Kamis, 10 Februari 2011

Keluarga

Keluarga Bertanggungjawab
Stanislaus Nugroho, Komisi PSE Keuskupan Bogor

Pada masa Prapaskah 2010 ini Gereja mengajak Umatnya untuk merenungkan kembali kehidupan perkawinan dan keluarga. Gereja ingin mengajak Umatnya untuk menyadari kembali ‘nilai luhur dan kesucian status perkawinan’ (Gaudium et Spes, artikel 47). Ajakan ini berkaitan dengan kenyataan bahwa keluhuran dan kesucian perkawinan mengalami erosi yang cukup mengkhawatirkan. Oleh karena pada masa Prapaskah ini Umat diajak untuk berfokus pada tema KELUARGA BERTANGGUNGJAWAB. Sebagai sub-temanya dipilih empat hal, yaitu:
• Keluarga Sebagai Panggilan.
• Keluarga Sebagai Komunitas Pribadi-pribadi.
• Keluarga Kristiani Yang Mandiri.
• Keluarga Membaharui Diri Terus-menerus.
Tanggungjawab merupakan salah satu nilai yang sangat penting dalam kehidupan manusia, mengapa? Jawabannya berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia mampu menentukan dirinya sendiri, atau dengan perkataan lain manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan. Seandainya manusia tidak memiliki kebebasan maka kita tidak perlu dan tidak bisa berbicara tentang tanggungjawab.
Berkeluarga merupakan suatu pilihan bentuk kehidupan manusiawi, maka berkeluarga merupakan suatu keputusan. Setiap keputusan yang dibuat dengan tahu dan mau maka keputusan tersebut menuntut adanya tanggungjawab, karena setiap keputusan selalu memiliki dampak bagi diri sendiri maupun bagi pihak yang terkait dengan keputusan tersebut.

Keluarga berada di persimpangan jalan
Akhir-akhir ini kehidupan berkeluarga mengalami begitu banyak tantangan. Pada bagian ini kami ingin menyajikan beberapa pandangan yang diberikan oleh para pemerhati keluarga. Yang pertama, Anthony Giddens, seorang sosiolog yang paling berpengaruh dewasa ini dan sekaligus Direktur dari London School of Economics, dalam bukunya yang berjudul Runaway World (1999) bab IV memberikan catatan yang perlu kita simak dengan baik. Catatannya sebagai berikut “Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi kita – dalam seksualitas, hubungan pribadi, perkawinan dan keluarga. Ada sebuah revolusi global yang tengah berlangsung mengenai bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita membangun ikatan dan hubungan dengan orang lain”. Artinya keluarga sebagai sel terkecil dari masyarakat sedang mengalami tantangan yang tidak ringan, seperti free sex, perceraian, kumpul kebo, single parent (bukan karena kematian salah satu pasangan), dan lain-lain.
Selanjutnya dalam konteks Indonesia, dalam sebuah buku yang berjudul Di Ttengah Hentakan Gelombang. Agama dan Keluarga Dalam Tantangan Masa Depan (1997), Redaksi memberi catatan pengantar sebagai berikut “….. keluarga sekarang ternyata bukan lagi tempat perlindungan yang aman dan teduh. Keluarga juga telah terpecah dan mengalami krisis. Krisis institusi keluarga, bahkan merupakan bagian penting dari krisis kehidupan di penghujung abad XX ini”. Saat ini melalui media massa kita bisa membaca, melihat, mendengar terjadinya kekerasan dalam keluarga, suami terhadap pasangannya, kadang-kadang isteri terhadap pasangannya, orangtua terhadap anak-anaknya, dan lain sebagainya.
Di Keuskupan Bogor sendiri – sejauh pengalaman saya selama mendampingi keluarga-keluarga, permasalahan utama yang dihadapi oleh para suami dan isteri serta anak-anak bisa diungkapkan dengan satu kata, yaitu relasi. Relasi menjadi tidak selaras karena banyak di antara pasangan suami isteri belum memiliki ketrampilan berkomunikasi yang berdayaguna. Kemudian ada bermacam-macam hal yang menjadi pemicu, misalnya: keuangan keluarga, pendidikan anak, keluarga besar, dan lain-lain.
Berkaitan dengan itu maka tidaklah terlalu mengherankan bila Pater B. Kieser, SJ dalam Majalah Basis, edisi 05-06, Tahun ke 52, Mei-Juni 2003 mengajukan pertanyaan “Keluarga: Bahtera yang sudah karam?”
Dalam Gereja Katolik akhir-akhir ini cukup banyak kasus perkawinan yang akhirnya dibawa ke Pengadilan Gereja untuk mendapatkan ‘pembatalan perkawinan. Gereja Katolik tidak mengenal perceraian, dikatakan ‘pembatalan perkawinan’ karena perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Gereja Katolik. Kasus yang terjadi di Keuskupan Bogor ada 146 kasus yang berkaitan dengan adanya halangan yang menggagalkan kesepakatan, cacat dan tidak terpenuhinya forma kanonik.
Bagi mereka yang mengalami dan menjalani hidup perkawinan, maka kita harus mengakui bahwa hidup perkawinan bukanlah hal yang mudah. Perkawinan sebagai suatu perjalanan bersama, merupakan suatu proses membangun kesejolian antara dua dua orang (= laki-laki dan perempuan) yang masing-masing memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Lebih-lebih dengan latar belakang budaya, pendidikan, pemikiran, minat dan kepentingan yang berbeda satu dengan lainnya, membuat proses membangun kesejolian menjadi semakin sulit dan berat.
Namun, bagaimanapun juga rencana Allah tentang perkawinan, sudah sangat jelas, yaitu sebagaimana dapat kita baca dalam Kitab Kejadian 2:24 “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Yang menarik adalah bahwa Yesus – sebagaimana dicatat oleh Penginjil Markus dan Mateus – juga mengutip Kitab Kejadian 2:24 (lihat Mk. 10:7 dan bandingkan dengan Mt. 19:5) dalam menjawab pertanyaan kaum Farisi tentang masalah perceraian. Bahkan rasul Paulus dalam suratnya kepada umat di Efesus, 5:31 juga mengutip Kitab Kejadian 2:24. Berkaitan dengan itu maka dapat disimpulkan bahwa Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan untuk menjadi sejoli, menjadi sepasang, sejodoh, menjadi pasangan suami dan isteri (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1990, halaman 794).
Namun di lain pihak rencana dunia tentang perkawinan dan keluarga menawarkan pola-pola yang berbeda, misalnya keluarga single parent (bukan karena kematian), kemudian beberapa negara di antaranya Inggris memberlakukan undang-undang yang memperbolehkan pernikahan sejenis. Kompas tanggal 24 Desember 2005, halaman 16 memberitakan bahwa “penyanyi pop Inggris, Elton John (58), akhirnya ‘menikah’ dengan pasangan gay-nya, David Furnish”. Selain daripada itu ada juga yang menawarkan rumah tangga sekadar rumah kos, di mana kebersamaan yang merupakan salah satu ciri terpenting dalam keluarga mengalami erosi. Dalam kaitan dengan situasi kondisi yang membuat banyak keluarga kristiani berada di persimpangan jalan, Gereja ingin menekankan kembali bahwa perkawinan adalah kesejolian (lihat Gaudium et Spes, artikel 48), dan keluarga adalah sebuah komunitas pribadi-pribadi (lihat Familiaris Consortio, artikel 18 - 27).

Perkawinan dan Keluarga sebagai panggilan
Pada Kitab Kejadian 1:27 tertulis “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarnya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka”. Mengapa Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan? Jawabannya bisa kita temukan pada Kitab Kejadian 2:24 di mana tertulis “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Dengan demikian hakekat perkawinan adalah kesejolian. Artinya perkawinan merupakan sebuah persekutuan hidup atas dasar cinta.
Kesejolian bukanlah barang jadi yang bisa dibeli begitu saja, kesejolian merupakan suatu ‘menara’ yang harus dibangun. Dalam usaha membangun menara tersebut kita bisa belajar dari Keluarga Kudus Nazaret suatu keluarga yang hidup lebih dari dua ribu tahun yang lalu di kota kecil bernama Nazaret, yaitu keluarga Yosef dan Maria serta anaknya yang bernama Yesus. Lewat keluarga ini kita bisa belajar bagaimana mereka membangun keluarga berdasarkan suatu spiritualitas perkawinan dan keluarga yang sungguh patut dicontoh.
Bila kita merenungkan baik Injil Mateus 1: 18-25 maupun Injil Lukas 1: 26-38 maka kita bisa menemukan beberapa hal penting yang perlu kita camkan dalam diri kita masing-masing. Yang menjadi fokus utama dalam perikop Mt. 1:18-25 adalah Yosef. Diceritakan bahwa Maria sudah bertunangan dengan Yosef, namun mereka belum hidup sebagai suami dan isteri, artinya antara Maria dan Yosef sudah ada relasi yang serius, tinggal peresmian saja, di mana Yosef akan menjemput Maria dan masuk ke rumah Yosef. Ternyata Maria sudah hamil, maka Yosef ingin menceraikan Maria secara diam-diam, agar nama Maria tidak tercemar di depan umum. Sebelum Josef merealisasikan niatnya tersebut, maka Josef mendapat mimpi, dalam mimpinya Yosef bertemu dengan Malaikat Tuhan yang memberitahu “Yosef, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus (Mt. 1:20). Yosef mendengarkan dan melaksanakan kehendak Allah. Yosef menjemput Maria untuk menjadi isterinya. Yosef mulai membangun kehidupan keluarganya dengan menanggapi Kehendak Allah. Ternyata sebelum komitmen antara Yosef dan Maria, didahului oleh komitmen antara Yosef dengan Allah. Yosef komit pada kehendak dan panggilan Allah.
Selanjutnya pada Lk. 1:26-38 yang menjadi fokus adalah Maria. Diceritakan bahwa Maria mendapat kunjungan Malaikat Gabriel. Maria mendapat kasih karunia Allah, yaitu bahwa Maria akan mengandung seorang anak yang tidak lain adalah Anak Allah Yang Mahatinggi. Berkaitan dengan kunjungan tersebut Maria menjadi bingung, sehingga Maria bertanya “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami” (Lk. 1:34). Hal itu menjadi mungkin terjadi karena “Roh Kudus akan turun atasmu dan Kuasa Allah yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah (Lk. 1:35). Terhadap jawaban yang diberikan oleh Malaikat Gabriel tersebut Maria berkata “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lk. 1:38). Dialog tersebut memperlihatkan bahwa Maria mendengarkan dan komit pada Sabda Allah, sebagai awal dari panggilannya sebagai isteri dan ibu.
Komitmen yang ada dalam diri Yosef dan Maria terhadap Allah dilandasi oleh adanya keterbukaan diri dan iman kepercayaan yang kuat terhadap penyelenggaraan Illahi. Setelah komit pada Sabda Allah, maka Yosef dan Maria merealisasikan komitmen mereka secara utuh, mereka menjadi pasangan suami isteri yang berjalan bersama untuk membangun keluarga mereka sesuai dengan rencana Allah. Mereka tetap setia biarpun perjalanan mereka tidaklah mulus. Misalnya, Yesus lahir pada saat Yosef dan Maria dalam perjalanan menuju Betlehem – dalam rangka memenuhi perintah Kaisar Agustus – untuk melakukan sensus penduduk, dan ‘mereka tidak mendapat tempat penginapan, sehingga Yesus dibaringkan di dalam palungan’ (Lk. 2:7). Namun, dalam situasi itu ternyata datang penghiburan dari para penggembala, para penggembala mensharingkan pengalaman (iman) mereka waktu mendapat penampakan dari malaikat Tuhan , dan sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah (Lk. 2:13). Mendengar sharing para penggembala Yosef dan Maria menjadi bingung dan tidak mengerti apa maknanya, namun ‘Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya (Lk. 1:19). Pengalaman lain yang membuat Yosef dan Maria ‘amat heran akan segala apa yang dikatakan tentang Dia’ (Lk. 2:33) adalah pertemuannya dengan Simeon – seorang yang benar dan saleh – di Bait Allah, yaitu waktu Yesus akan disunat dan diserahkan kepada Tuhan, sesuai dengan hokum Taurat Musa. Yang menarik apa yang dicatat oleh Lukas tentang Yesus, yaitu “Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat dan kasih karunia Allah ada padaNya” (Lk. 2:40, bdk. 2:52 “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”.
Selanjutnya Mateus mencatat pengalaman lain yang merupakan pengalaman penghiburan pula, yaitu waktu mereka dikunjungi oleh orang-orang majus dari Timur (Mt. 2:1), ‘masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibuNya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepadaNya, yaitu emas, kemenyan dan mur” (Mt. 2:11). Orang-orang majus tersebut menyembah pada Yesus, dalam hal ini Mateus ingin menegaskan ke-Allah-an Yesus. Bila kita merujuk pada Yes. 60:6 maka menjadi jelas bahwa emas dan kemenyan merupakan barang-barang yang dipersembahkan kepada Allah (bdk. Yer. 6:20). Yang jelas bahwa emas dan kemenyan dan mur – pada masa itu – merupakan barang-barang yang sangat berharga.
Namun, tidak lama kemudian keluarga Nazaret mengalami pengalaman yang sangat mencekam, betapa tidak. Yosef memperoleh penampakan, di mana malaikat Tuhan berkata “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibuNya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia” (Mt. 2:13). Dapat dibayangkan betapa Yosef dan Maria pasti bingung, kawatir, dan was-was, namun Yosef tanpa membuang waktu menaati malaikat Tuhan dan mengambil “Anak itu serta ibuNya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir” (Mt. 2:14). Selanjutnya Lukas menceritakan pengalaman Yosef dan Maria waktu Yesus berusia 12 tahun, dalam cerita ini ada beberapa hal yang menarik dan dapat kita renungkan. Yang pertama Yosef dan Maria merupakan pasangan suami isteri yang saleh, ‘tiap-tiap tahun orangtua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah’ (Lk. 2:41). Pada waktu itu Yesus berusia 12 tahun – menjelang dewasa secara keagamaan – mereka sekeluarga pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Pada waktu itu ada kebiasaan bahwa rombongan dibagi menjadi dua, kaum perempuan dan anak-anak se rombongan, sedang kaum laki-laki se rombongan yang lain. Waktu pulang Maria berpikir bahwa Yesus bersama Yosef bapaNya, sedang Yosef berpikir Yesus bersama Maria ibuNya. Setelah sehari perjalanan, ketika Yosef dan Maria bertemu, mereka baru sadar bahwa Yesus tidak bersama mereka. Tiga hari lamanya mereka mencari Yesus, dan Yesus ditemukan di Bait Allah sedang berbincang dengan alim ulama. Para alim ulamakagum pada Yesus karena kecerdasanNya (Lk. 2: 47).
Waktu ibuNya bertanya “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? bapaMu dan aku dengan cemas mencari Engkau”. Jawab Yesus kepada mereka “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu , bahwa Aku harus berada di dalam rumah BapaKu?” Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakanNya kepada mereka ….. Dan ibuNya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya (Lk. 2:48-51).
Berkaitan dengan uraian di atas, maka sangat relevan bila kita mencoba menanggapi sabda Yesus sebagaimana dicatat oleh Mateus “….. orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu” (7:24). Dalam kaitan dengan hidup berkeluarga, muncul pertanyaan “di atas batu macam apa kita seharusnya mendirikan rumah tangga kita?” Yosef dan Maria merupakan pasangan pertama yang menempatkan rumah tangganya di atas batu-batu yang tepat, yaitu
1. Batu yang pertama adalah sikap komit pada panggilannya.
2. Batu yang kedua adalah sikap tawakal pada penyelenggaraan Ilahi dalam situasi apapun.
3. Batu yang ketiga adalah sikap terbuka pada kehendak Allah, dan
4. Batu yang keempat adalah sikap proaktif, dan tidak reaktif. Sikap proaktif merupakan sikap yang dapat mengendalikan diri.
Dengan empat batu penjuru tersebut Yosef dan Maria mampu mengantar “Yesus makin besar dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Lk. 2:40). Dalam keluarga yang sehat, akan tumbuh pribadi-pribadi yang sehat, baik jasmani maupun rohani.

Keluarga sebagai komunitas pribadi
Dalam kanon 1055 pasal 1 dinyatakan “Perjanjian perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen”. Kemudian dilanjutkan dengan pasal 2 dengan rumusan sebagai berikut “Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen”.
Dari kutipan tersebut di atas maka ada beberapa hal pokok yang dinyatakan oleh kanon 1055 pasal 1 dan pasal 2, yaitu:
1. pertama-tama perkawinan merupakan suatu perjanjian. Suatu perjanjian antara dua pribadi laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu persekutuan (kesejolian).
2. Yang kedua persekutuan tersebut terarah pada kesejahteraan suami-isteri dan anak-anak.
3. Yang ketiga persekutuan antara dua orang yang dibaptis, diangkat ke martabat sakramen, artinya persekutuan antara dua orang yang dibaptis “melambangkan dan menghadirkan hubungan yang mesra dan mendalam antara Kristus dan GerejaNya. ….. Itu berarti, pasangan yang menerima sakramen perkawinan perlulah menyadari keagungan dan keluhuran martabat perkawinan yang mereka terima. Sebab, dalam ikatan yang sungguh manusiawi yang mereka jalin dan bina dalam hidup perkawinan, hadirlah misteri agung yang luar biasa, yakni relasi tak terpisahkan antara Kristus dan GerejaNya. Selanjutnya, justru karena menghadirkan kasih kesetiaan Allah kepada umatNya dan kasih kesetiaan Kristus kepada GerejaNya, pasangan suami isteri kristiani itu ditantang untuk terus menerus menghayati, melaksanakan, dan mewartakan apa yang dilambangkannya” (E. Martasudjita, Pr., Sakramen-sakramen Gereja. Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 364-365.)
Tantangan yang ditawarkan kepada pasangan suami-isteri kristiani samasekali tidaklah ringan. Setiap orang adalah pribadi dan dipanggil dengan tujuan yang khusus, sesuai dengan talenta yang diberikan oleh Allah. Bila kita hendak mengetahui tujuan hidup kita maka kita harus bertanya kepadaNya, Dia yang menciptakan kita. Sebagaimana Pemazmur menulis “Tulang-tulangku tidak terlindung bagimu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mataMu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitabMu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun daripadanya” (Mzm. 139:15-16). Dengan itu Pemazmur ingin mengatakan bahwa Allah telah merencanakan dengan teliti hidup kita masing-masing sesuai dengan tujuan yang telah ditentukanNya.
Apa yang diyakini oleh Pemazmur, diyakini juga oleh Rasul Paulus. Dalam surat kepada umat di Efesus Rasul Paulus menulis sebagai berikut “Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendakNya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaanNya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkanNya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang dibumi. Aku katakan ‘di dalam Kristus’, karena di dalam Dialah kami mendapatkan bagian yang dijanjikan – kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya” (Ef. 1:9-11).
Keunikan manusia menjadi nyata dalam kehidupan berkeluarga, suami, isteri dan anak-anak masing-masing adalah pribadi yang unik, tidak ada duanya. Oleh karena itu Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan) menyatakan bahwa keluarga telah ditentukan menjadi ‘persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumNya, dibangun oleh janji perkawinan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan isteri, timbullah suatu lembaga yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan Ilahi. Ikatana suci demi kesejahteraan suami isteri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan’ (art. 48).
Berkaitan dengan tujuan tersebut maka alm. Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam anjuran apostoliknya kepada para Uskup, Imam-imam dan Umat beriman sweluruh Gereja Katolik ‘menempatkan cintakasih sebagai prinsip dan kekuatan persekutuan’, dan bahwa ‘kesatuan persekutuan suami-isteri yang tak terceraikan’ atau dengan perkataan lain ‘persekutuan yang tidak dapat dibatalkan’ (Familiaris Consortio, art. 18-20).
Berkaitan dengan itu setiap keluarga hendaknya mampu mengusahakan suatu relasi yang mesra, terbuka dan bertanggungjawab, melalui dialog secara berkesinambungan, atau dalam bahasa Konsili Vatikan II, keluarga membutuhkan ‘komunikasi hati penuh kebaikan’ (art. 52). Agar dengan demikian keluarga mampu membangun sikap proaktif dan bukan reaktif, sebagaimana bisa kita temukan pada Keluarga Kudus Nazaret. Sikap proaktif mengandaikan adanya kemampuan untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan yang bijaksana, dan bukannya pijak sana pijak sini.
Namun, kenyataan berbicara lain, lebih dari empat puluh tahun yang lalu Personnel Journal, April, 1966, hal. 237 mencatat bahwa “A ….. number one problem today can be summed up in one word: Communication”. Saya pikir apa yang dicatat oleh Personnel Journal masih tetap relevan sampai saat ini, terbukti dengan hasil temuan Al. Bagus Irawan, MSF sebagaimana diungkapkan dalam buku yang berjudul Menyikapi Masalah-masalah Keluarga, Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2007, hal. 18. dari enam masalah keluarga yang diteliti maka masalah-masalah relasi suami-isteri memperoleh skor tertinggi, yaitu 42%; selanjutnya menyusul masalah-masalah kondisi anak dengan skor 23%, sedang masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan tak sah menduduki ranking ke tiga dengan skor 17%.
Membangun komunitas pribadi-pribadi mengandaikan adanya budaya dialog dalam keluarga, tanpa itu maka komunitas pribadi merupakan impian yang tidak mungkin.

Keluarga kristiani yang mandiri
Kemandirian merupakan salah satu impian setiap manusia. Kemandirian meliputi kemandirian intelektual (mampu berpikir sendiri), kemandirian emosional (kemampuan untuk berempati), kemandirian moral (kemandirian hati nurani), kemandirian spiritual (kemandirian menetapkan makna hidupnya) dan kemandirian ekonomis (kemampuan untuk self-supporting). Bila kita mengacu pada Abraham Maslow yang telah menyusun suatu hirarki kebutuhan yang diawali dengan kebutuhan faali, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan dan yang terakhir kebutuhan akan aktualisasi diri, maka menurut saya secara analogis bisa diterapkan pada hirarki kemandirian, yaitu dimulai dengan kemandirian ekonomis, kemandirian emosional, kemandirian intelektual, kemandirian moral dan kemandirian spiritual. Pada kesempatan ini saya ingin memfokuskan diri pada pembahasan tentang kemandirian ekonomis. John Locke (1632-1704) dalam bukunya yang berjudul Two Treatises of Government (1690) menyatakan bahwa manusia memiliki tiga hak kodrati, yaitu kehidupan, kebebasan dan milik. Dari ketiha hak tersebut maka milik merupakan hak yang terpenting, mengapa? Jawaban Locke, karena kehidupan dan kebebasan merupakan milik manusia yang penting. Milik dapat diperoleh oleh manusia lewat pekerjaan yang dilakukannya. Bagi Locke pekerjaan merupakan legitimasi setiap milik, dalam bahasa Rasul Paulus “jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes. 3:10). Kemandirian ekonomis hanya bisa direalisasikan kalau seseorang memiliki pekerjaan. Padahal bekerja merupakan suatu kegiatan yang serius, karena bekerja butuh perencanaan, butuh pengetahuan, butuh ketrampilan, maka agar dapat bekerja dibutuhkan adanya pendidikan yang memadai.
Selain memiliki pekerjaan maka kemandirian ekonomis juga menuntut adanya kemampuan untuk mengelola pendapatan dengan bijaksana. Jangan sampai ‘besar pasak daripada tiang’, artinya pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Kalau keluarga tidak mampu mengendalikan pengeluarannya maka keluarga yang bersangkutan akan mengalami kesulitan, yaitu membangun kebiasaan untuk melakukan ‘gali lobang tutup lobang’, artinya hidup keluarga yang bersangkutan terjebak dalam hutang yang makin lama makin besar. Memang dewasa ini kita hidup dalam jaman yang bersemboyan ‘aku membeli, maka aku ada’, atau dengan perkataan lain kita hidup dalam budaya yang mengacu pada pola hidup yang sangat konsumtif.
Untuk mengatasi tantangan tersebut di atas maka kita perlu membangun budaya anggaran. Yang dimaksud dengan anggaran adalah ‘suatu rencana yang dinyatakan dalam angka, angka itu mengacu pada suatu jumlah uang’. Dengan anggaran kita sebenarnya mengarah ke masa depan, masa depan dapat membangkitkan harapan, membangkitkan optimisme, bila direncanakan dengan bijaksana. Dalam kaitan dengan anggaran, ada baiknya bila kita merenungkan sejenak apa yang ditulis oleh Penginjil Lukas dalam Injilnya bab 14: 28-30 sebagai berikut “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk duhulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya”.
Dengan membuat anggaran kita juga belajar untuk menentukan prioritas, mana yang betul-betul merupakan kebutuhan (kebutuhan merupakan sesuatu yang perlu, maka tidak bisa ditunda), dan mana yang sekadar keinginan (sesuatu yang bisa ditunda). Dalam membuat anggaran libatkanlah seluruh anggota keluarga, hal ini sangat membantu untuk menegakkan nilai keterbukaan dan tanggungjawab. Selain daripada itu dengan membuat anggaran kita melatih kerendahan hati, rendah hati tidak lain adalah menerima kenyataan. Salah satu kenyataan hidup tidak lain adalah bahwa dengan pekerjaan kita, kita memperoleh pendapatan tertentu dan harus bisa hidup dengan pendapatan tersebut. Itu tidak berarti bahwa kita lalu menjadi loyo, kita tetap harus berusaha untuk bekerja lebih cerdas agar dapat meningkatkan pendapatan kita, dan itu berarti kualitas hidup bisa meningkat. Namun, tetap ada batasnya juga, yaitu talenta yang kita miliki. Akhirnya kita juga harus membangun budaya ‘menabung dulu baru berhemat’, dan bukan sebaliknya.

Keluarga membaharui diri terus menerus
Dalam bahasa Stephen R. Covey, kita harus selalu mengasah gergaji kita. Dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People, Covey menceritakan suatu peristiwa sebagai berikut “Andaikata anda bertemu seseorang yang sedang bekerja terburu-buru menebang se batang pohon di hutan. ‘Apa yang seang anda kerjakan?’ anda bertanya. ‘Tidak dapatkah anda melihat?’ demikian jawabnya dengan tidak sabar. ‘Saya sedang menggergaji pohon ini’. ‘Anda kelihatan letih!’ anda berseru. ‘Berapa lama anda sudah mengerjakannya’. ‘Lebih dari lima jam’, jawabnya, ‘dan saya lelah! Ini benar-benar kerja keras’. ‘Nah, mengapa anda tidak beristirahat saja beberapa menit dan mengasah gergaji itu?’ anda bertanya. ‘Saya yakin anda akan dapat bekerja jauh lebih cepat’. ‘Saya tidak punya waktu untuk mengasah gergaji’, orang itu berkata dengan tegas. ‘Saya terlalu sibuk menggergaji’”.
Dalam perjalanan hidup kita baik sebagai pribadi maupun sebagai keluarga, jarang sekali kita mau berhenti sejenak untuk berefleksi, untuk mawas diri, kita terjebak untuk terus bekerja keras dan kurang bekerja cerdas. Dalam kehidupan berkeluarga kita seringkali masih terjebak dalam trial and error, padahal dunia telah mengalami perubahan substansial dan perubahan itu berlangsung secara sangat cepat dan luar biasa. Misalnya dalam hidup berkeluarga, kita sering menuntut agar pasangan dan anak-anak berubah, padahal itu tidaklah mungkin. Mungkin baik bila merenungkan sejenak apa yang yang ditulis oleh Anthony de Mello, SJ dalam bukunya The Song of The Bird (1982), artikel 110 sebagai berikut “Sufi Bayazid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini: ‘Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa: Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia’! ‘Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: ‘Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas’. ‘Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: ‘Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri’. Seandainya sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku”.
Dari cerita tersebut di atas, Anthony de Mello, SJ memberi catatan kecil sebagai berikut “setiap orang berpikir mau mengubah umat manusia . Hampir tak seorangpun berpikir bagaimana mengubah dirinya”. Dalam kaitan dengan ini maka Rasul Paulus menulis dalam suratnya kepada umat di Roma bab 12 ayat 2 sebagai berikut “….., tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, …..”. Konkretnya? Karena permasalahan utama keluarga adalah relasi, maka tidak ada resep lain kecuali berlatihlah untuk berkomunikasi dengan berdayaguna. Namun, sebagaimana disharingkan oleh Rasul Paulus (Rom. 7:18-25) bahwa sebagai manusia kita memiliki kemauan yang baik, namun ada godaan besar untuk tidak melaksanakan kehendak baik itu. Maka alangkah baiknya bila sebagai keluarga – setiap malam sebelum tidur – berkumpul untuk berdoa bersama, mohon Allah hadir (lihat Mt. 18:20 “….. dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”) di tengah-tengah keluarga kita masing-masing, sambil berekonsiliasi. Maka ketika kita tidur, kita tidur dengan damai, dengan demikian ketika bangun kita juga damai, sehingga setiap pagi merupakan ‘hari yang pertama dari seluruh sisa hidup kita’, biasanya hari yang pertama dialami dalam keindahan.
Ajakan
Dari uraian di atas menjadi jelas, bahwa yang dimaksud dengan keluarga bertanggungjawab adalah keluarga yang diawali dengan komitmen antara Allah dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan, dilanjutkan dengan komitmen antara laki-laki dan perempuan untuk berjalan bersama membangun suatu komunitas pribadi-pribadi yang membela kehidupan, dan ikut serta dalam pengembangan masyarakat dan dalam kehidupan dan misi Gereja. Keikutsertaan kita dalam pengembangan masyarakat dan dalam kehidupan dan misi Gereja hendaknya sesuai dengan talenta yang kita miliki.

Bogor, 23 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar