Minggu, 08 September 2013

Teknologi Informasi dan Orangtua Pengganti, Sebuah ancaman?

“Kita semua memang sibuk”, ujarnya. ”Saya ini sudah lama sekali menjadi ibu bekerja. Memang menyenangkan sekali rasanya untuk mempercayai bahwa ada orangtua pengganti manakala kita sudah letih dan benar-benar tidak punya kesabaran lagi setelah lelah bekerja sepanjang hari untuk duduk menemani anak usia 3 tahun, atau 10 tahun, atau 15 tahun. Sungguh kita tergoda untuk percaya bahwa komputer bisa berbuat lebih daripada yang dapat kita perbuat (yang benar-benar dipercayai oleh para orangtua), dan rasa percaya itu terus dikobarkan dalam iklan-iklan komputer. Sungguh menjengkelkan untuk mengetahui bahwa hal terbaik bagi anak-anak ternyata masih tetap waktu dan perhatian kita sendiri. Dan bahwa komputer bisa benar-benar merusak anak kita” (Psikolog Jane Healy, Ph.D. dalam psikologi pendidikan dari Case Western Reserve University). Menjelang berakhirnya abad ke 20 terbitlah sebuah buku dengan judul High Tech – High Touch: Technology and Our Search for Meaning (1999) di tulis oleh 3 penulis yang berbeda generasinya. Penulisnya adalah John Naisbitt, seorang futurulog terkenal, penulis banyak buku, di antaranya yang paling terkenal adalah Megatrends, Nana Naisbitt, puteri dari John Naisbitt dan Douglas Philips, keduanya penulis, seniman dan wiraswastawan. Buku ini bagi saya sangat inspiratif, tidak berbicara tentang masa depan, namun berbicara tentang masa kini. Buku ini bagi saya sangat menantang, karena buku ini di satu pihak sangat menggambarkan kebahagiaan karena telah dipermudah hidupnya oleh teknologi, tapi di lain pihak juga menggambarkan adanya kegelisahan bahwa banyak di antara kita tidak menyadari ’bahaya’ di balik kemudahan dan kenikmatan yang kita peroleh dari teknologi. Dengan membaca buku ini kita diajak untuk membangun sikap yang tepat terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi (khususnya teknologi informasi) yang bagaimanapun juga sudah masuk ke rumah kita masing-masing. Pada bagian pendahuluan Naisbitt dan kawan-kawan memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai Zona Mabuk Teknologi. Dengan istilah zona mabuk tekonologi maka Naisbitt dan rekan-rekan memaksudkannya sebagai kehampaan spiritual yang mengecewakan dan berbahaya, serta mereka yang sudah terjangkit zona ini akan sulit keluar dari dalamnya, kecuali jika mereka menyadarinya bahwa dirinya memang terjebak di dalamnya, (dan berusaha keluar dari jebakan tersebut). Kalau kita mau membuka mata dan memperhatikan sekeliling kita maka apa yang disebut zona mabuk teknologi sudah sangat menggejala di masyarakat kita, khususnya dengan teknologi ’gadget’, suatu alat atau perlengkapan yang relatif kecil namun memiliki teknologi yang canggih dan inovatif serta berbasis komputer. Contohnya yang kita kenal dengan , handphone, smartphone, Ipad. dan sejenisnya. Dalam memanfaatkan handphone, smartphone, Ipad kita sering sudah tidak lagi bisa empan papan, orang tidak bisa lagi menempatkan diri dan bertindak sesuai dengan tempat, serta situasi dan kondisinya, ada kecenderungan kuat, handphone, smartphone sudah menjadi ’mahakuasa’. Kita harus mengakui bahwa gadget memang sangat membantu kehidupan masa kini namun bagaimanapun juga kita harus mampu mengelolanya dengan tepat dan jangan sampai kita dikelola olehnya. Naisbitt berserta kawan-kawan menyebutkan 6 gejala yang terkandung dalam zona mabuk teknologi. Keenam gejala itu adalah 1) kita lebih menyukai penyelesaian masalah secara instan, mulai dari masalah agama sampai pada masalah gizi; 2) kita kawatir, cemas namun sekaligus memuja teknologi; 3) kita sering mengaburkan perbedaan antara yang fakta dan yang semu; 4) kita menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar; 5) kita mencintai teknologi dalam wujud mainan; dan 6) kita menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut. Berkaitan dengan gejala ke enam, seorang seniman Inggris Damien Hirst lewat bukunya – yang berjudul agak panjang – I Want to Spend the Rest of My Life Everywhere, with Everyone, One to One, Always, Forever, Now (2006) menggambarkan secara nyaris sempurna peranan teknologi informasi dalam menghubungkan perasaan sebagian besar manusia dari kita yang terhubung melalui modem, telepon genggam, email, facebook, twitter, dan tunggu saja lagi produk teknologi sejenis. Kita duduk sendirian di kamar kita masing-masing sambil ngobrol di sebuah chatroom di internet merupakan fenomena sosial yang baru. Rumah tangga jaman ini sedikit banyak terancam menjadi sebuah rumah kost. Namun hal ini kurang menjadi perhatian para pebisnis, karena bisnis yang berkaitan dengan teknologi informasi saat ini menjadi salah satu lumbung uang, di Amerikat Serikat saja dalam setahun tidak kurang dari $ 8 triliun (lihat bab 3 buku High Tech, High Touch, dengan demikian data ini adalah data menjelang berakhirnya abad 20, nggak tahun sekarang berapa omzetnya). Yang lebih memperihatinkan saya adalah apa yang dikemukakan dalam bab 4 dengan judul Kompleks Nintendo-Militer. Permainan-permainan ’peperangan/kekerasan’ yang bisa dinikmati oleh anak-anak/remaja dengan sangat entusias melalui alat-alat gadget maka secara tidak disadari terjadilah proses yang dalam bidang psikologi dikenal dengan nama desensitivisasi yang bisa dijelaskan sebagai proses hilangnya/penghilangan kepekaan emosional. Seorang pakar desensitivisasi yang bernama Letkol. David Grossman, mantan gurubesar psikologi di West Point menulis buku yang berjudul On Killing: The Psychological Cost of Learning to Kill in War and society, berkata bahwa “video game yang sarat kekerasan mendorong penikmatnya untuk menembak orang. Industri hiburan mengondisikan penikmatnya dengan cara yang persis sama dengan yang dilakukan kalangan militer. Masyarakat sipil meniru teknik pelatihan dan pengondisian militer pada tingkat yang bisa membahayakan mereka sendiri”. Beberapa minggu yang lalu saya ke rumah teman saya, biasanya rumahnya sepi, namun waktu itu ramai dengan anak-anak, yang tidak lain adalah cucu-cucu teman saya. Waktu saya datang maka salah seorang cucunya –yang kira-kira berusia 6/7 tahun - sedang memegang Ipad, dan memainkan permainan yang diwarnai kekerasan/peperangan antar robot. Saya berada di rumah teman saya untuk latihan tachi dan kemudian ngobrol, lebih kurang berlangsung sekitar 3 jam. Ternyata waktu saya pulang cucunya masih memainkan permainan yang serupa. Seorang pakar psikologi yang bernama Jane Healy, penulis beberapa buku di antaranya ada dua buku yang menyebabkan penulisnya menjadi terkenal (dua kali terpilih sebagai Educator of the year), dan keduanya berkaitan dengan studi tentang anak-anak dan komputer , memberitahu dan mengingatkan para orang tua dengan tulisan sebagai berikut ”Komputer sebenarnya lebih berbahaya, komputer berciri lebih memukau. Ketika anak-anak sedang menonton televisi, mereka sering juga bermain atau melakukan kegiatan lain, tetapi komputer dirancang memukau perhatian mereka”. Peringatan Jane Healy patut direnungkan oleh para orangtua, karena tidak seperti televisi yang pemirsanya menonton gambar secara pasif, dalam electronic game anak-anak aktif terlibat dalam permainan yang sedang mereka mainkan, selain itu biasakan anak-anak menggunakan komputer di ruang keluarga, sehingga lebih mudah dipantau, dan tidak dibiasakan bermain di kamarnya masing-masing. Sedang seorang gurubesar Komunikasi di Simon Fraser University yang bernama Stephen Kline, dalam penelitiannya menemukan bahwa electronic game merupakan bentuk hiburan yang menghasilkan ketegangan dan intensitas emosi yang tinggi – percepatan detak jantungnya sama dengan yang dialami orang yang pekerjaannya membuatnya stress ataupun orang yang melakukan olahraga yang menguras tenaga. Selain itu Kline juga menyatakan bahwa hanya dibutuhkan waktu 60 menit untuk mulai merasakan efek desensitivisasi, pernyataan ini hasil percobaan terhadap dirinya sendiri. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya, bagaimana dengan anak-anak yang daya tahannya pasti lebih kurang dari orang dewasa. Berapa jam sehari anak-anak kita bergelut dengan video game atau electronic game yang lain? Maka tidak mengherankan bila Letkol. Grossman berpendapat bahwa kita tengah menciptakan generasi anak-anak yang mengidap penyakit baru dan ’mematikan’, yaitu acquired violence immune deficiency (AVID), penyakit baru tersebut dapat diterjemahkan sebagai ’penurunan kekebalan terhadap kekerasan’. Dari penelitian profesor Kline menjadi nyata apa yang saya kawatir, Kline menyatakan bahwa ”Saya rasa orang (tua) tidak sepenuhnya menyadari luasnya cakupan industri ini maupun dampak video game/electronic game terhadap anak-anak. Sering orangtua tidak memantaunya, mereka beranggapan bahwa video/electronic game hanyalah permainan yang tidak berbahaya, untuk mengisi waktu luang. Mereka tidak menyadari betapa seringnya ataupun betapa bisa membuat anak kecanduan bermain video game/electronic game tersebut, bahkan betapa ganasnya permainan itu merusak kehidupan anak-anak”. What can we do better now? Yang pertama orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama, khususnya dalam bidang iman dan nilai-nilai kemanusiaan hendaknya lebih peduli dan lebih memantau apa yang menjadi permainan anak-anak kita, lebih-lebih bila berkaitan dengan electronic game. Yang kedua orangtua hendaknya bisa memerankan kepemimpinan dialogis, dimana ada empat peran yang penting, yaitu modeling, pathfinding, aligning dan empowering . Yang dimaksud dengan modeling, di mana orangtua sebagai panutan, menjadi teladan, sedang yang dimaksud dengan pathfinding adalah perintis, yang bersama-sama dengan anggota yang lain mampu menentukan arah dasar yang ingin dikejar oleh keluarga yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan aligning adalah penyelarasan gerak mengejar arah dasar keluarga lewat kesepakatan-kesepakatan yang mengikat seluruh anggota keluarga yang bersangkutan. Akhirnya yang dimaksud dengan empowering atau pemberdayaan adalah kerjasama dan saling membantu, untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki oleh para anggota keluarga dan saling menutupi kekurangan yang pasti juga dimiliki oleh para anggota keluarga yang bersangkutan. Dengan demikian yang saya maksud dengan kepemimpinan dialogis bukan berbicara tentang posisi, status atau kedudukan melainkan berbicara tentang usaha proaktif untuk memperkuat nilai-nilai (dalam hal ini saya mengacu pada 7 keutamaan tradisional, yaitu kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, keadilan, iman, harapan dan kasih) sejati dan potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-masing anggota keluarga, sehingga keluarga yang bersangkutan menjadi the winning team, dan mampu menutup kekurangan anggota yang lain. Namun kepemimpinan dialogis bukan sebuah barang jadi yang bisa dibeli supermarket, melainkan suatu proses pembelajaran, yang mebutuhkan ketekunan dan keuletan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar