan super-human. [8] Menjadi manusia pembelajar (kita dipangil untuk menjadi sempurna sebagaimana BapaMu di surga sempurna adanya, bdk. Mt. 5: 48) melalui sesama kita baik laki-laki maupun perempuan.
Demikianlah refleksi singkat dan tindakan kongkret yang kami lakukan dalam usaha mengeliminir ketidakadilan gender. Bagi mereka yang berminat dapat menghubungi Komisi Keluarga Keuskupan Bogor, setiap hari Kamis dan Jum’at antara jam 09.00 – 12.00 di jl. A. Yani 31, Bogor (Stanislaus Nugroho, Komisi Keluarga Keuskupan Bogor).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar