Relasi Antara Mertua dan Menantu, Belajar dari Naomi dan Ruth
Stanislaus Nugroho
Pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya sangat dipengaruhi oleh relasi antar manusia, maka berbicara tentang relasi antar manusia sangat menarik dan mengasyikkan, begitu penuh dengan dinamika dan warna-warni kehidupan. Tidak heran tema relasi antar manusia juga menjadi perbincangan hangat dalam refleksi filsafat. Dalam sejarah filsafat abad 20 ada dua tokoh – sejauh saya kenal – yang berbicara tentang relasi antar manusia secara bertolak-belakang. Yang satu bernama Gabriel Marcel (1889-1973) dan yang yang lain bernama Jean-Paul Sartre (1905-1980). Bagi Gabriel Marcel relasi antar manusia ditandai dengan cinta. Oleh cinta maka antara aku dan kamu menjadi kita. Manusia mengutuh lewat intersubyektivitas. Sebaliknya bagi Sartre relasi antar manusia ditandai dengan konflik. Salah satu kata-kata Sartre yang sangat terkenal adalah Neraka adalah orang lain .
Berbicara tentang relasi antara mertua dan menantu, secara khusus antara mertua perempuan dan menantu perempuan – sejauh pengalaman di ruang konseling – maka sangat diwarnai oleh konflik. Salah satu contoh yang saya peroleh dalam ruang konseling adalah keluhan dari seorang ibu muda sebagai berikut ”.....mertua perempuan dan adik perempuan suami sering datang dan menginap di rumah. Awalnya saya senang, mereka banyak membantu dan menemani hari-hari saya mengasuh bayi dan melakukan pekerjaan rumah tangga .... 6 bulan berlalu, percikan-percikan di antara kami mulai menyala .... beberapa kali kami terlibat perdebatan pendapat. Hal ini pernah saya keluhkan kepada suami, tetapi suami mengatakan tidak perlu dibesar-besarkan, konflik itu hal yang biasa.....”. Memang konflik merupakan sesuatu yang biasa dalam hidup relasional, maka masalahnya adalah bagaimana kita dapat mengelola atau menanganinya dengan tepat. Di sini dibutuhkan suatu proses pembelajaran terus menerus lewat aksi dan refleksi. Sebagaimana sudah diajarkan oleh Sokrates (470-399) hidup itu harus direfleksikan.
Kasus-kasus sejenis sering kita jumpai dalam hidup sehari-hari, se-olah-olah apa yang dipikirkan oleh Sartre adalah benar adanya, namun bila kita membaca kitab Ruth, khususnya pada bab 1, maka apa yang dipikirkan oleh Sartre tidaklah benar, orang lain bukan neraka bagi kita. Kita mungkin perlu belajar dari relasi yang dibangun antara Ruth (menantu perempuan) dan Naomi (mertua perempuan).
Tulisan ini merupakan hasil refleksi atas kitab Ruth, khususnya bab 1. Kitab Ruth merupakan sebuah cerita pendek (cerpen), terdiri dari 4 bab dengan 85 ayat. Isinya sangat menarik, enak dibaca, tersusun dengan cukup baik, ceritanya lancar dan mempesona, bila kita membacanya maka kita ingin segera menyelesaikannya. Maksud dari kitab ini jelas yaitu membina umat Allah dalam kaitan dengan keindahan cinta, kesetiaan dan pengabdian. Kehidupan yang dihiasi oleh cinta kasih, kesetiaan dan pengabdian – dalam arti selalu berusaha menomorsatukan orang-orang yang kita cintai – merupakan kebahagiaan, dan kebahagiaan itu adalah indah. Dengan membaca kitab ini maka pembaca (sekurang-kurangnya saya pribadi) akan terhibur, muncullah harapan karena iman kepada Allah dipertebal, sebab Allah yang selalu siap menolong orang-orang yang terpinggirkan.
Kitab ini bercerita tentang seorang perempuan Yahudi yang bernama Naomi (yang berarti menyenangkan, lincah ) bersama suaminya serta kedua anak laki-lakinya terpaksa mengungsi ke luar negeri, ke suatu negeri yang bernama Moab. Pada masa pengungsian tersebut Naomi kehilangan suaminya dan kedua anaknya, mereka semua meninggal. Biarpun kedua anaknya sudah menikah namun tidak memiliki anak. Maka Naomi tinggal bersama kedua menantunya. Yang satu bernama Orfa dan yang lain bernama Ruth.
Waktu Naomi mendengar negara asalnya sudah tidak mengalami wabah kelaparan, maka Naomi memutuskan untuk kembali ke negara asalnya, ke kampung halamannya di Betlehem. Nah, mulailah sesuatu yang menarik, betapa tidak. Kita bisa mengikuti suatu pembicaraan yang berdaya-guna, suatu komunikasi yang produktif, suatu komunikasi antara subyek dengan subyek (suatu komunikasi intersubyektif) antara Naomi dan kedua menantunya. Biarpun pada akhirnya hanya Ruth yang memutuskan untuk tetap bersama mertuanya. Jawaban Ruth yang paling terkenal – khususnya untuk mereka yang pernah mengikuti week-end Marriage Encounter – “….. ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam; bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, akupun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan” (Ruth, 1:16-17). Suatu bentuk ungkapan solidaritas yang luar biasa, solider kepada sesamanya, khususnya mertuanya yang sudah sendirian dan yang telah kehilangan semuanya, suami, anak-anak, harta.
Masalahnya bagaimana komunikasi bisa menjadi produktif, bagaimana komunikasi bisa menjadi intersubyektif, dan bukan komunikasi antara subyek dan ’obyek’. Untuk mampu menciptakan komunikasi intersubyektif sejauh saya bisa peroleh dari kisah antara Naomi dan kedua menantunya sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Komunikator yang baik seharusnya mampu bersikap – saya ingin meminjam istilah Jawa – ’empan papan’ (= komunikator mampu ’menempatkan diri’ secara tepat dan memiliki motivasi yang positif dan berorientasi pada komunikan). Perhatikan pernyataan-pernyataan Naomi, pernyataannya mengacu kepada kebahagiaan dan kesejahteraan menantunya. Sebagai contoh saya kutip sebagian dari ayat 8-9 ”Pergilah, pulanglah masing-masing ke rumah ibunya; Tuhan kiranya menunjukkan kasihNya kepadamu, seperti yang kamu tunjukkan kepada orang-orang yang telah mati itu dan kepadaku; kiranya atas karunia Tuhan kamu mendapat tempat perlindungan, masing-masing di rumah suaminya”. Seorang komunikator yang dapat bersikap empan papan akan dapat menyentuh komunikan, sebagaimana menjadi nyata dalam ayat 9b-10 ’.......tetapi mereka menangis dengan suara keras dan berkata kepadanya ”Tidak, kami ikut dengan engkau pulang kepada bangsamu”.
2. Komunikan hendaknya mampu menyiapkan hati yang subur dan terbuka (= pendengar yang baik, mampu mendengarkan dengan hati), atau kalau meminjam istilah yang dipakai oleh Mateus dalam Injilnya bab 13: 1-23 khususnya ayat 8 komunikan mampu menyiapkan ’tanah yang baik’ atau dengan kata lain tanah yang subur, maka hasilnya ’ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tigapuluh kali lipat’. Perhatikan pernyataan Ruth sebagaimana dapat kita baca pada ayat 16-17a. Sikap solider yang ditunjukkan oleh Ruth membuahkan rahmat yang berlimpah baginya, Ruth menjadi nenek moyang dari Yesus sang Mesias, namanya tercantum dalam silsilah Yesus Kristus sebagaimana dicatat oleh Mateus dalam Injilnya bab 1 ayat 5b.
Apa yang kita temukan dalam kisah Ruth merupakan sesuatu yang sangat relevan dewasa ini. Lewat bukunya yang berjudul The 7 Habits of Highly Effective Families (1997) Stephen R. Covey menguraikannya pada kebiasaan yang ke lima (halaman 201-246) yang berjudul ‘Seek first to understand ….. then to be understood’ (berusahalah untuk memahami dulu ….. baru kemudian dipahami). Covey mengawali uraiannya dengan mengutip apa yang dikatakan oleh se ekor rubah dalam cerita klasik yang berjudul The Little Prince: ’and now here is my secret, a very simple secret: It is only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye’ (…. inilah rahasiaku, suatu rahasia yang sangat sederhana: hanya dengan hatilah seseorang dapat melihat dengan tepat – apa yang tidak dapat dilihat oleh mata – sesuatu yang hakiki).
Dengan demikian menjadi jelas bahwa konflik atau kesalahpahaman memang merupakan sesuatu yang biasa dalam kehidupan bersama, hal ini merupakan konsekuensi dari keunikan setiap pribadi, ditambah dengan latar belakang yang berbeda-beda entah itu budaya, pendidikan, pemikiran, minat dan lain-lain. Lebih-lebih dalam keluarga, karena biasanya kita sudah terjebak pada pengandaian bahwa pasanganku, mertuaku, saudara iparku mencintaiku, maka mereka pasti bisa memahami aku. Pengandaian ini seringkali menjerumuskan, maka apa yang dikatakan oleh Covey menjadi suatu nasehat yang perlu diingat bahwa kita harus mulai dengan ’memahami orang lain dulu dan baru kita dipahami’, atau dengan kata lain kita selalu harus bersikap empan papan.
Masalahnya bagaimana kita bisa memiliki sikap empan papan dan mampu memiliki hati yang subur dan terbuka? Dari pengalaman: sikap empan papan dan hati yang subur dan terbuka dapat dibangun dengan selalu berusaha untuk mengenal diri sendiri sebaik mungkin, dan kemudian berani menerima diri sendiri apa adanya (bukan dalam arti pasrah pasif, namun justru pasrah aktif: menerima adanya kelemahan-kelemahan namun berusaha mengurangi sedikit demi sedikit, di lain pihak bersyukur akan kekuatan-kekuatan yang dimiliki serta berusaha untuk menumbuhkembangkanNya ). Jika kita bisa mengenal diri sendiri sebaik mungkin dan mampu menerima diri sendiri apa adanya maka kita menjadi bahagia, salah satu aspek kecil dari kebahagiaan tidak lain bahwa kita bisa menempatkan posisi diri kita pada tempat dan waktu yang tepat, karenanya kita diterima oleh yang lain.
Jelaslah ini bukan masalah mudah – kalau tidak mau mengatakan sangat sulit – maka kita tidak pernah boleh berhenti melakukan pembelajaran – dalam arti melakukan proses aksi dan refleksi kehidupan kita.
Bogor, 29 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar