Minggu, 29 September 2013

KELUARGA SEHAT MASYARAKAT KUAT, KELUARGA RETAK MASYARAKAT RUSAK

Pencipta alam semesta telah menetapkan persekutuan suami-isteri menjadi asal mula dan dasar masyarakat manusia, dan berkat rahmatNya menjadikannya sakramen agung dalam Kristus dan Gereja (AA,art 11) Melanjutkan kutipan di atas maka tidaklah mengherankan bila Beato Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio, art. 42 berbicara tentang ”Keluarga sebagai sel pertama dan vital bagi masyarakat”. Apa yang dibicarakan olehnya merupakan suatu kenyataan dan kenyataan ini merupakan sesuatu yang penting dan sekaligus menantang. Mengapa penting? Penting, karena sel merupakan suatu ’unit dasar’ dari kehidupan dan berciri unik, tak ada duanya, dan dalam kebersamaan dengan sel-sel yang lain membentuk suatu organisme. Bila keluarga bagaikan sel pertama dan vital bagi masyarakat, maka bisa dimengerti bika dikatakan keluarga sehat masyarakat kuat, sebaliknya bila keluarga retak maka masyarakat akan rusak. Mengapa menantang? Menantang karena dewasa ini keluarga-keluarga memang sedang mengalami tantangan-tantangan bahkan serangan-serangan yang gencar, sangat berat dan mendasar pada keberadaan dari keluarga. Betapa tidak! Dewasa ini keluarga berhadapan dengan kenyataan sosial sebagai berikut: proses matinya suara hati dan keruntuhan moralitas serta harga diri manusia, derasnya arus pola hidup yang sangat konsumtif, kekerasan terhadap kehidupan, kesenjangan sosial ekonomi yang semakin melebar, proses runtuhnya institusi-institusi kehidupan tradisional dan deretan litani ini masih bisa diperpanjang lagi. Kalau serangan dan tantangan tersebut ’melukai’ keluarga maka keluarga akan menjadi sakit dan akibatnya masyarakat juga menjadi sakit. Berkaitan dengan itu maka keluarga memiliki tanggungjawab untuk tetap menjadi sehat. Berbicara tentang tanggungjawab maka kita mengenal pembedaan antara apa yang disebut dengan tanggungjawab pribadi dan tanggungjawab sosial. Perbedaan di antara keduanya terutama terletak pada pelaksanaannya. Berbicara tentang tanggungjawab pribadi maka pelaksanaannya tergantung sepenuhnya pada disposisi pribadi yang bersangkutan. Misalnya kalau saya punya seorang pembantu, dan saya berpikir bahwa pendapatan pembantu saya perlu dinaikkan agar pembantu saya dapat lebih baik masa depannya, maka apa yang saya pikrkan itu bisa saya lakukan tanpa banyak pertimbangan, yang penting saya memiliki kemampuan untuk membayar gaji yang lebih baik. Lain halnya kalau saya punya perusahaan, dan saya berpikir bahwa gaji karyawan saya atau kalau meminjam istilah yang umum buruh saya perlu dinaikkan, karena upah minimumnya tidak mencukupi dengan biaya hidup yang harus dipenuhinya apalagui untuk menabung, maka persoalan ini tidak tergantung pada saya saja sebagai pemilik perusahaan, biarpun perusahaan saya mampu sekalipun. Karena saya pasti akan mendapat tuntutan dari asosiasi perusahaan sejenis di mana perusahaan saya menjadi anggotanya. Keputusan saya sebagai pemilik terikat pada komitmen bersama yang dibuat oleh asosiasi perusahaan sejenis. Hal seperti ini biasanya dikatakan bahwa pelaksanaan tanggungjawab sosial sangat tergantung pada struktur sosial yang berlaku. Bagaimana dengan tanggungjawab sosial keluarga? Dalam kaitan ini maka saya berpikir perlu ada pembedaan lagi, keluarga sebagai entitas pribadi dan keluarga sebagai entitas sosial. Sebagai entitas pribadi maka keluarga perlu membangun suatu komunitas yang sehat dan kuat, agar kelanjutan keluarga yang bersangkutan dapat berjalan dengan cukup mulus. Namun sebagai entitas sosial maka keluarga perlu memiliki sikap ’berbagi’ kepada keluarga-keluarga yang kurang beruntung. Gereja dalam hal ini menyediakan kemungkinan yang luas pada keluarga-keluarga yang menjadi anggotanya agar dapat berkiprah dalam berbagai macam seksi-seksi kerasulan yang sesuai dengan kemampuan keluarga yang bersangkutan, misal dalam bidang sosial ekonomi, dalam bidang kesehatan dan lain sebagainya. Penulis tidak akan masuk lebih dalam, karena tulisan kali ini lebih bermaksud mengelaborasi masalah bagaimana membangun keluarga sebagai sel masyarakat yang sehat agar dengan demikian masyarakat sendiri akan menjadi sehat dan kuat. Penulis saat ini memiliki keprihatinan yang mendalam yang berkaitan dengan kenyataan yang tidak bisa disangkal bahwa masyarakat kita sekarang sedang sakit, karena sakitnya masyarakat kita saat ini menjadi nyata dengan bertumbungkembangnya penyakit-penyakit sosial yang sangat menggejala, misalnya yang berkaitan dengan penyalahgunaan obat, penyimpangan-penyimpangan perilaku seksual yang cenderung menjadi ’bebas’, kerusakan ekosistem, korupsi, kekerasan dan lain-lain. Kesehatan keluarga – sebagai komunitas pribadi-pribadi – sangat tergantung pada harmonis atau tidaknya relasi para anggota keluarga yang terkait. . Harmonis atau tidaknya suatu keluarga akan nampak dari adanya keakraban yang tulus dalam keluarga yang bersangkutan. Keakraban merupakan suatu manisfestasi dari relasi antar-pribadi yang dekat, mesra dan bertanggungjawab, berarti dalam keluarga yang bersangkutan ada keterbukaan serta komunikasi yang efektif dan lancar. Keakraban akan memiliki pengaruh langsung pada keluarga yang bersangkutan, keluarga menjadi wahana yang membuat anggotanya merasa betah, keluarga menjadi rumah tangga dan bukan kost-kost-an. Keakraban keluarga memiliki dasar yang kuat karena keluarga memiliki hubungan darah dan ada kebersamaan hidup dalam sebuah rumah tinggal. Selain itu dasar yang lain adalah keluarga berlandasakan pada cintakasih yang tulus, dan karenanya keluarga merupakan suatu komunitas hidup dan kasih. Selain itu jangan dilupakan bahwa keluarga memiliki landasan yang lain yaitu harapan yang sama, lebih-lebih kalau keluarga yang bersangkutan memiliki iman yang sama, BAPA dan TUHAN yang sama. Namun juga jangan dilupakan bahwa keluarga-keluarga dewasa ini hidup dalam jaman yang sering disebut jaman (pasca)modern. Jaman di mana ditandai dengan perubahan yang begitu luar biasa dan sangat substansial (mendasar). Dalam kaitan dengan perubahan yang luar biasa – yang kini terjadi di sekitar kita dan juga dalam diri kita sendiri – maka sering saya merasa ada sesuatu yang hilang dan sekaligus terjadilah suatu ketimpangan. Misalnya saya sering merasakan bahwa masyarakat telah kehilangan kemampuan untuk membangun daya afektif, kehilangan citarasa historis, dan yang lebih gawat lagi adalah sering saya merasakan bahwa kini masyarakat kehilangan kemampuan untuk mengintegrasikan nilai-nilai kehidupan dalam pergaulan antar pribadi, kelompok. Apa yang saya rasakan sebagai kehilangan dan ketimpangan tersebut menjadi sungguh nyata dalam gejala penyakit sosial yang kini sedang melanda kita semua. Banyak orang yang sudah kehilangan rasa malu dan rasa salah, dengan demikian terjadilah proses matinya suara hati. Biarpun kalau hari minggu Gereja penuh dengan manusia yang ingin mengikuti perayaan Ekaristi, namun rasanya manusia tetap kehilangan dimensi ketinggian, dimensi pengalaman pribadi dalam membangun relasi dengan Allah. Bacaan Injil hari ini, tanggal 27 September 2013 – saat di mana saya mau menulis karangan ini – maka saya menemukan pertanyaan Yesus kepada para rasul ’menurut kamu, siapakah Aku ini?’, saya pikir pertanyaan itu juga ditujukan kepada saya, kepada kita semua. Sebelum pertanyaan itu diajukan kepada para rasul maka pertanyaan serupa sudah diajukan kepada orang banyak, di mana jawabannya bermacam-macam. Petrus yang mewakili para rasul memberikan jawaban yang tepat, namun jawaban itu hasil dari pengalaman mereka membangun relasi dengan Yesus secara intens. Kita sekarang cenderung menjawab dengan mengulang jawaban Petrus, di mana hal itu menandakan bahwa kita hanya nyontek, karena banyak di antara kita yang belum membangun relasi akrab dengan Yesus Kristus. Selain dimensi ketinggian, maka saya cenderung merasakan bahwa manusia dewasa ini juga kehilangan dimensi kedalaman. Yang saya maksud dengan dimensi kedalaman berkaitan erat dengan dengn munculnya budaya instan yang akhir-akhir ini melanda kehidupan sehari-hari, dewasa ini kita mau yang serba cepat, sehingga sering yang kita temukan adalah perilaku manusia yang kurang matang, kurang dewasa, kurang memberdayakan diri sendiri maupun sesama dan akibatnya manusia dewasa ini cenderung terfokus pada satu dimensi saja, yaitu dimensi ekonomis. Selanjutnya masih ada dimensi yang ketiga yang hilang, yaitu dimensi keluasan. Dimensi ini merupakan kelanjutan dari kedua dimensi terdahulu, di mana kita mengalami kehilangan akan relasi dengan Allah, dengan diri sendiri dan akhirnya kehilangan juga relasi dengan orang lain dan lingkungan hidup kita. Kita lupa akan panggilan kita untuk menciptakan dunia yang adil, damai dan penuh persaudaraan sejati. Kita lupa akan panggilan kita untuk menciptakan keutuhan ciptaan. Untuk mengembalikan semua kehilangan tersebut di atas maka menjadi tugas dari pendidikan yang seutuhnya. Berkaitan dengan ini maka saya teringat ucapan seorang pemikir Romawi yang bernama Ovidius (43 SM-17 M) yang berbunyi Tempora mutantur et nos mutamur in illis, yang kurang lebih berarti Waktu berubah dan kitapun berubah karenanya. Dengan ungkapannya tersebut maka saya ingin mengatakan bahwa manusia memang perlu berubah selaras dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan kita, namun yang dimaksud dengan perubahan itu adalah perubahan pola pikir dan pola bertindak dan tidak terjebak dalam perangkap arus perubahan jaman yang hanya fokus pada satu dimensi saja. Tanpa menyangkal perlunya dimensi ekonomis namun kita perlu berpikir dalam konteks multi dimensional. Dan salah satu dimensi yang saat ini menjadi sangat menentukan adalah dimensi nilai, dimensi keutamaan, dimensi karakter, yang saat ini dilalaikan. Suwidi Tono, Koordinator Forum ’Menjadi Indonesia’ mengutip ucapan Profesor Soetandyo Wignjosoebroto pada saat menjadi pembicara pada diskusi Forum ’Menjadi Indonesia’ di Jakarta 19 Mei yang lalu ”Bagiku pendidikan itu educating the heart. Namun, di negeriku, pendidikan itu educating the brain. Hasilnya: a flock of new barbarian. Yang cakap, cerdas, berpengetahuan tinggi, Cuma siap dipekerjakan sebagai ahli bayaran” (Kompas, 19 September 2013, hal.6). Maka sebagai pendidik yang pertama dan utama maka orangtua hendaknya mampu mengambil alih atau mengisi kekurangan yang sedang dialami oleh paradigma pendidikan yang sedang berlaku di Indonesia saat ini, agar dengan demikian keluarga dapat berperan sebagai sel sehat dalam bangunan organisme masyarakat yang kuat, dan untuk itu keluarga sungguh-sungguh berusaha untuk menciptakan komunitas pribadi-pribadi yang hidup dan berlandaskan kasih sejati. (Stanislaus Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar