Sabtu, 30 Maret 2013

Paskah dan Kebangkitan Keluarga

Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematiannya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian kita juga akan hidup dalam hidup yang baru (Rm.6:3-4). Bila saya merenungkan apa yang saya kutip di atas maka Misteri Paskah bagaikan dua sisi satu mata uang yang tak terpisahkan, sisi yang pertama tidak lain adalah wafat (penderitaan) dan sisi yang lain adalah kebangkitan (sukacita). Kedua wajah tersebut sangat membekas dalam diri para rasul, dalam surat-suratnya rasul Paulus mengungkapkannya sebagai berikut ”Kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus” (1Tes.1:6), ungkapan serupa kita temukan juga pada 2Kor.8:2 di mana rasul Paulus menulis bagi jemaat Makedonia sebagai berikut ”Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap ......”. Sedang dalam Kis.5:41 tercatat pengalaman para rasul (Petrus dan kawan-kawan) dihadapan Mahkamah Agama ”Rasul-rasul itu meninggalkan sidang Mahkamah Agama dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena nama Yesus”. Biarpun peran kesengsaraan itu penting dan tidak terlepas dari kebangkitan, namun tidaklah berlangsung lama, tidak lebih dari 24 jam, namun kemudian penderitaan itu diganti dengan sukacita yang berlangsung sepanjang masa, biarpun didahului dengan ketakutan, kegalauan, kekhawatiran, kekecewaan. Saya teringat pada Santo Augustinus yang pernah menyapa umatnya dengan sebutan Umat Paskah, yang dengan sangat kuat ditandai oleh kesukacitaan peristiwa Paskah. Rasul Petrus dalam suratnya yang pertama (1:8) menulis sebagai berikut ”Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihiNya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihatNya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan”. Biarpun bagi rasul Paulus di mana tema sukacita bukan menjadi fokus perhatiannya, namun dalam suratnya kepada jemaat Filipi (2:17) dengan alasan tertentu rasul menulis demikian ”Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukaria dan aku bersukacita dengan kamu sekalian”. Ada dua alasan yang mendorong rasul Paulus menulis seperti itu, yang pertama adanya kesempatan untuk mempersembahkan iman jemaat di Filipi kepada Allah dan yang kedua rasul boleh ambil bagian dalam kemartiran, sebagai saksi iman. Begitu pula penginjil Lukas dalam Injilnya sangat menekankan tema sukacita. Beberapa contoh dapat diutarakan di sini. Misalnya pada Kisah Kanak-kanak Yesus, Malaikat menyampaikan – biarpun tidak secara eksplisit – salam sukacita kepada Maria ”Salam, hai engkau yang dikaruniai (Lk.1:28). Begitu pula lewat Magnificat, Bunda Maria dihadapan Elisabet, saudaranya mengungkapkan kegembiraannya, dirinya telah dipilih menjadi Bunda Mesias yang sudah lama ditunggu-tunggu bangsa Israel, ungkapannya ”Hatiku bergembira karena Allah Juruselamatku ..... Mulai dari sekarang dari segala keturunan akan menyebut aku berbahagia....”(Lk.1:47-48). Begitu pula pesan Natal mengungkapkan sukacita yang sangat jelas dan sangat tegas bagi orang kecil (para gembala) ”Sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus” (Lk.2:10-11). Menjelang akhir Injilnya Penginjil Yohanes mengungkapkan catatan bersuasana sukacita ”Semuanya itu Kukatakan kepadamu supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh. ...Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira .... Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu ..... Sekarang, Aku datang kepadamu .... supaya penuhlah sukacitaKu di dalam diri mereka (Yo.15:11; 16:22-24; 17:13). Sabda perpisahan itu lebih merupakan sabda sukacita daripada sabda kesedihan karena akan berpisah. Begitu pula penginjil Lukas mengakhiri Injilnya dengan teriakan sukacita, ketika Yesus bangkit dan menampakkan diri kepada murid-muridNya yang ketakutan, mula-mula mereka ”belum percaya karena girangnya” (Lk.24:41). Begitu Yesus naik ke surga para murid pulang ke Yerusalem ”dengan sangat bersukacita” (Lk.24:52). Berkaitan dengan ini semua saya jadi teringat ucapan Santo Thomas Aquinas bahwa ”dalam Allah ada dua hal yang tidak pernah berubah, yakni kasih dan sukacitaNya”. Berkaitan dengan itu semua maka kita – sebagai umat beriman, sebagai anggota Tubuh Mistik Kristus – seharusnya juga menjadi Umat Paskah, yang ditandai kesukacitaan kristiani. Namun dalam kehidupan sehari-hari sejauh pengalaman saya mendampingi keluarga-keluarga kristiani, maka masih cukup banyak keluarga kristiani yang penuh dengan kekhawatiran, ketakutan dan penderitaan, kekecewaan dan lain sebagainya. Biarpun secara manusiawi semua ketidaksukacitaan itu dapat dimengerti, betapa tidak. Dewasa ini hidup berkeluarga memiliki tantangan, kesulitan dan godaan yang tidak ringan, namun sebagai orang beriman, saya pikir ada sesuatu yang perlu direfleksikan secara mendalam!!!!! Bagi rasul Paulus, sebagai pengikut Kristus Yesus hanya mengharapkan satu hal saja, yaitu: mengambil bagian dalam kemulian Allah. Namun harapan itu bagaikan pelita yang tentunya tidak seterang dunia gemerlap yang ditawarkan di sekitar kita. Bahkan harapan itu mengandung ketidakpastian, karena harapan itu terdapat dalam tubuh-dosa kita, yang sudah ditebus namun belumlah tuntas, masih dalam peziarahan menuju kepenuhannya. Kita masih berada – di satu pihak – ”telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm.3:23), kita tidak mempunyai bagian dalam cahaya sendiri; tetapi – di lain pihak – kita ”bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah” (Rm.5:2). Sebab rasul Paulus memiliki keyakinan yang kuat bahwa ”... penderitaan jaman sekarang tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm.8:18). Untuk itu maka rasul Paulus berdoa bagi kita yang masih dalam perziarahan ini ”Supaya Ia menjadikan matahatimu terang agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilanNya: Betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukanNya bagi orang-orang Kudus” (Ef.1:18). Yesus yang bangkit telah memberikan kepada kita – para pengikutNya – suatu anugerah tertinggi yaitu: Roh Kudus. Hal itu dijanjikan pada saat Yesus hendak pergi kepada BapaNya ”Ia melarang mereka meninggalkan Yerusalem, dan menyuruh mereka tinggal di sini menantikan janji Bapa , ....karena kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus” (Kis.1:4-5). Pencurahan Roh Kudus tersebut berlangsung pada hari Pentakosta, dan yang menarik rasul Petrus memperluas janji yang serupa kepada semua orang yang dibaptis: ”Maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus. Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu ....” (Kis.2:38-39). Maka tidaklah mengherankan bila Perjanjian Baru berbicara tentang ”Roh Kudus adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemulianNya” (Ef.1:14). Dengan kata lain penebusan kita belum lengkap dan utuh, selama kita hidup maka penebusan kita masih berupa uang muka, baru lengkap pada saat parousia. Namun biarpun masih berupa uang muka namun kita mendapat kurnia yang luar biasa, yang bisa menjadi bekal dalam perziarahan kita di dunia, betapa tidak. Kita mendapat pengudusan, keputeraan, dan kemerdekaan. Dengan demikian maka menjadi pekerjaan rumah bagi kita – para pengikut Kristus Yesus – untuk berusaha menumbuhkembangkan ketiga kurnia tersebut dalam kerjasama dengan Roh Kudus, Roh Penolong dan sekaligus Roh Sukacita, sebagaimana ditegaskan oleh rasul Paulus ”Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih-kurnia ini. Di dalam kasih-kurnia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Dan bukan itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan-uji dan tahan-uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikurniakan kepada kita” (Rm.5:2-5). Hanya ada satu tantangan berat – yang dewasa ini – berada di depan kita, yaitu adanya perubahan yang sangat luar biasa cepat dan sangat mendasar dalam kehidupan kita berkat kemajuan sains dan teknologi, bagi mereka yang tidak bisa mengelola perubahan itu dengan baik, maka banyak orang yang terjangkit ’penyakit mengkonsumsi kehampaan di era globalisasi’, sebagaimana di tulis oleh George Ritzer dalam bukunya The Globalization of Nothing, (2006). Yang dimaksud Ritzer dengan kehampaan adalah bentuk sosial yang umumnya disusun dan dikendalikan secara terpusat, dan termasuk tanpa isi substantif yang berbeda, dalam kaitan dengan rumusan tersebut Ritzer mengacu pada maraknya kartu kredit. Kartu kredit sering membuat pemakainya kurang mampu lagi membedakan antara kebutuhan dan keinginan dan lupa pada kemampuan ekonomisnya. Kejadian seperti ini hampir setiap kali saya temukan waktu memberikan lokakarya tentang manajemen keluarga. Para ahli seperti F. Jameson (1984); R.J. Lifton (1976) mensinyalir bahwa dewasa ini banyak orang mengalami kehilangan baik pada tataran kognitif berupa kekaburan sistem nilai; baik pada tataran penghendakan berupa kelesuan (burn-out), maupun pada tataran afeksi berupa kemenduaan hati, kekeruhan batin yang akhirnya melahirkan kegelisahan, kekhawatiran yang obsesif. Dan yang lebih parah lagi banyak orang dewasa ini kehilangan relasi vertikal dalam arti mereka kehilangan pengalaman akan Yang Ilahi, pengalaman akan Allah, kehilangan relasi horisontal dalam arti tidak merasakan lagi – sebagai orang kristiani – panggilan kenabiannya, yang berarti mereka kehilangan tanggungjawab sosial, untuk berperanserta dalam menegakkan kebenaran, keadilan dan kehidupan. Dan akhirnya banyak juga orang yang kehilangan relasi kedalaman, dalam arti usaha mematangkan diri, mendewasakan diri, mensinergikan kelima talenta dasar manusiawi, yaitu kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan kemampuan mencari dan menemukan makna kehidupan agar menjadi fully human, full alive. Maka sebagai sebuah pekerjaan rumah bagi keluarga-keluarga kristiani dalam rangka menyambut Paskah 2013 (Masa Prapaskah) yang akan datang tidak lain adalah menciptakan suasana yang menguntungkan untuk menemukan yang hilang, baik pada tataran vertikal, dengan mengisi masa prapaskah dan dilanjutkan terus membangun relasi dengan Tritunggal Mahakudus, khususnya dengan dengan Roh Kudus, Roh Penolong dan roh Sukacita. Menemukan kembali yang hilang pada tataran horisontal dengan pendidikan suara hati, lebih-lebih pada kesadaran akan panggilan kenabian yang berkaitan dengan penegakan kebenaran, keadilan dan kehidupan. Akhirnya menemukan kembali yang hilang pada tataran kedalaman, dengan pertobatan dan kembali membangun suasana keteladanan yang utuh dalam keluarga kita masing-masing. Dan ini berarti kita menyambut dan mengisi Tahun Iman secara efektif. Selamat Paskah 2013. Saya pikir kutipan di atas – yang diambil dari surat rasul Paulus kepada jemaat di Roma – sangat baik untuk dipakai sebagai motivasi kita semua dalam usaha mengelola keluarga kita masing-masing dalam usaha merealisasikan panggilan kita sebagai tanda kasih Allah kepada manusia (lihat Ef. 5:22-33, khususnya`ayat 31-32). Lewat suratnya rasul Paulus ingin menyakinkan kita semua bahwa dengan percaya kepada Kristus Yesus, dan kemudian menerima Sakramen Permandian, maka yang bersangkutan telah dipersatukan dengan Kristus Yesus dan kasihNya secara dengan sangat erat. Sebagaimana Yesus telah wafat, maka dengan menerima Sakramen Baptis seseorang telah mati (= dibebaskan) dari cengkeraman belenggu dosa. Di lain pihak dengan menerima Sakramen Baptis maka seseorang telah memiliki hidup baru, hidup dalam Roh, dengan kata lain kuasa kebangkitan telah meraja dalam diri kita, diri kita telah menjadi Bait Allah. Namun, di lain pihak sebagai manusia biasa yang berdaging maka rasul Paulus juga berbicara tentang tubuh-dosa, biarpun tubuh dosa itu sudah ditebus namun penebusan itu belumlah tuntas. Misteri Paskah memiliki dua wajah, wajah yang pertama adalah Yesus wafat, wajah kedua adalah Yesus Bangkit, dengan kata lain wajah pertama adalah penderitaan, wajah kedua adalah sukacita (Stanislaus Nugroho, aktivis Kerasulan Keluarga, tinggal di Bogor).