Jumat, 17 September 2010

Globalisasi, Globalisme dan Etik global

Globalisasi, Globalisme dan Etik Global
Stanislaus Nugroho, Unika Atmajaya, Jakarta

Kata-kata Kunci: Globalisasi, Globalisme dan Etik Global.

Hari Senin tanggal 15 September merupakan hari kelabu bagi keuangan global. Betapa tidak. Perusahaan sekuritas nomor empat di Amerika Serikat – Lehman Brothers – yang sudah berusia 158 tahun dan memiliki aset sebesar 639 miliar dollar AS menyatakan diri bangkrut. Sedang Merrill Lynch siap-siap diakuisisi oleh Bank of America. Begitu pula perusahaan asuransi American International Group (AIG) putus asa mencari modal. Apa yang terjadi di Amerika Serikat ternyata langsung berdampak di Indonesia. Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada tanggal 15 September di Bursa Efek Indonesia ditutup melemah 4,7% atau turun 84,8 poin menjadi 1719,25 .
Selanjutnya Kompas 17 September 2008 menurunkan berita utama Lehman menggoyang dunia. Sebagai perusahaan sekuritas nomor empat di Amerika Serikat bangkrutnya Lehman mempengaruhi banyak sekali simpul finansial di berbagai Negara dan membuat risiko investasi tersebar dengan sangat cepat. Berkaitan dengan itu maka tidak mengherankan bila A. Tony Prasetiantono, seorang dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM dan seorang Chief Economist BNI menulis pada kolom Opini Ekonomi Global di Tepi Jurang. Dampak peristiwa tersebut sudah barang tentu tidak hanya kepada Indonesia tetapi juga ke Eropa dan Asia. Sebagaimana dapat kita baca di Kompas, 30 September 2008 bahwa bank-bank di Eropa mengalami krisis keuangan, sehingga pemerintah-pemerintah di Eropa harus turun tangan menolong dan mengatasi masalah perbankan tersebut.
Selanjutnya Kompas, 20 November 2008 menurunkan berita Resesi Memukul 4 Sektor. Aktivitas Ekonomi di India, Cina, Brasil dan Rusia menurun. 4 Sektor yang dimaksud adalah perdagangan, otomotif, penerbangan dan aliran investasi & bantuan internasional. Berita-berita semacam di atas sampai sekarang masih bisa kita baca di media massa. Salah satu yang paling meresahkan saat ini adalah pemutusan hubungan kerja. Lagi-lagi yang menjadi tumbal adalah kaum marginal.
Peristiwa-peristiwa tersebut di atas tentunya tidak bisa dilepaskan dari globalisasi (ekonomi) dan perilaku bisnis yang tidak etis (misalnya diabaikannya prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang sangat longgar, hal ini berkaitan erat dengan salah satu akar masalah yaitu apa yang disebut dengan subprime mortgage loan = pemberian kredit perumahan kepada debitur yang sebenarnya tidak layak). Berkaitan dengan itu maka tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba mengungkapkan hubungan antara globalisasi, globalisme dan perlunya etika global (sebagaimana yang diusahakan oleh Hans Kung dan kawan-kawan dengan etik globalnya).

Apa itu globalisasi dan dampaknya?
Istilah globalisasi belum menjadi populer pada awal dasarwarsa 60-an (bahkan belum dikenal), baru pada akhir dasawarsa 60-an sampai sekarang istilah globalisasi menjadi sangat populer, baik di kalangan akademisi, politisi maupun di kalangan masyarakat pada umumnya. Wacana tentang globalisasi bisa kita temukan di mana-mana, mulai dari mimbar akademis sampai warung kopi. Namun, anehnya sampai saat ini istilah tersebut belum memiliki konsep yang baku, ada banyak definisi yang ditawarkan. Misalnya R. Robertson dalam bukunya yang berjudul Globalization mencoba menawarkan definisi globalisasi sebagai “pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu keseluruhan”. Sedang Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul Consequenses of Modernity mencoba mendefinisikan globalisasi sebagai “intensifikasi relasi-relasi sosial seluas dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa di satu tempat ditentukan oleh peristiwa lain yang terjadi bermil-mil jauhnya dari situ dan sebaliknya”. Berkaitan dengan kedua definisi tersebut maka saya mencoba menyimpulkan bahwa globalisasi tidak lain adalah “suatu proses perubahan – yang dipicu dan didukung oleh kemajuan dan perkembangan yang luar biasa di bidang teknologi, khususnya teknologi informasi dan teknologi transportasi – yang berintensitas, berekstensitas dan bervelositas sangat tinggi sehingga menghasilkan dampak yang sangat luar biasa ke hampir seluruh pelosok-pelosok dunia dan merasuki hampir seluruh bidang-bidang kehidupan manusia, khususnya di bidang ekonomi, politik dan sosial budaya”.
Namun – bagi saya – yang lebih menarik adalah adanya diskusi yang cukup seru di antara mereka yang skeptis dengan mereka yang antusias globalisasi itu sendiri. Paul Hirst dan Graham Thompson melalui bukunya dengan tegas menyatakan bahwa globalisasi tidak lebih hanya merupakan mitos atau paling-paling merupakan suatu kelanjutan dari suatu tren yang sudah lama mapan, dengan pendapatnya tersebut maka mereka adalah wakil dari pihak yang skeptis tentang globalisasi. Pendapat mereka tidak terlalu salah, karena sejak abad ke 15 – tepatnya tahun 1497 – Vasco da Gama sudah mulai proses globalisasi. Namun ada faktor yang membedakan anatara globalisasi pada abad 15 dengan globalisasi saat ini, yaitu faktor kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan transportasi. Di lain pihak Martin Wolf melihat globalisasi sebagai suatu proses menuju kesejahteraan karena membawa manfaat yang sangat besar bagi manusia. Untuk mendukung pendapatnya tersebut maka Wolf mengacu pada dua negara besar di Asia, yaitu Cina dan India. Sejak Cina dan India membuka diri dan ikut serta dalam proses globalisasi maka kedua negara tersebut mengalami kemajuan yang luar biasa. Cina sekarang sering disebut sebagai ‘raksasa yang sudah bangun dari tidurnya’. Pendapat Wolf tidak dapat disangkal, biarpun Wolf lupa pada kenyataan lain yaitu globalisasi saat ini menciptakan kesenjangan yang luar biasa antara negara-negara berkembang dengan Negara-negara yang sedang berkembang.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila Joseph E. Stiglitz melalui bukunya berpendapat bahwa globalisasi memiliki 2 wajah. Wajah yang pertama menampilkan harapan besar akan terciptanya kemakmuran bagi seluruh umat manusia. Wajah kedua menampilkan keprihatinan yang mendalam sebagaimana dikutip oleh Stiglitz dari laporan World Commission on the Social Dimension of Globalization, A Fair Globalization: Creating Opportunities for All, Jenewa: International Labour Office, 2004, halaman 10 sebagai berikut “Proses globalisasi yang sedang berjalan memicu suatu kondisi yang timpang , baik di negara maju maupun negara berkembang. Kemakmuran sedang digalakkan, namun masih terlalu banyak negara maupun masyarakat yang tidak ikut merasakannya. Mereka hampir tidak memiliki hak suara dalam proses (globalisasi) tersebut. Dari kacamata mayoritas masyarakat, pria maupun wanita, globalisasi tidak memenuhi aspirasi mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Sebagian besar mereka hidup sebagai ‘kaum terbuang’ dalam sektor ekonomi informasi tanpa hak-hak formal di negara-negara miskin, mencari nafkah tanpa jaminan keselamatan, dan menjadi kaum marjinal dalam perekonomian global. Bahkan di negara-negara makmur secara ekonomi, masih ada sebagian pekerja dan kelompok masyarakat yang mengalami kesulitan akibat pengaruh globalisasi. Sementara itu, revolusi komunikasi memperkuat kesadaran akan besarnya kesenjangan tersebut ….. ketimpangan global ini tidak dapat diterima secara moral dan tak akan bertahan secara politis”. Berkaitan dengan itu maka World Commission on the Social Dimension mengemukakan lima masalah yang harus diperhatikan yaitu:
1. Aturan main globalisasi tidak adil, dirancang secara khusus untuk menguntungkan negara industri maju. Kenyataannya, dewasa ini beberapa perubahan sangat tidak adil sehingga membuat negara-negara miskin menjadi makin terpuruk.
2. Globalisasi mendahulukan nilai-nilai kebendaan di atas nilai-nilai lain, seperti lingkungan dan kehidupan itu sendiri.
3. Cara pengelolaan globalisasi telah mencabut sebagian besar kedaulatan negara-negara berkembang, termasuk kemampuan membuat keputusan-keputusan di bidang-bidang penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Hal ini tentu saja memperlemah demokrasi.
4. Sementara para pendukung globalisasi mengklaim bahwa setiap orang akan mendapat keuntungan secara ekonomi, terdapat banyak bukti yang menunjukkan banyak pihak yang dirugikan, baik di negara maju maupun berkembang.
5. Barangkali yang terpenting, sistem ekonomi yang dipaksakan (pada negara-negara berkembang), bahkan untuk beberapa kasus terlalu dipaksakan, kurang tepat dan seringkali sangat merusak. Globalisasi seharusnya bukan merupakan Amerikanisasi dalam hal kebijakan ekonomi maupun budaya, tetapi memang hal itulah yang sering terjadi. Kondisi demikianlah yang pada akhirnya menimbulkan kemarahan.

Globalisme = Ideologi Pasar?
Bagi Manfred Steger globalisasi ekonomi sebagaimana berlangsung saat ini dilatarbelakangi oleh neoliberalisme. Apa itu neoliberalisme? Bagi I. Wibowo, neoliberalisme adalah suatu ideologi pemujaan pasar (= fundamentalisme pasar) yang bukan hanya mengenai produksi, distribusi dan konsumsi yang tunduk pada hokum pasar, melainkan mengenai seluruh kehidupan . Maksudnya neoliberalisme percaya bahwa kesejahteraan umat manusia akan dicapai bila kita memprioritaskan pertumbuhan ekonomi; pentingnya perdagangan bebas untuk merangsang pertumbuhan; pasar bebas yang tidak terbatas; pilihan individual; pemangkasan regulasi pemerintah; dan dukungan pada model pembangunan social yang evolusioner sesuai dengan pengalaman Barat yang diyakini dapat diterapkan di seluruh dunia, inilah kredo neoliberalisme . Dengan perkataan lain globalisme adalah ideologi pasar neoliberal yang mengurapi globalisasi dengan norma, makna dan nilai-nilai tertentu yang menopang perwujudan masyarakat global yang berdasar pada prinsip-prinsip pasar. Menurut Steger ada lima klaim utama yang diajukan oleh globalisme, yaitu:
1. Globalisasi adalah liberalisasi dan integrasi pasar
Bagi kaum neoliberalis pasar akan bekerja secara otomatis (= self regulating market), dengan perkataan lain hasil interaksi pasar bukanlah sesuatu yang disengaja atau direkayasa, tetapi merupakan hasil dari kerja ‘tangan yang tak terlihat’. Selain daripada itu kaum neoliberalis juga berpendapat bahwa politik dan ekonomi merupakan dua wilayah yang terpisah, atau dengan perkataan lain ekonomi dipahami bersifat apolitis. Berkaitan dengan itu maka Steger mengutip tulisan Thomas Friedman dalam bukunya yang berjudul The Lexus and The Olive Tree: Understanding Globalization sebagai berikut “Gagasan pendorong dibalik globalisasi adalah kapitalisme pasar bebas – semakin anda biarkan kekuatan pasar untuk berkuasa dan semakin anda membuka perekonomian anda pada kompetisi dan perdagangan bebas, maka akan semakin efisien perekonomian anda. Globalisasi berarti penyebaran kapitalisme pasar bebas ke semua Negara di dunia. Karena itu globalisasi juga memiliki perangkat aturan ekonominya sendiri – aturan-aturan seputar pembukaan, deregulasi dan privatisasi perekonomian untuk menjadikannya lebih kompetitif dan menarik bagi investasi asing”.
2. Globalisasi adalah sesuatu yang tak terelakkan, begitulah keyakinan bebeberapa tokoh, di antaranya sebagaimana dikutip oleh Steger, seperti “Globalisasi adalah elemen kehidupan kita yang tidak bisa dielakkan. Tidak seperti kita bisa mencegah ombak membentur pantai, globalisasi tidak lagi bisa dihentikan. Argumen yang mendukung liberalisasi perdagangan dan pasar terbuka sangat kuat – argument-argumen itu dibuat oleh banyak di antara kalian dan kita tidak boleh takut untuk berhadapan dengan mereka yang tidak sependapat” (Eizenstat, wakil menteri dalam pemerintahan Clinton)
Globalisasi sangat sulit untuk dibendung sebab ia didorong oleh aspirasi manusia yang amat kuat untuk mendapatkan standar hidup yang lebih baik dan juga oleh teknologi-teknologi yang sangat kuat yang semakin mengintegrasikan kita, hari demi hari, suka atau tidak suka (Thomas Friedman)
3. Tak seorangpun memegang kendali atas globalisasi, kecuali pasar dan teknologilah yang memegang kendali.
4. Globalisasi menguntungkan semua orang
Pada pertemuan puncak G7 1996 di Lyon, Perancis, para pemimpin Negara dan pemerintahan tujuh Negara maju menyampaikan komunike yang mengandung kalimat berikut: “Pertumbuhan dan kemajuan ekonomi di dunia yang interdependen dewasa ini berkaitan erat dengan proses globalisasi. Globalisasi memberikan peluang yang sangat besar bagi masa depan, tidak hanya bagi negara-negara kita, namun juga bagi semua Negara lain. Aspek-aspek positifnya meliputi ekspansi investasi dan perdagangan yang belum pernah terjadi sebelumnya; pembukaan perdagangan internasional di wilayah paling padat dan berbagai peluang bagi lebih banyak negara berkembang untuk memperbaiki standar hidup mereka; penyebaran informasi yang kian cepat, inovasi teknologi, dan menjamurnya lapangan kerja dengan tenaga yang terlatih. Karakter globalisasi ini telah melahirkan perluasan kekayaan dan kemakmuran yang luar biasa di dunia. Karena itu kami yakin bahwa proses globalisasi adalah sumber harapan bagi masa depan”.
5. Globalisasi meningkatkan penyebaran demokrasi di seluruh dunia
Dalam kaitan dengan klaim yang ke lima ini Steger mengutip pernyataan Francis Fukuyama bahwa “tingkat perkembangan ekonomi yang dihasilkan globalisasi sangat kondusif bagi terciptanya masyarakat sipil dan kelas menengah yang kuat. Kelas menengah yang kuat dan struktur masyarakat inilah yang akan mendorong demokrasi”. Selanjutnya Steger juga mengutip pernyataan Hillary Clinton kepada public Polandia (1999) bahwa “Pilihan pada jalan demokrasi, pasar bebas dan kebebasan membutuhkan visi, keberanian dan kepemimpinan moral yang hebat. Sepuluh tahun silam, hal itu bukanlah pilihan yang memungkinkan, dan tidak mudah. Tapi saat ini di banak Negara seperti kalian tak ada lagi keraguan bahwa jalan pasar bebas dan demokrasi adalah pilihan yang tepat”.
Akhirnya Steger berpendapat bahwa dengan “lima klaim globalisasi tersebut di atas menunjukkan bahwa globalisme cukup komprehensif dan sistematis untuk dianggap sebagai ideologi …. Ia menyediakan perekat kultural dan konseptual yang mempertahankan kekuasaan politik dan sosial elit-elit neoliberal di segala penjuru dunia. …. Namum tidak berarti bahwa ideologi ini menikmati dominasi ideologis yang tanpa tentangan” . Maka bagi Steger “memahami globalisasi tidak cukup hanya dengan mendiskusikan tentang proses-proses material obyektif yang berada di luar sana, melainkan harus mendiskusikan aspek normatif dan ideologis yang merupakan bagian dari proses-proses sosial dan ekonomi” . Lebih-lebih dengan terjadinya krisis finansial global akhir-akhir ini. Persoalannya – terlepas dari persoalan teknis ekonomis, yang tidak akan dibahas pada kesempatan ini – apa penyebab ketidakstabilan globalisasi dan globalisme saat ini?

