Etika bisnis. Beberapa Catatan Pendahuluan
Oleh: Drs. Stanislaus Nugroho, M.Hum.
Dewasa ini kita semua hidup dalam situasi dan kondisi yang ditandai oleh perubahan yang sangat cepat, sehingga pada saat ini yang pasti adalah ketidakpastian. Salah satu pemicu dari perubahan yang sangat cepat tersebut adalah bisnis. Pemicu yang lain adalah kemajuan dan perkembangan sains serta teknologi pada umumnya dan khususnya teknologi di bidang komunikasi dan transportasi. Perubahan yang sangat cepat ini membawa konsekuensi baik yang positif (bagi mereka yang bisa mengakses dan mengendalikannya maka hidupnya makin nyaman) maupun yang negatif (bagi mereka yang tidak mampu mengakses dan mengendalikannya maka hidupnya semakin kehilangan pegangan dan menderita kebingungan). Berkaitan dengan itu maka pada kesempatan ini kita akan mencoba membicarakan masalah-masalah tersebut dengan fokus pada bisnis. Mengapa?
Karena setiap keputusan bisnis (baik yang berkaitan dengan aspek ekonomis, aspek hukum maupun aspek etika) membawa dampak yang sangat besar, baik bagi pebisnis itu sendiri maupun bagi stakeholders-nya (semua pihak yang terkait dengan bisnis, seperti pemerintah, konsumen, pemasok, masyarakat pada umumnya, pemegang saham, eksekutif perusahaan, karyawan, dan sebagainya).
Sebelum kita melanjutkan perbincangan ini ada baiknya bila kita mencoba menjawab pertanyaan “apa itu etika bisnis?”
Apa itu Etika Bisnis?
Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut di atas, maka ada baiknya bila kita menjawab terlebih dahulu pertanyaan, apa itu etika?
a. Bila kita membuka membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia maka kita dapat menemukan tiga penjelasan yang berkaitan dengan istilah etika, yaitu:
1. etika sebagai “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)”;
2. etika sebagai “kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak”;
3. etika sebagai “nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
Penjelasan yang pertama mengacu pada etika sebagai ilmu, sebagai ilmu etika merupakan salah satu cabang dari filsafat, yang mencoba menjawab dua pertanyaan dasar yaitu “saya harus menjadi orang yang bagaimana?” dan “saya harus bertindak bagaimana?” Dengan demikian etika berusaha mengajak manusia untuk melindungi kehidupan dan menanggapi penderitaan. Dengan perkataan lain etika mau melakukan protes terhadap kesengsaraan dan penindasan manusia yang berlaku selalu dan di mana-mana. Untuk itu etika menawarkan dua prinsip utama yaitu “berbuatlah baik terhadap sesama dan lingkungan” (prinsip beneficience) dan “janganlah berbuat jahat terhadap sesama dan lingkungan” (prinsip non-maleficence). Dengan demikian manusia etis adalah manusia yang bisa bertanggungjawab atas nasib sesamanya dan lingkungannya . Berkaitan dengan kedua pertanyaan dan kedua prinsip tersebut maka ada beberapa teori yang masih akan dibicarakan pada bagian berikut dari tulisan ini.
Penjelasan yang kedua mengacu pada etika sebagai kode etik. Kode etik merupakan norma dan azas yang dibuat sendiri (tidak ada campur tangan dari pihak lain) dan diterima oleh suatu kelompok profesi tertentu, misalnya para dokter, pengacara, guru, bankir, psikolog dan lain-lain.
Penjelasan yang ketiga mengacu pada etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai merupakan nilai-nilai yang dihayati oleh seseorang atau sekelompok orang, entah karena pengaruh budaya, entah karena pengaruh agama, entah kedua-duanya. Misalnya etika Jawa, etika Islam, etika Kristen dan lain-lain.
Dalam pergaulan sehari-hari kita juga sering mendengar istilah etiket. Antara etika dan etiket ada persamaan dan ada juga perbedaannya. Persamaannya adalah bahwa kedua istilah tersebut berkaitan dengan perilaku manusia, dan keduanya berkaitan dengan aturan-aturan yang bersifat normatif dan dikenakan pada perilaku manusia. Namun, keduanya juga berbeda. Etiket berkaitan dengan masalah “cara” suatu perilaku harus dilaksanakan, sedang etika lebih berkaitan dengan perilaku itu sendiri, yaitu apakah suatu perilaku boleh dilaksanakan atau tidak. Etiket berlaku dalam pergaulan, maka sering disebut juga sebagai tatakrama atau sopan santun, dan lebih bersifat lahiriah. Sedang etika berlaku kapan saja, di mana saja, dan lebih bersifat batiniah. Etiket lebih bersifat relatif, ’lain ladang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya’. Etika lebih bersifat universal, misalnya perintah “tidak boleh mencuri” .
Antara etika dan moral pemakaiannya dapat saling dipertukarkan. Karena pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai arti yang kurang lebih sama. Perbedaannya hanya bersifat etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ethos, sedang moral berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata mos. Baik ethos maupun mos keduanya berarti kebiasaan.
Namun, perlu ada klarifikasi tentang istilah amoral dan immoral. Dalam pemakaian sehari-hari kedua istilah tersebut sering dipertukarkan secara tidak tepat. Amoral biasanya dimengerti sebagai tidak bermoral, padahal dalam pengertian ilmiah amoral berarti tidak punya kaitan dengan moral (non-moral). Sedang tidak bermoral berarti immoral .
b. Setelah kita melihat apa yang dimaksud dengan etika maka ada baiknya kita juga melihat apa yang dimaksud dengan bisnis. Bisnis merupakan aplikasi dari teori-teori ekonomi. Ekonomi merupakan ilmu yang mempelajari tentang cara bagaimana masyarakat memanfaatkan sumber daya yang langka dalam rangka memproduksi barang dan jasa yang berharga dan mendistribusikannya di antara orang-orang yang berbeda-beda . Berkaitan dengan itu maka bisnis biasanya dimengerti sebagai “aktivitas yang berorientasi mencari laba dari mereka yang terlibat dalam jual beli barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan masyarakat” . Penjelasan tersebut bagi saya kurang jelas dan kurang lengkap, karena melupakan kepentingan stakeholdersnya. Oleh karena itu saya mencoba merumuskannya sebagai berikut “bisnis merupakan kegiatan sekelompok manusia yang ingin memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam, modal, teknologi dan manusia sebagai insan karya, lewat proses produksi dan distribusi, dengan itu bisnis akan memperoleh imbalan berupa keuntungan untuk pengembangan pelayanan selanjutnya”. Bila kita memperhatikan rumusan yang saya usulkan, maka kita bisa melihat bahwa setiap keputusan bisnis memang berkaitan dengan hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu tidaklah lengkap analisis kita kalau hanya memperhatikan aspek hukum dan ekonomis belaka dari bisnis. Suatu pembahasan dari aspek moral merupakan sesuatu yang perlu, karena begitu luas dampak setiap keputusan bisnis (yang merupakan perilaku moral karena dilakukan dengan tahu dan mau) terhadap stakeholders-nya, seperti konsumen, pemerintah, lingkungan hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih dewasa ini, begitu banyak masalah yang ditimbulkan oleh keputusan-keputusan bisnis. Sekurang-kurangnya, menurut saya ada tiga masalah mendasar yang ditimbulkan oleh keputusan-keputusan bisnis, yaitu:
1. bisnis memicu pola hidup yang sangat konsumtif, dan hal ini mengubah pola hidup manusia secara cukup mendasar, dewasa ini banyak orang yang sangat berorientasi pada semboyan “saya membeli maka saya ada”, maka tidaklah terlalu mengherankan bila manusia juga sangat beorientasi pada pencarian uang, karena uang telah menjadi ‘tuhan’.
2. bisnis telah memicu pemanfaatan lingkungan hidup sehabis-habisnya, sehingga dewasa ini kita mengalami krisis lingkungan hidup yang sangat parah. Khusus untuk Indonesia kita sekarang ini mengalami “bila kita memasuki musim kemarau maka banyak di antara kita mengalami kesulitan mendapatkan sumber air yang bersih, sedang pada musim hujan, maka banyak di antara kita yang mengalami musibah banjir dan longsor”.
3. bisnis telah memicu semakin melebarnya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Yang kaya makin kaya sedang yang miskin makin miskin, ingatlah masalah busung lapar yang belum lama ini melanda Indonesia. Kofi Anan, Sekretaris Jendral PBB, dihadapan para menteri negara-negara kelompok G77 menyatakan bahwa “Fakta yang menyedihkan adalah bahwa dunia kini dihadapkan pada ketimpangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan pada 40 tahun lampau” . Gambaran lain juga bisa kita baca di Harian Kompas sebagai berikut “Orang kaya sejagat naik menjadi 7,7 juta, sedang setiap hari 25.000 orang meninggal karena kelaparan dan kemiskinan”
c. Dengan demikian sekarang kita bisa merumuskan apa yang dimaksud dengan istilah etika bisnis. Secara singkat kita bisa merumuskan bahwa etika bisnis merupakan “ilmu yang mempelajari baik buruknya tindakan manusia dalam bidang bisnis”. Atau dengan perkataan lain kita juga bisa merumuskan bahwa etika bisnis merupakan suatu usaha ilmiah untuk menjawab pertanyaan “saya harus menjadi pebisnis yang bagaimana?” dan “sebagai pebisnis saya harus melakukan apa?” Secara teoritis pertanyaan pertama dijawab oleh etika keutamaan, sedang pertanyaan kedua dijawab oleh utilitarisme, deontologis dan teori-teori lain. Namun pada kesempatan ini kita hanya akan fokus pada utilitarisme dan deontologi.
Teori-teori etika
Teori-teori etika bermaksud menjawab kedua pertanyaan dasar tersebut di atas, dengan perspektif yang berbeda-beda.
1. Pertanyaan “what sholud I be?” merupakan pertanyaan yang paling tua, sudah berusia lebih dari 2400 tahun. Ada tiga serangkai pemikir Yunani kuno yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Mereka adalah Sokrates (470 – 399 s.M.), Plato (428/7 – 348/7 s.M.) dan Aristoteles (384 – 322 s.M.). Pada kesempatan ini kita akan berfokus pada pemikiran Aristoteles. Bagi Aristoteles setiap perbuatan manusia selalu mengacu pada suatu tujuan. Aristoteles berpendapat bahwa tujuan itu ada dua macam, yaitu tujuan antara dan tujuan akhir. Tujuan antara adalah tujuan yang dikejar untuk dipakai sebagai batu loncatan untuk mengejar tujuan selanjutnya (misalnya kita belajar agar dapat bekerja). Sedang tujuan akhir adalah tujuan yang dikejar bagi tujuan itu sendiri, bagi kebanyakan orang tujuan akhirnya adalah mencapai kebahagiaan, dan itu juga merupakan keyakinan Aristoteles. Masalahnya adalah apa yang menjadi isi dari kebahagiaan tersebut? Sebagian orang akan menjawab saya bahagia kalau saya kaya, sebagian lain akan berpendapat bahwa akan bahagia kalau memiliki kekuasaan, sebagian lain berkeyakinan bahwa akan menjadi bahagia kalau memiliki kesehatan yang prima. Kalau kita bertanya kepada Aristoteles, maka dia akan menjawab dengan jawaban sebagai berikut “seseorang akan bahagia kalau orang tersebut dapat mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga kemampuan-kemampuan yang dimilikinya dapat ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin”. Seorang pelukis hendaknya menjadi pelukis yang top, seorang penyanyi hendaknya menjadi penyanyi yang mencapai puncak, seorang dokter hendaknya menjadi dokter yang hebat, dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain, kalau boleh meminjam judul buku yang ditulis oleh John Powell, maka seseorang akan mencapai kebahagiaan bila orang itu telah mencapai kondisi “fully human, fully alive”. Orang yang berusaha mencapai kondisi fully human, fully alive tersebut adalah orang yang berkeutamaan. Dengan demikian keutamaan adalah suatu kecenderungan tetap yang dimiliki seseorang yang selalu berkehendak untuk menumbuhkembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga mencapai puncak sesuai dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Paling sedikit sebagai manusia kita memiliki “kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, kecerdasan spiritual, bila kita mengembangkan keempat kecerdasan dasar tersebut secara seimbang maka kita akan memiliki kecerdasan kelima yaitu kecerdasan untuk mengubah hambatan menjadi peluang” . Secara kodrati manusia memperoleh kemampuan-kemampuan tersebut secara gratis dari Sang Pencipta, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Untuk memiliki keutamaan tersebut maka kita perlu belajar dan berlatih secara terus menerus. Atau dengan perkataan lain kita akan memiliki keutamaan kalau kita mau melakukan proses pembiasaan. Namun, perlu dicatat bahwa keutamaan tidak sama dengan ketrampilan. Ketrampilan hanya berkaitan dengan salah satu atau beberapa hal, seperti seseorang trampil bermain sepakbola dan bermain gitar. Seorang yang berkeutamaan berkaitan dengan dirinya secara utuh, seperti bertanggungjawab itu tidak hanya berkaitan hanya dengan masalah penggunaan uang saja, tetapi berkaitan dengan segala hal yang menjadi keputusannya atau pilihannya. Sebagai contoh, seorang ayah/suami yang mempergunakan uangnya tanpa suatu pertanggungjawaban (seenaknya saja) maka dia tidak dapat disebut sebagai seorang yang bertanggungjawab, biarpun sebagai seorang karyawan ayah/suami tersebut seorang karyawan yang baik. Lain halnya dengan seorang yang trampil bermain bola, namun bila pada suatu saat dia gagal memasukkan bola ke dalam gawang tidak membuatnya menjadi seorang yang tidak trampil bermain bola . Sejak Plato dan Aristoteles diyakini adanya empat keutamaan pokok, yaitu kebijaksanaan (orang tidak jatuh dalam keekstriman), keberanian (orang tidak jatuh dalam sikap gegabah dan sikap pengecut, dengan perkataan lain berani mengambil risiko), pengendalian diri (orang tidak jatuh dalam sikap yang mengumbar nafsu) dan keadilan (orang yang mau memberikan apa yang menjadi hak orang lain). Dewasa ini etika keutamaan mulai digalakkan kembali, salah satu yang mencoba menghidupkan kembali adalah Stephen R. Covey . Dalam bukunya Covey memperkenalkan 7 kebiasaan (keutamaan) yang diperlukan oleh manusia modern, yaitu “be proactive” (bertanggung-jawablah), “begin with the end in mind” (bangunlah cita-cita/impian), put first thing first (menetapkan prioritas berdasarkan ‘yang penting’ dan bukan yang ‘genting’), think win-win (jangan sampai ada yang kalah), seek first to understand, then to be understand (mau mendengarkan), synergize (kembangkan nilai tambah) dan yang terakhir sharpen the saw (jadilah manusia pembelajar).
2. Untuk menjawab pertanyaan what should I do? Maka kita harus bertanya kepada seorang deontolog (orang yang mengikuti ajaran deontologi) dan atau bertanya kepada seorang utilitaris (orang yang mengikuti ajaran utilitarisme).
a. Baiklah kita mulai melihat etika deontologi. Deontologi berasal dari dua kata Yunani, deon yang berarti kewajiban, dan logos yang berarti ajaran. Dengan demikian deontologi merupakan suatu teori etika yang mendasarkan dirinya pada konsep kewajiban. Teori ini dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724 – 1804). Bagi Kant yang menjadi sumber kebaikan yang sebenarnya tidak lain adalah kemauan/kehendak yang baik, tanpa kemauan/kehendak yang baik orang yang berkeutamaan sekalipun dapat melakukan suatu perbuatan yang secara moral buruk/salah. Misalnya seorang yang memiliki keutamaan tanggungjawab, namun dia memiliki kemauan yang buruk yaitu pamrih, maka tanggungjawabnya secara moral tidak baik. Pertanyaan selanjutnya adalah kehendak yang baik itu yang bagaimana? Kehendak itu baik bila kita berkehendak untuk melakukan kewajiban kita. Dengan perkataan lain, bila seseorang bertanya apa yang seharusnya saya lakukan agar dapat disebut sebagai orang yang baik, maka seorang deontolog akan mengatakan “lakukanlah apa yang menjadi kewajibanmu”. Bila kita mempergunakan terminologi yang digunakan oleh Kant, maka yang menjadi kewajiban kita adalah apa yang disebutnya sebagai imperatif kategoris (suatu kewajiban berlaku begitu saja, tanpa syarat apapun, misalnya ‘jangan membunuh’), dan bukannya imperatif hipotetis (suatu kewajiban yang berlaku dengan syarat tertentu, misalnya jika saya mau berhasil dalam studi maka saya harus belajar sungguh-sungguh). Menurut Kant ada satu imperatif kategoris yang menjadi Golden Rule (aturan emas), yaitu “lakukanlah suatu tindakan sebagaimana engkau mengharapkan orang lain melakukannya sedemikian”. Penganut faham ini adalah seorang yang sangat konsisten sehingga sikapnya sangat kaku, padahal dalam kehidupan sehari-hari, keputusan moral tidaklah hitam putih, tetapi seringkali abu-abu. Maka seorang yang menganut faham deontologi bisa terjebak pada sikap formalistis dan juga sangat kaku. Berkaitan dengan teori deontologi yang menekankan aspek kewajiban, maka dari sisi lain deontologi yang bisa juga dilihat sebagai teori hak, karena antara kewajiban dan hak merupakan satu mata uang dengan dua sisinya. Bila ada orang yang memiliki kewajiban maka di sisi lain ada orang yang memiliki hak. Bila antara kewajiban dan hak ada keseimbangan maka disitu terjadi keadilan, sebaliknya bila antara kewajiban dan hak tidak ada keseimbangan maka di situ terjadi ketidakadilan. Maka sering deontologi juga disebut sebagai etika keadilan.
b. Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang artinya adalah kegunaan atau manfaat (ingat kata bahasa Inggris utility). Untuk pertama kali pemikir Inggris yang bernama Jeremy Benthamlah (1748 – 1832) yang mengembangkan teori ini, kemudian oleh John Stuart Mill teori ini makin disempurnakan. Teori ini mempunyai semboyan yang sangat terkenal, yaitu The Greatest Happiness of The Greatest Number. Berdasarkan semboyan tersebut maka seorang utilitaris akan berpendapat bahwa perbuatan yang baik secara moral adalah perbuatan yang menghasilkan manfaat yang terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Teori ini sangat realitis dan tidak egois. Realistis karena teori ini sadar bahwa tidaklah mungkin memberikan kepuasan kepada semua orang, selain daripada itu teori ini juga tidak egois, karena memperjuangkan sebanyak mungkin orang yang bisa menikmatinya. Oleh karena itu baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi teori ini menjadi sangat populer, khusus di bidang ekonomi ingat prinsip cost benefit ratio. Jawaban atas pertanyaan apa yang harus saya lakukan? menjadi sangat jelas, yaitu lakukanlah tindakan yang menghasilkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Biarpun teori ini sangat populer, tetapi teori ini juga mengandung kelemahan yang mendasar, yaitu sering mengabaikan dua prinsip moral yang sangat penting yaitu prinsip hak dan prinsip keadilan, contoh yang paling jelas adalah penggusuran tanpa ganti rugi yang memadai. Berkaitan dengan itu maka kaum utilitaris memperbaiki teori yang pertama (yang sering disebut sebagai teori utiliatisme perbuatan) dengan apa yang disebut dengan teori utilitarisme aturan (dengan ini maka prinsip utiliatrisme tidak lagi diterapkan pada perbuatan-perbuatan tertentu, tetapi pada aturan-aturannya, aturan hendaknya melindungi dan membela yang dirugikan).
Berkaitan dengan ciri persoalan moral adalah ‘abu-abu’ maka dalam praktek kita seringkali tidak dapat hanya berpegang pada satu teori saja, karena setiap teori mengandung kelemahan tertentu. Berkaitan dengan itu maka gunakan beberapa teori untuk menganalisis suatu persoalan, dengan demikian kita bisa melakukan check dan recheck.
Etika dan Manajemen Insan Karya
Pertama-tama perlu suatu klarifikasi terlebih dahulu tentang istilah manajemen insan karya. Saya mencoba menterjemahkan Human Resources Management dengan istilah manajemen insan karya, karena istilah manajemen sumberdaya manusia bagi saya merupakan suatu pemerosotan hakekat manusia. Kesumberdayaan manusia tidak sama dengan kesumberdayaan alam misalnya. Manusia memiliki sumberdaya yang khas, yaitu kesadaran diri, kemauan bebas, hati nurani dan kreativitas. Dengan sumberdayanya yang khas tersebut manusia mampu berkarya sedemikian rupa sehingga menciptakan makna, baik bagi hidupnya sendiri maupun bagi lingkungan di mana dia hidup. Pakar industri hiburan Walt Disney menyatakan nilailah karyawan dengan cara berikut: “Anda dapat bermimpi, menciptakan, mendesain, dan membangun tempat yang paling indah di dunia, tetapi anda membutuhkan orang untuk mewujudkan gagasan tersebut menjadi kenyataan” .
Manusia melalui karya-karyanya mengubah dunia – biarpun dewasa ini perubahan itu memiliki wajah ganda, di satu pihak positif namun di lain pihak negatif, di satu pihak membuat hidup lebih nyaman namun di lain pihak menimbulkan kekhawatiran atas risiko global akibat kerusakan lingkungan hidup yang sangat parah hasil ciptaan manusia itu sendiri – merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat kita sangkal.
Dalam kaitan itu, maka pada bagian ini kita akan melihat hubungan antara manajemen insan karya dengan etika. Manajemen insan karya merupakan salah fungsi manajerial yang sangat penting, betapa tidak? Manajemen insan karya bertanggungjawab atas terciptanya situasi dan kondisi lingkungan kerja yang menguntungkan agar visi dan misi perusahaan dapat tercapai. Agar tercipta situasi dan kondisi yang saling menguntungkan, maka manajemen insan karya perlu mengelola bidang-bidang yang berkaitan dengan perencanaan insan karya, perekrutan dan seleksi, orientasi, pelatihan, penilaian kinerja, sistem imbalan (gaji dan tunjangan) yang adil, persiapan masa pensiun dan proses terminalisasi (pemutusan hubungan kerja) yang adil.
Salah satu prinsip moral yang paling penting dalam kaitan dengan manajemen insan karya adalah prinsip keadilan (adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam relasi antar manusia, dalam hal ini antara karyawan dan perusahaan). Selain daripada prinsip keadilan diperlukan juga prinsip moral yang lain yaitu prinsip keutuhan ciptaan (seluruh karyawan mulai dari yang paling atas sampai yang paling bawah sadar akan pentingnya pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup di mana perusahaan tersebut berada).
Sebagai contoh ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan manajemen insan karya akan dibahas secara singkat. Umpamanya dalam proses perekrutan dan seleksi, dalam hal ini prosesnya harus berlangsung dengan transparan dan adil. Harus jelas apa yang menjadi persyaratan yang dituntut oleh pekerjaan yang bersangkutan (job requirement harus jelas) dan setiap pelamar harus tahu tentang persyaratan tersebut. Berkaitan dengan itu, maka salah satu kriteria penting dalam proses perekrutan dan seleksi adalah kriteria kompetensi calon karyawan, di samping hal itu yang juga menjadi penting adalah masalah integritas pribadi calon karyawan. Integritas pribadi calon karyawan menjadi penting, karena relasi perusahaan dan karyawan adalah relasi kepercayaan.
Selanjutnya dalam perjalanan karirnya setiap karyawan hendaknya mempunyai kesempatan yang sama untuk berkarir. Dengan perkataan lain bagi perusahaan ada kewajiban untuk menjelaskan jenjang karir dari setiap jabatan yang ada dalam perusahaan, sedang bagi karyawan perlu melakukan perencanaan karir yang tepat. Dengan demikian relasi industrial dapat berlangsung secara wajar dan saling menguntungkan.
Salah satu masalah yang paling mendesak adalah sistem penggajian yang cenderung menciptakan kesenjangan sosial ekonomis yang makin melebar antara kaum buruh dan kaum karyawan biasa dengan para manajer ke atas. Pada umumnya dari seluruh jumlah imbalan yang dibayarkan kepada tenaga kerja, maka 25%-nya dinikmati oleh 75% dari seluruh tenaga kerja, sedang 75% dari seluruh imbalan dinikmati oleh 25% dari seluruh tenaga kerja. Dalam salah satu tulisannya di suratkabar Kompas, Kwik Kian Gie menulis sebagai berikut “Bahwa antara buruh yang terendah dan direktur harus ada perbedaan adalah hal lumrah. Tetapi kelipatan perbedaan harus ada batasnya, yaitu berapa kali lipat. Wajarkah bahwa di negara-negara Barat yang sudah maju sekitar 15 kali lipat, sedangkan di Indonesia 300 kali lipat?” Masalahnya bagaimana menciptakan sistem penggajian yang adil? Pertama-tama dalam membangun sistem penggajian yang adil harus berpegang pada prinsip “yang dibayar adalah pekerjaannya, dan bukan orangnya”. Bila pekerjaannya sama maka pekerjanya entah laki-laki entah perempuan harus mendapat imbalan yang sama. Dalam kenyataannya maka karyawan perempuan sering memperoleh perlakuan yang tidak adil, karena karyawan tersebut adalah perempuan. Biarpun pekerjaan, tanggungjawab dan wewenangnya sama biasanya laki-laki mendapat lebih banyak dibandingkan perempuan. Oleh karena itu perusahaan mempunyai kewajiban untuk membangun sistem penggajian yang adil. Untuk membangun sistem penggajian yang adil diperlukan beberapa tahap yang perlu ditindaklanjuti secara konsisten. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut: yang pertama adalah adanya uraian tugas yang jelas dan diketahui dan ditandatangani baik oleh karyawan maupun oleh perusahaan. Di mana dalam uraian pekerjaan tersebut terdapat uraian tentang tujuan dari pekerjaan, uraian tugas-tugas yang harus dilakukan, serta tanggungjawab dan wewenang yang terkandung dalam pekerjaan tersebut. Tahap kedua adalah menentukan nilai pekerjaan (bobot pekerjaan) tersebut dengan mengacu pada uraian pekerjaan yang telah disetujui kedua belah pihak. Dalam menentukan nilai pekerjaan maka perusahaan harus menentukan nilai minimum dan nilai maksimum suatu pekerjaan, agar tidak terjadi kesenjangan nilai yang terlalu lebar antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya, khususnya antara pekerjaan rendah (buruh) dan pekerjaan yang paling tinggi (CEO). Selanjutnya kita sampai pada tahap ketiga yaitu menentukan tingkat-tingkat pekerjaan, dari yang terendah (buruh) sampai yang tertinggi (CEO). Tahap keempat adalah berusaha mengetahui pasaran tenaga kerja, dan tahap kelima adalah menentukan nilai rupiah dari masing-masing pekerjaan, caranya dengan mengalikan bobot pekerjaan dengan nilai rupiah yang terkandung dalam satuan bobot pekerjaan tersebut. Dalam menentukan nilai rupiah dari masing-masing pekerjaan kita harus selalu mengacu pada kemampuan perusahaan yang bersangkutan, aturan pemerintah yang berkaitan dengan tenaga kerja, dan pasar tenaga kerja.
Masalah selanjutnya adalah yang berkaitan dengan masalah pemutusan hubungan kerja. Tenaga kerja sering disebut sebagai aset perusahaan yang istimewa dan utama, namun anehnya dalam kaitan dengan akuntansi tenaga kerja tidak diperlakukan sebagai aset, maksudnya seluruh nilai rupiah yang dikeluarkan perusahaan dalam kaitan dengan tenaga kerja dicatat langsung sebagai biaya, dan bukan sebagai investasi, yang selanjutnya dilakukan penghapusan secara bertahap. Maka tidaklah mengherankan, biarpun tenaga kerja dianggap sebagai aset yang istimewa dan utama, namun bila perusahaan ada masalah maka tenaga kerja itulah yang akan terkena dampak yang pertama kali, yaitu perusahaan akan melakukan pemutusan hubungan kerja.
Akhirnya, permasalahan yang mendesak khususnya pada negara-negara berkembang adalah masalah pekerja anak. Bila kita mengacu pada Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 maka anak-anak memiliki “hak atas tingkat kehidupan yang layak demi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial” (pasal 27 ayat 1), selanjutnya konvensi juga mengakui bahwa “anak berhak atas pendidikan, dan dengan maksud untuk mencapai hak ini secara progresif dan atas dasar kesempatan yang sama, maka mereka akan, khususnya: (a) mewajibkan pendidikan dasar dan tersedia secara cuma-cuma kepada semua anak …..” (Pasal 28 ayat 1). Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut menandatangani konvensi ini. Namun dalam kenyataannya makin banyak anak Indonesia yang tidak dapat mengenyam pendidikan, baik karena orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikan anaknya, maupun karena negara juga belum mampu menyediakan pendidikan dasar yang gratis. Sejak pertengahan tahun 1997 semakin banyak anak jalanan, mereka kehilangan kesempatan dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Seandainya mereka tidak bekerja entah secara formal atau informal, kondisi mereka juga tidak menjadi lebih baik. Oleh karena itu larangan untuk mempekerjakan anak dibawah usia 14 tahun, merupakan masalah yang rumit. Mengikuti larangan tersebut secara ketat, tidak akan memperbaiki keadaan anak dan keluarganya. Bila larangan tersebut untuk sementara diabaikan maka perusahaan memiliki tanggungjawab moral untuk tidak semakin mengeksploitasi anak demi keuntungan semata. Perusahaan hendaknya memperhatikan dan memberi kesempatan kepada pekerja anak untuk mengembangkan diri dengan menempuh pendidikan dasar. Bagi anak-anak yang bekerja secara informal, maka para penegak hukum hendaknya dengan tegas memberantas mereka-mereka yang selama ini mengeksploitasi anak dengan dalih melindungi, mengkoordinir anak-anak yang harus bekerja membantu keluarganya. Selanjutnya masyarakat perlu membimbing anak-anak tersebut agar tidak menghabiskan waktunya untuk bekerja, tetapi tetap mengembangkan diri mereka dengan mengikuti pendidikan dasar, agar mereka memiliki harapan untuk memperoleh masa depan yang lebih baik.
Etika dan manajemen pemasaran
Dalam Kamus Istilah Manajemen yang disusun oleh Panitia Istilah Manajemen Lembaga PPM kita bisa menemukan penjelasan tentang arti dari pemasaran yaitu sebagai “Usaha mengetahui kebutuhan dan keinginan konsumen dan menjelmakannya sehingga menjadi produk dan jasa; usaha tersebut bertujuan memberikan kepuasan kepada semua pihak yang berhubungan dengan perubahan” . Boone & Kurtz merumuskan pemasaran sebagai “proses perencanaan dan pelaksanaan konsep, penentuan harga, promosi dan pendistribusian gagasan, barang, jasa, organisasi, dan peristiwa untuk menciptakan dan memelihara hubungan yang memuaskan tujuan perorangan dan organisasi” . Sebagaimana terjadi dalam usaha merumuskan suatu konsep, setiap ahli akan memiliki perumusan yang berbeda, namun bagi saya lebih menarik apa yang diidentifikasi oleh Prabhu Guptara dalam bukunya yang berjudul The Basic Arts of Marketing, yaitu enam kegiatan yang termasuk dalam konsep pemasaran itu sendiri, yaitu:
1. mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari pelanggan-pelanggan yang sudah ada maupun calon pelanggan,
2. menentukan strategi produk yang terbaik,
3. memastikan distribusi produk-produk yang efektif,
4. memberitahu pelanggan-pelanggan tentang keberadaan produk-produk dan mengajak mereka untuk membeli produk-produk tersebut,
5. menentukan harga-harga dengan mana produk-produk itu harus dijual,
6. memastikan bahwa pelayanan purna jual adalah bermutu.
Bila kita memperhatikan keenam kegiatan tersebut di atas maka kita harus mengakui bahwa ruang lingkup pemasaran sangat luas. Dari keenam kegiatan tersebut maka baiklah kalau kita memperhatikan beberapa kegiatan yang mempunyai kaitan langsung dengan etika. Kegiatan yang saya maksudkan adalah:
1. Kegiatan keempat yang secara singkat dapat dirumuskan sebagai promosi. Dalam dunia bisnis dewasa ini yang ditandai oleh persaingan, maka kegiatan promosi memiliki peran yang sangat penting, yaitu sebagai ajang untuk memperlihatkan eksistensi suatu perusahaan dan produknya. Dalam kaitan dengan ini maka ada kecenderungan kuat bahwa perusahaan berani mengeluarkan biaya yang sangat besar, sebagaimana dicatat oleh William Shaw dan Vincent Barry dalam bukunya, sebagai berikut: “Di Amerika Serikat pada tahun 1988McDonald’s mengeluarkan 649 juta dollar untuk periklanan, PepsiCo 704 juta, Procter & Gamble 1.387 juta, dan Philip Morris (rokok) 1.558 juta. Di Amerika Serikat pula setiap tahun dikeluarkan untuk periklanan melalui berbagai media seluruhnya 120 miliar dollar AS. Kalau dihitung, itu berarti hampir 500 dollar per penduduk di negara itu” . Kompas mencatat “di Indonesia nilai belanja iklan tahun 1997 untuk majalah, suratkabar dan televisi adalah sekitar 3,49 triliun Rupiah. Karena dampak krisis ekonomi, untuk tahun 1998 belanja iklan diperkirakan turun sekitar 28,2% menjadi, 2,5 triliun Rupiah, dengan rincian periklanan di majalah Rp. 148,82 miliar, suratkabar Rp. 639,22 miliar, dan televisi Rp. 1,71 triliun” . Permasalahan pertama yang bisa dipertanyakan dari sudut pandang etis adalah apakah biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing perusahaan untuk periklanan tidak akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi, di mana pada akhirnya yang dirugikan oleh konsumen. Selain daripada itu dengan gencarnya arus periklanan akan terjadi perubahan pola hidup masyarakat, di mana pola hidup masyarakat menjadi sangat konsumtif. Dengan perubahan pola hidup tersebut maka ada kecenderungan kuat masyarakat didorong untuk mendewakan uang. Permasalahan berikut adalah masalah isi dari iklan yang dapat dinikmati oleh konsumen, entah melalui suratkabar, majalah maupun televisi. Yang menjadi fokus dari permasalahan ini adalah iklan yang ditayangkan oleh televisi, di mana ada kecenderungan kuat bahwa iklan-iklan di televisi tidak/kurang mendidik generasi muda. Padahal iklan memiliki tiga fungsi penting, yaitu memberi informasi, mendidik dan merayu (calon) konsumen untuk membeli. Berkaitan dengan fungsi informatif maka iklan bertanggungjawab atas informasi yang diberikan hendaknya tepat dan benar, karena dengan demikian akan mendidik masyarakat agar memiliki pengetahuan tentang produk dan kemudian dapat menentukan pilihan secara tepat dan benar. Dalam rangka merayu (calon) konsumen maka iklan hendaknya tidak berlebihan, sehingga menimbulkan salah persepsi pada konsumen, khususnya konsumen yang kurang terdidik.
2. Kegiatan kelima yang bisa dirumuskan secara singkat sebagai kebijakan harga. Kalah dilihat dengan kaca mata stakeholders maka kebijakan harga mempunyai dampak yang sangat luas, khususnya pada konsumen dan pesaing. Dalam kaitan dengan ciri dunia bisnis dewasa ini yang sangat diwarnai oleh persaingan maka ada tabarakan kepentingan antara konsumen dan pesaing. Harga yang murah dan mutu yang tetap dapat dipertanggungjawabkan menguntungkan konsumen, namun di lain pihak hal itu bisa membuat pesaing berguguran, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen juga karena bisnis menjadi monopoli. Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas maka seringkali ada perusahaan yang melakukan kegiatan dumping (menjual secara besar-besaran suatu produk dengan harga yang sangat murah, bahkan seringkali di bawah biaya produksi). Oleh karena itu dalam kaitan dengan persoalan ini maka salah satu prinsip yang dapat diterima secara etis adalah prinsip efisiensi yang wajar, sehingga mutu produk tetap dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian dari kaca mata stakehorlders tidak ada pihak yang dirugikan, atau dengan perkataan lain semua pihak menang.
3. Kegiatan keenam yang secara singkat dapat dirumuskan dengan service. Dewasa ini, dunia bisnis ditandai dengan persaingan yang sangat ketat, agar dapat survive dalam dunia bisnis maka salah satu kata kunci adalah mutu, baik mutu produk/jasa maupun mutu service. Service atau pelayanan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kaitan dengan keberhasilan usaha bisnis pada umumnya. Cukup lama pengertian service hanya terpaku pada saat proses penjualan saja, namun sekarang orang semakin sadar bahwa service tidak hanya saat penjualan tetapi juga sesudah penjualan terjadi (pelayanan purna jual). Hal ini berkaitan erat dengan perubahan orientasi bisnis itu sendiri, dari bisnis yang berorientasi pada pasar ke bisnis yang berorientasi pada pelanggan, maksudnya konsumen tidak lagi diperlakukan sebagai suatu segmen atau kelompok, tetapi sebagai seorang pribadi. Dengan perkataan lain pelanggan bukan lagi dianggap sebagai obyek tetapi sebagai subyek. Maka perlakuan terhadap konsumen tidak lagi sekedar melayani demi melayani namun melayani demi kepedulian. Maka secara etis pelayanan bukan lagi sekedar janji, tetapi pelayanan merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi, maka pelayanan hendaknya menjadi jiwa atau semangat yang menghidupi dunia bisnis. Bahkan pelayanan tidak hanya bersifat eksternal, tetapi juga bersifat internal, dengan perkataan lain pelayanan menjadi budaya perusahaan, yang memancar keluar lewat tindakan-tindakan nyata. Dalam kaitan dengan ini maka akan berpengaruh pada kebijakan perusahaan dalam melakukan perekrutan, seleksi dan penempatan dan pembinaan seluruh karyawannya.
Etika dan manajemen produksi
Secara singkat manajemen produksi dapat dirumuskan sebagai pengelolaan semua aspek kegiatan bisnis dalam kaitan dengan proses mengubah bahan baku menjadi barang jadi . Boone & Kurtz merumuskan manajemen produksi dan operasi sebagai pengelolaan orang dan mesin untuk mengubah bahan serta sumberdaya menjadi barang jadi atau jasa . Salah satu ciri bisnis dewasa ini dalam kaitan dengan produksi adalah mass-production. Sehubungan dengan ini maka bisnis memanfaatkan kemajuan teknologi dan pemanfaatan sumberdaya alam secara besar-besaran. Berkaitan dengan ini maka baik secara langsung atau tidak langsung mengundang persoalan etis yang berat dan sulit, karena sudah ada pada taraf global, maka penyelesaiannya menuntut adanya keterlibatan dan komitmen seluruh negara yang ada di dunia ini. Pemanfaatan teknologi dan sumberdaya alam secara besar-besaran menimbulkan krisis lingkungan hidup yang luar biasa, karena alam sudah tidak bisa menanggung beban yang diberikan oleh perilaku manusia, khususnya manusia bisnis. Bila krisis ini tidak ditanggulangi dengan sungguh-sungguh, maka manusia akan mengalami apa yang disebut oleh Anthony Giddens sebagai manufactured-risk, maksudnya risiko yang harus ditanggung oleh umat manusia berkat perilaku dan ulah manusia sendiri. K. Bertens mencatat ada enam masalah yang menghantui umat manusia saat ini, yaitu terjadinya akumulasi bahan beracun, efek rumah kaca, perusakan lapisan ozon, hujan asam, deforestasi dan proses penggurunan, dan yang terakhir terjadinya kematian bentuk-bentuk kehidupan hayati . Memang permasalahan ini masih merupakan diskusi di antara para ahli, dan belum ada kesepakatan. Begitu pula di tingkat politik masih terjadi perbedaan pendapat, karena bisnis memang bukan satu-satunya penyebab kerusakan lingkungan saat ini.
Biarpun demikian, saya ingin mencoba menyampaikan pemikiran dari Hans Jonas (1903-1993) . Dewasa ini manusia semakin berkuasa, lewat ilmu pengetahuan dan teknologinya manusia semakin dapat mengendalikan alam yang dahulu menakutkan. Namun, sekaligus manusia semakin tidak bisa mengendalikan teknologi yang merupakan ciptaannya sendiri, sehingga menimbulkan krisis lingkungan hidup, yang bagi Jonas menyebabkan terjadinya situasi apokaliptik, di mana kita sedang menuju malapetaka universal apabila kita membiarkan dinamika sekarang ini berlangsung terus . Berkaitan dengan situasi tersebut maka manusia membutuhkan etika baru, etika yang ditandai oleh heuristika ketakutan (etika yang berakar pada perasaan takut karena akan ada risiko yang sangat mengerikan), sehingga menimbulkan kebutuhan akan etika masa depan, yang tidak lain adalah etika tanggungjawab . Berkaitan dengan itu maka Hans Jonas merumuskan beberapa prinsip tanggungjawab, yaitu :
1. bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di bumi.
2. bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu tidak sampai merusak kemungkinan-kemungkinan kehidupan seperti itu tadi di masa depan.
3. jangan membahayakan syarat-syarat kelestarian tak terbatas umat manusia di bumi.
4. dalam pilihanmu sekarang keutuhan manusia mendatang harus menjadi bagian dari tujuan kehendakmu.
Dalam rangka merealisasikan keempat prinsip tersebut maka Jonas berpendapat bahwa manusia memiliki tanggungjawab untuk mendahulukan ramalan negatif. Maksudnya biarpun secara ilmiah maupun secara politis masih terjadi silang pendapat, namun kita tidak bisa menutup mata terhadap ramalan-ramalan yang memperlihatkan bahwa semua krisis yang terjadi saat ini tidak bisa begitu saja dilepaskan dari pemanfaatan teknologi dan sumberdaya alam yang sehabis-habisnya oleh bisnis. Suatu perhitungan yang sungguh matang diperlukan agar apa yang menjadi keprihatinan dari Hans Jonas tidak sampai terjadi. Pemikiran yang muncul di kalangan para ahli eonomi yang berkaitan dengan isu tentang pembangunan berkelanjutan perlu didalami dan dikembangkan. Inti dari pembangunan berkelanjutan adalah agar generasi sekarang tidak menjadi egosentris dan melalaikan kepentingan generasi mendatang.
Etika dan manajemen keuangan
Dewasa ini uang merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting bagi kelangsungan bisnis yang berciri kapitalistik. Uang bagaikan darah yang membawa zat-zat kehidupan bagi kelangsungan bisnis, tanpa uang tidak mungkin bisnis dapat hidup. Oleh karena itu salah satu tugas penting seorang manajer keuangan adalah menciptakan keseimbangan antara risiko (risk) dan pengembalian (return) atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai risk-return tradeoff . Dalam kaitan dengan risiko, maka kepekaan untuk membaca tanda-tanda jaman yang berkaitan dengan situasi dan kondisi keuangan internasional menjadi sangat penting. Selanjutnya seorang manajer keuangan selain memiliki kepekaan untuk membaca tanda-tanda, juga perlu memiliki kecermatan dalam melakukan perhitungan-perhitungan yang tepat, sehingga dapat mengurangi risiko kerugian perusahaannya. Berkaitan dengan itu maka profesionalitas dan kompetensi manajer keuangan menjadi sangat penting.
Bila dulu laporan keuangan perusahaan merupakan sesuatu yang sangat rahasia maka dewasa ini tidaklah sulit untuk menemukan laporan keuangan perusahaan di media massa, lebih-lebih bagi perusahaan-perusahaan publik. Dengan demikian transparansi dan tanggungjawab merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebutuhan dunia usaha. Namun biarpun demikian ada masalah etika yang perlu kita cermati. Salah satunya adalah masalah yang dalam bahasa Inggrsis dikenal dengan istilah earnings management. Yang dimaksud dengan earnings management adalah tindakan untuk meningkatkan atau menurunkan pendapatan perusahaan tanpa adanya kenaikan atau penurunan yang sebenarnya dari operasi perusahaan. Latar belakang dari tindakan tersebut adalah adanya perbedaan kepentingan di antara perusahaan dengan stakeholdersnya. Misalnya antara perusahaan dengan pemerintah dalam hal ini secara khusus dengan direktorat jendral perpajakan. Dalam kaitan dengan perbedaan kepentingan ini sebenarnya dapat dijembatani dengan prinsip ”jangan ada yang merasa kalah”. Berkaitan dengan itu maka prinsip tanggungjawab dapat menjadi landasan kerja yang baik, pihak bisnis memberikan data-data apa adanya, di pihak pemerintah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mau mengklarifikasi dan pihak bisnis memberikan tanggapan/klarifikasinya, tanpa diwarnai curiga yang berlebih-lebihan atau diwarnai dengan sikap mencari kesalahan. Salah satu cara terbaik yang dapat dipakai adalah sistem self-assessment, di mana perusahaan melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri dan siap untuk mempertanggungjawabkannya, demi kepuasan stakeholdersnya.
Etika dan manajemen informasi
Bila pada awal jaman modern dikenal semboyan “Knowledge is power” maka pada jaman sekarang semboyan itu telah berubah menjadi “Information is power”. Dewasa ini orang percaya bahwa siapa yang memiliki informasi yang akurat, up-to-date dan relevan dengan kepentingannya maka dia akan mampu merealisasikan kepentingannya tersebut, bahkan bisa menguasai dunia ini. Dalam kaitan dengan kenyataan tersebut maka ada beberapa masalah etis yang perlu mendapat perhatian, antara lain adalah apa yang dikenal sebagai spionase industri. Bila spionase industri dimengerti sebagai pengumpulan, pengorganisasian, dan analisis data yang dapat diperoleh dari artikel atau laporan yang dipublikasikan, maka bersifat amoral. Namun, yang terjadi sering tidaklah demikian, pengumpulan, pengorganisasian, dan analisis data yang diperoleh lewat orang dalam, artinya bukan yang dipublikasikan. Hal yang terakhir ini tidak dapat dibenarkan secara moral, ini sebuah pencurian. Dalam kaitan dengan ini maka perlu diperhatikan pihak-pihak yang menjadi sasaran dari informasi tersebut. Sekurang-kurangnya ada delapan lapis sasaran informasi, seperti informasi bagi pemegang saham dan calon pemegang saham, informasi bagi dewan komisaris, informasi bagi dewan direksi, informasi bagi karyawan, informasi bagi pemerintah, informasi bagi pemasok dan agen penjualan, informasi bagi konsumen dan informasi bagi masyarakat umum. Kedelapan lapis informasi tersebut tidak bisa dicampuradukkan. Pencampuradukan informasi merupakan kesalahan moral.
Etika dan kepemimpinan Bisnis
Dewasa ini diakui atau tidak bisnis merupakan salah satu kegiatan manusia – di samping bisnis masih ada sains dan teknologi – yang telah mendorong terjadinya perubahan pola hidup manusia yang sangat luar biasa. Arus perubahan yang dihembuskan oleh bisnis – yang telah memanfaatkan perkembangan sains dan teknologi – berwajah ganda. Di satu pihak bisnis telah menciptakan lapangan kerja dan bermacam-macam profesi baru, dan selanjutnya lewat produk dan jasanya bisnis telah membantu manusia untuk dapat hidup lebih layak dan nyaman. Namun di lain pihak bisnis juga telah menimbulkan – sekurang-kurangnya ada tiga masalah besar yang sungguh sangat memprihatinkan, yaitu kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, pola hidup yang sangat konsumtif dan kerusakan lingkungan hidup .
Dalam kaitan dengan ekonomi dan bisnis, maka dewasa ini dunia ditandai oleh dua macam realitas, yang pertama adalah kapitalisme global dan yang kedua adalah pemujaan terhadap sistem pasar dan perdagangan bebas. Bagi kapitalisme global yang menjadi nilai adalah kekuasaan dan pola hidup yang sangat konsumtif, dalam kaitan dengan itu maka keuangan telah menjadi mahakuasa (= uang identik dengan kekuasaan). Bahkan kenyataan ini sebenarnya sudah pernah diramalkan oleh Karl Marx, di mana Marx kurang lebih pernah berkata bahwa ”Agama masyarakat modern yang telah kehilangan Tuhan adalah kapital”. Dewasa ini begitu kita membuka mata yang terpikir adalah uang, seharian bekerja keras demi uang, malam masih berbicara tentang uang, bahkan mimpi juga bermimpi tentang uang. Bahkan teman saya seorang psikiater pernah berkata bahwa uang telah membuat manusia menjadi obsesif kompulsif.
Sedang sistem pasar dan perdagangan bebas sangat diyakini merupakan satu-satunya sistem yang dapat menyelesaikan hampir semua persoalan kehidupan ini. Kenyataan ini di latarbelakangi oleh kenyataan bahwa sistem sosialisme – yang selama ini menjadi pesaing telah gugur di tengah perjalanan. Namun nyatanya tidaklah sedemikian, terbukti dari beberapa data yang telah saya sampaikan. Dewasa ini ada kecenderungan kuat orang lain hanya dilihat entah sebagai pesaing entah sebagai sarana belaka. Salah satu gejala yang bisa mengkonfirmasi ini adalah adanya kesenjangan yang luar biasa antara pendapatan kaum buruh (= ump/umk) dan pendapatan para eksekutif. Dari pengalaman saya sebagai konsultan sistem penggajian, maka 75% total biaya untuk karyawan yang dikeluarkan oleh perusahaan itu hanya dinikmati oleh 25% jumlah karyawan, yaitu untuk para manajer dan para eksekutif. Sedang 25% dari total biaya untuk karyawan harus dibagi untuk 75% jumlah karyawan. Saya pikir semua permasalahan ini sangat mendasar dan perlu pemikiran yang sungguh-sungguh agar kita bisa menciptakan dunia baru yang lebih adil. Berkaitan dengan itu maka perlu suatu kepemimpinan bisnis yang berprinsip apa? Agar tercipta pembangunan berkelanjutan menuju keutuhan ciptaan sebagaimana didambakan oleh setiap orang.
Sudah sejak Aristoteles konsep tanggungjawab dibicarakan, dan bagi Aristoteles manusia adalah pelaku yang bertanggungjawab, karena bagi Aristoteles tanggungjawab berkaitan langsung dengan kemampuan manusia untuk menentukan pilihan. Dengan perkataan lain bagi Aristoteles konsep tanggungjawab berkaitan langsung dengan kebebasan manusia. Sedang bagi Max Weber orang yang bertanggungjawab berarti dapat mempertanggungjawabkan hasil tindakannya dihadapan hati nuraninya sendiri
Namun dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak terlalu mudah untuk menemukan manusia yang bertanggungjawab. Mungkin karena konsep tanggungjawab sendiri belum terlalu kita mengerti makna yang sebenarnya.
Berkaitan dengan itu maka adanya baiknya kalau kita belajar dari dua filsuf kontemporer, yang pertama adalah Emmanuel Levinas (1906 – 1995), sedang yang kedua adalah Hans Jonas (1903 – 1993). Baik Levinas maupun Jonas berbicara tentang etika tanggungjawab, biarpun dalam konteks yang berbeda. Filsafat wajah yang dikembangkan oleh Levinas melihat tanggungjawab dalam konteks hubungan antar manusia. Sedang filsafat heuristika-ketakutan yang dikembangkan oleh Jonas melihat tanggungjawab dalam konteks hubungan manusia dengan alam semesta dalam kaitan dengan kemajuan teknologi yang sangat mengagumkan, khususnya teknologi transportasi dan informasi. Kemajuan tersebut telah membuat dunia menjadi tanpa sekat – sebagaimana dikatakan oleh Konichi Ohmae – dan menjadi sebuah dusun global – sebagaimana dikatakan oleh Marshall McLuhan. Berkaitan dengan dunia yang tanpa sekat tersebut maka yang namanya kapital tidak lagi memiliki nasionalisme, kapital telah mengglobal, dengan tujuan akhir menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya, uang akan mengalir ke tempat yang bisa memberikan keuntungan paling besar tersebut. Sehubungan dengan ini maka filsafat wajah maupun filsafat heuristika-ketakutan – menurut saya – memiliki relevansinya dalam dunia yang ditandai dengan pandangan tentang manusia sebagai pesaing dan atau sebagai sarana belaka. Bagi Levinas wajah adalah simbol yang mewakili orang lain sebagai Yang Samasekali Lain. Selain itu wajah – bagi Levinas – berdimensi banyak, antara lain wajah yang telanjang, wajah itu orang asing, janda dan yatim piatu serta Tuan. Wajah adalah bagian tubunh manusia yang paling telanjang, tak terlindungi, wajah tampil apa adanya . Bagi Levinas wajah yang telanjang menampilkan kemiskinan yang penuh, oleh karenanya wajah mengundang kita untuk menanggapinya. Kemarginalan tersebut justru memiliki kekuatan yang besar untuk mengundang kita, untuk peduli kepada mereka. Maka bagi Levinas penampilan wajah sejak semula selalu bersifat etis . Berkaitan dengan ini maka yang unik pada pemikiran Levinas adalah bahwa Levinas sangat menekankan sifat asimetris . Dari relasi kita dengan orang lain. Dengan itu Levinas mau menekankan bahwa relasi kita dengan orang lain adalah gerakan searah dan bukan timbal balik, dalam arti suatu orientasi yang mau tidak mau harus berawal dari diri sendiri menuju kepada orang lain . Dalam kaitan dengan ini maka Levinas maju selangkah lagi dengan konsep tanggungjawab sebagai ”struktur hakiki, pertama dan fundamental dari subyektivitas” dan tanggungjawab itu dimengerti sebagai ”tanggungjawab bagi orang lain di mana orang lain tersebut menyapaku sebagai Tuan, yang datang dari tempat yang tinggi (Respondeo ergo sum). Dengan demikian orang lain telah mengundangku untuk menomorduakan kebebasanku, dalam arti mengakui orang lain sebagai tuan dan membuat aku menjadi rendah hati . Dalam kaitan dengan ini maka keadilan bagi Levinas tidak berarti sekadar memberikan apa yang menjadi hak seseorang, tetapi keadilan berarti menerima orang lain, menerima undangannya untuk “tidak membunuhnya”. Filsafat wajah yang dikembangkan oleh Levinas menurut sangat relevan dengan kondisi saat ini di mana ada kesenjangan bagitu lebar antara yang kaya dan yang miskin, adanya begitu banyak kaum marginal. Mengenai pemikiran Hans Jonas baca kembali etika dan manajemen produksi.
Begitu banyak buku yang sudah ditulis sehubungan dengan tema kepemimpinan pada umumnya dan kepemimpinan bisnis pada khususnya. Namun, tetap belum ada pengertian yang seragam tentang konsep kepemimpinan. Biarpun demikian saya pikir ada satu hal yang bisa kita pegang bersama, yaitu bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki pengikut, dan seorang pemimpin bersama dengan para pengikutnya akan melakukan perjalanan bersama untuk mencapai cita-cita bersama. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa seseorang bisa menjadi pemimpin? Pertanyaan ini – menurut saya – lebih sulit untuk dijawab. Namun, pertanyaan tersebut juga bisa dirumuskan secara lain, yaitu mengapa ada sekelompok orang yang mau mengikutinya? Pertanyaan yang terakhir ini mungkin lebih mudah untuk dijawab. Seseorang mau mengikuti seseorang yang akan disebutnya sebagai pemimpin, bisa karena tertarik pada kepribadiannya yang terungkap melalui perilakunya, bisa karena pemikirannya, dan bisa karena visinya . Menurut Burt Nanus bila seorang pemimpin memiliki visi yang tepat, maka para pengikutnya akan komit dan sekaligus bergairah, karena terciptanya makna kehidupan, juga terciptanya suatu pedoman keunggulan serta dapat menjembatani antara masa sekarang dan masa yang akan datang. Visi merupakan kunci dari kepemimpinan dan kepemimpinan merupakan kunci keberhasilan. Namun visi yang bagaimana?
Sebagaimana telah diperlihatkan bahwa bisnis menjadi salah satu pendorong terjadinya kesenjangan yang makin lebar antara yang kaya dan yang miskin. Kemudian bisnis juga menjadi salah satu pendorong terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang parah, dan yang terakhir bisnis juga telah menjadi pendorong pola hidup yang sangat konsumtif, di mana orang lebih digerakkan oleh gengsi daripada kebutuhan. Dalam situasi dan kondisi seperti itulah seorang pemimpin bisnis berada. Di sinilah apa yang diperlihatkan baik oleh Levinas maupun oleh Hans Jonas menjadi sangat relevan. Apakah seorang pemimpin bisnis tetap akan mengejar apa yang disebut sebagai usaha untuk memaksimalkan keuntungan, agar dengan demikian rasio dari return on investmentnya menjadi tinggi. Biarpun di sisi lain mereka berhadapan dengan wajah-wajah marginal yang mengundang tanggungjawab mereka. Di lain pihak apakah para pemimpin bisnis tidak merasa takut dengan ramalan-ramalan buruk tentang malapetaka global bila kita tetap bersikap boros dengan sumberdaya yang langka, dan proses produksi yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Dengan memperhatikan apa yang dipikirkan oleh Levinas dan Jonas, maka bagi saya pemimpin bisnis yang baik adalah seorang pemimpin yang memiliki visi keutuhan ciptaan. Berkaitan dengan visi keutuhan ciptaan maka sebenarnya dalam pemikiran manajemn sudah mulai terbersit visi tersebut, umpamanya apa yang disebut sebagai stakeholders benefit, di mana bisnis mulai memperhatikan kemaslahatan semua pihak yang terkait dengan bisnis yang bersangkutan.
Sedang dalam ilmu ekonomi sudah terdengar apa yang disebut sustainable development, di mana kesadaran akan persoalan-persoalan tersebut di atas sedikit banyak mengubah orientasi perkembangan dan pembangunan yang selama ini dikembangkan World Commission on Environment and Development dalam laporannya yang berjudul The Brundland Report memberikan pembatasan tentang sustainable development sebagai ”pembangunan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari generasi sekarang, tanpa membahayakan kesanggupan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri” .
Namun, gaung dari visi keutuhan ciptaan saya pikir kalah dengan gaung dari pemujaan pasar dan perdagangan bebas serta kapitalisme global yang memiliki akses pada organisasi-organisasi dunia yang berfungsi sebagai surveillance system, seperti WTO, IMF dan World Bank. Selain daripada itu lewat perusahaan-perusahaan multinasional mereka bisa menjadi The New Rulers in the World (istilah ini saya pinjam dari John Pilger, seorang wartawan BBC). Di mana semua permasalahan dalam hidup bermasyarakat diyakini dapat dijelaskan dan diselesaikan dari sudut ekonomi belaka. Atau dengan perkataan lain perkara sosial dilihat sebagai masalah individual, masalah social welfare dilihat sebagai masalah self-care. Bagi saya hal itu disebabkan oleh karena kurangnya para pemimpin yang memiliki visi keutuhan ciptaan. Padahal lewat salah satu tugas pemimpin yang tidak lain adalah mengambil keputusan, maka pemimpin bisa mengarahkan aktivitas organisasinya menuju pada visi keutuhan ciptaan, dengan memasukkan pertimbangan-pertimbangan moral dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan dalam kaitan dengan visi tersebut – biarpun dalam konteks yang berbeda – kita menemukan keluhan-keluhan dari beberapa orang pemikir kepemimpinan, seperti halnya Warren Bennis bahwa dewasa ini kita sedang mengalami krisis kepemimpinan. Yang menarik adalah bahwa bagi Bennis salah satu gejala yang mengkonfirmasi keluhannya adalah kesenjangan yang makin melebar antara si kaya dengan si miskin.
Inilah tantangan yang perlu permenungan mendalam, dan perlunya mengembangkan apa yang oleh John Powell disebut sebagai Fully Human, Fully Alive, dan jangan hanya menekankan manusia sebagai makhluk ekonomis (Homo Economicus) belaka.
Contoh analisis kasus
Kasus PT Inti Indorayon Utama dan Danau Toba (hal. 342-343)
Fakta-fakta/analisis situasi:
1. 19 Maret 1999 Preside B.J. Habibie memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan operasional industri bubur kertas dan serat rayon pengganti kapas pada PT IIU.
2. akan ada penelitian lebih lanjut untuk pengambilan keputusan secara definitif.
3. tujuannya untuk meredakan keresahan masyarakat di sekitar PT IIU tersebut.
4. PT IIU diresmikan oleh Presiden Soeharto pada akhir tahun 1989 dengan nilai investasi 600 juta $ AS.
5. biarpun menteri lingkungan hidup dan menteri perindustrian tidak merekomendasikannya, namun menristek merekomendasikannya. PT IIU menguasai HPH seluas 269.000 hektar, memastikan akan melakukan reboisasi.
6. PT IIU mengembangkan perkebunan inti rakyat (pir), di mana bibit, biaya pengolahan lahan, pemupukan dan perawatan sepenuhnya ditanggung perusahaan, selain daripada itu rakyat juga mendapat upah.
7. PT IIU juga memperoleh ijin pemanfaatan kayu pinus seluas 86.000 hektar yang segera akan ditanami kembali setelah ditebang.
8. rencananya cukup bagus, namun pelaksanaanya tidak sesuai dengan rencana, sehingga terjadi
a. penurunan debit musim kemarau anak sungai sehingga pengairan sawah seluas 10.000 hektar terganggu.
b. Penurunan permukaan air danau sehingga mengganggu nelayan, pariwisata, dan transportasi, PLTA.
c. Terjadinya pencemaran.
9. namun penghentian sementara PT IIU juga mengakibatkan pekerja yang berjumlah kira-kira 6000 orang terlantar masa depannya.
Masalah pokok/analisis persoalan:
Analisis dampak lingkungan kurang diperhatikan sehingga menjadi persoalan dilematis antara no. 8 dan no. 9
Analisis moral
Bila kita menganalisis persoalan ini dengan pendekatan utilitaristis maka yang menjadi tititk tolak adalah dampak dari adanya PT IIU, di satu pihak PT IIU mampu menyediakan lapangan kerja bagi 6000 karyawan atau kurang lebih 24.000 jiwa dengan asumsi setiap karyawan memiliki tanggungan 3 jiwa. Namun di lain pihak dampak negatif dengan adanya PT IIU adalah menurunnya produksi beras karena terganggunya pengairan 10.000 hektar sawah, nelayan, pariwisata, transportasi dan PLTA terganggu, yang terakhir juga terjadi pencemaran lingkungan hidup. Ketiga dampak negatif ini saya pikir akibatnya jauh lebih besar daripada 24.000 jiwa. Maka keputusan Presiden B.J. Habibie secara moral tepat, biarpun pemerintah tidak bisa lepas tangan dengan 24.000 jiwa yang secara ekonomis akan terlantar, karena bagaimanapun juga hal itu menjadi tanggungjawab pemerintah karena mengabaikan amdal.
Begitu pula bila kita menganalisis masalah PT IIU ini dari sudut pandang teori deontologi yang berangkat dari isu kewajiban, di mana salah satu kewajiban kita adalah melestarikan lingkungan hidup demi kesejahteraan umat manusia pada umumnya secara berkesinambungan, maka mengabaikan amdal merupakan suatu keputusan yang tidak etis, dengan demikian tidak dapat diterima secara moral.
Kesimpulan
Baik secara utilitaristis maupun deontologis keputusan presiden B.J. Habibie secara moral dapat dibenarkan, bahkan dapat dikukuhkan menjadi sebuah keputusan yang definitif.
Penutup
Sejak 1986 sekelompok eksekutif puncak dari perusahaan-perusahaan multinasional melakukan pertemuan-pertemuan di kota Caux, Swiss untuk mengurangi ketegangan-ketegangan dalam persaingan bisnis Internasional. Pemrakarsanya adalah Frederick Philips, mantan direktur utama Philips Electronics, serta Olivier Giscard d’Estaing, wakil ketua INSEAD, sekolah tinggi administrasi bisnis terkemuka di Perancis. Anggota yang lain adalah Ryuzaburo Kaku (chairman dari Canon, Jepang), Alfredo Ambrosetti (chairman dari kelompok Ambrosetti, Italia), Neville Cooper (chairman dari Top Management Partnership, Inggris, dan mantan wakil presiden dari ITT, Garnett I. Keith, dan Winston R. Wallin (chairman dari Medtronic Inc., USA). Pertemuan ini diawali dengan proses identifikasi nilai-nilai bersama, nilai-nilai lintas budaya yang dihormati oleh semua pihak, akhirnya pertemuan ini menghasilkan prinsip-prinsip bisnis yang kemudian dikenal sebagai The Caux Round-Table. Prinsip-prinsip ini pada bulan Juli 1994 diterima sebagai Kode Etik Internasional di bidang bisnis yang pertama di dunia. Salah satu keunikan dari kode etik ini adalah didasarkan pada nilai-nilai luhur baik dari barat maupun dari timur. Kode etik ini berciri komunitarian/kesejahteraan umum (timur) dan individual/martabat manusia (barat).
Kode etik internasional ini terdiri dari mukadimah yang berisi ”pengakuan bahwa hukum dan kekuatan pasar belum mencukupi untuk menjadi pemandu perilaku bisnis, maka diperlukan penghormatan pada martabat dan kepentingan stakehorlders, begitu pula pada nilai-nilai bersama termasuk di dalamnya kemakmuran bersama sebagai komunitas global”.
Selanjutnya dirumuskan tujuh prinsip umum yang tidak lain adalah:
1. Tanggungjawab bisnis: dari shareholders ke stakeholders.
Nilai organisasi bisnis bagi masyarakat ialah kekayaan dan lapangan kerja yang diciptakannya serta produk dan jasa yang dipasarkan kepada konsumen dengan harga wajar yang sebanding dengan mutu.
2. Dampak ekonomis dan sosial dari bisnis: menuju inovasi, keadilan dan komunitas dunia.
Organisasi-organisasi bisnis yang didirikan di luar negeri untuk membangun, memproduksi atau menjual juga harus memberi sumbangan padapembangunan sosial negara-negara itu dengan menciptakan lapangan kerja yang produktif dan membantu meningkatkan daya beli warganegara setempat.
3. Perilaku bisnis: dari hukum yang tersurat ke semangat saling percaya.
Dengan tetap mengakui keabsahan rahasia-rahasia dagang organisasi-organisasi bisnis haruslah menyadari bahwa kelurusan hati, ketulusan, kejujuran, sikap memegang teguh janji, dan transparansi, bermanfaat tidak hanya bagi kredibilitas dan stabilitas bisnis sendiri, tetapi juga bagi klancaran dan efisiensi transaksi-transaksi bisnis, khususnya pada tingkat internasional.
4. Sikap menghormati aturan.
Untuk menghindari konflik-konflik dagang dan untuk menggalakkan perdagangan yang lebih bebas, kondisi-kondisi adil dalam persaingan, perlakuan yang seimbang dan adil bagi seluruh partisipan, organisasi-organisasi bisnis wajib menghormati aturan-aturan internasional dan domestik.
5. Dukungan bagi perdagangan multilateral.
Organisasi-organisasi bisnis wajib mendukung sistem perdagangan multilateral dari GATT/WTO serta kesepakatan-kesepakatan internasional serupa.
6. Sikap hormat bagi lingkungan hidup.
Bisnis wajib melindungi dan di mana mungkin meningkatkan lingkungan alam, mendukung pembangunan yang berkelanjutan, dan mencegah terjadinya pemborosan sumber-sumber daya alam.
7. Menghindari operasi-operasi yang tidak etis.
Bisnis wajib untuk tidak berpartisipasi dalam atau menutup mata terhadap penyuapan, ’pencucian uang’, atau praktek-praktek korup lainnya: bahkan bisnis wajib untuk menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain untuk membasmi praktek-praktek itu. Bisnis wajib untuk tidak memperdagangkan senjata atau barang-barang lain yang diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan teroris, perdagangan obat bius atau kejahatan terorganisasi lainnya.
Selain prinsip umum juga dinyatakan prinsip-prinsip stakeholders, khususnya terhadap pelanggan (misalnya: memastikan adanya sikap hormat terhadap martabat manusia dalam produk-produk yang ditawarkan, dalam pemasaran dan periklanan), karyawan (misalnya: menyediakan lapangan kerja dan kompensasi yang meningkatkan kondisi hidup para pekerja), pemilik/penanam modal (misalnya: menerapkan manajemen yang bersungguh-sungguh dan profesional untuk memberikan hasil yang kompetitif dan adil bagi investasi para pemilik modal), pemasok (misalnya: membayar para pemasok pada waktunya dan sesuai dengan term of trade yang sudah disepakati bersama), pesaing (misalnya: menghormati hak-hak atas kekayaan intelektual, baik yang tangible mupun yang intangible), masyarakat (misalnya: menghormati hak-hak asasi manusia dan lembaga-lembaga demokrasi, serta memajukannya bila mungkin).
Suatu langkah awal yang sangat baik, menjadi tugas kita semua untuk mensosialisasikannya (Bogor, 10 Agustus 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar