Selasa, 27 Mei 2014



KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Stanislaus Nugroho[1]
“Kita mimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan.
Dunia dengan keadilan dan harapan .
Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesama,
tanda damai dan persaudaraan”
(sebagian lirik lagu The Prayer)
Istilah kekerasan sekarang ini sedang marak dalam kehidupan sehari-hari, kasus kekerasan yang sekarang sedang ramai diperbincangkan adalah kasus kekerasan yang berkaitan dengan acara ospek di ITN, Malang, di mana mahasiswa barunya yang bernama Fikri harus kehilangan nyawa. Tetapi tulisan ini tidak akan membahas masalah tersebut, melainkan akan fokus dengan kekerasan yang terjadi pada lingkungan/komunitas yang dibentuk atas dasar cintakasih. Cinta antara suami dan isteri, dan kasih antara orangtua dan anak, serta sebaliknya.
Suatu gejala yang aneh dan tidak mudah untuk dimengerti, bagaimana dalam lingkungan/komunitas yang dibentuk berdasarkan cintakasih bisa diwarnai dengan kekerasan. Dari pengalaman yang kami peroleh lewat perbincangan baik dengan pelaku maupun dengan korban, biasanya dalih di belakang peristiwa kekerasan itu tidak lain pendidikan. Padahal tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, mensubyekkan manusia, sedang kekerasan justru sebaliknya yaitu mengobyekkan manusia. Dalam kekerasan manusia diobyekkan dan bukan disubyekkan. Pasangan saya – dulu – sering mengatakan bahwa dalam kekerasan manusia hanya menjadi pelengkap penderita dan tidak pernah menjadi subyek.
Pertanyaan yang muncul adalah, apa yang menjadi akar dari kekerasan dalam keluarga. Kerapkali kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga disebabkan oleh kuatnya dorongan maskulinitas. Dengan kata lain kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh konstruksi sosial masyarakat yang patriarkis. Masyarakat yang patriarkis membebani para laki-laki untuk tampil kuat, tegar, jantan, mampu secara ekonomis dan bentuk-bentuk maskulinitas lainnya. Bila mengalami kegagalan maka sebagai kompensasinya melakukan kekerasan kepada mereka yang seharusnya dicintai, suatu ironi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa akar dari kekerasan dalam rumah tangga adalah budaya patriarki yang menyebabkan adanya perongrongan terhadap kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Keluarga merupakan suatu komunitas hidup dan cintakasih antar subyek, antar pribadi yang terkait di dalamnya. Mencintai adalah memberi, memberikan dirinya bagi kebahagiaan dan keselamatan sesamanya. Itulah yang secara total dan penuh kita temukan pada diri Yesus Kristus.
Strauss A. Murray dalam bukunya Primordial Violence mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
a.       Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan perempuan, sehingga mampu  mengatur dan mengendalikan perempuan.
b.      Diskriminasi dan pembatasan di bidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja mengakibatkan perempuan (istri) mengalami ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c.       Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.  Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
d.      Perempuan sebagai anak-anak
Konsep perempuan sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban perempuan.  Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bagaimana menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga?
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b. Harus  tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, agama mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling menghargai sesamanya sebagai pribadi, sebagai subyek.
c. Harus ada komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan di antara kedua belah pihak maka bisa memicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d. Butuh adanya saling percaya, saling pengertian, saling menghargai dan hormat  antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih.
e. Seorang istri harus mampu mengelola berapapun uang yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomis dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
Sejak tahun 2004 Indonesia telah memiliki undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada pasal 1 ayat 1 dirumuskan apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga. Yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Mungkin kita akan bertanya mengapa anak-anak tidak termasuk? Untuk anak-anak diatur melalui undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Berkaitan dengan itu maka masyarakat perlu memantau bagaimana Negara menegakkan hukum/undang-undang tersebut, agar tercipta ketertiban masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan. Berkaitan dengan itu maka kita perlu menyimak apa yang dikatakan oleh seorang pakar sosiologi hukum  Prof. Soeryono Soekanto. Bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi proses penegakkan hukum, yaitu: yang pertama adalah faktor hukum atau perundang-undangan itu sendiri, kedua, yang kedua faktor aparat penegak hukumnya, yang ketiga, faktor  sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakkan hukum, yang keempat faktor masyarakatnya, yang dimaksud adalah faktor lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, hal ini berkaitan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum  yang terefleksi dalam perilaku masyarakat. Yang terakhir adalah faktor kebudayaan.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu mensyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni ; komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture).
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa proses pengenalan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara bijaksana/hati-hati dan jangan grusah-grusuh.
Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self Regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut satu sama lain.
Namun perlu diingat bahwa jaman terus berubah, manusia juga berubah, maka mau tidak mau hukum juga mengalami perubahan terus menerus. Itulah yang oleh Moore disebut sebagai semi-autonomous social field. Dalam perspektif sosio-legal sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang “memberi celah (loop holes)” kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum negara dengan kentalnya budaya patriarki. Budaya hukum yang patriarkis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada.
Disini menjadi nyata bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya patriarkis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap perempuan dan anak-anak. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya.
Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagai persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-batasnya, berkedudukan superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain.
Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memiliki kesatuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat.
Akhirnya sebagai orang beriman pada Yesus Kristus maka sebenarnya kita harus berpegang pada apa yang tercatat dalam Kitab Kejadian 1:27, manusia sebagai ciptaan merupakan citra Allah, sebagai citra Allah maka kita adalah setara, dalam hal ini maka prinsip yang paling penting adalah hormat. Dengan membangun budaya hormat maka relasi antar manusia akan harmonis. Mari dalam tahun yang baru ini kita kembangkan semangat kesetaraan dan jauhi kekerasan, lebih-lebih kekerasan dalam rumah tangga. Shalom!
Bogor, 27 Desember 2013.


[1] Penulis adalah seorang aktivis Kerasulan Keluarga, tinggal di Bogor.


Komunikasi Dalam Keluarga
Stanislaus Nugroho[1]
Pemicu satu-satunya dan yang paling mendasar dalam keretakan keluarga adalah
kurangnya ketrampilan dalam berkomunikasi secara asertif.
Itulah kesimpulan yang dapat saya tarik setelah lebih dari 32 tahun berkecimpung dalam kerasulan keluarga. Lalu, what next? John Powell, SJ dalam bukunya yang berjudul Happiness is An Inside Job, 1989 menulis “Komunikasi adalah kata yang indah, bagus. Setiap orang rupanya mendukungnya, seperti mereka mendukung cintakasih dan perdamaian. Komunikasi itu dapat disebut akar hidup cintakasih. Menurut akar katanya, komunikasi berarti tindakan berbagi-bagi. Terkandung maksud dua orang atau lebih memiliki sesuatu ‘bersama-sama’ karena sesuatu itu telah dibagi-bagi. Menurut maknanya yang paling dalam, komunikasi adalah berbagi rasa-pribadi orang-orang itu sendiri. Dengan berkomunikasi terus menerus, anda menjadi tahu tentang saya, dan saya menjadi tahu tentang anda. Kita mempunyai sesuatu ini sebagai milik kita bersama yaitu: diri kita sendiri”.
Namun, kita semua pasti mengalami bahwa dalam hidup sehari-hari yang terjadi bukannya komunikasi namun mis-komunikasi. Mengapa? Karena kita semua masih terperangkap dalam egosentrisme kita masing-masing. Komunikasi mengandaikan/menuntut adanya kerendahan hati yang tinggi, mengapa? Karena komunikasi mengandaikan kerelaan seseorang untuk membuka dirinya apa adanya, perasaan-perasaan kita, pikiran-pikiran kita, kehendak kita, pokoknya diri kita seutuh mungkin, dengan demikian kita dapat menjadi akrab/dekat satu sama lain.
Berkaitan dengan ini dalam diri saya timbul pertanyaan yang agak mendasar, yaitu: “Apakah pada dasarnya manusia takut menjadi akrab/dekat satu sama lain?” Pertanyaan ini timbul dari pengalaman mendampingi keluarga-keluarga yang datang curhat kepada saya. Lebih-lebih dari proses pendampingan selama ini saya menemukan beberapa gejala yang menimbulkan pertanyaan tersebut di atas. Gejala pertama berkaitan dengan seringnya ucapan yang saya dengar “Saya tidak mau menjadi terlalu dekat dengan seseorang, sebab saya khawatir orang itu akan meninggalkan saya, entah karena menceraikan saya, entah karena meninggal, maka saya akan merasa lebih aman dengan tidak mencintai seseorang daripada nanti kehilangan orang itu”. Karena sering ucapan itu saya dengar maka saya menyebut gejala itu dengan sebutan adanya ketakutan akan terjadinya perpisahan.
Gejala lain yang saya temukan adalah seringnya saya mendengar ungkapan sebagai berikut: “Jika saya berbagi segala-galanya kepada seseorang, berbagi diri saya seutuh mungkin, lalu apa yang akan tersisa pada saya, apakah saya masih akan memiliki privacy? Saya tidak ingin lebur, saya tidak ingin kehilangan identitas saya”. Berkaitan dengan ini maka gejala seperti saya sebut sebagai gejala ketakutan terjadinya persatuan, terjadinya kemanunggalan.
 Fenomena lain yang saya sering temukan dalam perjumpaan dengan banyak orang adalah ucapan-ucapan semacam ini: “Jika orang lain sungguh-sungguh tahu tentang diri saya, kekurangan dan kelebihan saya, maka mungkin saja orang itu akan menolak saya, meninggalkan saya, menyingkir dari saya, menjauhi saya,  tidak suka pada saya. Orang lain itu akan kehilangan gairah untuk mengenal saya, untuk bergaul dengan saya, karena semuanya sudah ‘telanjang’ dihadapannya. Maka kemudian orang lain itu akan ‘berpindah’ pada orang lain. Gejala ini saya sebut dengan ketakutan akan penolakan.
Berikutnya saya juga sering mendengar ungkapan sebagai berikut: “JIka saya menjadi terlalu dekat dengan orang lain, maka dalam diri saya akan timbul adanya kewajiban untuk berada di dekat orang lain itu pada saat dia membutuhkan bantuan saya, kalau tidak saya bantu maka  akan timbul rasa bersalah, padahal saya tidak ingin memiliki keterikatan tertentu yang membuat saya tidak bebas”. Gejala ini saya sebut sebagai ketakutan akan tanggungjawab.
Ketakutan-ketakutan tersebut di atas memang manusiawi, namun itu bukan segala-galanya. Hubungan antar manusia merupakan hubungan komplementaritas, hubungan saling melengkapi, karena manusia bukan makhluk sempurna, biarpun demikian manusia adalah makhluk yang unik, satu-satunya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Selain  itu manusia juga merupakan ciptaan Allah, yang tidak lain adalah Kasih. Bahkan manusia bukan sekadar ciptaan begitu saja sebagaimana halnya dengan ciptaan lainnya yang bukan manusia, tapi manusia adalah citra Allah (Kej.1:26) sebagai citra Allah maka relasi antar manusia pada dasarnya merupakan hubungan kasih.
Berkaitan dengan ketiga gejala tersebut di atas yang sangat manusiawi itu  maka saya teringat seorang pemikir Perancis yang bernama Jean-Paul Sartre (1905-1980), pemikir ini pernah mengatakan bahwa ‘orang lain adalah neraka kita’. Ungkapan yang termashyur itu bisa kita temukan dalam bukunya yang terbit pada tahun 1943 dan berjudul L’Etre et le Neant. Essai d’Ontologie Phenomenologique (= Keberadaan dan ketiadaan, esai tentang ontology fenomenologis). Bila kita membaca buku yang tidak terlalu mudah itu maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa relasi mendasar antar manusia ditandai dengan konflik. Hubungan antar manusia bukan intersubyektivitas tapi hubungan antara subyek dengan obyek, hubungan antara manasia tidak lain adalah persaingan. Atau kalau meminjam ungkapan yang dikatakan oleh seorang pemikir Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679) Homo homini lupus (= manusia adalah serigala bagi sesamanya). Bagi Hobbes manusia adalah makhluk yang anti-sosial, karena dalam mempertahankan hidupnya manusia akan bertabrakan dengan manusia lain yang juga ingin mempertahankan hidupnya. Maka salah satu ungkapan Hobbes yang terkenal adalah bellum omnes contra omnia (= perang semua melawan semua).
Namun, seorang pemikir Perancis lain yang bernama Gabriel Marcel (1889-1973) memiliki pemikiran yang sebaliknya. Diawali dengan pemikirannya bahwa ‘Ada’ selalu berarti – bagi Marcel - Ada bersama, dari sini Marcel sampai pada suatu konsep yang penting yaitu kehadiran (presence). Hadir tidak berarti hanya sekadar berada di tempat yang sama pada waktu yang sama. karena yang terjadi mungkin terjadi komunikasi  tetapi tidak ada kontak yang sungguh-sungguh (communication sans communion). Bagi Marcel seseorang baru sungguh hadir bila orang itu mengarahkan diri yang satu  terhadap yang lain dengan cara yang sama sekali lain dengan cara mereka menghadapi obyek-obyek, komunikasi bagi Marcel tidak lain adalah intersubyektivitas. Hubungan antar manusia adalah hubungan aku-engkau (hubungan antar subyek) dan bukan aku-ia (hubungan antara subyek dan obyek). Bahkan bagi Marcel hubungan antar manusia tidak berakhir dengan kematian, hubungan antara aku-engkau membuat mereka menjadi kita, menjadi manunggal, tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Saya pikir hubungan antara aku-engkau inilah yang harus menjadi ciri hubungan dalam keluarga. Suami dan isteri telah menjadi pasangan (couple), menjadi kami. Sedang anak-anak yang merupakan buah cintakasih mereka bukan lagi anakku atau anakmu melainkan menjadi anak kami.
Komunikasi menjadi sarana mewujudkan kasih dalam keluarga. Untuk itu maka ada dua syarat penting yang harus dipenuhi secara konsisten yaitu: yang pertama anggota keluarga harus mampu saling memberikan dirinya; sedang yang kedua adalah anggota keluarga harus dapat memandang anggota keluarga yang lain sebagai anugerah yang ditawarkan kepada anggota keluarga yang lain. Maka komunikasi tidak lain adalah proses pemberian diri baik komunikator maupun komunikan. Dan dengan demikian komunikasi menjadi sarana mewujudkan kasih dalam keluarga, di mana lewat komunikasi terjadilah pemberian dirinya sendiri satu sama lain, baik itu perasaannya, pikirannya maupun kemauannya. Dengan demikian proses komunikasi merupakan suatu proses yang penuh makna, penuh nilai karena mengandung yang baik. Maka bila cinta kasih antar anggota keluarga ingin berlangsung langgeng maka proses komunikasi bukanlah suatu kemewahan malainkan suatu kebutuhan. Maka bila dalam proses komunikasi yang asertif itu merupakan suatu proses perayaan akan perbedaan antar anggota keluarga, karena setiap pribadi adalah unik.
Komunikasi bisa berlangsung baik secara verbal, lewat suatu percakapan, suatu dialog antara subyek yang satu dengan subyek yang lain, bahkan bisa melibatkan seluruh anggota keluarga yang hadir; namun di lain pihak komunikasi juga bisa terjadi secara non-verbal, lewat bahasa tubuh, lewat bahasa isyarat. Di mana sang komunikator ingin menyampaikan apa yang ada dalam dirinya, dalam perasaannya baik yang positif maupun yang negatif, dalam pikiran-pikirannya maupun dalam kemauannya kepada para komunikan. Dengan demikian akan terjadi suatu proses pemerkayaan (= enrichment). Dengan demikian maka para komunikan akan dapat lebih mengenal dan memahami si komunikator.
Namun, agar proses komunikasi bisa berlangsung secara berdaya guna maka ada satu syarat dasar yang harus kita camkan dengan sungguh-sungguh. Syarat itu tidak lain adalah mendengarkan, mendengarkan merupakan kunci bagi suatu proses komunikasi yang berdaya guna. Dalam bahasa Inggris kita mengenal dua kata yaitu to hear dan to listen. To hear tidak lain adalah mendengar, di mana lewat mendengar kita bisa mendengar sekaligus banyak suara, sedang dalam istilah to listen itulah yang dimaksud dengan mendengarkan, mendengarkan tidak sama dengan mendengar, karena mendengarkan berarti mendengar dengan penuh per-hati-an, atau dengan kata lain mendengar dengan hati. Untuk lebih memahami makna mendengarkan maka ada suatu bacaan yang paling menarik – bagi saya sekurang-kurangnya – yaitu: Mt.13:1-23 yang berbicara tentang Perumpamaan tentang seorang penabur, di mana dalam perikop tersebut ada kalimat yang perlu direnungkan, yaitu: “Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar”. Bagi saya kutipan tersebut bermakna pendengar yang baik karena dia memiliki hati yang subur dan gembur, sehingga benih yang ditabur berbuah banyak.
Jika kita ingin menjadi pendengar yang baik maka saya akan menyela atau menginterupsi bila saya ingin memperoleh penjelasan tentang maksud dari kata-kata yang disampaikan oleh si komunikator, karena saya kurang faham dengannya.
Agar proses komunikasi bisa berlangsung dengan baik dan efektif, kita perlu memperhatikan ketiga hambatan yang menghadang proses komunikasi. Ketiga hambatan tersebut adalah: hambatan fisik, hambatan bahasa dan hambatan psikologis. Yang dimaksud dengan hambatan fisik adalah suasana yang ada pada waktu komunikasi dilakukan, misalnya suasananya ramai. Sedang yang dimaksud dengan hambatan bahasa, misalnya penggunaan bahasa prokem. Akhirnya yang dimaksud dengan hambatan psikologis, adalah suasana hati entah dari komunikator entah komunikan tidak terlalu baik, misalnya tidak bisa fokus. Ketiga hambatan ini perlu dicermati dan kemudian perlu disingkirkan, bila komunikasi ingin berlangsung dengan berdayaguna.
Akhirnya perlu dicatat bahwa ada satu pepatah yang berbunyi sebagai berikut: Pemenang tidak pernah melarikan diri, yang melarikan diri tidak pernah menang. Pepatah ini mengandung kebenaran yang dapat diterapkan pada proses komunikasi. Seperti telah disinggung tentang adanya ketiga hambatan dalam komunikasi, maka baik komunikator maupun komunikan jangan pernah mundur dalam menghadapi ketiga hambatan itu, kita tidak pernah boleh melarikan diri dari ketiga hambatan itu yang menghadang proses komunikasi yang sedang dijalankan. Ketiga hambatan itu harus dihadapi baik komunikator maupun komunikan perlu berusaha secara optimal untuk mengatasinya. Bila berhasil mengatasi ketiga hambatan itu maka kita pasti akan mengalami proses komunikasi yang efektif. Salam keluarga!


[1] Penulis adalah aktivis Kerasulan Keluarga, tinggal di Bogor.

Kamis, 23 Januari 2014

Perselingkuhan Merupakan Penodaan Terhadap Martabat Perkawinan? 
Stanislaus Nugroho 
Manusia itu bukan malaikat dan bukan binatang; 
 dan siapa yang ingin memainkan peranan malaikat 
akan berakhir sebagai binatang (Blaise Pascal).

Dewasa ini telah terjadi perubahan besar dalam sikap manusia terhadap tubuhnya. Filsafat masa kini menemukan kembali paradigma Aristoteles (384-322) dan Santo Thomas Aquinas (1225-1274), paradigma yang mana? Bahwa manusia merupakan suatu kesatuan hakiki antara roh dan materi (tubuh). Manusia tidak lain adalah ‘roh yang berdaging dan daging yang ber-roh’. Bahkan bisa dikatakan bahwa manusia tidak hanya bertubuh, tetapi pada suatu tingkat tertentu manusia adalah tubuhnya. Dengan kata lain tubuh bukan sekadar pakaian yang dikenakan melainkan tubuh merupakan unsur hakiki kemanusiaan. Namun dewasa ini ada yang memprihatinkan terhadap tafsir atas paradigma Aristoteles dan Thomas Aquinas, mengapa? Karena ada kecenderungan yang sangat kuat, bahwa manusia sangat memuja tubuhnya (?). salah satu gejala yang bagi saya dapat digunakan sebagai tanda dari pemujaan tersebut adalah laku kerasnya produk komestik baik untuk perempuan maupun untuk laki-laki. Saya jadi teringat pada kata-kata yang diucapkan oleh Blaise Pascal (1623-1662) yang sangat terkenal, yaitu: “Manusia itu bukan malaikat dan bukan binatang; dan siapa yang ingin memainkan peranan malaikat, akan berakhir sebagai binatang”. Namun yang sebaliknya juga bisa dikatakan bahwa siapa yang hanya mengais-ngais tanah, maka dia akan menjadi binatang dan dengan demikian dia telah kehilangan martabat kemanusiaannya. Selain itu manusia terikat dengan tanah, ia tidak terbang di atas bumi, namun ia berjalan selangkah-demi selangkah di atas tanah. Ia harus merebut dunia dan sekaligus harus merebut dirinya sendiri, sebab manusia ‘menjadi satu’ dengan dunia, selangkah demi selangkah dan saat demi saat, dalam waktu. Namun di lain pihak kita juga berdiri tegak dan mampu memandang ke kejauhan/ke tepi langit yang luas, tidak hanya terbatas pada dunia ini saja. Kita mampu menembus jagat raya. Kita memang dipanggil unuk hidup dalam keabadian. Dan kenyataan ini dialami oleh manusia sebagai suatu tegangan, namun ketengan yang harus kita terima. Dengan kata lain bisa dirumuskan sebagai berikut: bahwa secara vertikal kita berdiri di antara surga dan bumi, namun sekaligus kita terarah ke atas dan terikat ke bawah, ditopang bumi dan ditarik oleh surga. Berkaitan dengan itu kita bertugas mencari keseimbangan dalam ketegangan tersebut. Bila kita membaca Kitab Suci Perjanjian Lama, kitab yang pertama Kej.1 yang mengisahkan penciptaan langit dan bumi serta isinya, khususnya ayat 26-2:4a maka bagi saya Kitab Suci memiliki paradigma yang sangat positif tentang tubuh manusia. Memang segala yang diciptakan Allah adalah baik, namun waktu manusia tercipta maka Allah bersabda ‘amat baik adanya’ (Kej.1:31). Mari kita mencoba melihat secara lebih rinci tubuh kita lebih-lebih yang berkaitan dengan bagian-bagian dari tubuh kita. Dalam hubungan dengan ini kembali kita akan terjebak pada masalah tegangan. Bila tadi tegangan yang pertama adalah tegangan antara kefanaan dan keabadian, maka kini kita mengalami tegangan dalam kaitan dengan organ-organ tubuh kita dalam kaitan dengan fungsinya sebagai tanda. Misalnya, jantung mempunyai tempatnya antara kepala dan rongga perut. Jantung melambangkan diri kita sendiri: sebab dalam jantung terdapat yang paling pribadi dari manusia, yakni cintakasihnya, dan kebebasannya. Rongga perut melambangkan gejolak nafsu dan sensitivitas inderawi, fungsi-fungsi yang vital, hal yang seksual, keterikatan pada bumi, alam dan materi. Sedang kepala adalah lambang dari roh dan dari seluruh kenyataan rohani dan surgawi. Aku yang ada di tengah-tengah harus membuat sintesa antara bumi dan yang surgawi. Terus terang saja hal ini mengingatkan saya pada Plato (427-347), seorang pemikir Yunani kuno yang sudah membagi tubuh manusia menjadi tiga bagian : akal di kepala yang menandakan bahwa manusia memiliki kebijaksanaan, penjiwaan di dada yang menandakan bahwa manusia memiliki keberanian dan keadilan dan gejolak nafsu di bagian bawah tubuh, yang membutuhkan pengendalian diri. Keempat keutamaan (kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri dan keadilan) itulah yang saat ini dikenal sebagai keutamaan filosofis. Nah, setelah sedikit melihat hakekat tubuh kita maka kita sekarang masuk pada inti permasalahan karangan ini yang berkaitan dengan penyakit sosial manusia, yaitu yang menjadi judul tulisan ini yaitu perselingkuhan. Waktu saya mencoba membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) yang saya miliki maka saya tidak menemukan istilah selingkuh, yang saya temukan adalah istilah zina. Ketika saya bertanya kepada teman saya ‘apa bedanya antara selingkuh dan zina?’, maka teman saya menjawab ‘zina merupakan sinonim dari istilah selingkuh’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) ada dua penjelasan tentang istilah zina. Yang pertama zina merupakan perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan perkawinan. Sedang yang kedua zina merupakan perbuatan bersanggama antara laki-laki yang sudah terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan isterinya, atau antara seorang perempuan yang sudah terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya. Perzinaan adalah perbuatan zina. Sedang bagi Gereja Katolik – sebagaimana dirumuskan dalam Katekismus Gereja Katolik (1993) – perselingkuhan (perzinaan) merupakan pelanggaran terhadap martabat perkawinan. Perselingkuhan merupakan pelanggaran terhadap kesetiaan suami isteri dan sekaligus juga merupakan suatu pelanggaran terhadap keadilan. Untuk jelasnya saya akan mengutip apa yang dirumuskan oleh Katekismus Gereja Katolik sebagai berikut: 2380 Perzinaan, artinya ketidaksetiaan suami isteri. Kalau dua orang, yang paling kurang seorang darinya telah kawin, mengadakan bersama hubungan seksual, walaupun hanya bersifat sementara, mereka melakukan perzinaan. Kristus malah mencela perzinaan dalam roh (Mt.5:27-28). Perintah keenam dan Perjanjian Baru secara absolut melarang perzinaan (Mt.5:32, Mk.10:11,1Kor.6:9-10). Mereka memandang perzinaan sebagai gambaran penyembahan berhala yang berdosa (bdk. Hos.2:7, Yer.5:7,13:27). Selanjutnya dinyatakan: 2381 Perzinaan adalah suatu ketidakadilan. Siapa yang berzina, ia tidak setia kepada kewajiban-kewajibannya. Ia menodai ikatan perkawinan yang adalah tanda perjanjian; ia juga menodai hak dari pihak yang menikah dengannya dan merusakkan lembaga perkawinan, dengan tidak memenuhi perjanjian, yang adalah dasarnya. Ia membahayakan martabat pembiakan manusiawi, serta kesejahteraan anak-anak, yang membutuhkan ikatan yang langgeng dari orangtuanya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa – bagi Gereja Katolik – perselingkuhan/perzinaan adalah dosa, karena melanggar martabat perkawinan, melanggar janji suami isteri, melanggar kesetiaan dan keadilan. Sebagai pasangan-pasangan Katolik pasti tahu hal itu karena mereka pasti sudah mengikuti Kursus Persiapan Perkawinan, maka yang menjadi pertanyaan apa yang menjadi sebab dari timbulnya pelanggaran terhadap martabat perkawinan? Dari pengalaman selama menjadi pendamping pasangan suami isteri, di mana salah satu tugasnya tidak lain adalah menjadi pendengar yang baik terhadap segala unek-unek entah dari suami atau isteri, maka ada 8 (delapan) sebab yang diungkapkan. Kedelapan sebab itu tidak lain adalah: 1) timbulnya rasa bosan dari salah satu pasangan terhadap pasangannya; 2) adanya godaan dari perempuan atau laki-laki lain terhadap salah satu pasangan; 3) timbulnya keinginan untuk mencari pasangan yang lebih baik dari pasangannya; 4) adanya perasaan dan pikiran salah satu pasangan bahwa dia selama ini telah salah pilih; 5) timbulnya perasaan iseng, maka ingin coba-coba; 6) adanya perasaan dendam terhadap salah satu pasangannya, dan salah satu sumber dendam adalah karena terjadinya kekerasan, entah itu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, maupun kekerasan ekonomis; 7) adanya kecenderungan superioritas yang kuat di kalangan para lelaki; dan yang terakhir 8) adanya kecenderungan dewasa ini di mana suami-suami dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai penopang ekonomi keluarga bekerja di tempat lain yang jauh jaraknya dari isteri dan anak-anaknya, sehingga tidak bisa pulang dan terpaksa harus kost di kota di mana suami-suami itu bekerja, biarpun pada awalnya baik-baik-baik dan lurus-lurus saja, namun karena berlangsung lama maka salah satu dari pasangan suami isteri akhirnya berselingkuh. Tentu saja bahwa ke 8 alasan itu tidak berdiri sendiri, memiliki kaitan satu sama lain. Dan bila digali lebih dalam maka menjadi jelas bahwa yang menjadi akar permasalahan adalah kurang harmonisnya komunikasi dan relasi suami isteri itu sendiri. Berkaitan dengan itu maka dalam membangun dan menjaga terjadinya komunikasi dan relasi yang harmonis maka ada 2 hal atau bisa dikatakan 2 prinsip yang perlu dipegang dan dihayati dengan dengan tulus dan sungguh-sungguh. Kedua prinsip tersebut tidak lain adalah 1) saling hormat menghormati; 2) adanya kemauan untuk menjadi pendengar yang baik. Agar kedua prinsip itu bisa dihayati dengan tulus dan sungguh-sungguh maka kita harus berani melakukan refleksi diri dan kemudian melakukan perubahan terhadap diri kita sendiri, Adanya baiknya sekarang kita mencoba memperbincngkan kedua prinsip tersebut di atas dengan lebih rinci. 1) Prinsip hormat Hubungan laki-laki dan perempuan merupakan hubungan kesetaraan. Kesetaraan itu berkaitan dengan kenyataan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan oleh Allah, bahkan diciptakan sebagai citraNya/gambarnya. Kesetaraan tidak berarti laki-laki dan perempuan sama melainkan berarti bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama subyek, maka hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan hubungan antar-subyek, bukan antar-obyek, juga bukan hubungan antara subyek dan obyek. Dalam bahasa psikologi manusia adalah pribadi, bahkan pribadi yang unik, yang tidak ada duanya. Maka hubungan agar hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi harmonis maka hubungan itu hendaknya dibangun atas dasar prinsip hormat, saling menghargai antar-subyek, antar-pribadi. 2) Prinsip mendengarkan Dalam bahasa Inggris dikenal dua istilah yaitu to hear dan to listen. To hear biasanya diterjemahkan sebagai mendengar, hanya sekadar apa yang ditangkap oleh telinga kita, bahkan ada kecenderungan masuk dari telinga kiri keluar dari telinga kanan. Dalam hal mendengar kita sekaligus mampu mendengar bermacam-macam suara. Lain halnya dengan to listen yang sebaiknya diterjemahkan dengan mendengarkan, yang dimaksud dengan mendengarkan adalah per-hati-an kita terfokus pada satu suara/berita, dengan kata lain mendengarkan berarti mendengar dengan hati. Sebuah perikop Kitab Suci yang bisa digunakan untuk merefleksikan makna dari mendengarkan adalah Mt.13:1-23 yang berbicara tentang Perumpamaan tentang seorang penabur. Agar mendengarkan itu efektif maka hati kita harus menjadi tanah yang subur dan dijaga serta dipelihara kesuburannya, agar benih yang ditaburkan dapat tumbuh dan berbuah banyak serta baik mutunya. Bila kedua prinsip itu diperhatikan dan dihayati maka hubungan antara laki-laki dan perempuan akan harmonis dan ke delapan sebab perselingkuhan tidak perlu kena pada diri mereka. Selamat belajar mendengarkan agar menjadi pendengar yang baik.

Minggu, 29 September 2013

KELUARGA SEHAT MASYARAKAT KUAT, KELUARGA RETAK MASYARAKAT RUSAK

Pencipta alam semesta telah menetapkan persekutuan suami-isteri menjadi asal mula dan dasar masyarakat manusia, dan berkat rahmatNya menjadikannya sakramen agung dalam Kristus dan Gereja (AA,art 11) Melanjutkan kutipan di atas maka tidaklah mengherankan bila Beato Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio, art. 42 berbicara tentang ”Keluarga sebagai sel pertama dan vital bagi masyarakat”. Apa yang dibicarakan olehnya merupakan suatu kenyataan dan kenyataan ini merupakan sesuatu yang penting dan sekaligus menantang. Mengapa penting? Penting, karena sel merupakan suatu ’unit dasar’ dari kehidupan dan berciri unik, tak ada duanya, dan dalam kebersamaan dengan sel-sel yang lain membentuk suatu organisme. Bila keluarga bagaikan sel pertama dan vital bagi masyarakat, maka bisa dimengerti bika dikatakan keluarga sehat masyarakat kuat, sebaliknya bila keluarga retak maka masyarakat akan rusak. Mengapa menantang? Menantang karena dewasa ini keluarga-keluarga memang sedang mengalami tantangan-tantangan bahkan serangan-serangan yang gencar, sangat berat dan mendasar pada keberadaan dari keluarga. Betapa tidak! Dewasa ini keluarga berhadapan dengan kenyataan sosial sebagai berikut: proses matinya suara hati dan keruntuhan moralitas serta harga diri manusia, derasnya arus pola hidup yang sangat konsumtif, kekerasan terhadap kehidupan, kesenjangan sosial ekonomi yang semakin melebar, proses runtuhnya institusi-institusi kehidupan tradisional dan deretan litani ini masih bisa diperpanjang lagi. Kalau serangan dan tantangan tersebut ’melukai’ keluarga maka keluarga akan menjadi sakit dan akibatnya masyarakat juga menjadi sakit. Berkaitan dengan itu maka keluarga memiliki tanggungjawab untuk tetap menjadi sehat. Berbicara tentang tanggungjawab maka kita mengenal pembedaan antara apa yang disebut dengan tanggungjawab pribadi dan tanggungjawab sosial. Perbedaan di antara keduanya terutama terletak pada pelaksanaannya. Berbicara tentang tanggungjawab pribadi maka pelaksanaannya tergantung sepenuhnya pada disposisi pribadi yang bersangkutan. Misalnya kalau saya punya seorang pembantu, dan saya berpikir bahwa pendapatan pembantu saya perlu dinaikkan agar pembantu saya dapat lebih baik masa depannya, maka apa yang saya pikrkan itu bisa saya lakukan tanpa banyak pertimbangan, yang penting saya memiliki kemampuan untuk membayar gaji yang lebih baik. Lain halnya kalau saya punya perusahaan, dan saya berpikir bahwa gaji karyawan saya atau kalau meminjam istilah yang umum buruh saya perlu dinaikkan, karena upah minimumnya tidak mencukupi dengan biaya hidup yang harus dipenuhinya apalagui untuk menabung, maka persoalan ini tidak tergantung pada saya saja sebagai pemilik perusahaan, biarpun perusahaan saya mampu sekalipun. Karena saya pasti akan mendapat tuntutan dari asosiasi perusahaan sejenis di mana perusahaan saya menjadi anggotanya. Keputusan saya sebagai pemilik terikat pada komitmen bersama yang dibuat oleh asosiasi perusahaan sejenis. Hal seperti ini biasanya dikatakan bahwa pelaksanaan tanggungjawab sosial sangat tergantung pada struktur sosial yang berlaku. Bagaimana dengan tanggungjawab sosial keluarga? Dalam kaitan ini maka saya berpikir perlu ada pembedaan lagi, keluarga sebagai entitas pribadi dan keluarga sebagai entitas sosial. Sebagai entitas pribadi maka keluarga perlu membangun suatu komunitas yang sehat dan kuat, agar kelanjutan keluarga yang bersangkutan dapat berjalan dengan cukup mulus. Namun sebagai entitas sosial maka keluarga perlu memiliki sikap ’berbagi’ kepada keluarga-keluarga yang kurang beruntung. Gereja dalam hal ini menyediakan kemungkinan yang luas pada keluarga-keluarga yang menjadi anggotanya agar dapat berkiprah dalam berbagai macam seksi-seksi kerasulan yang sesuai dengan kemampuan keluarga yang bersangkutan, misal dalam bidang sosial ekonomi, dalam bidang kesehatan dan lain sebagainya. Penulis tidak akan masuk lebih dalam, karena tulisan kali ini lebih bermaksud mengelaborasi masalah bagaimana membangun keluarga sebagai sel masyarakat yang sehat agar dengan demikian masyarakat sendiri akan menjadi sehat dan kuat. Penulis saat ini memiliki keprihatinan yang mendalam yang berkaitan dengan kenyataan yang tidak bisa disangkal bahwa masyarakat kita sekarang sedang sakit, karena sakitnya masyarakat kita saat ini menjadi nyata dengan bertumbungkembangnya penyakit-penyakit sosial yang sangat menggejala, misalnya yang berkaitan dengan penyalahgunaan obat, penyimpangan-penyimpangan perilaku seksual yang cenderung menjadi ’bebas’, kerusakan ekosistem, korupsi, kekerasan dan lain-lain. Kesehatan keluarga – sebagai komunitas pribadi-pribadi – sangat tergantung pada harmonis atau tidaknya relasi para anggota keluarga yang terkait. . Harmonis atau tidaknya suatu keluarga akan nampak dari adanya keakraban yang tulus dalam keluarga yang bersangkutan. Keakraban merupakan suatu manisfestasi dari relasi antar-pribadi yang dekat, mesra dan bertanggungjawab, berarti dalam keluarga yang bersangkutan ada keterbukaan serta komunikasi yang efektif dan lancar. Keakraban akan memiliki pengaruh langsung pada keluarga yang bersangkutan, keluarga menjadi wahana yang membuat anggotanya merasa betah, keluarga menjadi rumah tangga dan bukan kost-kost-an. Keakraban keluarga memiliki dasar yang kuat karena keluarga memiliki hubungan darah dan ada kebersamaan hidup dalam sebuah rumah tinggal. Selain itu dasar yang lain adalah keluarga berlandasakan pada cintakasih yang tulus, dan karenanya keluarga merupakan suatu komunitas hidup dan kasih. Selain itu jangan dilupakan bahwa keluarga memiliki landasan yang lain yaitu harapan yang sama, lebih-lebih kalau keluarga yang bersangkutan memiliki iman yang sama, BAPA dan TUHAN yang sama. Namun juga jangan dilupakan bahwa keluarga-keluarga dewasa ini hidup dalam jaman yang sering disebut jaman (pasca)modern. Jaman di mana ditandai dengan perubahan yang begitu luar biasa dan sangat substansial (mendasar). Dalam kaitan dengan perubahan yang luar biasa – yang kini terjadi di sekitar kita dan juga dalam diri kita sendiri – maka sering saya merasa ada sesuatu yang hilang dan sekaligus terjadilah suatu ketimpangan. Misalnya saya sering merasakan bahwa masyarakat telah kehilangan kemampuan untuk membangun daya afektif, kehilangan citarasa historis, dan yang lebih gawat lagi adalah sering saya merasakan bahwa kini masyarakat kehilangan kemampuan untuk mengintegrasikan nilai-nilai kehidupan dalam pergaulan antar pribadi, kelompok. Apa yang saya rasakan sebagai kehilangan dan ketimpangan tersebut menjadi sungguh nyata dalam gejala penyakit sosial yang kini sedang melanda kita semua. Banyak orang yang sudah kehilangan rasa malu dan rasa salah, dengan demikian terjadilah proses matinya suara hati. Biarpun kalau hari minggu Gereja penuh dengan manusia yang ingin mengikuti perayaan Ekaristi, namun rasanya manusia tetap kehilangan dimensi ketinggian, dimensi pengalaman pribadi dalam membangun relasi dengan Allah. Bacaan Injil hari ini, tanggal 27 September 2013 – saat di mana saya mau menulis karangan ini – maka saya menemukan pertanyaan Yesus kepada para rasul ’menurut kamu, siapakah Aku ini?’, saya pikir pertanyaan itu juga ditujukan kepada saya, kepada kita semua. Sebelum pertanyaan itu diajukan kepada para rasul maka pertanyaan serupa sudah diajukan kepada orang banyak, di mana jawabannya bermacam-macam. Petrus yang mewakili para rasul memberikan jawaban yang tepat, namun jawaban itu hasil dari pengalaman mereka membangun relasi dengan Yesus secara intens. Kita sekarang cenderung menjawab dengan mengulang jawaban Petrus, di mana hal itu menandakan bahwa kita hanya nyontek, karena banyak di antara kita yang belum membangun relasi akrab dengan Yesus Kristus. Selain dimensi ketinggian, maka saya cenderung merasakan bahwa manusia dewasa ini juga kehilangan dimensi kedalaman. Yang saya maksud dengan dimensi kedalaman berkaitan erat dengan dengn munculnya budaya instan yang akhir-akhir ini melanda kehidupan sehari-hari, dewasa ini kita mau yang serba cepat, sehingga sering yang kita temukan adalah perilaku manusia yang kurang matang, kurang dewasa, kurang memberdayakan diri sendiri maupun sesama dan akibatnya manusia dewasa ini cenderung terfokus pada satu dimensi saja, yaitu dimensi ekonomis. Selanjutnya masih ada dimensi yang ketiga yang hilang, yaitu dimensi keluasan. Dimensi ini merupakan kelanjutan dari kedua dimensi terdahulu, di mana kita mengalami kehilangan akan relasi dengan Allah, dengan diri sendiri dan akhirnya kehilangan juga relasi dengan orang lain dan lingkungan hidup kita. Kita lupa akan panggilan kita untuk menciptakan dunia yang adil, damai dan penuh persaudaraan sejati. Kita lupa akan panggilan kita untuk menciptakan keutuhan ciptaan. Untuk mengembalikan semua kehilangan tersebut di atas maka menjadi tugas dari pendidikan yang seutuhnya. Berkaitan dengan ini maka saya teringat ucapan seorang pemikir Romawi yang bernama Ovidius (43 SM-17 M) yang berbunyi Tempora mutantur et nos mutamur in illis, yang kurang lebih berarti Waktu berubah dan kitapun berubah karenanya. Dengan ungkapannya tersebut maka saya ingin mengatakan bahwa manusia memang perlu berubah selaras dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan kita, namun yang dimaksud dengan perubahan itu adalah perubahan pola pikir dan pola bertindak dan tidak terjebak dalam perangkap arus perubahan jaman yang hanya fokus pada satu dimensi saja. Tanpa menyangkal perlunya dimensi ekonomis namun kita perlu berpikir dalam konteks multi dimensional. Dan salah satu dimensi yang saat ini menjadi sangat menentukan adalah dimensi nilai, dimensi keutamaan, dimensi karakter, yang saat ini dilalaikan. Suwidi Tono, Koordinator Forum ’Menjadi Indonesia’ mengutip ucapan Profesor Soetandyo Wignjosoebroto pada saat menjadi pembicara pada diskusi Forum ’Menjadi Indonesia’ di Jakarta 19 Mei yang lalu ”Bagiku pendidikan itu educating the heart. Namun, di negeriku, pendidikan itu educating the brain. Hasilnya: a flock of new barbarian. Yang cakap, cerdas, berpengetahuan tinggi, Cuma siap dipekerjakan sebagai ahli bayaran” (Kompas, 19 September 2013, hal.6). Maka sebagai pendidik yang pertama dan utama maka orangtua hendaknya mampu mengambil alih atau mengisi kekurangan yang sedang dialami oleh paradigma pendidikan yang sedang berlaku di Indonesia saat ini, agar dengan demikian keluarga dapat berperan sebagai sel sehat dalam bangunan organisme masyarakat yang kuat, dan untuk itu keluarga sungguh-sungguh berusaha untuk menciptakan komunitas pribadi-pribadi yang hidup dan berlandaskan kasih sejati. (Stanislaus Nugroho)

Minggu, 08 September 2013

Teknologi Informasi dan Orangtua Pengganti, Sebuah ancaman?

“Kita semua memang sibuk”, ujarnya. ”Saya ini sudah lama sekali menjadi ibu bekerja. Memang menyenangkan sekali rasanya untuk mempercayai bahwa ada orangtua pengganti manakala kita sudah letih dan benar-benar tidak punya kesabaran lagi setelah lelah bekerja sepanjang hari untuk duduk menemani anak usia 3 tahun, atau 10 tahun, atau 15 tahun. Sungguh kita tergoda untuk percaya bahwa komputer bisa berbuat lebih daripada yang dapat kita perbuat (yang benar-benar dipercayai oleh para orangtua), dan rasa percaya itu terus dikobarkan dalam iklan-iklan komputer. Sungguh menjengkelkan untuk mengetahui bahwa hal terbaik bagi anak-anak ternyata masih tetap waktu dan perhatian kita sendiri. Dan bahwa komputer bisa benar-benar merusak anak kita” (Psikolog Jane Healy, Ph.D. dalam psikologi pendidikan dari Case Western Reserve University). Menjelang berakhirnya abad ke 20 terbitlah sebuah buku dengan judul High Tech – High Touch: Technology and Our Search for Meaning (1999) di tulis oleh 3 penulis yang berbeda generasinya. Penulisnya adalah John Naisbitt, seorang futurulog terkenal, penulis banyak buku, di antaranya yang paling terkenal adalah Megatrends, Nana Naisbitt, puteri dari John Naisbitt dan Douglas Philips, keduanya penulis, seniman dan wiraswastawan. Buku ini bagi saya sangat inspiratif, tidak berbicara tentang masa depan, namun berbicara tentang masa kini. Buku ini bagi saya sangat menantang, karena buku ini di satu pihak sangat menggambarkan kebahagiaan karena telah dipermudah hidupnya oleh teknologi, tapi di lain pihak juga menggambarkan adanya kegelisahan bahwa banyak di antara kita tidak menyadari ’bahaya’ di balik kemudahan dan kenikmatan yang kita peroleh dari teknologi. Dengan membaca buku ini kita diajak untuk membangun sikap yang tepat terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi (khususnya teknologi informasi) yang bagaimanapun juga sudah masuk ke rumah kita masing-masing. Pada bagian pendahuluan Naisbitt dan kawan-kawan memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai Zona Mabuk Teknologi. Dengan istilah zona mabuk tekonologi maka Naisbitt dan rekan-rekan memaksudkannya sebagai kehampaan spiritual yang mengecewakan dan berbahaya, serta mereka yang sudah terjangkit zona ini akan sulit keluar dari dalamnya, kecuali jika mereka menyadarinya bahwa dirinya memang terjebak di dalamnya, (dan berusaha keluar dari jebakan tersebut). Kalau kita mau membuka mata dan memperhatikan sekeliling kita maka apa yang disebut zona mabuk teknologi sudah sangat menggejala di masyarakat kita, khususnya dengan teknologi ’gadget’, suatu alat atau perlengkapan yang relatif kecil namun memiliki teknologi yang canggih dan inovatif serta berbasis komputer. Contohnya yang kita kenal dengan , handphone, smartphone, Ipad. dan sejenisnya. Dalam memanfaatkan handphone, smartphone, Ipad kita sering sudah tidak lagi bisa empan papan, orang tidak bisa lagi menempatkan diri dan bertindak sesuai dengan tempat, serta situasi dan kondisinya, ada kecenderungan kuat, handphone, smartphone sudah menjadi ’mahakuasa’. Kita harus mengakui bahwa gadget memang sangat membantu kehidupan masa kini namun bagaimanapun juga kita harus mampu mengelolanya dengan tepat dan jangan sampai kita dikelola olehnya. Naisbitt berserta kawan-kawan menyebutkan 6 gejala yang terkandung dalam zona mabuk teknologi. Keenam gejala itu adalah 1) kita lebih menyukai penyelesaian masalah secara instan, mulai dari masalah agama sampai pada masalah gizi; 2) kita kawatir, cemas namun sekaligus memuja teknologi; 3) kita sering mengaburkan perbedaan antara yang fakta dan yang semu; 4) kita menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar; 5) kita mencintai teknologi dalam wujud mainan; dan 6) kita menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut. Berkaitan dengan gejala ke enam, seorang seniman Inggris Damien Hirst lewat bukunya – yang berjudul agak panjang – I Want to Spend the Rest of My Life Everywhere, with Everyone, One to One, Always, Forever, Now (2006) menggambarkan secara nyaris sempurna peranan teknologi informasi dalam menghubungkan perasaan sebagian besar manusia dari kita yang terhubung melalui modem, telepon genggam, email, facebook, twitter, dan tunggu saja lagi produk teknologi sejenis. Kita duduk sendirian di kamar kita masing-masing sambil ngobrol di sebuah chatroom di internet merupakan fenomena sosial yang baru. Rumah tangga jaman ini sedikit banyak terancam menjadi sebuah rumah kost. Namun hal ini kurang menjadi perhatian para pebisnis, karena bisnis yang berkaitan dengan teknologi informasi saat ini menjadi salah satu lumbung uang, di Amerikat Serikat saja dalam setahun tidak kurang dari $ 8 triliun (lihat bab 3 buku High Tech, High Touch, dengan demikian data ini adalah data menjelang berakhirnya abad 20, nggak tahun sekarang berapa omzetnya). Yang lebih memperihatinkan saya adalah apa yang dikemukakan dalam bab 4 dengan judul Kompleks Nintendo-Militer. Permainan-permainan ’peperangan/kekerasan’ yang bisa dinikmati oleh anak-anak/remaja dengan sangat entusias melalui alat-alat gadget maka secara tidak disadari terjadilah proses yang dalam bidang psikologi dikenal dengan nama desensitivisasi yang bisa dijelaskan sebagai proses hilangnya/penghilangan kepekaan emosional. Seorang pakar desensitivisasi yang bernama Letkol. David Grossman, mantan gurubesar psikologi di West Point menulis buku yang berjudul On Killing: The Psychological Cost of Learning to Kill in War and society, berkata bahwa “video game yang sarat kekerasan mendorong penikmatnya untuk menembak orang. Industri hiburan mengondisikan penikmatnya dengan cara yang persis sama dengan yang dilakukan kalangan militer. Masyarakat sipil meniru teknik pelatihan dan pengondisian militer pada tingkat yang bisa membahayakan mereka sendiri”. Beberapa minggu yang lalu saya ke rumah teman saya, biasanya rumahnya sepi, namun waktu itu ramai dengan anak-anak, yang tidak lain adalah cucu-cucu teman saya. Waktu saya datang maka salah seorang cucunya –yang kira-kira berusia 6/7 tahun - sedang memegang Ipad, dan memainkan permainan yang diwarnai kekerasan/peperangan antar robot. Saya berada di rumah teman saya untuk latihan tachi dan kemudian ngobrol, lebih kurang berlangsung sekitar 3 jam. Ternyata waktu saya pulang cucunya masih memainkan permainan yang serupa. Seorang pakar psikologi yang bernama Jane Healy, penulis beberapa buku di antaranya ada dua buku yang menyebabkan penulisnya menjadi terkenal (dua kali terpilih sebagai Educator of the year), dan keduanya berkaitan dengan studi tentang anak-anak dan komputer , memberitahu dan mengingatkan para orang tua dengan tulisan sebagai berikut ”Komputer sebenarnya lebih berbahaya, komputer berciri lebih memukau. Ketika anak-anak sedang menonton televisi, mereka sering juga bermain atau melakukan kegiatan lain, tetapi komputer dirancang memukau perhatian mereka”. Peringatan Jane Healy patut direnungkan oleh para orangtua, karena tidak seperti televisi yang pemirsanya menonton gambar secara pasif, dalam electronic game anak-anak aktif terlibat dalam permainan yang sedang mereka mainkan, selain itu biasakan anak-anak menggunakan komputer di ruang keluarga, sehingga lebih mudah dipantau, dan tidak dibiasakan bermain di kamarnya masing-masing. Sedang seorang gurubesar Komunikasi di Simon Fraser University yang bernama Stephen Kline, dalam penelitiannya menemukan bahwa electronic game merupakan bentuk hiburan yang menghasilkan ketegangan dan intensitas emosi yang tinggi – percepatan detak jantungnya sama dengan yang dialami orang yang pekerjaannya membuatnya stress ataupun orang yang melakukan olahraga yang menguras tenaga. Selain itu Kline juga menyatakan bahwa hanya dibutuhkan waktu 60 menit untuk mulai merasakan efek desensitivisasi, pernyataan ini hasil percobaan terhadap dirinya sendiri. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya, bagaimana dengan anak-anak yang daya tahannya pasti lebih kurang dari orang dewasa. Berapa jam sehari anak-anak kita bergelut dengan video game atau electronic game yang lain? Maka tidak mengherankan bila Letkol. Grossman berpendapat bahwa kita tengah menciptakan generasi anak-anak yang mengidap penyakit baru dan ’mematikan’, yaitu acquired violence immune deficiency (AVID), penyakit baru tersebut dapat diterjemahkan sebagai ’penurunan kekebalan terhadap kekerasan’. Dari penelitian profesor Kline menjadi nyata apa yang saya kawatir, Kline menyatakan bahwa ”Saya rasa orang (tua) tidak sepenuhnya menyadari luasnya cakupan industri ini maupun dampak video game/electronic game terhadap anak-anak. Sering orangtua tidak memantaunya, mereka beranggapan bahwa video/electronic game hanyalah permainan yang tidak berbahaya, untuk mengisi waktu luang. Mereka tidak menyadari betapa seringnya ataupun betapa bisa membuat anak kecanduan bermain video game/electronic game tersebut, bahkan betapa ganasnya permainan itu merusak kehidupan anak-anak”. What can we do better now? Yang pertama orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama, khususnya dalam bidang iman dan nilai-nilai kemanusiaan hendaknya lebih peduli dan lebih memantau apa yang menjadi permainan anak-anak kita, lebih-lebih bila berkaitan dengan electronic game. Yang kedua orangtua hendaknya bisa memerankan kepemimpinan dialogis, dimana ada empat peran yang penting, yaitu modeling, pathfinding, aligning dan empowering . Yang dimaksud dengan modeling, di mana orangtua sebagai panutan, menjadi teladan, sedang yang dimaksud dengan pathfinding adalah perintis, yang bersama-sama dengan anggota yang lain mampu menentukan arah dasar yang ingin dikejar oleh keluarga yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan aligning adalah penyelarasan gerak mengejar arah dasar keluarga lewat kesepakatan-kesepakatan yang mengikat seluruh anggota keluarga yang bersangkutan. Akhirnya yang dimaksud dengan empowering atau pemberdayaan adalah kerjasama dan saling membantu, untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki oleh para anggota keluarga dan saling menutupi kekurangan yang pasti juga dimiliki oleh para anggota keluarga yang bersangkutan. Dengan demikian yang saya maksud dengan kepemimpinan dialogis bukan berbicara tentang posisi, status atau kedudukan melainkan berbicara tentang usaha proaktif untuk memperkuat nilai-nilai (dalam hal ini saya mengacu pada 7 keutamaan tradisional, yaitu kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, keadilan, iman, harapan dan kasih) sejati dan potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-masing anggota keluarga, sehingga keluarga yang bersangkutan menjadi the winning team, dan mampu menutup kekurangan anggota yang lain. Namun kepemimpinan dialogis bukan sebuah barang jadi yang bisa dibeli supermarket, melainkan suatu proses pembelajaran, yang mebutuhkan ketekunan dan keuletan.