Etik global sebuah jawaban atas pertanyaan di atas?
Etik global lahir dari suatu keprihatinan mendalam atas situasi dan kondisi dunia saat ini. “Dunia ada dalam penderitaan yang mendalam” (The world is in agony) begitulah kalimat pertama yang membuka deklarasi tentang etik global , hasil dari pertemuan Parlemen Agama-agama Dunia yang berlangsung dari tanggal 28 Agustus sampai 5 September 1993 yang lalu di Chaicago, Amerika Serikat. Penderitaan yang dialami oleh dunia menjadi sangat nyata dalam dua fakta yang paling menyakitkan, yaitu kemiskinan dan kerusakan ekosistem dunia. Selain daripada itu etik global juga lahir dari sebuah keyakinan bahwa dunia yang sedang menderita membutuhkan etika dunia, membutuhkan etik global.
Salah satu tokoh yang berada dibalik deklarasi tentang etik global adalah Hans Kung seorang teolog katolik dan Presiden Global Ethic Foundation di Tubingen, Jerman. Melalui bukunya Hans Kung mengungkapkan keyakinannya bahwa hanya dengan etik global maka dunia yang sakit bisa disembuhkan dan perdamaian akan tercipta. Berkaitan dengan itu maka Kung merumuskan keyakinannya sebagai berikut “tidak ada kehidupan manusiawi bersama tanpa sebuah etik dunia bagi bangsa-bangsa; tidak ada perdamaian di antara bangsa-bangsa tanpa perdamaian di antara agama-agama; tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog antar-agama” .
Sebenarnya apa yang dimaksud oleh Kung dengan etik global tersebut? Bagi Hans Kung etik global adalah “konsensus mendasar atas nilai-nilai, norma-norma dan sikap-sikap tertentu” (a minimal basic consensus on certain values, norms dan attitudes) . Sebagai dokumen maka etik global merupakan suatu usaha yang mau menanggapi kenyataan dunia dewasa ini yang sedang menderita. Untuk itu maka etik global mengacu pada empat komitmen, yaitu:
(1) Komitmen pada budaya tanpa kekerasan dan hormat pada kehidupan, kehidupan merupakan kata kunci, ini menjadi nyata dengan pernyataan yang berbunyi “Tidak ada peluang kehidupan bagi manusia tanpa perdamaian global” (There is no survival for humanity without global peace).
(2) Komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil, kita berkewajiban untuk membangun tatanan ekonomi yang adil dan mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik hendaknya memanfaatkannya demi melayani kemanusiaan, untuk itu kita perlu mengembangkan sikap tidak berlebihan dan kesederhanaan dan bukan kerakusan/keserakahan, karena “tidak ada perdamaian dunia tanpa keadilan global” (There is no global peace without global justice)
(3) Komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus, “tidak ada keadilan global tanpa rasa saling percaya dan kemanusiaan” (There is no global justice without truthfulness and humaneness) , dan
(4) Komitmen pada budaya kesetaraan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. Nilai kesetaraan, kerjasama (partnership) dan cintakasih menjadi kata kunci di sini. “Tidak ada kemanusiaan yang otentik tanpa sebuah kehidupan bersama dalam kerjasama” (There is no authentic humaneness without a living together in partnership)
Keempat komitmen tersebut bukan sama sekali baru dan itu sejak awal diakui dengan pernyataan “Kami mengakui bahwa kebenaran ini sudah dikenal, namun belum hidup dalam hati dan tindakan. Kami mengakui bahwa ada suatu norma yang tidak bisa diganggu gugat, berlaku umum bagi semua wilayah kehidupan, keluarga dan masyarakat, ras, bangsa dan agama. Bahwa sudah terdapat garis-garis petunjuk kuno bagi sikap manusia, dalam ajaran agama-agama dunia, yang merupakan syarat bagi tatanan dunia yang berkelanjutan” .
Akhirnya etik global menuntut saling ketergantungan dan tanggungjawab global, hal ini dinyatakan secara tegas dengan pernyataan “Kami mendeklarasikan: kami saling bergantung. Masing-masing dari kami bergantung kepada kebaikan semuanya, karenanya kami menghormati komunitas makhluk hidup, umat manusia, binatang, tumbuhan, dan bagi pemeliharaan bumi, udara, air dan tanah. Kami bertanggungjawab secara individual untuk semuayang kami lakukan. Semua keputusan, tindakan dan kegagalan kami dalam bertindak mempunyai konsekuensi” .



Penutup
Globalisasi sebagai proses perubahan saya pikir merupakan suatu keniscayaan, maka persoalannya bukan pro atau kontra globalisasi, melainkan bagaimana mengelola globalisasi berwajah manusiawi. Dalam kaitan ini maka globalisme yang tidak lain adalah ideologi yang memuja pasar, bahwa pendekatan pasar bisa menyelesaikan segala masalah manusia hendaknya dihadapi dengan sikap kritis. Dalam kaitan ini maka etik global memberikan sumbangan yang berarti, biarpun tidak memiliki kekuatan memaksa.


Bogor, 12 Januari 2009.

Kepustakaan
Robertson, R. 1992, Globalization, London: Sage.
Giddens, A. 1990, The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity.
Hirst, Paul & Graham Thompson, 1996, Globalization in Question, Cambridge: Polity Press.
Wolf, Martin, 2004, Why Globalization Works, Oxford: Tuttle-Mori Agency Co., Ltd.
Stiglitz, Joseph E., 2007, Making Globalization Work, diterjemahkan oleh Edrijani Azwaldi, Bandung: Mizan.
Steger, Manfred B., 2005, Globalism. The New Market Ideology, diterjemahkan oleh Heru Prasetia, Yogyakarta: Lafald Pustaka.
Wibowo, I. & Francis Wahono, 2003, Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka.
Kung, Hans & Karl-Josef Kuschel, 1999, Etik Global, diterjemahkan oleh Ahmad Murtajib, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kung, Hans, 1991, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic, New York: Crossroad.
Kung, Hans, 1997, A Global Ethic for Global Politics and Economics, London: SCM Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar