Sabtu, 30 Oktober 2010

keluarga

KOMUNIKASI SUAMI - ISTERI
Stanislaus Nugroho

Lebih dari 40 tahun yang lalu dalam sebuah tulisan yang ditulis oleh Editor majalah Personnel Journal dan berjudul The Number One Problem tertulis kata-kata sebagai berikut “…..persoalan dunia saat ini dapat diringkaskan dengan satu kata, yaitu komunikasi” . Kata-kata tersebut saya pikir tetap masih sangat relevan dan aktual saat ini. Persoalan komunikasi sudah hampir merambah segala aspek kehidupan manusia. Masalah ini sangat aneh, mengingat manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial dan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi.
Biarpun, kita sekarang ini hidup pada jaman di mana tersedia begitu banyak alat-alat komunikasi yang sangat canggih, namun, rupanya letak masalah bukan pada tersedia atau tidak peralatan komunikasi yang sangat canggih, tapi pada bagaimana kita harus berkomunikasi secara canggih. Rupanya kita masih perlu belajar banyak tentang bagaimana kita harus berkomunikasi, tentang apa yang harus dikomunikasikan, dan tentang kapan kita harus mengkomunikasinya. Tulisan ini akan mencoba mengungkap persoalan-persoalan tersebut, namun sebelumnya perlu juga dibahas tentang hambatan-hambatan berkomunikasi dan apa itu komunikasi.

Apa itu komunikasi?
Ada begitu banyak definisi tentang komunikasi, hampir setiap ahli memberikan definisinya sendiri-sendiri , namun pada kesempatan ini saya ingin mengikuti definsi yang diberikan oleh John Powell. John Powell mendefinisikan komunikasi sebagai “saling memberikan sesuatu sehingga sesuatu tersebut menjadi milik bersama” . “Sesuatu” itu bisa bermacam-macam, hanya sekadar basa-basi/sopan santun, seperti “selamat pagi”, “mau ke mana”, dan lain-lain. Sesuatu itu bisa sekadar bahan untuk ngrumpi/nggosip, biasanya sangat asyik, namun sebenarnya tidak memperkaya diri kita bahkan bisa menimbulkan masalah karena salah pengertian sehingga ada yang tersinggung, dan lain-lain. Sesuatu itu bisa merupakan bahan untuk berdiskusi, biasanya membuat suasana menjadi hangat dan ramai sekaligus juga memperkaya diri kita, namun masih sebatas ide, gagasan, dan belum sampai pada situasi diri kita yang terdalam. Sesuatu itu adalah perasaan yang sedang dialami oleh seseorang, itu berarti yang bersangkutan membagikan situasi dan kondisi dirinya yang paling dalam. Perasaan seseorang merupakan tanda dari gejolak dirinya sekaligus merupakan ungkapan spontan atas peristiwa yang dialaminya, atau sesuatu, atau orang lain yang dihadapinya. Selain daripada itu perasaan bersifat netral, artinya tidak berkaitan dengan benar atau salah, baik atau buruk, dengan kata lain perasaan bersifat amoral (tidak memiliki kaitan dengan moralitas). Yang terakhir sesuatu itu adalah diriku sendiri, dengan perasaan, pikiran dan perilakunya yang khas, saya mau berbagi dengan yang lain sedalam mungkin. Kemauan ini mengandung risiko, bagaimana kalau orang lain akan menertawakan, mencemooh dan menolak aku. Namun, di lain pihak muncul juga kepercayaan bahwa yang lain akan menerima aku, karena di antara kita ada persahabatan, ada kasih.
Bila kita mampu mengkomunikasikan perasaan dan atau diri sendiri, maka kita memasuki tahap komunikasi yang paling mendalam dan paling memperkaya diri kita masing-masing. Dengan mengkomunikasikan diri kita sendiri maka relasi kita dengan orang lain akan menjadi semakin hidup dan menghidupkan. Bahkan John Powell dengan tegas mengatakan bahwa “nilai keberadaan kita sebagai manusia terletak pada relasi kita dengan orang lain”. Namun, untuk sampai pada komunikasi ditingkat perasaan dan atau diri sendiri (self-disclosure) maka kita harus dapat mengatasi hambatan-hambatan yang akan kita alami dalam berkomunikasi.

Hambatan-hambatan berkomunikasi
Hambatan pertama berpangkal pada hakekat manusia itu sendiri, yang tidak lain adalah seorang pribadi yang unik, dengan latar belakang seksualitas, budaya, tradisi, pendidikan, perhatian dan minat yang berbeda-beda. Dengan perkataan lain kita masing-masing adalah ego, yang dengan mudah bisa menjebak kita pada sikap egosentrisme. Berkaitan dengan itu maka dalam berkomunikasi masing-masing manusia pasti memiliki filternya sendiri-sendiri.
Hambatan yang kedua berkaitan dengan masalah bahasa, ada banyak bahasa, dialek, bahasa prokem, bahasa sms yang tidak mudah untuk dimengerti dan sering menimbulkan salah pengertian.
Hambatan yang ketiga berhubungan dengan masalah psikologis. Kondisi psikologis seseorang tidak selalu positif, dalam kondisi psikologis yang negatif maka seseorang bisa saja bersikap tidak bersahabat, tidak menaruh perhatian, sehingga relasinya dengan orang lain cenderung kurang baik.
Hambatan yang keempat berkaitan dengan hambatan fisik, misalnya ada suara yang sangat bising, ada suara halilintar dan lain sebagainya, sehingga mengganggu komunikasi yang sedang berlangsung.
Hambatan-hambatan tersebut di atas ada yang mudah ditanggulangi dan ada yang sulit ditanggulangi, yang relatif mudah diatasi adalah hambatan fisik, sedang yang relatif sulit diatasi misalnya yang berkaitan dengan hambatan psikologis, dan hambatan yang berkaitan dengan proses filterisasi dalam diri seseorang.
Berkaitan dengan hambatan-hambatan tersebut di atas maka kita perlu mewaspadai situasi dan kondisi kita dan kawan bicara kita, baik yang ada di luar maupun yang ada di dalam diri kita sendiri dan kawan bicara kita, agar kita dapat mengurangi hambatan-hambatan tersebut dan akibat-akibatnya berkaitan dengan komunikasi yang sedang kita lakukan dengan seseorang. Dengan perkataan lain kita memiliki ketrampilan mengelola diri kita sendiri dan orang lain.

Sikap-sikap yang diperlukan agar dapat berkomunikasi dengan baik
Menurut John Powell ada tiga sikap yang diperlukan agar dapat berkomunikasi dengan baik. Ketiga sikap tersebut tidak lain adalah:
1. Sikap mau terlibat dengan orang yang sedang berkomunikasi dengan kita, kita harus terlibat, lebur dan menyatu dengan komunikan lewat komunikasi.
2. Sikap mau menjadi karunia bagi sesama. Artinya kita harus memiliki keyakinan bahwa diri kita merupakan karunia bagi orang lain, dan bahwa dengan membuka diri sendiri, orang lain menjadi karunia bagi diri kita.
3. Sikap jujur terhadap diri sendiri, dengan kata lain kita harus merasa pasti bahwa kita jujur terhadap diri kita sendiri. Almarhum Dag Hammarskjold, mantan Sekretaris Jendral PBB mengatakan bahwa kita telah sangat maju dalam menyelidiki angkasa luar, tetapi kemajuan itu tidak diimbangi oleh kemampuan yang sejajar dalam menyelidiki dunia batin kita. Bagi Dag Hammarskjold perjalanan terpanjang dari setiap orang adalah perjalanan memasuki batinnya sendiri. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Dag Hammarskjold dapat kita temukan juga dalam drama Hamlet , di mana Polonius yang tua menasehati puteranya, Laertes: yang paling penting: kamu harus jujur terhadap dirimu sendiri; seperti kepastian siang mengganti malam, kamu akan diterima oleh orang lain.

Bagaimana kita melakukan self-disclosure?
Melakukan self-disclosure merupakan suatu kegiatan yang paling sulit, bukan karena tidak mampu, melainkan karena tidak mau. Self-disclosure menimbulkan kekawatiran, ketakutan kalau-kalau nanti tidak diterima oleh orang lain. Oleh karena itu kita senang dan sering terjebak untuk menggunakan topeng. Kita sering terjebak menjadi Dasamuka (tokoh wayang yang berwajah banyak). Padahal menggunakan topeng itu berat dan sering membuat kita tidak konsisten karena keterbatasan kita sendiri, maka akhirnya kita merasa malu, ketahuan bahwa kita tidak jujur baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
Berkaitan dengan itu ada baiknya bila kita menyimak apa yang telah dikatakan oleh John Powell dan kemudian mencoba melatihnya. John Powell memberikan beberapa nasehat, sebagai berikut:
1. Bertanggungjawab atas sikap dan perbuatan kita, maksudnya dalam membuka diri kepada orang lain kita harus bertanggungjawab atas sikap dan perbuatan kita, sebagai konsekuensi, pernyataan kita harus menggunakan kata saya dan bukan kamu (I-message, dan bukan you-message).
2. Hendaknya kita bersikap rendah hati, artinya kita harus berbicara hanya atas diri sendiri. Dalam berkomunikasi kita harus juga menjelaskan bahwa yang kita katakan adalah hal yang kita anggap benar, bukan kebenaran itu sendiri, bukan kebenaran mutlak.
3. Keterbukaan emosional, artinya kita harus mengungkapkan semua perasaan kita yang utama kepada orang yang sedang kita ajak menerima pengungkapan diri kita. Perasaan-perasaan kita adalah unik dan merupakan ungkapan situasi diri kita pada suatu saat tertentu.
4. Berani bersikap jujur terhadap kekurangan diri sendiri, artinya kita harus berani saling mengungkapkan kelemahan kita masing-masing. Dengan bersikap jujur terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain, maka kita akan merasa sehat dan lengkap. Selain daripada itu dengan membuka kelemahan dan cacat saya, ketakutan dan ketidakdewasaan saya, sikap pura-pura dan tidak bersungguh-sungguh saya, akan menghilangkan kecemasan saya.
5. Berani berterimakasih kepada orang lain, artinya kita harus berani mengungkapkan rasa terima kasih kita kepada mereka yang telah bersedia mendengarkan kita. Dengan mendengarkan maka mereka telah memberi kesempatan kepada kita untuk bebas menjadi diri kita sendiri, mereka juga telah bersedia mengesampingkan kepentingannya sendiri dan memberi kepada apa yang paling kita butuhkan, yaitu pengertian dan perhatian yang penuh.

Bagaimana menjadi pendengar yang baik?
Epictetus, seorang filsuf Romawi yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi, pernah berkata “Alam telah menciptakan manusia dengan satu mulut dan dua telinga, dengan maksud untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara”. Namun dalam kehidupan sehari-hari kita lebih senang berbicara daripada mendengarkan.
Padahal kita percaya dan yakin bahwa mendengarkan memang merupakan kunci menuju komunikasi yang produktif (komunikasi yang saling memperkaya baik komunikator maupun komunikan), namun di lain pihak kita mengalami bahwa mendengarkan itu sulit dan oleh karena itu membutuhkan usaha yang sangat besar agar dapat mendengarkan dengan baik. Sekali lagi pada tulisan ini kami ingin mengungkapkan pandangan dan sekaligus nasehat dari John Powell sebagai berikut:
1. Hadir dan terbuka bagi orang lain, artinya kita berani untuk hadir sebagai pribadi dan terbuka bagi orang lain yang ingin mengungkapkan dirinya kepada kita. Keberanian itu bukan barang jadi, melainkan memerlukan latihan, agar hati kita dapat menjadi tanah yang subur bagi orang lain. Agar kita dapat mengerti orang lain dengan sungguh-sungguh maka “kita harus berjalan dengan menggunakan sepatu orang itu sejauh satu mil pertama dari seluruh pejalanan” . Bahkan John Powell dengan tegas mengatakan “agar dapat mengenakan sepatu orang lain tersebut, maka kita harus terlebih dahulu menanggalkan sepatu kita sendiri, kita harus berusaha sungguh-sungguh untuk ‘keluar’ dari diri kita sendiri, mengosongkan diri kita dari semua hal lain, agar kita dapat hadir dan terbuka untuk orang lain” .
2. Menerima orang lain, artinya kita harus berani menerima orang lain sebagaimana adanya. Berusaha merubah orang lain akan membuat kita menderita penyakit tiga “S” (stress, stroke dan strip).
3. Mendengarkan orang lain, artinya kita harus mendengarkan dengan penuh perhatian untuk mengenal ‘pergolakan batin’ orang lain.
4. Tidak dapat menduga orang lain, artinya kita jangan sampai terjebak oleh perasaan dalam menduga maksud dan motif orang lain.
5. Tanggapan yang meyakinkan, artinya kita harus menunjukkan empati (= keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain ) dan sikap yakin ketika orang lain mengungkapkan diri kepada kita.
6. Mendengarkan dengan hati dan pikiran, artinya kita harus mencari kejelasan pesan yang disampaikan, mencoba untuk mengerti arti diri orang lain secara tepat.
7. Menyarankan dan bukan memutuskan, artinya dalam berperan sebagai pendengar, kita hanya menawarkan saran(-saran), bukan menentukan arah yang harus ditempuh.
8. Mengatasi hambatan komunikasi, artinya sebagai pendengar kita harus mengatasi semua hal yang bisa menghambat komunikasi.
9. Berterima kasih kepada orang lain, artinya kita harus secara terus terang berterima kasih kepada mereka yang telah mengungkapkan dirinya kepada kita.

Bagaimana kita dapat meningkatkan mutu komunikasi antar-pribadi?
Berkomunikasi bukan barang jadi, melainkan suatu proses yang berlangsung terus menerus, suatu pekerjaan rumah seumur hidup. Oleh karena itu kita harus selalu berusaha meningkatkan mutu komunikasi kita dengan orang lain, dalam hal ini dengan pasangan kita. Salah satu kesulitan yang khusus dihadapi oleh pasangan suami isteri, adalah ‘merasa sudah kenal pasangan kita’. Padahal manusia adalah ‘misteri’ , begitu pendapat Gabriel Marcel, seorang pemikir Perancis yang sangat terkenal. Maka ada baiknya kita mengikuti beberapa pendapat dan nasehat dari John Powell , sebagai berikut:
1. Waktu khusus dan bermanfaat, artinya komunikasi yang baik menuntut agar para komunikator menggunakan waktu yang khusus dan tepat. Waktu yang khusus dan tepat berarti tidak ada ketergesaan dan tidak ada hiruk pikuk di sekitar kita. Waktu yang khusus, tepat dan cukup, memungkinkan kita dengan tenang memilih kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang sedang kita pikirkan dan rasakan.
2. Sentuhan dalam komunikasi, sentuhan (bahasa badan) merupakan salah satu bentuk komunikasi yang penting. Sentuhan menjembatani perasaan terasing dan kesepian kita. Seringkali sentuhan jauh lebih efektif daripada kata-kata.
3. Meluaskan wawasan, artinya untuk menjadi komunikator yang baik kita harus mempunyai wawasan yang luas, melampaui daerah aman kita. Dengan demikian meluaskan wawasan berarti keluar dari daerah aman kita. Meluaskan wawasan menuntut suatu pikiran dan kemauan yang kuat.
4. Meminta maaf, artinya kita harus bersedia minta maaf kalau permintaan maaf itu tepat dan berguna. Pada umumnya, kita sulit untuk menyatakan permintaan maaf. Ada perasaan takut yang begitu mencekam sehingga suatu pengakuan yang jujur atas segala kesalahan kita sulit kita ungkapkan.
5. Menghindari ketegangan, kita harus bersungguh-sungguh menghindari bertumpuknya ketegangan. Kita membebani diri kita sendiri, jika kita menolak mengungkapkan masalah kita dalam suatu komunikasi yang terbuka.
6. Mengatasi krisis komunikasi, artinya kita harus dapat melihat krisis sebagai awal perkembangan .
7. Cinta dan komunikasi, cintakasih haruslah selalu menjadi motif komunikasi, baik ketika berbicara maupun ketika mendengarkan. Cintakasih sesungguhnya tidaklah buta, hanya kita yang sedang jatuh cinta seringkali membutakan diri sendiri. Cintakasih merupakan suatu pandangan yang seksama dan mendalam. Seseorang yang penuh cintakasih mampu melihat segala sesuatu pada orang yang dicintainya, yang tidak kelihatan oleh orang lain. Cintakasih dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh ‘mata biasa’.
8. Mohon penerangan dan keberanian pada Allah, artinya kita harus selalu tidak lupa untuk berdoa memohon penerangan dan keberanian agar dapat dan mampu berkomunikasi dengan baik.

Langkah-langkah komunikasi yang berdayaguna
Agar kita bisa melakukan komunikasi yang berdayaguna, maka kita hendaknya melakukan komunikasi “I-message”, komunikasi I-message terdiri dari tiga tahap dan tujuh langkah. Ketiga tahap tersebut adalah tahap mawas diri (awareness-stage), tahap membeda-bedakan (discernment-stage) dan tahap komitmen (commitment-stage). Pada tahap mawas diri kita mencoba menyadari ketiga aspek tindakan kita, yaitu aspek perasaan, aspek pikiran-spontan dan aspek perilaku-spontan. Kesadaran ini terbentuk melalui usaha menggali, merumuskan dan mengungkapkannya secara jujur, selain daripada itu dalam tahap pertama ini kita juga berusaha menyadari bahwa sebenarnya kita memiliki pilihan-pilihan dalam berperilaku, dalam usaha memenuhi kebutuhan kita secara bertanggungjawab. Selanjutnya dalam tahap membeda-bedakan kita berusaha secara lebih mendalam memeriksa apakah cara saya memenuhi kebutuhan-kebutuhan sebagaimana saya sadari pada tahap pertama itu sudah baik, apakah saya menggunakan topeng (tidak jujur) semata-mata demi memenuhi kebutuhan saya saja, pada tahap ini saya berusaha melakukan self-disclosure, berusaha membuka diri sendiri dan bersedia berubah demi relasi dan rencana Allah. Akhirnya, dalam tahap ketiga, tahap komitmen, pada tahap ini saya berfokus pada relasi, pada keseimbangan pemenuhan kebutuhan dan pada rencana Allah, saya berusaha untuk mengamininya.
Tahap pertama mengandung tiga langkah, yaitu temukan dan ungkapan perasaan yang sedang dominan dalam diri kita; kemudian temukan dan ungkapkan pikiran yang menyertai perasaan yang sedang dominan tadi; akhirnya temukan dan ungkapkan perilaku yang mnyertai perasaan dan pikiran tersebut.
Tahap kedua mengandung dua langkah, yaitu temukan dan ungkapkan kebutuhan pokok batiniah (kebutuhan akan cinta, kebutuhan akan harga diri, kebutuhan keterlibatan atau menjadi bagian, dan kebutuhan akan otonomi diri) yang mana yang sedang goncang, karena tidak terpenuhi dalam diri kita berkaitan dengan tahap pertama. Selanjutnya temukan dan ungkapkan usaha kita untuk memenuhi kebutuhan pokok batiniah tersebut di luar relasi atau usaha kompensasi yang justru semakin menjauhkan relasi kita dengan pasangan.
Tahap ketiga mengandung dua langkah, yaitu temukan sebanyak mungkin perilaku alternatif untuk mengatasi/memenuhi kebutuhan pokok batiniah tersebut dalam kerangka relasi, dan langkah terakhir adalah pilihlah yang terbaik menurut anda, karena dengan melakukannya relasi anda dengan pasangan akan menjadi baik kembali (what can I do better now?)



Penutup
Dengan demikian menjadi jelas bahwa komunikasi merupakan suatu kata kerja, komunikasi berarti melakukan sesuatu, oleh karena itu komunikasi tidak lain daripada suatu ketrampilan. Sebagai ketrampilan komunikasi membutuhkan latihan terus menerus, dengan demikian komunikasi merupakan suatu pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan seumur hidup. Tanpa latihan, kita tidak akan pernah dapat berkomunikasi secara tepat dan baik serta berdaya guna. Berkomunikasi dewasa ini menjadi lebih sulit karena hidup manusia mengalami perubahan secara terus menerus, dikarenakan kemajuan yang luar biasa di bidang teknologi informasi, yang membuat kita sering berpikir bahwa berkomunikasi itu mudah. Saya pikir merupakan suatu kesalahan besar bila kita terjebak pada pembuatan bingkai, kita terjebak pada stereo-type yang kita ciptakan tentang seseorang, dalam hal ini pasangan kita. Kita harus berlatih untuk menjadi tanah yang subur pada saat kita menjadi pendengar, di lain pihak kita juga harus berlatih untuk menjadi penabur yang trampil pada saat kita menjadi pembicara .

Bogor, 15 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar