Jumat, 27 Agustus 2010

Uang sebagai sarana pendidikan menuju kemandirian

Uang sebagai sarana pendidikan menuju kemandirian (?)

Stanislaus Nugroho, Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Bogor


Waktu saya menunjukkan judul sebagaimana tersebut di atas kepada teman-teman saya, maka salah seorang teman saya langsung berkomentar, “bagaimana itu mungkin? Itu suatu judul yang provokatif, dewasa ini uang hanya lambang dari pola hidup yang sangat konsumtif”. Berkaitan dengan komentar teman saya tersebut maka dengan sengaja saya menambahkan tanda tanya dalam kurung. Mengapa? Saya sendiri yakin bahwa uang dapat menjadi sarana pendidikan menuju kemandirian, namun mungkin bagi banyak orang itu suatu masalah, maka saya memberikan tanda tanya, biarpun dalam kurung.

Tulisan ini dimaksudkan untuk meyakinkan para pembaca bahwa uang dapat digunakan, bahkan seharus digunakan sebagai sarana pendidikan, khususnya pendidikan nilai. Christopher Gleeson, SJ – seorang pakar dan sekaligus seorang praktisi pendidikan – dalam halaman pertama bukunya yang berjudul Striking A Balance: Teaching Values and Freedom, Hodder & Stoughton, Australia, 1993 menyatakan bahwa “Dalam kehidupan ini hanya terdapat dua hal yang dapat kita (= orangtua dan guru) berikan, yakni akar (= nilai) dan sayap (= kebebasan)”. Selanjutnya menurut Gleeson dengan nilai yang kuat peserta didik pada masa yang akan datang dapat menolong dirinya dalam tantangan hidup di dunia yang mengalami perkembangan dan perubahan yang begitu luar biasa dan berlangsung dengan kecepatan yang tinggi. Sedang dengan kebebasannya seseorang mampu untuk ‘menentukan dirinya sendiri’, mampu menjadi pribadi yang mandiri.

Nilai itu selalu berkaitan dengan yang baik. Karena baik maka sesuatu yang bernilai dikejar untuk dapat dimiliki. Uang itu sesuatu yang baik, sarana yang baik. Betapa tidak? Uang merupakan sarana yang membantu kita dalam melakukan transaksi ekonomis, betapa sulitnya bila kita masih hidup dalam jaman barter (= perdagangan dengan saling menukar barang).

Namun, dewasa ini kita sudah menyalahgunakan uang. Uang tidak lagi kita jadikan sarana, melainkan telah kita jadikan tujuan dan sekaligus menjadi komoditi. Sebenarnya Yesus sudah memperingatkan kita dengan sabdaNya yang berbunyi sebagai berikut “…. di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mt. 6: 21). Begitu juga Santo Paulus dalam suratnya kepada Timotius yang pertama mengingatkan kita dengan tulisannya yang berbunyi sebagai berikut “….. akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1 Tim. 6: 10).

Kemandirian merupakan salah tahap dalam perkembangan manusia, baik secara biologis maupun psikologis kita mengawali kehidupan kita dengan ketergantungan. Ketika masih bayi ketergantungannya hampir seratus persen. Dalam perkembangannya ketergantungan itu mulai berkurang sedikit demi sedikit. Sampai pada akhirnya, seseorang masih tergantung secara ekonomis terhadap orangtuanya, ketergantungan ekonomis ini berlangsung sampai lebih kurang seseorang berusia lebih kurang 25 tahun, yaitu saat seseorang sudah menyelesaikan pendidikannya dan mulai bekerja.

Namun, kemandirian seseorang tidak hanya menuntut adanya ketidak-tergantungan fisik, psikologis, ekonomis dan sosiologis, namun juga kemandirian moral (= mampu menentukan mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang benar dan mana yang salah) dan kemandirian spiritual (mampu memaknai hidupnya biarpun dalam kondisi yang tidak diharapkan).

Masalahnya bagaimana uang dapat dipakai sebagai sarana pendidikan kemandirian? Bila kita mau menggunakan uang sebagai sarana pendidikan maka kita harus menggunakan ‘bahasa uang’. Bahasa uang itu lugas, kelugasannya nampaknya misalnya dalam hal ‘anggaran’. Anggaran itu apa? Anggaran itu suatu rencana yang dinyatakan dalam angka, angka itu mengacu pada suatu jumlah uang. Selain daripada itu anggaran juga mengacu pada masa depan, masa depan dapat membangkitkan harapan, suatu optimisme, bila masa depan itu direncanakan dengan baik. Mungkin baik dalam kaitan dengan ini kita ingat apa yang ditulis oleh Lukas sang Penginjil “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya” (Lk. 14: 28-30). Anggaran dapat membantu kita membuat rencana yang dapat diukur, sekaligus dapat dicapai, karena itu anggaran seharusnya realistis.

Dengan anggaran kita juga belajar untuk menentukan prioritas, mana yang betul-betul merupakan kebutuhan (needs), dan mana yang sekadar keinginan (wants). Beras itu suatu kebutuhan, namun beras bermerek “Ayam Merak” misalnya, bukanlah suatu kebutuhan melainkan suatu keinginan. Menurut saya orang yang mampu menentukan prioritas merupakan orang yang sungguh dewasa, sungguh mandiri, lebih-lebih pada jaman modern ini. Betapa tidak? Dengan teknik-teknik pemasaran yang canggih, salah satunya yang paling menonjol adalah iklan, maka dewasa ini orang berpikir “saya membeli maka saya ada”. Oleh karena itu bisnis berani mengeluarkan biaya iklan dalam jumlah yang sangat luar biasa besar. Sebagai contoh, Kompas tanggal 29 Desember 1998, memberikan data sebagai berikut “nilai belanja iklan tahun 1997 untuk majalah, surat kabar dan televise adalah sekitar Rp. 3, 49 triliun”. Keberadaan seseorang sangat diwarnai oleh tingkat konsumsinya dan apa yang dikonsumsinya. Kalau orang tidak mampu menentukan prioritas maka orang bisa menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang, dan akhirnya akan merusak masa depannya sendiri.

Anggaran mendidik seseorang menjadi rendah hati. Rendah hati tidak lain merupakan sikap seorang yang dapat menerima kenyataan. Salah satu kenyataan adalah bahwa kita memiliki pendapatan tertentu, dan harus hidup sesuai dengan pendapatan tersebut. Tentu saja kita boleh berusaha dan harus berusaha meningkatkan pendapatan kita, namun tetap ada batasnya, yaitu kemampuan dan talenta kita sendiri yang ada batasnya.

Dengan demikian bila kita menggunakan uang sebagai sarana pendidikan kemandirian, maka dengan membuat anggaran yang tepat seseorang belajar merencanakan kehidupannya, sambil menatap masa depan. Dengan anggaran kita juga belajar hidup secara realistis dan rendah hati serta tidak hanyut dalam pola hidup yang sangat konsumtif. Bagaimana membuat anggaran? Membuat anggaran hendaknya berdasarkan catatan masa lalu (sebagai pembanding), berdasarkan masa sekarang (pendapatan saat ini) dan mengacu ke masa depan (perencanaan).


Bogor, 31 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar