Dengan blog ini saya bermaksud untuk berbagi pemikiran mengenai masalah-masalah keluarga dan masalah-masalah filosofis dan teologis.
Minggu, 29 September 2013
KELUARGA SEHAT MASYARAKAT KUAT, KELUARGA RETAK MASYARAKAT RUSAK
Pencipta alam semesta telah menetapkan persekutuan suami-isteri menjadi asal mula dan dasar masyarakat manusia, dan berkat rahmatNya menjadikannya sakramen agung dalam Kristus dan Gereja (AA,art 11)
Melanjutkan kutipan di atas maka tidaklah mengherankan bila Beato Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio, art. 42 berbicara tentang ”Keluarga sebagai sel pertama dan vital bagi masyarakat”. Apa yang dibicarakan olehnya merupakan suatu kenyataan dan kenyataan ini merupakan sesuatu yang penting dan sekaligus menantang. Mengapa penting? Penting, karena sel merupakan suatu ’unit dasar’ dari kehidupan dan berciri unik, tak ada duanya, dan dalam kebersamaan dengan sel-sel yang lain membentuk suatu organisme. Bila keluarga bagaikan sel pertama dan vital bagi masyarakat, maka bisa dimengerti bika dikatakan keluarga sehat masyarakat kuat, sebaliknya bila keluarga retak maka masyarakat akan rusak.
Mengapa menantang? Menantang karena dewasa ini keluarga-keluarga memang sedang mengalami tantangan-tantangan bahkan serangan-serangan yang gencar, sangat berat dan mendasar pada keberadaan dari keluarga. Betapa tidak! Dewasa ini keluarga berhadapan dengan kenyataan sosial sebagai berikut: proses matinya suara hati dan keruntuhan moralitas serta harga diri manusia, derasnya arus pola hidup yang sangat konsumtif, kekerasan terhadap kehidupan, kesenjangan sosial ekonomi yang semakin melebar, proses runtuhnya institusi-institusi kehidupan tradisional dan deretan litani ini masih bisa diperpanjang lagi. Kalau serangan dan tantangan tersebut ’melukai’ keluarga maka keluarga akan menjadi sakit dan akibatnya masyarakat juga menjadi sakit. Berkaitan dengan itu maka keluarga memiliki tanggungjawab untuk tetap menjadi sehat.
Berbicara tentang tanggungjawab maka kita mengenal pembedaan antara apa yang disebut dengan tanggungjawab pribadi dan tanggungjawab sosial. Perbedaan di antara keduanya terutama terletak pada pelaksanaannya. Berbicara tentang tanggungjawab pribadi maka pelaksanaannya tergantung sepenuhnya pada disposisi pribadi yang bersangkutan. Misalnya kalau saya punya seorang pembantu, dan saya berpikir bahwa pendapatan pembantu saya perlu dinaikkan agar pembantu saya dapat lebih baik masa depannya, maka apa yang saya pikrkan itu bisa saya lakukan tanpa banyak pertimbangan, yang penting saya memiliki kemampuan untuk membayar gaji yang lebih baik.
Lain halnya kalau saya punya perusahaan, dan saya berpikir bahwa gaji karyawan saya atau kalau meminjam istilah yang umum buruh saya perlu dinaikkan, karena upah minimumnya tidak mencukupi dengan biaya hidup yang harus dipenuhinya apalagui untuk menabung, maka persoalan ini tidak tergantung pada saya saja sebagai pemilik perusahaan, biarpun perusahaan saya mampu sekalipun. Karena saya pasti akan mendapat tuntutan dari asosiasi perusahaan sejenis di mana perusahaan saya menjadi anggotanya. Keputusan saya sebagai pemilik terikat pada komitmen bersama yang dibuat oleh asosiasi perusahaan sejenis. Hal seperti ini biasanya dikatakan bahwa pelaksanaan tanggungjawab sosial sangat tergantung pada struktur sosial yang berlaku. Bagaimana dengan tanggungjawab sosial keluarga?
Dalam kaitan ini maka saya berpikir perlu ada pembedaan lagi, keluarga sebagai entitas pribadi dan keluarga sebagai entitas sosial. Sebagai entitas pribadi maka keluarga perlu membangun suatu komunitas yang sehat dan kuat, agar kelanjutan keluarga yang bersangkutan dapat berjalan dengan cukup mulus. Namun sebagai entitas sosial maka keluarga perlu memiliki sikap ’berbagi’ kepada keluarga-keluarga yang kurang beruntung. Gereja dalam hal ini menyediakan kemungkinan yang luas pada keluarga-keluarga yang menjadi anggotanya agar dapat berkiprah dalam berbagai macam seksi-seksi kerasulan yang sesuai dengan kemampuan keluarga yang bersangkutan, misal dalam bidang sosial ekonomi, dalam bidang kesehatan dan lain sebagainya.
Penulis tidak akan masuk lebih dalam, karena tulisan kali ini lebih bermaksud mengelaborasi masalah bagaimana membangun keluarga sebagai sel masyarakat yang sehat agar dengan demikian masyarakat sendiri akan menjadi sehat dan kuat. Penulis saat ini memiliki keprihatinan yang mendalam yang berkaitan dengan kenyataan yang tidak bisa disangkal bahwa masyarakat kita sekarang sedang sakit, karena sakitnya masyarakat kita saat ini menjadi nyata dengan bertumbungkembangnya penyakit-penyakit sosial yang sangat menggejala, misalnya yang berkaitan dengan penyalahgunaan obat, penyimpangan-penyimpangan perilaku seksual yang cenderung menjadi ’bebas’, kerusakan ekosistem, korupsi, kekerasan dan lain-lain.
Kesehatan keluarga – sebagai komunitas pribadi-pribadi – sangat tergantung pada harmonis atau tidaknya relasi para anggota keluarga yang terkait. . Harmonis atau tidaknya suatu keluarga akan nampak dari adanya keakraban yang tulus dalam keluarga yang bersangkutan. Keakraban merupakan suatu manisfestasi dari relasi antar-pribadi yang dekat, mesra dan bertanggungjawab, berarti dalam keluarga yang bersangkutan ada keterbukaan serta komunikasi yang efektif dan lancar. Keakraban akan memiliki pengaruh langsung pada keluarga yang bersangkutan, keluarga menjadi wahana yang membuat anggotanya merasa betah, keluarga menjadi rumah tangga dan bukan kost-kost-an. Keakraban keluarga memiliki dasar yang kuat karena keluarga memiliki hubungan darah dan ada kebersamaan hidup dalam sebuah rumah tinggal. Selain itu dasar yang lain adalah keluarga berlandasakan pada cintakasih yang tulus, dan karenanya keluarga merupakan suatu komunitas hidup dan kasih. Selain itu jangan dilupakan bahwa keluarga memiliki landasan yang lain yaitu harapan yang sama, lebih-lebih kalau keluarga yang bersangkutan memiliki iman yang sama, BAPA dan TUHAN yang sama.
Namun juga jangan dilupakan bahwa keluarga-keluarga dewasa ini hidup dalam jaman yang sering disebut jaman (pasca)modern. Jaman di mana ditandai dengan perubahan yang begitu luar biasa dan sangat substansial (mendasar). Dalam kaitan dengan perubahan yang luar biasa – yang kini terjadi di sekitar kita dan juga dalam diri kita sendiri – maka sering saya merasa ada sesuatu yang hilang dan sekaligus terjadilah suatu ketimpangan. Misalnya saya sering merasakan bahwa masyarakat telah kehilangan kemampuan untuk membangun daya afektif, kehilangan citarasa historis, dan yang lebih gawat lagi adalah sering saya merasakan bahwa kini masyarakat kehilangan kemampuan untuk mengintegrasikan nilai-nilai kehidupan dalam pergaulan antar pribadi, kelompok. Apa yang saya rasakan sebagai kehilangan dan ketimpangan tersebut menjadi sungguh nyata dalam gejala penyakit sosial yang kini sedang melanda kita semua. Banyak orang yang sudah kehilangan rasa malu dan rasa salah, dengan demikian terjadilah proses matinya suara hati.
Biarpun kalau hari minggu Gereja penuh dengan manusia yang ingin mengikuti perayaan Ekaristi, namun rasanya manusia tetap kehilangan dimensi ketinggian, dimensi pengalaman pribadi dalam membangun relasi dengan Allah. Bacaan Injil hari ini, tanggal 27 September 2013 – saat di mana saya mau menulis karangan ini – maka saya menemukan pertanyaan Yesus kepada para rasul ’menurut kamu, siapakah Aku ini?’, saya pikir pertanyaan itu juga ditujukan kepada saya, kepada kita semua. Sebelum pertanyaan itu diajukan kepada para rasul maka pertanyaan serupa sudah diajukan kepada orang banyak, di mana jawabannya bermacam-macam. Petrus yang mewakili para rasul memberikan jawaban yang tepat, namun jawaban itu hasil dari pengalaman mereka membangun relasi dengan Yesus secara intens. Kita sekarang cenderung menjawab dengan mengulang jawaban Petrus, di mana hal itu menandakan bahwa kita hanya nyontek, karena banyak di antara kita yang belum membangun relasi akrab dengan Yesus Kristus. Selain dimensi ketinggian, maka saya cenderung merasakan bahwa manusia dewasa ini juga kehilangan dimensi kedalaman. Yang saya maksud dengan dimensi kedalaman berkaitan erat dengan dengn munculnya budaya instan yang akhir-akhir ini melanda kehidupan sehari-hari, dewasa ini kita mau yang serba cepat, sehingga sering yang kita temukan adalah perilaku manusia yang kurang matang, kurang dewasa, kurang memberdayakan diri sendiri maupun sesama dan akibatnya manusia dewasa ini cenderung terfokus pada satu dimensi saja, yaitu dimensi ekonomis.
Selanjutnya masih ada dimensi yang ketiga yang hilang, yaitu dimensi keluasan. Dimensi ini merupakan kelanjutan dari kedua dimensi terdahulu, di mana kita mengalami kehilangan akan relasi dengan Allah, dengan diri sendiri dan akhirnya kehilangan juga relasi dengan orang lain dan lingkungan hidup kita. Kita lupa akan panggilan kita untuk menciptakan dunia yang adil, damai dan penuh persaudaraan sejati. Kita lupa akan panggilan kita untuk menciptakan keutuhan ciptaan.
Untuk mengembalikan semua kehilangan tersebut di atas maka menjadi tugas dari pendidikan yang seutuhnya. Berkaitan dengan ini maka saya teringat ucapan seorang pemikir Romawi yang bernama Ovidius (43 SM-17 M) yang berbunyi Tempora mutantur et nos mutamur in illis, yang kurang lebih berarti Waktu berubah dan kitapun berubah karenanya. Dengan ungkapannya tersebut maka saya ingin mengatakan bahwa manusia memang perlu berubah selaras dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan kita, namun yang dimaksud dengan perubahan itu adalah perubahan pola pikir dan pola bertindak dan tidak terjebak dalam perangkap arus perubahan jaman yang hanya fokus pada satu dimensi saja. Tanpa menyangkal perlunya dimensi ekonomis namun kita perlu berpikir dalam konteks multi dimensional. Dan salah satu dimensi yang saat ini menjadi sangat menentukan adalah dimensi nilai, dimensi keutamaan, dimensi karakter, yang saat ini dilalaikan. Suwidi Tono, Koordinator Forum ’Menjadi Indonesia’ mengutip ucapan Profesor Soetandyo Wignjosoebroto pada saat menjadi pembicara pada diskusi Forum ’Menjadi Indonesia’ di Jakarta 19 Mei yang lalu ”Bagiku pendidikan itu educating the heart. Namun, di negeriku, pendidikan itu educating the brain. Hasilnya: a flock of new barbarian. Yang cakap, cerdas, berpengetahuan tinggi, Cuma siap dipekerjakan sebagai ahli bayaran” (Kompas, 19 September 2013, hal.6).
Maka sebagai pendidik yang pertama dan utama maka orangtua hendaknya mampu mengambil alih atau mengisi kekurangan yang sedang dialami oleh paradigma pendidikan yang sedang berlaku di Indonesia saat ini, agar dengan demikian keluarga dapat berperan sebagai sel sehat dalam bangunan organisme masyarakat yang kuat, dan untuk itu keluarga sungguh-sungguh berusaha untuk menciptakan komunitas pribadi-pribadi yang hidup dan berlandaskan kasih sejati.
(Stanislaus Nugroho)
Minggu, 08 September 2013
Teknologi Informasi dan Orangtua Pengganti, Sebuah ancaman?
“Kita semua memang sibuk”, ujarnya. ”Saya ini sudah lama sekali
menjadi ibu bekerja. Memang menyenangkan sekali rasanya
untuk mempercayai bahwa ada orangtua pengganti manakala kita sudah letih dan benar-benar tidak punya kesabaran lagi setelah lelah
bekerja sepanjang hari untuk duduk menemani anak usia 3 tahun,
atau 10 tahun, atau 15 tahun. Sungguh kita tergoda untuk percaya
bahwa komputer bisa berbuat lebih daripada yang dapat kita perbuat (yang benar-benar dipercayai oleh para orangtua), dan rasa percaya itu terus dikobarkan dalam iklan-iklan komputer. Sungguh menjengkelkan untuk mengetahui bahwa hal terbaik bagi anak-anak ternyata masih tetap
waktu dan perhatian kita sendiri. Dan bahwa komputer bisa benar-benar merusak anak kita” (Psikolog Jane Healy, Ph.D. dalam psikologi pendidikan dari
Case Western Reserve University).
Menjelang berakhirnya abad ke 20 terbitlah sebuah buku dengan judul High Tech – High Touch: Technology and Our Search for Meaning (1999) di tulis oleh 3 penulis yang berbeda generasinya. Penulisnya adalah John Naisbitt, seorang futurulog terkenal, penulis banyak buku, di antaranya yang paling terkenal adalah Megatrends, Nana Naisbitt, puteri dari John Naisbitt dan Douglas Philips, keduanya penulis, seniman dan wiraswastawan.
Buku ini bagi saya sangat inspiratif, tidak berbicara tentang masa depan, namun berbicara tentang masa kini. Buku ini bagi saya sangat menantang, karena buku ini di satu pihak sangat menggambarkan kebahagiaan karena telah dipermudah hidupnya oleh teknologi, tapi di lain pihak juga menggambarkan adanya kegelisahan bahwa banyak di antara kita tidak menyadari ’bahaya’ di balik kemudahan dan kenikmatan yang kita peroleh dari teknologi. Dengan membaca buku ini kita diajak untuk membangun sikap yang tepat terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi (khususnya teknologi informasi) yang bagaimanapun juga sudah masuk ke rumah kita masing-masing.
Pada bagian pendahuluan Naisbitt dan kawan-kawan memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai Zona Mabuk Teknologi. Dengan istilah zona mabuk tekonologi maka Naisbitt dan rekan-rekan memaksudkannya sebagai kehampaan spiritual yang mengecewakan dan berbahaya, serta mereka yang sudah terjangkit zona ini akan sulit keluar dari dalamnya, kecuali jika mereka menyadarinya bahwa dirinya memang terjebak di dalamnya, (dan berusaha keluar dari jebakan tersebut).
Kalau kita mau membuka mata dan memperhatikan sekeliling kita maka apa yang disebut zona mabuk teknologi sudah sangat menggejala di masyarakat kita, khususnya dengan teknologi ’gadget’, suatu alat atau perlengkapan yang relatif kecil namun memiliki teknologi yang canggih dan inovatif serta berbasis komputer. Contohnya yang kita kenal dengan , handphone, smartphone, Ipad. dan sejenisnya. Dalam memanfaatkan handphone, smartphone, Ipad kita sering sudah tidak lagi bisa empan papan, orang tidak bisa lagi menempatkan diri dan bertindak sesuai dengan tempat, serta situasi dan kondisinya, ada kecenderungan kuat, handphone, smartphone sudah menjadi ’mahakuasa’. Kita harus mengakui bahwa gadget memang sangat membantu kehidupan masa kini namun bagaimanapun juga kita harus mampu mengelolanya dengan tepat dan jangan sampai kita dikelola olehnya. Naisbitt berserta kawan-kawan menyebutkan 6 gejala yang terkandung dalam zona mabuk teknologi. Keenam gejala itu adalah 1) kita lebih menyukai penyelesaian masalah secara instan, mulai dari masalah agama sampai pada masalah gizi; 2) kita kawatir, cemas namun sekaligus memuja teknologi; 3) kita sering mengaburkan perbedaan antara yang fakta dan yang semu; 4) kita menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar; 5) kita mencintai teknologi dalam wujud mainan; dan 6) kita menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut.
Berkaitan dengan gejala ke enam, seorang seniman Inggris Damien Hirst lewat bukunya – yang berjudul agak panjang – I Want to Spend the Rest of My Life Everywhere, with Everyone, One to One, Always, Forever, Now (2006) menggambarkan secara nyaris sempurna peranan teknologi informasi dalam menghubungkan perasaan sebagian besar manusia dari kita yang terhubung melalui modem, telepon genggam, email, facebook, twitter, dan tunggu saja lagi produk teknologi sejenis. Kita duduk sendirian di kamar kita masing-masing sambil ngobrol di sebuah chatroom di internet merupakan fenomena sosial yang baru. Rumah tangga jaman ini sedikit banyak terancam menjadi sebuah rumah kost. Namun hal ini kurang menjadi perhatian para pebisnis, karena bisnis yang berkaitan dengan teknologi informasi saat ini menjadi salah satu lumbung uang, di Amerikat Serikat saja dalam setahun tidak kurang dari $ 8 triliun (lihat bab 3 buku High Tech, High Touch, dengan demikian data ini adalah data menjelang berakhirnya abad 20, nggak tahun sekarang berapa omzetnya).
Yang lebih memperihatinkan saya adalah apa yang dikemukakan dalam bab 4 dengan judul Kompleks Nintendo-Militer. Permainan-permainan ’peperangan/kekerasan’ yang bisa dinikmati oleh anak-anak/remaja dengan sangat entusias melalui alat-alat gadget maka secara tidak disadari terjadilah proses yang dalam bidang psikologi dikenal dengan nama desensitivisasi yang bisa dijelaskan sebagai proses hilangnya/penghilangan kepekaan emosional. Seorang pakar desensitivisasi yang bernama Letkol. David Grossman, mantan gurubesar psikologi di West Point menulis buku yang berjudul On Killing: The Psychological Cost of Learning to Kill in War and society, berkata bahwa “video game yang sarat kekerasan mendorong penikmatnya untuk menembak orang. Industri hiburan mengondisikan penikmatnya dengan cara yang persis sama dengan yang dilakukan kalangan militer. Masyarakat sipil meniru teknik pelatihan dan pengondisian militer pada tingkat yang bisa membahayakan mereka sendiri”.
Beberapa minggu yang lalu saya ke rumah teman saya, biasanya rumahnya sepi, namun waktu itu ramai dengan anak-anak, yang tidak lain adalah cucu-cucu teman saya. Waktu saya datang maka salah seorang cucunya –yang kira-kira berusia 6/7 tahun - sedang memegang Ipad, dan memainkan permainan yang diwarnai kekerasan/peperangan antar robot. Saya berada di rumah teman saya untuk latihan tachi dan kemudian ngobrol, lebih kurang berlangsung sekitar 3 jam. Ternyata waktu saya pulang cucunya masih memainkan permainan yang serupa.
Seorang pakar psikologi yang bernama Jane Healy, penulis beberapa buku di antaranya ada dua buku yang menyebabkan penulisnya menjadi terkenal (dua kali terpilih sebagai Educator of the year), dan keduanya berkaitan dengan studi tentang anak-anak dan komputer , memberitahu dan mengingatkan para orang tua dengan tulisan sebagai berikut ”Komputer sebenarnya lebih berbahaya, komputer berciri lebih memukau. Ketika anak-anak sedang menonton televisi, mereka sering juga bermain atau melakukan kegiatan lain, tetapi komputer dirancang memukau perhatian mereka”. Peringatan Jane Healy patut direnungkan oleh para orangtua, karena tidak seperti televisi yang pemirsanya menonton gambar secara pasif, dalam electronic game anak-anak aktif terlibat dalam permainan yang sedang mereka mainkan, selain itu biasakan anak-anak menggunakan komputer di ruang keluarga, sehingga lebih mudah dipantau, dan tidak dibiasakan bermain di kamarnya masing-masing.
Sedang seorang gurubesar Komunikasi di Simon Fraser University yang bernama Stephen Kline, dalam penelitiannya menemukan bahwa electronic game merupakan bentuk hiburan yang menghasilkan ketegangan dan intensitas emosi yang tinggi – percepatan detak jantungnya sama dengan yang dialami orang yang pekerjaannya membuatnya stress ataupun orang yang melakukan olahraga yang menguras tenaga. Selain itu Kline juga menyatakan bahwa hanya dibutuhkan waktu 60 menit untuk mulai merasakan efek desensitivisasi, pernyataan ini hasil percobaan terhadap dirinya sendiri. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya, bagaimana dengan anak-anak yang daya tahannya pasti lebih kurang dari orang dewasa. Berapa jam sehari anak-anak kita bergelut dengan video game atau electronic game yang lain? Maka tidak mengherankan bila Letkol. Grossman berpendapat bahwa kita tengah menciptakan generasi anak-anak yang mengidap penyakit baru dan ’mematikan’, yaitu acquired violence immune deficiency (AVID), penyakit baru tersebut dapat diterjemahkan sebagai ’penurunan kekebalan terhadap kekerasan’.
Dari penelitian profesor Kline menjadi nyata apa yang saya kawatir, Kline menyatakan bahwa ”Saya rasa orang (tua) tidak sepenuhnya menyadari luasnya cakupan industri ini maupun dampak video game/electronic game terhadap anak-anak. Sering orangtua tidak memantaunya, mereka beranggapan bahwa video/electronic game hanyalah permainan yang tidak berbahaya, untuk mengisi waktu luang. Mereka tidak menyadari betapa seringnya ataupun betapa bisa membuat anak kecanduan bermain video game/electronic game tersebut, bahkan betapa ganasnya permainan itu merusak kehidupan anak-anak”.
What can we do better now? Yang pertama orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama, khususnya dalam bidang iman dan nilai-nilai kemanusiaan hendaknya lebih peduli dan lebih memantau apa yang menjadi permainan anak-anak kita, lebih-lebih bila berkaitan dengan electronic game. Yang kedua orangtua hendaknya bisa memerankan kepemimpinan dialogis, dimana ada empat peran yang penting, yaitu modeling, pathfinding, aligning dan empowering . Yang dimaksud dengan modeling, di mana orangtua sebagai panutan, menjadi teladan, sedang yang dimaksud dengan pathfinding adalah perintis, yang bersama-sama dengan anggota yang lain mampu menentukan arah dasar yang ingin dikejar oleh keluarga yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan aligning adalah penyelarasan gerak mengejar arah dasar keluarga lewat kesepakatan-kesepakatan yang mengikat seluruh anggota keluarga yang bersangkutan. Akhirnya yang dimaksud dengan empowering atau pemberdayaan adalah kerjasama dan saling membantu, untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki oleh para anggota keluarga dan saling menutupi kekurangan yang pasti juga dimiliki oleh para anggota keluarga yang bersangkutan. Dengan demikian yang saya maksud dengan kepemimpinan dialogis bukan berbicara tentang posisi, status atau kedudukan melainkan berbicara tentang usaha proaktif untuk memperkuat nilai-nilai (dalam hal ini saya mengacu pada 7 keutamaan tradisional, yaitu kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, keadilan, iman, harapan dan kasih) sejati dan potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-masing anggota keluarga, sehingga keluarga yang bersangkutan menjadi the winning team, dan mampu menutup kekurangan anggota yang lain. Namun kepemimpinan dialogis bukan sebuah barang jadi yang bisa dibeli supermarket, melainkan suatu proses pembelajaran, yang mebutuhkan ketekunan dan keuletan.
Sabtu, 13 Juli 2013
Extra Ecclesiam Nulla Salus Dalam Perjalanan Sejarah
Menelusuri perjalanan sejarah dari semboyan Di luar Gereja tidak ada keselamatan sangatlah menarik, tulisan ini mendasarkan diri pada buku yang ditulis oleh Pater Francis Sullivan, SJ yang berjudul Salvation Outside The Church, Tracing The History of The Catholic Response, New York: Paulist Press, 1992.
Menurut Pater Sullivan, semboyan tersebut di atas merupakan ajakan terhadap orang kristen agar jangan murtad, maka menjadi jelas bahwa pada mulanya hanya ditujukan kepada orang kristen yang murtad, yang tidak setia pada ajaran para Rasul.
Orang pertama yang dianggap sebagai pengguna semboyan itu adalah seorang Uskup Antiokia yang bernama Santo Ignatius (sekitar tahun 50-117) dalam perjalanannya menuju kemartirannya di Roma menulis surat kepada Umatnya di Philadelphia, dekat Efesus sebagai berikut Janganlah sesat saudara-saudara, jika seseorang mengikuti jalan menyimpang, ia tidak mewarisi Kerajaan Allah. Jika seseorang berjalan dalam ajaran yang aneh, ia tidak mendapat baagian dalam perjamuan surgawi.
Begitu pula Santo Irenaeus, Uskup Lyons, Perancis (sekitar tahun 142-192) dalam usahanya melawan melawan ajaran kaum Gnostik menulis surat kepada Umatnya sebagai berikut Di dalam Gereja, Allah telah menempatkan para rasul, nabi dan pengajar serta banyak karya Roh Kudus lainnya. Mereka yang dikuasai oleh kesombongan cara berpikir dan cara hidup tertentu, tidak ambil bagian dalam anugerah itu. Sebab di mana Gereja ada, di situ Roh Allah ada. Dan di mana Roh Allah ada, maka di situ terdapat Gereja dan segala rahmat. Seperti St. Ignatius Antiokis begitu pula St. Irenaeus menilai umat krsten yang mengikuti ajaran gnostik – yang mengandalkan kepandaian mereka – adalah orang-orang yang bersalah, karena mereka memisahkan diri dari Gereja.
Selain St. ignatius Antiokia dan St. Irenaeus maka dalam konteks perlawanan kepada kaum heretik (orang-orang yang murtad) St. Cyprianus mengajarkan bahwa kaum heretic adalah mereka yang dengan senagja memisahkan diri dari Gereja. Mereka yang memisahkan diri dari Gereja tidak akan mendapat bagian dalam keselamatan, biarpun mereka menjadi martir sekalipun. Dalam suratnya St. Cyprianus, Uskup dan martir (sekitar 200-258) menulis Baik baptisan pengakuan publik (mengakui iman di bawah penganiayaan) maupun baptisan darah (mati demi iman) tidak akan membuat para heretik memperoleh keselamatan. Karena tidak ada keselamatan di luar Gereja. Dengan demikian st. Cyprianus bisa dikatakan sebagai orang pertama yang secara eksplisit menyatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar Gereja, namun tetap ditujukan kepada orang Kristen yang heretik. Dengan demikian dari ketiga Bapa Gereja tersebut menjadi jelas bahwa sampai abad ketiga kekristenan semboyan tersebut hanya ditujukan secara internal Gereja.
Pada tahun 313 Kaisar Constantinus menetapkan bahwa agama kristen menjadi agama kekaisaran romawi melalui dekrit Milano. Rupanya semboyan di luar Gereja tidak ada keselamatan mengalami perubahan penerapannya. Sejak awal abad ke empat semboyan tersebut mulai dikenakan kepada orang-orang yang belum kristen, mereka dianggap bersalah mereka tidak sampai mengenal Injil. Anggapan ini berdasarkan pemikiran bahwa Injil sudah diwartakan kepada semua orang dan mereka tidak mau percaya. Sebagai contoh St. Ambrosius (340-397), Uskup Milano menyatakan bahwa Jika seseorang tidak percaya kepada Kristus ia merugikan dirinya sendiri dari anugerah universal ini, sama seperti seseorang yang menghindari sinar matahari dengan menutup jendela. Sebab belas kasih Allah telah disebarkan oleh Gereja kepada segala bangsa dan iman telah ditaburkan bagi sekalian orang.
Bapa Gereja Timur St. Yohanes Chrisostomus melawan pendapat bahwa orang kafir tidak bisa disalahkan karena mereka tidak tahu kalau ada berita Injil. Pernyataannya se bagai berikut Orang tidak boleh berpikir bahwa ketidaktahun memaafkan orang-orang kafir. Apabila kamu tidak mengetahui sesuatu hal yang dengan mudah dapat kami ketahui kamu akan dihukum. Oleh karena sekarang nama Allah telah dinyatakan kepada segala bangsa, dan apa yang dinubuatkan oleh para nabi telah menjadi kenyataan, sehingga agama orang kafir telah terbukti sesat ...., makan tidaklah mungkin orang yang dengan rajin mencari kebenaran akan diabaikan oleh Tuhan.
Maka pater sullivan menyatakan bahwa ajaran Ambrosius dari Gereja Barat yang berbahasa Latin dan Yohanes Chrisostomus dari Gereja Timur yang berbahasa Yunani bisa mewakili pendapat semboyan di luyar Gereja tidak ada keselamatan dalam arti yang telah diperluas penerapannya.
St. Agustinus ((354-430) yang dibaptis oleh St. Ambrosius secara umum juga menganut pendapat St. Ambrosius, bahwa keselamatan hanya ada dalam Gereja. Seperti kita ketahui St. Agustinus kemudian menjadi Uskup di Hippo, sekarang ini masuk wilayah Aljazair. Menurut St. Agustinus orang-orang heretik dan skismatik, Yahudi, Yunani, Romawi dan kafir dan orang-orang yang tidak pernah mendengar berita Injil, tidak akan memperoleh keselamtan. Argumen yang mendasari pendapatnya itu adalah sebagai berikut mereka semua adalah orang-orang yang tidak percaya kepada berita Injil dan dengan demikian berada di luar Gereja. St. Agustinus tidak mengalami munculnya agama Islam, sehingga dia tidak menghadapi pertanyaan apakah keselamtan ada dalam agama Islam? Sebagai seorang teolog dan sekaligus filsuf yang bukan sembarangan justru mengajukan pertanyaan kepada mereka yang meragukan/melawan semboyan di luar Gereja tidak ada keselamatan yang berbunyi Mengapa ada manusia yang selama hidupnya di dunia tidak pernah men dengar Injil dan dibaptis? Mengapa mereka begitu sial sehingga lahir di tempat tertentu, pada waktu tertentu, yang tidak memungkinkannya mendengarkan berita tentang Kristus dan percaya kepadaNya sehingga beroleh keselamatan? Yang menarik pertanyaan St. Agustinus itu melebar ke mana-mana bahkan mundur ke jaman Kain dan Abel. Seperti kita ketahui Abel diterima oleh Allah sebagai orang benar, maka St. Agustinus bicara tentang Ecclesia ab Abel, Gereja mulai dari Abel. Sebelum kita membahas masalah ini Maka ada baiknya kita menyimak dulu apa yang menjadi pendapat St. Agustinus tentang kaum heretik dan skismatik. St. Agustinus menyatakan bahwa Siapa saja yang memisahkan diri dari Gereja, hanya dengan satu dosa ini saja yang adalah pelanggaran berat terhadap kesatuan dengan Kristus, tidak peduli betapa baikpun perilaku moral orang itu, ia tidak akan mendapat bagian dalam hidup dan murka Allah akan berlaku terhadap orang itu. jelas bagi kita bahwa St. Agustinus sangatlah penting menjaga kesatuan iman kristiani, Gereja sebagai kesatuan atau persekutuan cintakasih adalah dasar pemikiran St. Agustinus. Bahkan St. Agustinus berpendapat bahwa Di luar Gereja mereka dapat memperoleh segalanya kecuali keselamatan. Mereka dapat memperoleh kehormatan, sakramen-sakramen; menyanyikan alleluia, dapat menjawab ’amin’, dapat membaca Alkitab, mereka dapat berkotbah demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus: namun mereka tidak akan dapat menemukan keselamatan, kecuali dalam Gereja. Bahkan seandainya mereka mati sebagai martir dengan mengakui Kristus, namun kenyataan mereka mati di luar Gereja adalah bukti bahwa mereka tidak mempunyai cintakasih. Memang selama 40 tahun berkarir sebagai teolog St. Agustinus selama 20 tahun pertama memerangi bidaah Donatisme dan selama 20 tahun terakhir melawan bidaah Pelagianisme, maka ketegasan St. Agustinus bisa dimaklumi.
Mari kita sekarang kembali pada pendapat St. Agustinus bahwa ’orang-orang yang dalam hidupnya tidak sempat dibaptis juga tidak mendapat keselamatan. Deogratias – seorang teman St. Agustinus – menyampaikan pertanyaan seorang kafir kepada St. Agustinus sebagai berikut ”Mengapa Dia yang kamu sebut sebagai Penyelamat dunia itu bersembunyi begitu lama dan baru datang kemudian? Bagaimana nasib jiwa-jiwa orang Romawi dan Yunani yang tidak mengenal Kristus yang baru muncul pada waktu pemerintahan kaisar Agustus itu”.
St. Agustinus menjawab ”Ketika kita berkata bahwa Kristus adalah Sabda Allah, yang melaluiNya segala sesuatu dijadikan, kita berkata pula bahwa Ia adalah Putera Allah....sama kekalnya dengan Bapa. Kebijaksanaan Allah yang tak berubah dan segala sesuatu diciptakan di dalam Dia. Dia menjadi Sumber kebahagiaan setiap jiwa yang memiliki akal budi. Oleh karena itu sejak awal ras manusia, semua orang yang percaya kepada Allah dan mengenal Dia dan hidup baik sesuai dengan perintahNya, maka tanpa keraguan apapun kita percaya bahwa mereka diselamatkan..... Rahmat yang menyelamatkan dari agama kita, satu-satunya agama yang benar tidak akan pernah ditolak oleh orang yang layak untuk itu; dan kalau ada orang yang menolaknya berarti orang itu memang tidak layak menerimanya. Sejak permulaan sejarah manusia sampai pada hari kiamat nanti, agama yang benar ini dinyatakan untuk memberikan ganjaran kepada yang layak dan hukuman kepada yang tidak layak. Itulah sebabnya tidak semua orang mendapat kesempatan mengenal Kristus. Karena Allah dalam kemahabijaksanaanNya sudah dapat mengetahui sebelumnya siapa yang akan percaya dan siapa yang tidak akan percaya. Dan kepada mereka yang tidak percaya diberitahukannya juga sebagai peringatan bagi yang mau percaya”. Ada sesuatu yang menarik dari jawaban St. Agustinus, yang menarik adalah kalimat yang saya tulis dengan huruf italic, mengapa menarik. Kalimat itu mengungkapkan bahwa St. Agustinus adalah seorang penganut paham yang dikenal dengan nama predestinasi, dengan kata lain St. Agustinus adalah seorang yang percaya kepada takdir, bahwa Allah yang mahamengetahui segalanya sudah ’menentukan sebelumnya’. Bagi St. Agustinus orang yang begitu sial sampai selama hidupnya tidak pernah mengenal Kristus dan dibaptis maka itu disebabkan karena Allah sudah tahu bahwa seandainya ia diberitahu dan diperkenalkan dengan Kristus ia pun tidak akan mau percaya. Dengan perkataan lain St. Agustinus tidak memberi tempat kepada kebebasan manusia – bahwa manusia mampu menentukan dirinya sendiri, padahal Allah sendiri yang menganugerahi dan sekaligus menghormati kebebasan manusia. apakah benar bahwa St. Agustinus seorang yang percaya pada takdir? Di tempat lain St. Agustinus menulis ”’Allah menghendaki semua orang selamat dan tiba pada pengetahuan akan kebenaran (1Tim.2:4)’, namun atas cara sedemikian rupa sehingga Allah tidak mengurangi kehendak bebas manusia yang merupakan kemampuan untuk menilai yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu orang-orang yang tidak percaya bertindak melawan kehendak Allah, jika mereka tidak percaya pada berita Injil”.
Dari kutipan terakhir saya pikir kita bisa memvonis bahwa St. Agustinus adalah seorang yang percaya pada takdir, masalah yang dihadapi oleh St. Agustinus tetap merupakan masalah sampai sekarang, bagaimana kita harus bersikap terhadap orang-orang yang tidak percaya kepada Injil? Dengan mengutip 1Tm.2:4 jelas bahwa St. Agustinus yakin bahwa Allah sesungguhnya menghendaki keselamatan bagi semua manusia (voluntas salvifica universalis Dei), namun Allah menghormati kebebasan manusia dan tidak mau memaksakan kehendakNya.
Pater Sullivan menyimpulkan bahwa bagi St. Agustinus ada tiga kelompok orang, yaitu yang pertama ’Mereka yang murtad, yaitu mereka yang tadinya sudah menjadi anggota Gereja dan kemudian keluar dari keanggotaan Gereja’; kedua Mereka yang sudah mendengar berita Injil tetapi tidak mau percaya kepada Kristus dan tidak mau dibaptis’; yang ketiga ’Mereka yang selama hidupnya sampai mati sudah ditakdirkan untuk tidak pernah mendengar Injil, sehingga mereka tidak terjangkau oleh pemberitaan Injil’.
Selanjutnya kita akan mencoba melihat pemikiran St. Thomas Aquinas (1224-1275). Bagi St. Thomas keselamatan manusia membutuhkan pembaptisan. Argumennya berangkat dari konsep incorporasi atau ’menyatunya kita dengan Kristus’. Bagi St. Thomas keselamatan hanya ada di dalam Kristus, di luar Kristus tidak ada keselamatan, setiap orang yang ingin selamat harus disatukan dengan Kristus. Padahal sakramen pembaptisan adalah tanda bahwa seseorang disatukan dengan Kristus, maka semua orang yang diselamatkan harus dibaptis. Terhadap pertanyaan ’Apakah semua orang wajib menerima baptisan supaya selamat?’, jawaban St. Thomas adalah sebagai berikut: Saya menjawab bahwa manusia terikat kewajiban pada suatu hal yang tanpanya ia tidak mendapatkan keselamatan. Nah, telah dinyatakan bahwa tidak seorangpun memperoleh keselamatan, kecuali melalui Kristus. Tujuan dari pembaptisan tidak lain ialah melahirkan kembali manusia supaya diincorporasikan ke dalam Kristus dan menjadi anggota Tubuh MistikNya. Konsekuensinya, jelaslah bahwa semua orang terikat kewajiban untuk menerima pembaptisan. Tanpa pembaptisan, tidak ada keselamatan bagi mereka (Summa Theologiae, III,q.68,a.1).
Terhadap jawaban St. Thomas kita perlu memperhatikan beberapa hal, yang pertama keyakinan imannya tentang kedudukan Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan. Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan abadi. Yang kedua, St. Thomas mengandaikan bahwa Injil sudah diwartakan kepada semua orang sehingga mereka (orang Yahudi, Yunani, Romawi dan bangsa-bangsa lain) tidak bisa berdalih dengan mengatakan bahwa mereka belum mendengar berita Injil. Yang ketiga St. Thomas juga membedakan antara infideles (orang-orang yang tidak percaya) yang harus disalahkan (culpabiles) dan infideles yang tidak boleh disalahkan (inculpabiles). Dengan demikian antara St. Thomas dan St. Agustinus berbeda pendapat, St. Agustinus tidak membuat perbedaan antara infideles culpabiles dan infideles inculpabiles. Contoh infideles culpabiles bisa kita temukan dalam Kitab Nabi Yesaya 53:1, dan pada Injil Mt.11:16-17. Selain itu St. Thomas tidak mau mengandaikan adanya teori predestinasi, karena prinsip St. Thomas adalah ad impossibile nemo tenetur (atas hal yang mustahil tidak seorangpun bisa dituntut). Selanjutnya St. Thomas masih menawarkan kemungkinan lain lagi. Sebagai filsuf St. Thomas bersikap realistis dan manusiawi. St. Thomas melihat ada orang-orang baik dan jujur, yang hidup berdasarkan suara hatinya, namun mereka tidak pernah mendengar berita Injil. De-iure orang ini termasuk infideles, namun secara de-facto mereka fideles. Dalam Summa Theologiae III.q.68,a.2 St. Thomas menulis Sakramen pembaptisan bisa dipenuhi dalam dua cara. Cara pertama ialah secara eksplisit menerima baptisan. Cara kedua ialah secara implisit, dalam kerinduan saja. Misalnya dalam diri katekumen yang belum sempat dibaptis, namun ia sudah meninggal. Orang semacam itu bisa memperoleh keselamatan, walaupun bnelum dibaptis. Ia diselamatkan atas dasar kerinduannya untuk menerima pembaptisan.
Bagaimana dengan teologi keselamatan pada abd XIX? Abad XIX merupakan bagian dari jaman pencerahan, jaman yang ditandai dan didominasi oleh pemikiran yang rasional, yang menghasilkan revolusi industri dan memajukan kesejahteraan ekonomi. Selain itu abad XIX merupakan jaman yang ditandai dengan pengetahuan yang lebih lengkap tentang peta dunia dan bahwa orang kristiani bukan golongan mayoritas, mayoritas penduduk dunia bukan kristiani. Akhirnya di kalangan teolog kristiani sendiri muncul pertanyaan Bagaimana mungkin kita bisa percaya kepada seorang Allah, Bapa Yang Mahabaik, yang membiarkan begitu banyak manusia tidak pernah mengenal Injil dan tidak pernah dibaptis, kemudian menghukumnya dalam api neraka? Bagaimanakah orang yang berpikir secara rasional dapat mempercayai seorang Allah yang demikian itu?
Secara perlahan-lahan kedua pertanyaan itu mengubah pemikiran teologis Gereja. Salah satu pemikir Perancis yang memberikan pertanyaan kritis adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Bagi Rosseau ajaran dogma yang tidak bisa diterima oleh nalar maka akan kehilangan kredibilitas, salah satu dipersoalkan adalah ajaran tentang di luar Gereja tidak ada keselamatan, dengan sangat kritis dan agak sinis dia menyatakan Seandainya ada suatu agama di bumi ini yang dari satu pihak menyatakan bahwa di luar agama itu hanya ada siksaan kekal dari lain pihak toh ada orang-orang baik yang samasekali tidak tertarik dengan kebenaran agama itu, maka bisa disimpulkan bahwa Tuhan dari agama semacam itu adalah seorang tiran yang kejam dan tidak fair. Rousseau mengajukan sebuah contoh kasus sebagai berikut Marilah kita andaikan bahwa para penyebar agama benar itu sudah pergi ke seluruh dunia.... Seandainya klaim itu benar bahwa warta kebenaran itu telah disebarkan ke seluruh dunia, maka apa konsekuensinya? Misalnya, sehari sebelum kedatangan seorang pewarta ajaran yang benar itu tiba di suatu tempat, di situ ada seorang yang meninggal sebelum sempat mendengarkan warta kebenaran tersebut. Sekarang, katakan padaku apa yang akan terjadi dengan orang itu? Dan bagaimana kalau keadaan seperti itu bukan hanya mengenai seorang, melainkan menyangkut seperempat dari penduduk dunia ini?
Saya jadi teringat kritik-diri yang diajukan oleh Pendeta Eka Darmaputera dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia tahun 2005 yang lalu, dia menegaskan bahwa kekristenan kita dewasa ini sedang mengalami insignifikasi internal dan irrelevansi external, kekristenan tidak bermakna lagi untuk anggotanya dan tidak relevan untuk dunia.
Dalam usaha menjawab persoalan yang diajukan oleh Rousseau maka akan saya berikan jawaban beberapa orang dari pihak hirarki Gereja. Yang pertama adalah jawaban dari Giovanni Perrone SJ (1794-1876), seorang teolog dan dosen teologi di Callegium Romanum yang sekarang ini bernama Universitas Gregoriana, Roma. Perrone berangkat dari apa yang disebut lex evangelica (hukum injili). Menurut Perrone tuntutan keselamatan sebagaimana diajarkan dalam teologi hanya wajib bagi mereka yang sudah mendengarkan dan mengamini berita Injil. Tuntutan keselamatan itu antara lain adanya iman kistiani yang nyata, ada kemauan untuk menerima pembaptisan dan ada kemauan untuk menjadi anggota Gereja. Tentu saja persyaratan seperti itu tidak berlaku pada jaman pra-kristen (sebelum kekristenan). Bahkan Perrone juga berpendapat bahwa persyaratan tersebut hanya berlaku sejauh hukum injili telah diwartakan secara memadai, pewartaan itu tidak hanya secara geografis melainkan juga secara personal. Menurut Perrone sejauh orang-orang itu tidak tahu atas cara yang tidak bisa dipersalahkan (inculpably ignorant), maka mereka bia diselamatkan. Atau dengan kata lain mereka yang berada dalam ketidaktahun yang tidak disengaja (error invincibilis) dianggap tidak memiliki ketidaktahuan yang jujur (ignorantia inculpabilis). Maka bagi Perrone semboyan extra ecclesiam nulla salus tidak boleh dikanakan kepada orang yang berada di luar Gereja bukan karena kesalahannya sendiri, semboyan itu hanya bisa dikenakan kepada orang-orang yang karena kesalahannya sendiri telah menempatkan diri di luar Gereja.
Selanjutnya kita melihat apa yang diajarkan oleh Bapa Suci Pius IX memerintah Gereja selama 32 tahun (1846-1878). Pada tanggal 8 Desember 1854 pada kesempatan peresmian dogma Maria dikandung tanpa dosa memberikan pengajaran dalam banyak topik, salah satunya berkaitan dengan teologi keselamatan, dengan extra ecclesiam nulla salus. Ajarannya sebagai berikut: ”Bukan tanpa kesedihan kita mengatahui adanya kekeliruan berat di antara orang-orang katolik yang berpikir bahwa keselamatan kekal dapat diperoleh oleh siapa saja tanpa perlu peranan Gereja Kristus yang benar. Dengan alasan tersebut maka mereka menjadi acuh tak acuh terhadap ajaran Gereja dan hidup seperti orang-orang yang tidak pernah mengenal Kristus. Jauh dari maksud kami untuk membatasi daya kerja rahmat Allah yang tidak terbatas bagi semua orang. Jauh ari maksud kami untuk berpretensi bahwa kami dapat menyelami isi pikiran Allah. Namun sesuai dengan kewajiban tugas kerasulan kami, kami ingin menghimbau kepada semua uskup supaya anda menggunakan seluruh tenaga dan kemampuan anda untuk memberantas tuntas pandanga umat bahwa keselamatan dapat dicapai juga di luar Gereja, yakni di dalam setiap agama. Anda harus berusaha meyakinkan umat bahwa dogma Gereja tidaklah bertentangan dengan hakekat Tuhan yang adil dan penuh belas kasihan. Kita harus yakin dan teguh bahwa di luar Gereja Roma Katolik, yakni satu-satunya bahtera keselamatan, tidak ada keselamatan. Namun demikian, kita rupanya juga harus meyakini bahwa mereka yang hidup tanpa mengenal agama yang benar, jika kesalahan mereka tidak teratasi (error invincibilis), maka mereka tidak akan diminta pertanggungjawaban oleh Tuhan atas hal itu”. (Singulari Quadam, Acta Pii IX,626).
Menurut Pater Sullivan, ajaran Pius IX di atas adalah dokumen kepausan pertama yang berbicara secara eksplisit semboyan ”di luar Gereja tidak ada keselamatan” hanya dikenakan kepada mereka yang bersalah, bukan kepada semua orang tanpa pandang bulu. Secara lebih rinci Pater Sullivan menguraikan teologi Pius IX sebagai berikut: Patut diperhatiakn bagaimana Pius IX menerangkan bahwa orang yang tanpa salah berada di luar Geeja itu dapat diselamatkan. Keadaan tak bersalah (inculpabilis) adalah syata atau condito supaya orang dapat diselamatkannya. Tidak tepat juga mengatakan bahwa orang-orang yang tidak dibaptis (non-baptizati) dapat diselamatkan dengan berbuat baik, yaitu hidup sesuai dengan hukum kodrat. Pandangan itu akan jatuh pada Pelagianisme yang sudah dilawan oleh St. Agustinus. Pius IX mengajarkan bahwa causa atau penyebab keselamatan itu ialah rahmat Allah. Tegasnya Pius IX mengajarkan ”Mereka yang tanpa salah tidak mengenal agama kita yang benar ini, melalui cara hidup yang sesuai dengan hukum alam dan hukum Allah yang terukir dalam suara hati mereka, dan hidup dengan jujur dan lurus, berkat rahmat Allah akan memperoleh keselamatan kekal.
JB Franzelin (1816-1886) seorang profesor teologi di Colegium Romanum melanjutkan pemikirab Perrone dan Pius IX. Ia sependapat bahwa kesatuan dengan Gereja Katolik adalah syarat mutlak untuk memperoleh keselamatanfranzelin juga sependapat dengan Perrone bahwa semboyan extra ecclesiam nulla salus hanya berlaku bagi para bidaah, skismatik, dan orang-orang dibaptis yang murtad. Franzelin menambahkan unsur lain yang belum dilihat Perrone maupun Pius IX, yaitu peranan Gereja Kristus dalam keselamatan seseorang. Franzelin membedakan peranan Gereja untuk memperoleh keselamatan bagi yang dibaptis dan bagi yang tidak dibaptis. bagi mereka yang dibaptis maka keselamatan diperoleh di dalam dan melalui Gereja (Salvation throuh the Church), sedang mereka yang dibaptis maka keselamatan diperoleh dalam relasi dengan Gereja (Salvation by a relationship with the Church). Apa artinya?
Yang dimaksudkan Keselamatan di dalam dan melalui Gereja diterangkan oleh Franzelin sebagai berikut: Pertama-tama perlu ditekankan bahwa tidak akan ada keselamatan tanpa adanya iman supranatural, iman supranatural terbentuk karena mendengarkan (to listen bukan to hear) Sabda Allah dan dari penerangan batin. Mendengarkan Sabda Allah mengandaikan ada yang mewartakan, tidak lain Gereja sebagai komunitas beriman yang mewariskan tradisi iman, dengan demikian pewartaan Gereja menjadi prasyarat utama keselamatan, maka keselamatan datang dari Allah melalui Gereja, para anggota Gereja sampai pada keselamatan itu perlu membangun kesatuan yang nyata (communio visibilis) dengan Gereja.
Selanjutnya Franzelin mencoba menjelaskan mengenai pandangannya tentang Keselamatan dalam relasi dengan Gereja. Mereka yang tidak dibaptis, bagi Franzelin keselamatannya diperoleh karena atas salah satu cara mereka juga dihubungkan dengan Gereja. Tidak ada keselamatan di luar Gereja berarti tidak ada keselamatan tanpa relasi penyelamatan (a saving relationship) dengan Gereja di dunia. Artinya adanya relasi tertentu dengan Gereja dianggap penting sebagai sarana (a necessity of means), bukan hanya sebagai prinsip (a necessity of precept). Maksudnya, hubungan dengan Gereja tidak cukup hanya dalam tataran prinsip, misalnya secara prinsip: Tuhan tahu isi hati setiap orang atau melalui perbuatan-perbuatan baik. Bagi Franzelin perlu juga dalam tataran wujud atau yang nampak secara nyata. Pertanyaan yang mucul dari penjelasan tersebut adalah ’bagaimana hubungan yang menyelamatkan dengan Gereja itu nyata?’ Atas persoalan itu Franzelin menjawab sebagai berikut ”Menyangkut orang-orang yang tidak dibaptis, sejauh mereka secara jujur tidak tahu tentang perlunya keanggotaan Gereja bagi keselamatan, maka dispoisi batin mereka yang jujur dalam hal beriman dan mengasihi adalah tanda adanya kerinduan untuk menjadi anggota Gereja. Kerinduan hati seorang manusia untuk berbuat baik dan benar adalah tanda keinginan untuk menjadi anggota Gereja (votum ecclesiae). Kerinduan itulah menghubungkan orang yang bersangkutan dengan Gereja bukan hanya dalam tataran prinsip, melainkan dalam tataran wujud atas cara sedemikian rupa, sehingga mereka bisa disebut termasuk anggota Gereja di mata Allah. Dengan kata lain – bagi Franzelin – orang-orang non-kristiani yang hidupnya baik dihungkan dengan Gereja melalui keinginan untuk menjadi anggota Gereja.
Ajaran Konsili Vatikan I (1869-1870)
Konsili Vatikan pertama diprakarasai oleh Paus Pius IX, kedua teolog Yesuit dari Collegium Romanum yakni Giovanni Perrone dan Johann B. Franzelin menjadi anggota Komite Konsili. KV I diadakan dalam rangka menjawab tantangan Modernisme. Sebenarnya modernisme memiliki maksud yang baik yaitu mengintegrasikan hasil-hasil ilmu pengetahuan modern ke dalam iman. Gereja merasa khawatir bila aliran ini akan mengorbankan iman demi ilmu pengtahuan. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan dalam praktek bukan dalam teori, yang akan membawa Gereja ke dalam kancah rasionalisme teologi, di mana rasio manusia akan dijadikan kriteria terakhir bagi kebenaran. Di sisi lain Gereja juga khawatir akan munculnya fideisme, di mana akan muncul gerakan untuk meremehkan rasio manusia. Dalam konteks seperti itu Paus Pius IX menghendaki supaya tema perlu Gereja bagi keselamatan manusia dijadikan ajaran Gereja, dengan tujuan agar iman umat diteguhkan dan sekaligus untuk melawan munculnya sikap indiferentisme religius akibat pemikiran modern yang menekankan kebebasan manusia.Dengan kata lain Gereja bukanlah lembaga keselamatan yang fakultatif melainkan mutlak perlu. Dalam kaitan dengan konsep di luar Gereja tidak ada keselamatan maka Konsili Vatikan I bisa dikatakan meneguhkan ajaran baik dari Ferrone, Franzelin maupun dari Pius IX sebagaimana sudah dijelaskan di depan, hal itu nampak pada artikel 6 dan 7 dari Konstitusi de Ecclesia. ”Kami mengajarkan bahwa Gereja bukanlah suatu societas fakultatif ...... Sebaliknya Gereja adalah perlu bagi keselamatan......” (art.6). Art 7 yang bertema Tidak ada keselamatan di luar Gereja bagi orang kristen. ”Adalah ajaran iman kita bahwa tidak seorangpun dapat memperoleh keselamatan di luar Gereja. Namun demikian, orang yang tidak mengenal Kristus dan GerejaNya tanpa kesalahan mereka, tidak akan dikenai hukuman kekal karena ketidaktahuan itu ......”
Teologi Keselamatan di luar Gereja pada abad XX
Ada dua pokok ajaran iman yang selalu kembali, yaitu:
1. Orang yang bukan karena kesalahannya tidak mengenal Yesus Kristus dan Gereja, bila mereka bekerjasama dengan rahmat Allah, dapat memperoleh keselamatan.
2. Di luar Gereja tidak ada keselamatan bagi mereka yang karena kesalahannya sendiri murtad dan menempatkan dirinya di luar Gereja.
Namun demikian ’ajaran di luar Gereja tidak ada keselamatan’ juga masih bisa berarti bahwa tidak ada keselamatan bagi orang-orang non-kristiani. Di lain pihak semboyan itu bisa menunjukkan kesombongan kekristenan, lihat buku dari Paul F. Knitter yang berjudul Jesus and The Other Names: Christian Mision and Global Responsibility (1996).
Untuk itu baiklah bila kita menelusuri ajaran-ajaran Gereja (misalnya Konsili Vatikan II, khususnya sebagaimana diungkapkan dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium (LG), art. 14,15 dan 16, yang secara khusus berbicara tentangperlunya Gereja bagi keselamatan dan hubungan antara orang-orang non-kristiani dengan Gereja. Mari kita lihat satu persatu.
LG, art.14 yang berjudul Umat Beriman Katolik pada dasarnya tidak berbeda dari prinsip dasar tentang perlunya baptisan bagi keselamatan yang sejak abad-abad pertama ditegaskan oleh para bapa Gereja. Baptisa mutlak perlu bagi mereka yang benar-benar tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Yesus Kristus sebagai sarana yang perlu bagi keselamatan. Dalam bahasa Perrone orang-orang yang telah menerima Hukum Injili (lex Evangelica), dengan demikian ajaran Perrone gemanya di art.14 ini. Begitu pula ajaran Santo Thomas Aquinas juga terasa gemanya khususnya ajaran tentang infideles inculpabiles (kafir tak bersalah) dan infideles culpabiles (kafir bersalah). Dengan art.14 ini Gereja mengatakan sejujurnya bahwa Gereja memang perlu bagi keselamatan umat manusia. di lain pihak Gereja juga bersikap adil, dalam arti baptisan kristiani itu hanya diperlukan bagi mereka yang sudah sampai pada titik di mana timbul iman dari pewartaan Injil dan timbul keinginan untuk dibaptis. dengan demikian inti dari ajaran LG, art 14 ada dua, yaitu 1). Gereja mutlak perlu bagi keselamatan kekal umat Katolik. 2). Kalau orang katolik berani murtad maka tidak ada keselamatan baginya di luar Gereja Katolik.
LG,art15 berjudul Hubungan Gereja Dengan Orang Kristen Bukan Katolik. Pada art.15 ini terasa gema ajaran Franzelin, bahwa perlunya setiap orang dihubungkan dengan Kristus dan GerejaNya agar mendapat keselamatan. LG 15 mengakui kebaikan, kebenaran dan nilai-nilai agama kristen non-katolik di mana para anggotanya telah menerima baptisan, menghormati Kitab Suci, menunjukkan iman yang sejati kepada Allah Bapa dn Yesus Kristus, Putera Allah dan Penyelamat manusia. namun di lain pihak LG 15 (baca Gereja) masih mengharapkan dan berdoa supaya Roh Kudus membangkitkan keinginan pada semua murid Yesus Kristus untuk ersatu sesuai dengan cara yang ditetapkan oleh Kristus Yesus menjadi satu kawanan dengan satu Gembala.
LG art.16 mau memperlihatkan hubungan-hubungan pelbagai kelompok agama dengan Gereja sebagai Sakramen Keselamatan. Pada tingkat pertama dengan Agama Yahudi. Bangsa Yahudi adalah bangsa terpikih, sebagai bangsa terpilih dan tersayang, mereka dianugerahi janji-janji, serta merupakan asal kelahiran Yesus menurut daging (lih.Rom.9:45). Agama Yahudi memiliki kedekatan yang khas dengan Gereja. Mereka menyembah Allah sebagaimana mereka kenal lewat Perjanjian Lama, yang juga merupakan fondamen bagi pengenalan Allah Perjanjian Baru sebagaimana yang dipernalkan oleh Yesus sebagai Bapa. Tingkat kedua adalah dengan agama Islam. Titik temu antara Agama Islam dengan Gereja adalah pengakuan mereka akan Allah Pencipta dan mereka juga berpegang pada iman Abraham. Bersama mereka Gereja menyembah Allah yang tunggal dan maharahim, yang akan menghakimi umat manusia pada akhir jaman. Dengan kata lain mereka dekat dengan Gereja dalam kaitan akan iman yang sama akan Allah Pencipta, Mahaesa, percaya akan hari kiamat dan pengadilan akhir. Selanjutnya pada tingkat ketiga hubungan Gereja dengan orang-orang yang mencari Allah yang tidak mereka kenal dalam gambaran yang sama-samar. Mereka disebut sebagai umat lainnya yang mencari Allah yang tidak mereka kenal, namun mereka tidak jauh dari Allah, karena Allah memberi semua kehidupan, nafas dan segalanya (lih.Kis.17:25-28) dan sebagai Penyelamat menghendaki keselamatan semua orang (lih.1Tim.2:4). Tingkat keempat merupakan mereka yang tidak mengakui sebagai pengikut agama apapun. Mereka dimasukkan dalam kelompok orang-orang yang berkehendak baik. mereka dsebut demikian karena mereka hidup menurut bimbingan suarahatinya dan berusaha memenuhinya lewat perbuatan-perbuatan nyata. Tentang mereka ini Gereja mengajarkan bahwa Allah tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha meniti hidup yang benar, karena bagi Gereja semua yang baik dan benar dipandang sebagai persiapan Injil, supaya akhirnya mereka memperoleh keselamatan. Selanjutnya Gereja masuk pada tingkat kelima yang merupakan mereka yang hubungannya dengan Gereja paling jauh. Secara eksplisit Gereja menyebut mereka ”Tetapi sering orang-orang, karena ditipu oleh si jahat, jatuh pada pikiran-pikiran yang sesat, dan mengubah kebenaran Allah menjadi dusta, dan lebih mengabdi pada ciptaan daripada pada Sang Pencipta (bdk.Rom.1:21,25). Atau mereka hidup dan mati tanpa Allah di dunia ini dan menghadapi bahaya putus asa yang amat berat”. Kelompok terakhir ini secara populer biasanya kelompok ateis. Pada jaman sekarang di mana dunia ditandai dengan apa yang disebut dengan sekularisme, konsumerisme dan materialisme, maka jumlah kelompok ini mungkin bertambah banyak, mereka sering disebut sebagai ateis praktis. Maka Gereja mengajarkan Maka dari itu dengan mengingat perintah Tuhan ”Wartakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mk.16:15) Gereja dengan sungguh-sungguh berusaha mendukung misi-misi untuk memajukan kemuliaan Allah dan keselamatan semua orang (LG,art.16)
Refleksi Teologis sesudah Konsili Vatikan II
Perkembangan refleksi teologis setelah Konsili Vatikan II tentang perlunya Gereja bagi keselamatan dan hubungan antara orang-oranvg bukan kristen dengan Gereja berlangsung secara dinamis dan cepat. Para teolog secara seimbang mencoba menjelaskan antara perlunya Gereja dan perlunya mengakui agama-agama lain sebagai sarana keselamatan bagi para pemeluknya. Di bawah ini saya akan menyoba meringkas beberapa pemikiran para teolog dan diskusi di antara mereka sebagaimana yang saya pelajari dari buku Pater Sullivan SJ.
Yang pertama saya mulai dengan pemikiran Pater Karl Rahner SJ yang bisa disebut sebagai orang yang paling berperan dalam tema ini lewat buku-bukunya. Buku yang paling utama adalah Theological Investigation, jilid VI, XII dan XIV. Pater Rahner mengajarkan sebuah konsep yang disebutnya kristen anonim.
Untuk memahami konsep yang ditawarkan oleh Rahner maka kita harus berangkat dari pemikiran dasarnya. Yang pertama bahwa Rahner tidak menerima adanya pluralisme agama dan yang kedua namun Rahner percaya bahwa rahmat Allah dicurahkan kepada semua orang tanpa kecuali. Berkaitan dengan pemikiran dan keyakinan dasar itu maka Rahner membagi dua kelompok manusia, yang pertama orang-orang kristen eksplisit dan yang kedua orang-orang kristen implisit/anonim. Argumentasinya sebagai berikut: ’keselamatan hanya dikerjakan melalui satu saluran yaitu rahmat Allah dalam Yesus Kristus. Rahmat itu menjadi konkrit, historis dan sakramental dalam Gereja. Selanjutnya berangkat dari kehendak Allah untuk menyelamatkan semua orang maka Allah menawarkan rahmat keselamatan itu kepada semua orang. Maka bagi Rahner tidak akan ada keselamatan tanpa iman supranatural sebagai jawaban personal setiap orang atas pewahyuan Allah. Cara Allah membuat orang-orang menjadi beriman harus dilihat sebagai cara komunikasi Allah kepada roh manusia, dengan kemauan manusia untuk menerima dan melaksanakan tuntutan suara hatinya, itulah yang dimaksud Rahner dengan kristen anonim. Keselamatan sebagai komunikasi diri antara Allah dan jawaban manusia bukanlah semata-mata masalah pribadi, melainkan berciri historis dan sosial. Hal itu menjadi nyata dalam pelbagai religi yang menjadi bagian dari kebudayaan. Pewahyuan oleh Yesus Kristus sebenarnya membatalkan semua agama yang lain, namun ternyata agama-agama itu tidak berhenti berperan sebagaijalan keselamatan bagi para penganutnya yang secara tulus memeluknya. Bagi Rahner orang-orang non-kristen yang pada suatu saat merasa yakin harus memeluk agama kristen tetapi dia tidak mau maka dia berdosa, selama keyakinan tersebut tersebut belum ada maka tetap dibenarkan untuk memeluk agamanya (bdk. teologi Perrone tentang lex evangelica). Demikianlah ajaran Rahner, berkaitan dengan ajaran Rahner maka muncul banyak tanggapan dan kritik. Tanggapan dan kritik itu bergerak dari yang menilai terlalu liberal sampai pada yang masih menganggapnya masih terlalu konservatif.
Kita mulai dengan yang menganggapnya terlalu liberal. Kritik pertama ini berangkat dari tugas misioner Gereja, yaitu untuk mewartakan Injil kepada segala makhluk. LG art.17 menyatakan sifat misioner dengan tugas untuk mengajar dan membaptis segala bangsa (Mt.28:19-20). Kalau Rahner berpendapat bahwa semua orang non-kristen adalah kristen-anonim dan bisa memperoleh keselamatan melalui agamanya sendiri, maka gunanya lagi karya misi Gereja, dengan kata lain tugas Gereja sudah selesai. Berkaitan dengan kritik ini Rahner menjawab justru karena itu maka Gereja harus mengubah motivasi karya misi. Karya misi Gereja jangan berangkat dari pandangan negatif dan pesimistis, bahwa tanpa pembaptisan maka orang-orang tidak bisa selamat. Karya misioner harus dilaksanakan dengan pandangan positif dan optimistis, motivasi karya misi ialah hakekat Gereja itu sendiri. Gereja ada untuk diutus dan harus menjalankan perutusannya itu sebagai tanda kepercayaan dan kesetiaan kepada Dia yang mengutus. Namun Gereja perlu mengembangkan teologi misi yang simpatik. Teologi misi yang lama digerakkan oleh motivasi untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dan mengkristenkan seluruh dunia harus diganti dengan motivasi untuk menjadi garam dan terang dunia. Yesus telah memberikan arahan dengan sabdaNya ”Hendaklah terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang disurga” (Mt.5:16).
Kritik kedua dikemukakan oleh Henri de Lubac. Henri de Lubac berpendapat bahwa seandainya orang-orang non-kristen memang bisa disebut kristen-anonim, itu berarti bahwa dalam agama mereka secara implisit sudah terkandung unsur-unsur kekristenan. Pewahyuan kristen berarti hanya merupakan eksplisitasi dari unsur-unsur kristen-anonim dalam agama-agama non-kristen. Rahner kuarng memperhitungkan aspek kebaruan total dari peristiwa penjelmaan Yesus Kristus. Rahner memandang pewahyuan kristen hanya pemberian label baru pada bejana lama yang sudah punya substansi kekristenan secara anonim. Bagi de Lubac secara substansial agama kristen berbeda dari semua agama manapun karena kebaruan total pewahyuan Yesus Kristus. Sebenarnya kritik de Lucac tidak terlalu tepat. Rahner tidak menyamakan pewahyuan kristen dengan agama-agama non-kristen. Justru sebaliknya yang ingin dibela oleh Rahner adalah bahwa seandainya ada kebenaran dalam agama-agama non-kristen itu sebagai pembawa keselamatan bagi para penganutnya, maka hal itu adalah wujud nyata dari rahmat Allah, yang tidak lain adalah rahmat Kristus sendiri. Dengan kata lain bukan kebenaran agama agama lain sama dengan kebenaran agama kristen, melainkan kebenaran agama kristen itulah yang mewujud dalam agama-agama lain sesuai dengan rahmat Roh Kudus yang berhembus ke mana saja Roh itu menghendaki. Dengan ini Rahner ingin memberikan tafsiran teologis terhadap fenomena sosiologis di mana banyak orang di dunia ini pada kenyataannya adalah bukan orang kristen, bahkan mereka taat beribadah kepada Allah lewat dan dalam agamanya.
Kritik ketiga dikemukan oleh Hans Urs von Balthazar. Balthazar berpendapat bahwa ’teori Rahner merelatifkan peranan Kristus dalam tata keselamatan dan mengembalikan segala sesuatu kepada penyelenggaraan ilahi dan cinta manusiawi. Bagi Bathazar teori Rahner merupakan devaluasi dari teologi salib dan cinta personal kepada Kristus yang membuat orang kristen siap mengikutiNya sampai mengurbankan diri. Dengan kata lain tidak ada beda esensial antara orang-orang krsiten dan orang-orang kristen-anonim. Padahal bagi Bathazar agama-agama non-kristen itu ambigu, dalam arti mengandung kebaikan tetapi juga biosa membawa kepada kesesatan. Pewahyuan tidak bersifat ambigu, jelas dan terang menghantar manusia kepada kebenaran dan hidup. berkaitan dengan kritik Balthazar Rahner terbuka dan menerima kemungkinan bahwa istilah kristen-anonim bisa disalahmengerti. Rahner menegaskan bahwa dia hanya ingin menjembatani sikap saling curiga antar umat beragama. Khususnya sikap orang kristen terhadap penganut agama non-kristen dengan mengatakan bahwa sebenarnya mereka yang hidupnya baik dan penuh kasih itu menampakkan rahmat Allah juga, dan mereka bisa disebut sebagai orang kristen tanpa nama (being Christian without the name).
Kritik keempat datang dari Hans Kueng. Kritik Kung berangkat dari sudut yang berbeda, bila ketiga kritik sebelumnya berangkat dari pandangan bahwa Rahner terlalu liberal sampai cenderung merelatifkan kebenaran agama kristen, maka bagi Kung teologi Rahner masih terlalu konservatif dan mencerminkan fanatisme kristen. Bagi Kueng istilah kristen-anonim adalah sebuah rekayasa teologis dari Rahner supaya ia dapat mengatakan dengan anggun bahwa sebenarnya di luar Gereja tidak ada keselamatan. Dengan kata lain bagi Kueng istilah kristen-anonim justru menunjukkan kecongkakan teologi kristen yang menganggap agamanya sebagai yang paling sempurna. Bagi Rahner kritik Kueng ridak kena sasaran , karena istilah kristen-anonim tidak dipakai dalam konteks dialog antar agama. Istilah itu hanya untuk kalangan kristen sendiri agar dapat mengurangi sikap fanatisme dan kecurigaan terhadap orang non-kristen. Rahner juga tidak bermaksud untuk menunjukkan kecongkakan kristianinya, justru dengan istilah tersebut Rahner ingin menampilkan kekristenan yang lebih simpatik. Berkaitan dengan ini maka saya teringat pada apa yang ditulius oleh Howard Coward (seorang profesor dan pimpinan Department of Religious Studies, di University of Calgary) dalam bukunya yang berjudul Pluralism. Challence to World Religions (1985) yang menyatakan bahwa ”Teologi Rahner merupakan upaya sistematis untuk menegaskan ekslusivitas dan universalitas Kristus dan sekaligus menghormati kehendak Allah untuk menyelamatkan semua orang .... Menurut Rahner, memperhitungkan realitas rahmat Allah dalam agama-agama lain menjadi dasar bagi orang kristen untuk bersikap toleran, rendah hati, namun tegas dalam sikap terhadap agama bukan kristen” (hal.74-75)
Kritik kelima datang dari Max Seckler. Bagi Seckler Rahner kurang menaruh perhatian pada kemungkinan bahwa isi kepercayaan dan praktek hidup suatu agama bisa menghalangi tercapainya keselamatan. Pertanyaannya adalah ”Apakah suatu agama adalah suatu jalan keselamatan atau bukan tergantung dari bagaimana iman dan praktek iman agama itu menjadi sarana yang kondusif untuk membuat pilihan-pilihan di mana orang dapat mengasihi sesamanya?” Bagi Rahner jelas bahwa agama-agama non kristen adalah bagian dari kebudayaan. Rahner hanya percaya kepada pewahyuan kristiani sebagai satu-satunya pewahyuan yang benar. Berkaitan dengan itu maka Seckler membuat obyeksi bahwa agama-agama non-kristen tetap tidak bisa disamakan dengan agama kristen, dengan kata lain agama-agama itu tidak bisa disebut kristen-anonim. Berkaitan denga n pendapat Seckler maka Rahner menjawab ”Seandainya kita tidak mau menerima bahwa agama-agama non-kristen punya peranan positif barang sedikitpun untuk mencapai keselamatan bagi para pemeluknya, maka berarti kita memahami keselamatan bagi orang itu atas cara yang ahistoris dan asosial. Padahal menurut paham kristen keselamatan berciri historis dan sosial, maka keselamatan kristiani dari kodratnya berciri ekklesial. Rahner sudah menjelaskan bahwa komunikasi antara rahmat Allah dan roh manusia menghasilkan iman adikodrati yang tampak dalam cara hidup yang dituntun oleh suara hati orang yang bersangkutan. Dalam kekristenan rahmat itu secara nyata nampak dalam iman kepada Yesus Kristus dan penerimaan sakramen baptis. Bagi orang non kristen di mana bentuk historis dan sosial seperti itu tidak memungkinkan, maka agamanya dan iman yang diajarkan agama itulah yang menjadi wujud historis dan sosial dari rahmat Allah yang bekerja untuk keselamatannya.
Keselamatan di luar Gereja menurut Paus Paulus VI (1963-1978). Pertama-tama bisa dikatakan bahwa sikapnya terhadap agama-agama non-kristen nampak dalam tindakannya. Misalnya pada tanggal 19 Mei 1964 beliau mendirikan Sekretariat untuk urusan agama non kristiani. Tanggal 6 Agustus 1964 beliau menerbitkan ensiklik yang pertama berjudul Ecclesiam Suam yang sebagian besar berbicara tentang pengertian dialog. Paulus VI sangat menaruh perhatian pada kebutuhan Gereja Katolik untuk berdialog dengan agama-agama dunia. Pada Ecclesiam Suam, art.112 dapat dibaca ”Kita tidak akan menolak untuk mengakui nilai-nilai moral dan spiritual agama-agama non-kristiani. Bersama mereka kita ingin mewujudkan kebaikan manusiawi dalam hal kebebasan beragama, persaudaraan, kebudayaan yang baik, kesejahteraan sosial dan ketertiban masyarakat. Dari pihak kita terbuka kemungkinan bagi suatu dialog penuh keterbukaan dan penerimaan di bidang-bidang tersebut tadi”.
Bahkan pada kunjungannya di India pada tanggal 2-5 Desember 964, Paus Paulus VI berkata ”Tanah kalian adalah tanah budaya yang amat tua, asal usul agama-agama besar, dan tempat di mana orang-orang mencari Allah dengan kerinduan tanpa kenal lelah, melalui meditasi dan keheningan dan dalam hymne doa-doa yang khusuk. Kerinduan akan Allah itu terungkap dalam kata-kata bijaksana tua dalam kitab suci kalian ratusan tahun sebelum Kristus, yang berbunyi ’Bimbinglah kami dari khayalan kepada kenyataan: dari kegelapan menuju cahaya, dari kematian menuju kebakaan’”
Sikap yang ditunjukkan oleh Paus Paulus VI menimbulkan pertanyaan apa maksudnya dengan penghargaan terhadap agama-agama non kristiani tersebut? Apakah itu sebagai pengakuan bahwa agama-agama itu menjadi sarana penyelamatan bagi para pemeluknya? Dalam surat apostoliknya tentang karya misi Gereja, Evangelii Nuntiandi, Paus menerangkan bahwa pandangannya terhadap warisan moral dan spiritual agama-agama non-kristiani adalah semacam persiapan bagi Injil (EN,art 53). Paus Paulus VI juga menyebut agama-agama tersebagi ungkapan kerinduan begitu banyak manusia yang mencari Allah. Di lain pihak ’rasa hormat dan penghargaan Gereja terhadap agama-agama non-kristen tidak boleh menghapuskan kewajiban untuk mewartakan Injil kepada mereka.
Maka tidak mengherankan bila dalam bukunya Sullivan menulis Saya tidak menemukan satupun pernyataan dari Paulus VI di mana secara eksplisit ia menolak bahwa agama-agama non-kristen bisa menjadi sarana penyelamatan bagi para pengikutnya. Namun di lain pihak saya juga tidak pernah menemukan penegasan Paulus VI yang menyatakan secara eksplisit bahwa agama non-kristen dapat menjadi sarana penyelamatan bagi para pengikutnya (hal.189).
Keselamatan di luar Gereja menurut Yohanes Paulus II
Sebagaimana pendahulunya YPII juga mempunyai penghargan yang tinggi terhadap agama-agama non-kristen. Dalam ensikliknya Redemptor Hominis, 4 Maret 1979, YPII menyatakan Tidak jarang terjadi bahwa keimanan dan ketaqwaan para pemeluk agama lain - iman dan taqwa yang juga merupakan buah karya Roh Kebenaran yang bekerja di luar batas-batas tubuh mistik yang kelihatan – dapat membuat orangorang kristen sendiri malu karen tidak percaya atau bimbang tentang kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan (RH,art.6). Dalam kunjungan yng pertama di Asia, Yohanes Paulus II menyampaikan pesan radio sebagai berikut: Saya datang ke Asia untuk menjadi saksi tentang Roh yang aktif berkary dalam sejarah manusia dan bangsa-bangsa....: berkunjung kepada bangsa-bangsa di Asia, saya menjumpai warisan budaya lokal yang tua dan mengandung unsur-unsur spiritual yang terpuji. Warisan spiritual itu menunjuk pada jalan kehidupan yang seringkali amat dekat dengan apa yang kita temukan dalam Injil Kristus. Gereja Katolik menerima kebenaran dan kebaikan yang terdapat dalam agama-agama dan ia melihat di dalamnya cermin dari kebenaran Kristus sendiri. Kemudian ada satu peristiwa yang bagi Sullivan merupakan peristiwa monumental yaitu waktu YPII mengundang para pemimpin agama dunia untuk berdoa bersama di kota Asisi pada tahun 1986. Bagi Yohanes Paulus II sendiri peristiwa di Asisi itu merupakan suatu peristiwa yang luarbiasa, para pemimpin dunia berdoa bersama, dengan identitasnya masing-masing berdoa bersama mencari kebenaran. Bagi Yohanes Paulus II peristiwa itu membawanya pada kesimpulan sebagaimana ditulis oleh Rasul Paulus dalam Ro.8:26b ”Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan”. Kalau mempelajari baik pengajaran maupun penegasan-penegasan Yohanes Paulus II maka kita dapat menyimpulkan bahwa Paus sangat menjunjung tinggi kebaikan dan muatan spiritual agama-agama lain, bahkan secara eksplisit mengakui kebenaran yang terkandung di dalam agama-agama lain itu. Pertanyaan yang bisa diajukan adalah apakah pendapat Yohanes Paulus II sama dengan Paulus VI? Secara umum bisa dijawab secara afirmatif, sebagaimana Paulus VI bagi Yohanes Paulus II bahwa keselamantan hanya ada di dalam Kristus. Kristus adalah satu-satunya Penyelamat manusia. kalau ada sarana penyelamatan di luar Gereja maka sarana itu juga adalah penyelamatan dari Kristus, kemudian penghargaan pada kebenaran agama-agama non-kristen tidak menghapus tugas mewartakan Injil. Bila kita membaca RM art.10 maka ada satu hal penting yang mencerminkan pergumulan Yohanes Paulus II untuk menjelaskan tema keselamatan di luar Gereja, Yohanes Paulus II menulis sebagai berikut: Universalitas keselamatan berarti bahwa keselamatan itu diberikan bukan hanya kepada mereka yang secara eksplisit percaya kepada Kristus dan telah masuk menjadi anggota Gereja. Oleh karena keselamatan ditawarkan kepada semua orang, maka keselamatan itu secara konkret terjangkau untuk semua orang. Namun jelaslah bahwa dewasa ini, juga pada masa lampau, banyak orang tidak punya kesempatan untuk mengenal dan menerima pewahyuan Injil dan menjadi anggota Gereja. Kondisi sosial dan kultural di mana mereka hidup tidak memungkinkan bagi pengenalan itu, sehingga mereka hidup dalam tradisi keagamaan tertentu. Bagi orang-orang semacam itu, keselamatan dalam Kristus dimungkinkan melalui rahmat, yang walaupun rahmat itu punya relasi penuh misteri dengan Gereja, tidak membuat orang-orang non-kristen itu secara formal menjadi anggota Gereja, namun rahmat itu menerangi mereka atas cara yang sesuai dengan kondisi spiritual dan situasi hidup mereka. Rahmat itu datang dari Kristus. Rahmat itu adalah buah dari PengorbananNya dan dikomunikasikanNya melalui Roh Kudus. Rahmat itu memungkinkan tiap orang untuk memperoleh keselamatan melalui kerjasama bebas mereka masing-masing. Kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh teks di atas maka kita bisa berkata bahwa di dalam teks itu menggema pemikiran dari Santo Ambrosius, Santo Agustinus, Santo Thomas Aquinas, Giovann i Perrone, Pius IX, Johann B Franzelin dan Karl Rahner
Meluruskan semboyan di luar Gereja tidak ada keselamatan.
Semboyan di atas sebenarnya memiliki makna dan maksud yang khas. Kalau dilepaskan dari makna dan maksud yang khusus itu maka bisa menimbulkan salah pengertian. Apa makna dan maksud yang khusus itu? yang pertama harus dikatakan bahwa semboyan itu dimaksudkan agar orang kristen tidak murtad, yang kedua tidak dimaksudkan bagi orang-orang non kristen, yang ketiga tidak melawan keyakinan iman siapapun. Yang keempat semangat yang terkandung dalam semboyan itu tetap relevan.
Sullivan menutup bukunya dengan catatan sebagai berikut ”penyelidikan ajaran Gereja tentang extra Ecclesiam nulla salus bisa menjadi contoh yang baik untuk merefleksikan bagaimana suatu ajaran Gereja dapat berkembang dan berubah dalam perjalanan waktu. Kita ingat pernyataan Yohanes XXIII di hadapan para uskup pada saat pembukaan Konsili Vatikan II: ’Substansi ajaran iman tradisi Gereja yang tua adalah satu hal, cara bagaimana ajaran iman itu dinyatakan adalah hal lain’. Bapa Suci membedakan antara ’substansi’ dan ’cara’ ajaran iman itu diungkapkan. Penyelidikan historis ajaran extra Ecclesiam nulla salus menunjukkan bahwa ’substansinya’adalah bahwa Allah telah menunjuk Gereja sebagai pemeran yang perlu, dari kodratnya sendiri, dalam tata keselamatan Allah. Sama seperti Kristus adalah satu-satunya pengantara, demikian pula Tubuh MistikNya – Gereja – memiliki peran ’lanjutan’ namun ’perlu’ bagi keselamatan umat manusia. substansi tentang kedudukan dan peran Gereja dalam tata keselamatan itulah yang dalam perjalanan sejarah diungkapkan dalam rumusan yang berbeda, berubah dan berkembang”. Kesimpulan lain yang bisa diambil dari studi ini adalah bahwa ’faktor budaya berperan menentukan tentang bagaimana sebuah kebenaran dogma tentang perlunya Gereja bagi keselamatan itu dirumuskan oleh Gereja Katolik pada masa lalu, pada masa sekarang dan barangkali juga pada yang akan datang’.
Sebagai akhir dari studi saya ini saya ingin memberikan sedikit catatan bahwa ’mengingat terjadinya perubahan yang begitu cepat saat ini, maka saya berpikir bahwa proses rekatekisasi oleh Gereja merupakan sesuatu yang sangat penting, dan telah dimulai oleh Benediktus XVI dengan ajakan merayakan tahun iman selama lebih kurang 13 bulan. Sayangnya ajakan ini kurang bergema, khususnya di Keuskupan Bogor. Sejauh yang saya tahu di keuskupan lain dibentuk panitia khusus Tahun Iman sedang di keuskupan Bogor tidak ada panitia Tahun Iman. Di pihak lain itu umat perlu sadar betul bahwa iman bukan barang jadi, iman adalah suatu proses – baik dalam hal pengetahuan iman maupun dalam penghayatannya – yang harus terus berjalan sampai akhir hidup kita sendiri. Saya khawatir bahwa kalau situasi ini terus berlangsung maka akan semakin terjadi pendangkalan iman. Mari para sahabat aktivis kita lebih care tentang masalah ini. Selain itu saya masih punya sedikit pertanyaan, bagaimana dengan orang kristen yang dengan tulus dan jujur (lewat suatu diskresi sungguh-sungguh) menemukan imannya dalam agama lain? Mungkin ada sahabat yang bisa sedikit membantu saya menjawab pertanyaan tersebut. Sebelumnya terimakasih. Lansia dan Masa Depan: Di antara Kegelisahan dan Kegembiraan, Terbersit Harapan?
Stanislaus Nugroho
Manusia bukan makhluk yang sudah jadi melainkan makhluk yang menjadi,
dengan perkataan lain manusia merupakan makhluk yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
Maka tidak mengherankan bila banyak orang yang berpandangan bahwa hidup manusia itu tidak lain merupakan suatu petualangan, suatu perziarahan, suatu perjalanan, menuju ke mana? Menuju ke kepenuhannya, ke-keutuhan pribadi-nya, menuju ke integritas diri. Integritas diri – bagi saya – tercapai bila kita sudah mampu mensinergikan kelima talenta dasar kita: kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, dan kecerdasan mencari, menemukan makna dan akhirnya memaknai kehidupannya. Bila kita sudah mampu mensinergikan kelima kecerdasan itu maka kita akan mampu memiliki sikap mental yang positif. Bila kita sudah memiliki sikap mental yang positif maka kita pasti melihat ke masa depan dengan penuh kepercayaan, keyakinan dan harapan.
Namun bagaimana petualangan, perziarahan dan perjalanan itu harus berlangsung, lewat mana? Lewat penemuan-penemuan, lewat pencarian-pencarian terus menerus, dalam rangka itu saya menemukan seorang pemikir dan sekaligus seorang praktisi dalam bidang psikologi yang pasti bisa menyumbang sesuatu yang positif dalam usaha kita mencari dan menemukan diri kita sendiri, sesama kita dan Tuhan. Pemikir dan praktisi yang saya maksud adalah Erik H. Erikson (1902-1994), Erikson adalah orang pertama yang menemukan dan menggunakan istilah krisis identitas, Erikson seorang psikoanalisis yang sangat peka terhadap multidimensionalitas manusia, dengan kata lain bagi Erikson manusia adalah makhluk yang berwajah majemuk dan sangat rumit. Hal ini tentu tidak mengherankan, betapa tidak, manusia adalah citra Allah. Bagi Erikson pendekatan yang digunakan Sigmund Freud yang berangkat dari dan berakhir pada psikoseksual, perlu diperluas dan diperkaya dengan apa yang disebut Erikson sebagai psikososial, bagi Erikson perkembangan biologis manusia tidak bisa dilepaskan/diceraikan dari perkembangan relasi sosialnya.
Seperti kita ketahui bersama Erikson dalam menjelaskan perkembangan manusia berangkat dari suatu studi dan penelitian-penelitian yang sangat intensif. Salah satu pemikirannya yang paling menarik adalah perkembangan manusia berlangsung dalam tahapan-tahapan, dan ada delapan tahap. Kedelapan tahap tersebut tetap sama dan bersifat universal, kalau meminjam istilah Piaget, tahapannya berciri invarian. Kedelapan tahap tersebut berawal dari masa prakanak-kanak dan berakhir dengan periode akhhir masa dewasa. Selain itu bagi Erikson perkembangan manusia membutuhkan sejumlah besar hubungan timbal-balik antara subyek dengan lingkungannya. Dan akhirnya perkembangan manusia berciri relatif, dalam arti setiap perkembangan baru memperbaharui tahapan sebelumnya, dengan demikian terjadilah suatu suatu proses transformasi terus menerus. Dalam rangka transformasi tersebut sering subyek mengalami regresi sementara, ada yang ahli yang menyebut regresi yang membantu perkembangan subyek. Dengan demikian perziarahan hidup manusia sejauh digambarkan oleh Erikson bukanlah suatu jalan yang lurus, mulus dan tanpa hambatan, perziarahan manusia dalam hidupnya merupakan perziarahan yang berciri zig-zag, banyak tikungan-tikungan yang berbahaya, diperlukan pengelolaan dan ketrampilan yang tepat dan baik. berkaitan dengan ketrampilan mengelola diri ini sangat tergantung pada interaksi antara manusia, khususnya pada masa-masa awal kehidupannya, di mana interaksi subyek dengan orang-orang dekatnya, khususnya orangtuanya dan lebih khusus lagi ibunya menjadi sangat-sangat menentukan.
Bila pada masa pra-kanak-kanak (usia 0-2 tahun) orangtua memberikan ’pupuk’ yang berupa ketersalingan yang sangat diwarnai kasih-sayang, pemenuhan kebutuhan secara utuh, baik lahir maupun batin maka dalam diri ’subyek’ akan tumbuh kepercayaan dasar, baik terhadap diri sendiri maupun dengan orang lain. Di lain pihak ’subyek’ mengalami timbulnya krisis yang akan menimbulkan luka batin yang bisa menjadi gawat, bila orangtua (khususnya ibu) sering menarik diri dan tidak hadir pada waktu ’subyek’ membutuhkan kehadirannya, ’subyek’ yang tidak memperoleh apa yang dibutuhkan akan mengalami ketidakpercayaan dasar. Pada periode ini ’subyek’ akan membentuk diri sesuai dengan apa yang diterimanya. Pada periode ini akan terbentuk ’subyek’ yang memiliki pengharapan atau keputusasaan, dengan kata lain akan terbentuk subyek yang percaya-diri atau yang-tidak-percaya-diri.
Selanjutnya tahap kedua merupakan tahap akhir masa pra-kanak-kanak (usia 2-3 tahun). Pada tahap ini subyek mulai belajar melepaskan diri dari orang-orang dekatnya, orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Subyek mulai menumbuhkembangkan kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, menghayati kebebasannya, di sini peran orangtua hendaknya mulai bersikap tut wuri handayani. Orangtua hendaknya mulai memberikan sayap kepada anaknya, karena menurut Erikson konflik yang akan dialami saat ini adalah timbulnya keragu-raguan dan rasa malu yang berlebihan. Bila periode ini bisa dikelola dengan baik, maka subyek akan tumbuh menjadi subyek yang saya kehendaki dengan sadar dan penuh pertimbangan.
Tahap ketiga merupakan awal masa kanak-kanak (usia 4-5 tahun). Bagi Erikson tahap ini ditandai dengan konflik antara prakarsa/inisiatif dengan rasa bersalah (guilty feeling). Pada tahap ini subyek mulai menyadari kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya (baik inderawi, motoris maupun kognitif). Pada tahap ini subyek mulai mencoba-coba, mengembangkan fantasinya, keinginan tahu baik yang seksual maupun intelektual. Namun di lain pihak pada periode ini subyek berhadapan dengan aturan-aturan, maka subyek juga mulai ’dihantui’ rasa bersalah bila melanggar aturan dan norma yang ada.baik itu dilihat maupun tidak dilihat oleh orang lain. Bila orangtua mampu memberikan bimbingan yang tepat maka suara hati subyek akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Dengan kata lain subyek yang terbimbing dengan tepat akan memiliki kemampuan merencanakan dengan tepat dan baik, mulai mampu merumuskan tujuan-tujuannya. Maka subyek akan tumbuh menjadi subyek yang dapat/mampu merencanakan dengan tepat.
Tahap keempat merupakan periode pertengahan masa kanak-kanak (usia 6-11 tahun). Bagi Erikson subyek dengan bimbingan yang tepat, pada periode ini subyek akan menumbuhkembangkan kerajinan, daya konstruksi dan semangat berkegiatan, dengan kata lain mulai mengembangkan kompetensi dirinya. Namun di lain pihak bila pendampingan kurang tepat maka subyek justru akan terjebak pada rasa rendah diri, bila hal ini yang terjadi maka subyek akan mengalami hambatan-hambatan dan kalau tidak terdeteksi dengan tepat maka subyek akan berkembang menjadi pribadi yang rendah diri, menjadi pribadi yang minder. Sebaliknya bila berhasil mengatasi konflik atau krisis pada tahap ini maka subyek akan mampu menciptakan semboyan diri aku adalah apa yang saya pelajari.
Tahap kelima merupakan periode akil balik atau pubertas (usia 12-19 tahun), periode ini bagi Erikson merupakan periode yang sangat menentukan. Karena pada periode ini subyek akan menemukan identitasnya atau justru sebaliknya mengalami kekacauan identitas. Masa pubertas merupakan masa yang kritis, karena subyek akan menghadapi tantangan-tantangan yang lahir dari proses pematangan fisiologis dan seksualnya. Kalau pada masa ini subyek tidak mendapat bimbingan yang tepat dan tidak menemukan peer groupnya yang baik maka subyek akan semakin menemukan keruwetan dan pertentangan, dan kemungkinan subyek akan terjebak pada kerapuhan pribadi atau dengan kata lain menjadi pribadi yang terpecah. Di lain pihak kalau mendapat bimbingan yang tepat dan sekaligus menemukan peer-group yang baik maka subyek akan bertumbuh menjadi pribadi yang penuh dan utuh. Bagi Erikson pribadi tersebut akan diwarnai dengan sikap pengabdian dan kesetiaan.
Tahap keenam merupakan periode awal masa dewasa (usia 20-30 tahun), bagi Erikson orang dewasa yang berada pada periode ini akan menghadapi krisis atau konflik antara keintiman/intimitas dan keterasingan/isolasi. Periode ini menuntut usaha yang keras dan cerdas untuk dapat membangun relasi afektif yang mantap, dengan peer-groupnya, dan lebih khusus dengan yang berlawanan jenis kelaminnya. Subyek yang berhasil akan mampu mengembangkan sikap kasih/cinta dan unitas/persatuan. Selain itu subyek juga mampu bertanggungjawab. Sebaliknya yang gagal maka akan bertumbuh menjadi pribadi yang terasing, terisolasi, mengundurkan diri dari peer-groupnya bahkan menjauhkan diri. Menurut Erikson kegagalan ini akarnya pada kegagalan pada tahap kelima, tahap penemuan identitas diri yang mantap.
Tahap ketujuh merupakan periode pertengahan masa dewasa (usia 30-65 tahun), periode ini ditandai dengan produktivitas dan kreativitas, atau istilah yang digunakan oleh Erikson adalah generativitas. Sebaliknya lawan dari generativitas adalah stagnasi (kemandekan). Yang dimaksud dengan produktivitas oleh Erikson dalam arti yang paling luas, dalam rangka merealisasikan diri seseorang sebagai makhluk sosial, ke-sosial-annya, dalam diri orang itu muncul tanggungjawab sosialnya, dan penuh perhatian dengan semua pihak yang terkait dengannya. Sedang yang dimaksud dengan stagnasi oleh Erikson harus dimengerti dalam arti paling luas juga, yaitu seseorang yang berhenti pada ke-aku-annya, terjebak pada egosentrismenya saja. Yang lebih gawat lagi – sejauh pengalaman klinis dari Erikson – seseorang cenderung melihat bahwa hidupnya menjadi jenuh dan tidak bermakna lagi., lalu mencoba menciptakan keintiman palsu,dan akhirnya seseorang itu mengalami kecemasan.
Tahap kedelapan merupakan periode akhir masa dewasa (usia 65 tahun ke atas) atau dengan kata lain periode lansia. Pada tahap ini ’pertarungan akhir’ yang terjadi adalah pertarungan antara integritas atau kalau meminjam istilah yang dipakai oleh John Powell, SJ (alm.): fully human, fully alive dengan despair (keputusasaan). Seorang yang sudah memasuki periode akhir masadewasa pasti mengalami/merasakan keterbatasan dirinya, bahkan sudah ada yang mulai berpikir masalah kematian. Pada periode ini bila seseorang dalam perziarahan sudah berhasil mencapai kepecayaan pada diri sendiri dan sesamanya dan Tuhan; kemudian juga berhasil menghayati otonomi dirinya; menghayati inisiatif, prakarsa, ketekunan, memiliki identitas diri yang jelas dan utuh, serta mampu menghayati intimitas dengan sesamanya, maka dengan agak mudah membangun integritas dirinya, karena orang itu sudah mulai mengalami keharmonisan, keselarasan dirinya dengan sesama dan Tuhan. Subyek sampai saat ini sudah mampu menghargai kesinambungan masa lampaunya dengan masa depan, dengan masa yang akan datang, dia juga akan mampu menerima keterbatasannya, dan sadar bahwa tugasnya saat ini adalah mewariskan apa yang dia capai, yang telah dia miliki kepada sesamanya, kepada keluarganya, kepada semua pihak yang terkait dengan dirinya. Lain halnya dengan subyek yang dalam perziarahannya pernah mengalami kegagalan-kegagalan, perziarahannya tidak mulus. Namun mereka yang mengalami ketidakmulusan ini masih bisa berharap bahwa kegagalan-kegagalan selama ini bukanlah akhir segalanya, memang kegagalan-kegagalan ini menimbulkan luka, namun luka-laku tersebut dapat disembuhkan, kami di Bogor sudah mengembangkan sebuah program yang berlangsung selama tiga hari dua malam untuk melakukan peroses penyembuhan tersebut, program tersebut kami beri nama Pengutuhan diri lewat tahap-tahap perkembangan manusia dengan terang spiritualitas Ignatian. Suatu program yang sudah bisa membantu mereka yang mengalami perziarahan hidup secara kurang mulus.
Dengan harapan dan kepercayaan yang telah kita miliki maka kita pasti akan berhasil mencapai Fully Human, Fully Alive Stanislaus Nugroho).
Jumat, 28 Juni 2013
LANSIA DAN MASA DEPAN: DI ANTARA KEGELISAHAN DAN KEGEMBIRAAN. TERBERSIT HARAPAN?
Manusia bukan makhluk yang sudah jadi melainkan makhluk yang menjadi,
dengan perkataan lain manusia merupakan makhluk yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
Maka tidak mengherankan bila banyak orang yang berpandangan bahwa hidup manusia itu tidak lain merupakan suatu petualangan, suatu perziarahan, suatu perjalanan, menuju ke mana? Menuju ke kepenuhannya, ke-keutuhan pribadi-nya, menuju ke integritas diri. Integritas diri – bagi saya – tercapai bila kita sudah mampu mensinergikan kelima talenta dasar kita: kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, dan kecerdasan mencari, menemukan makna dan akhirnya memaknai kehidupannya. Bila kita sudah mampu mensinergikan kelima kecerdasan itu maka kita akan mampu memiliki sikap mental yang positif. Bila kita sudah memiliki sikap mental yang positif maka kita pasti melihat ke masa depan dengan penuh kepercayaan, keyakinan dan harapan.
Namun bagaimana petualangan, perziarahan dan perjalanan itu harus berlangsung, lewat mana? Lewat penemuan-penemuan, lewat pencarian-pencarian terus menerus, dalam rangka itu saya menemukan seorang pemikir dan sekaligus seorang praktisi dalam bidang psikologi yang pasti bisa menyumbang sesuatu yang positif dalam usaha kita mencari dan menemukan diri kita sendiri, sesama kita dan Tuhan. Pemikir dan praktisi yang saya maksud adalah Erik H. Erikson (1902-1994), Erikson adalah orang pertama yang menemukan dan menggunakan istilah krisis identitas, Erikson seorang psikoanalisis yang sangat peka terhadap multidimensionalitas manusia, dengan kata lain bagi Erikson manusia adalah makhluk yang berwajah majemuk dan sangat rumit. Hal ini tentu tidak mengherankan, betapa tidak, manusia adalah citra Allah. Bagi Erikson pendekatan yang digunakan Sigmund Freud yang berangkat dari dan berakhir pada psikoseksual, perlu diperluas dan diperkaya dengan apa yang disebut Erikson sebagai psikososial, bagi Erikson perkembangan biologis manusia tidak bisa dilepaskan/diceraikan dari perkembangan relasi sosialnya.
Seperti kita ketahui bersama Erikson dalam menjelaskan perkembangan manusia berangkat dari suatu studi dan penelitian-penelitian yang sangat intensif. Salah satu pemikirannya yang paling menarik adalah perkembangan manusia berlangsung dalam tahapan-tahapan, dan ada delapan tahap. Kedelapan tahap tersebut tetap sama dan bersifat universal, kalau meminjam istilah Piaget, tahapannya berciri invarian. Kedelapan tahap tersebut berawal dari masa prakanak-kanak dan berakhir dengan periode akhhir masa dewasa. Selain itu bagi Erikson perkembangan manusia membutuhkan sejumlah besar hubungan timbal-balik antara subyek dengan lingkungannya. Dan akhirnya perkembangan manusia berciri relatif, dalam arti setiap perkembangan baru memperbaharui tahapan sebelumnya, dengan demikian terjadilah suatu suatu proses transformasi terus menerus. Dalam rangka transformasi tersebut sering subyek mengalami regresi sementara, ada yang ahli yang menyebut regresi yang membantu perkembangan subyek. Dengan demikian perziarahan hidup manusia sejauh digambarkan oleh Erikson bukanlah suatu jalan yang lurus, mulus dan tanpa hambatan, perziarahan manusia dalam hidupnya merupakan perziarahan yang berciri zig-zag, banyak tikungan-tikungan yang berbahaya, diperlukan pengelolaan dan ketrampilan yang tepat dan baik. berkaitan dengan ketrampilan mengelola diri ini sangat tergantung pada interaksi antara manusia, khususnya pada masa-masa awal kehidupannya, di mana interaksi subyek dengan orang-orang dekatnya, khususnya orangtuanya dan lebih khusus lagi ibunya menjadi sangat-sangat menentukan.
Bila pada masa pra-kanak-kanak (usia 0-2 tahun) orangtua memberikan ’pupuk’ yang berupa ketersalingan yang sangat diwarnai kasih-sayang, pemenuhan kebutuhan secara utuh, baik lahir maupun batin maka dalam diri ’subyek’ akan tumbuh kepercayaan dasar, baik terhadap diri sendiri maupun dengan orang lain. Di lain pihak ’subyek’ mengalami timbulnya krisis yang akan menimbulkan luka batin yang bisa menjadi gawat, bila orangtua (khususnya ibu) sering menarik diri dan tidak hadir pada waktu ’subyek’ membutuhkan kehadirannya, ’subyek’ yang tidak memperoleh apa yang dibutuhkan akan mengalami ketidakpercayaan dasar. Pada periode ini ’subyek’ akan membentuk diri sesuai dengan apa yang diterimanya. Pada periode ini akan terbentuk ’subyek’ yang memiliki pengharapan atau keputusasaan, dengan kata lain akan terbentuk subyek yang percaya-diri atau yang-tidak-percaya-diri.
Selanjutnya tahap kedua merupakan tahap akhir masa pra-kanak-kanak (usia 2-3 tahun). Pada tahap ini subyek mulai belajar melepaskan diri dari orang-orang dekatnya, orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Subyek mulai menumbuhkembangkan kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, menghayati kebebasannya, di sini peran orangtua hendaknya mulai bersikap tut wuri handayani. Orangtua hendaknya mulai memberikan sayap kepada anaknya, karena menurut Erikson konflik yang akan dialami saat ini adalah timbulnya keragu-raguan dan rasa malu yang berlebihan. Bila periode ini bisa dikelola dengan baik, maka subyek akan tumbuh menjadi subyek yang saya kehendaki dengan sadar dan penuh pertimbangan.
Tahap ketiga merupakan awal masa kanak-kanak (usia 4-5 tahun). Bagi Erikson tahap ini ditandai dengan konflik antara prakarsa/inisiatif dengan rasa bersalah (guilty feeling). Pada tahap ini subyek mulai menyadari kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya (baik inderawi, motoris maupun kognitif). Pada tahap ini subyek mulai mencoba-coba, mengembangkan fantasinya, keinginan tahu baik yang seksual maupun intelektual. Namun di lain pihak pada periode ini subyek berhadapan dengan aturan-aturan, maka subyek juga mulai ’dihantui’ rasa bersalah bila melanggar aturan dan norma yang ada.baik itu dilihat maupun tidak dilihat oleh orang lain. Bila orangtua mampu memberikan bimbingan yang tepat maka suara hati subyek akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Dengan kata lain subyek yang terbimbing dengan tepat akan memiliki kemampuan merencanakan dengan tepat dan baik, mulai mampu merumuskan tujuan-tujuannya. Maka subyek akan tumbuh menjadi subyek yang dapat/mampu merencanakan dengan tepat.
Tahap keempat merupakan periode pertengahan masa kanak-kanak (usia 6-11 tahun). Bagi Erikson subyek dengan bimbingan yang tepat, pada periode ini subyek akan menumbuhkembangkan kerajinan, daya konstruksi dan semangat berkegiatan, dengan kata lain mulai mengembangkan kompetensi dirinya. Namun di lain pihak bila pendampingan kurang tepat maka subyek justru akan terjebak pada rasa rendah diri, bila hal ini yang terjadi maka subyek akan mengalami hambatan-hambatan dan kalau tidak terdeteksi dengan tepat maka subyek akan berkembang menjadi pribadi yang rendah diri, menjadi pribadi yang minder. Sebaliknya bila berhasil mengatasi konflik atau krisis pada tahap ini maka subyek akan mampu menciptakan semboyan diri aku adalah apa yang saya pelajari.
Tahap kelima merupakan periode akil balik atau pubertas (usia 12-19 tahun), periode ini bagi Erikson merupakan periode yang sangat menentukan. Karena pada periode ini subyek akan menemukan identitasnya atau justru sebaliknya mengalami kekacauan identitas. Masa pubertas merupakan masa yang kritis, karena subyek akan menghadapi tantangan-tantangan yang lahir dari proses pematangan fisiologis dan seksualnya. Kalau pada masa ini subyek tidak mendapat bimbingan yang tepat dan tidak menemukan peer groupnya yang baik maka subyek akan semakin menemukan keruwetan dan pertentangan, dan kemungkinan subyek akan terjebak pada kerapuhan pribadi atau dengan kata lain menjadi pribadi yang terpecah. Di lain pihak kalau mendapat bimbingan yang tepat dan sekaligus menemukan peer-group yang baik maka subyek akan bertumbuh menjadi pribadi yang penuh dan utuh. Bagi Erikson pribadi tersebut akan diwarnai dengan sikap pengabdian dan kesetiaan.
Tahap keenam merupakan periode awal masa dewasa (usia 20-30 tahun), bagi Erikson orang dewasa yang berada pada periode ini akan menghadapi krisis atau konflik antara keintiman/intimitas dan keterasingan/isolasi. Periode ini menuntut usaha yang keras dan cerdas untuk dapat membangun relasi afektif yang mantap, dengan peer-groupnya, dan lebih khusus dengan yang berlawanan jenis kelaminnya. Subyek yang berhasil akan mampu mengembangkan sikap kasih/cinta dan unitas/persatuan. Selain itu subyek juga mampu bertanggungjawab. Sebaliknya yang gagal maka akan bertumbuh menjadi pribadi yang terasing, terisolasi, mengundurkan diri dari peer-groupnya bahkan menjauhkan diri. Menurut Erikson kegagalan ini akarnya pada kegagalan pada tahap kelima, tahap penemuan identitas diri yang mantap.
Tahap ketujuh merupakan periode pertengahan masa dewasa (usia 30-65 tahun), periode ini ditandai dengan produktivitas dan kreativitas, atau istilah yang digunakan oleh Erikson adalah generativitas. Sebaliknya lawan dari generativitas adalah stagnasi (kemandekan). Yang dimaksud dengan produktivitas oleh Erikson dalam arti yang paling luas, dalam rangka merealisasikan diri seseorang sebagai makhluk sosial, ke-sosial-annya, dalam diri orang itu muncul tanggungjawab sosialnya, dan penuh perhatian dengan semua pihak yang terkait dengannya. Sedang yang dimaksud dengan stagnasi oleh Erikson harus dimengerti dalam arti paling luas juga, yaitu seseorang yang berhenti pada ke-aku-annya, terjebak pada egosentrismenya saja. Yang lebih gawat lagi – sejauh pengalaman klinis dari Erikson – seseorang cenderung melihat bahwa hidupnya menjadi jenuh dan tidak bermakna lagi., lalu mencoba menciptakan keintiman palsu,dan akhirnya seseorang itu mengalami kecemasan.
Tahap kedelapan merupakan periode akhir masa dewasa (usia 65 tahun ke atas) atau dengan kata lain periode lansia. Pada tahap ini ’pertarungan akhir’ yang terjadi adalah pertarungan antara integritas atau kalau meminjam istilah yang dipakai oleh John Powell, SJ (alm.): fully human, fully alive dengan despair (keputusasaan). Seorang yang sudah memasuki periode akhir masadewasa pasti mengalami/merasakan keterbatasan dirinya, bahkan sudah ada yang mulai berpikir masalah kematian. Pada periode ini bila seseorang dalam perziarahan sudah berhasil mencapai kepecayaan pada diri sendiri dan sesamanya dan Tuhan; kemudian juga berhasil menghayati otonomi dirinya; menghayati inisiatif, prakarsa, ketekunan, memiliki identitas diri yang jelas dan utuh, serta mampu menghayati intimitas dengan sesamanya, maka dengan agak mudah membangun integritas dirinya, karena orang itu sudah mulai mengalami keharmonisan, keselarasan dirinya dengan sesama dan Tuhan. Subyek sampai saat ini sudah mampu menghargai kesinambungan masa lampaunya dengan masa depan, dengan masa yang akan datang, dia juga akan mampu menerima keterbatasannya, dan sadar bahwa tugasnya saat ini adalah mewariskan apa yang dia capai, yang telah dia miliki kepada sesamanya, kepada keluarganya, kepada semua pihak yang terkait dengan dirinya. Lain halnya dengan subyek yang dalam perziarahannya pernah mengalami kegagalan-kegagalan, perziarahannya tidak mulus. Namun mereka yang mengalami ketidakmulusan ini masih bisa berharap bahwa kegagalan-kegagalan selama ini bukanlah akhir segalanya, memang kegagalan-kegagalan ini menimbulkan luka, namun luka-laku tersebut dapat disembuhkan, kami di Bogor sudah mengembangkan sebuah program yang berlangsung selama tiga hari dua malam untuk melakukan peroses penyembuhan tersebut, program tersebut kami beri nama Pengutuhan diri lewat tahap-tahap perkembangan manusia dengan terang spiritualitas Ignatian. Suatu program yang sudah bisa membantu mereka yang mengalami perziarahan hidup secara kurang mulus.
Dengan harapan dan kepercayaan yang telah kita miliki maka kita pasti akan berhasil mencapai Fully Human, Fully Alive. (Stanislaus Nugroho)
Sabtu, 30 Maret 2013
Paskah dan Kebangkitan Keluarga
Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis
dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematiannya?
Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan
Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya sama seperti Kristus
telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa,
demikian kita juga akan hidup dalam hidup yang baru (Rm.6:3-4).
Bila saya merenungkan apa yang saya kutip di atas maka Misteri Paskah bagaikan dua sisi satu mata uang yang tak terpisahkan, sisi yang pertama tidak lain adalah wafat (penderitaan) dan sisi yang lain adalah kebangkitan (sukacita). Kedua wajah tersebut sangat membekas dalam diri para rasul, dalam surat-suratnya rasul Paulus mengungkapkannya sebagai berikut ”Kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus” (1Tes.1:6), ungkapan serupa kita temukan juga pada 2Kor.8:2 di mana rasul Paulus menulis bagi jemaat Makedonia sebagai berikut ”Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap ......”. Sedang dalam Kis.5:41 tercatat pengalaman para rasul (Petrus dan kawan-kawan) dihadapan Mahkamah Agama ”Rasul-rasul itu meninggalkan sidang Mahkamah Agama dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena nama Yesus”.
Biarpun peran kesengsaraan itu penting dan tidak terlepas dari kebangkitan, namun tidaklah berlangsung lama, tidak lebih dari 24 jam, namun kemudian penderitaan itu diganti dengan sukacita yang berlangsung sepanjang masa, biarpun didahului dengan ketakutan, kegalauan, kekhawatiran, kekecewaan. Saya teringat pada Santo Augustinus yang pernah menyapa umatnya dengan sebutan Umat Paskah, yang dengan sangat kuat ditandai oleh kesukacitaan peristiwa Paskah. Rasul Petrus dalam suratnya yang pertama (1:8) menulis sebagai berikut ”Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihiNya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihatNya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan”.
Biarpun bagi rasul Paulus di mana tema sukacita bukan menjadi fokus perhatiannya, namun dalam suratnya kepada jemaat Filipi (2:17) dengan alasan tertentu rasul menulis demikian ”Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukaria dan aku bersukacita dengan kamu sekalian”. Ada dua alasan yang mendorong rasul Paulus menulis seperti itu, yang pertama adanya kesempatan untuk mempersembahkan iman jemaat di Filipi kepada Allah dan yang kedua rasul boleh ambil bagian dalam kemartiran, sebagai saksi iman.
Begitu pula penginjil Lukas dalam Injilnya sangat menekankan tema sukacita. Beberapa contoh dapat diutarakan di sini. Misalnya pada Kisah Kanak-kanak Yesus, Malaikat menyampaikan – biarpun tidak secara eksplisit – salam sukacita kepada Maria ”Salam, hai engkau yang dikaruniai (Lk.1:28). Begitu pula lewat Magnificat, Bunda Maria dihadapan Elisabet, saudaranya mengungkapkan kegembiraannya, dirinya telah dipilih menjadi Bunda Mesias yang sudah lama ditunggu-tunggu bangsa Israel, ungkapannya ”Hatiku bergembira karena Allah Juruselamatku ..... Mulai dari sekarang dari segala keturunan akan menyebut aku berbahagia....”(Lk.1:47-48). Begitu pula pesan Natal mengungkapkan sukacita yang sangat jelas dan sangat tegas bagi orang kecil (para gembala) ”Sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus” (Lk.2:10-11). Menjelang akhir Injilnya Penginjil Yohanes mengungkapkan catatan bersuasana sukacita ”Semuanya itu Kukatakan kepadamu supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh. ...Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira .... Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu ..... Sekarang, Aku datang kepadamu .... supaya penuhlah sukacitaKu di dalam diri mereka (Yo.15:11; 16:22-24; 17:13). Sabda perpisahan itu lebih merupakan sabda sukacita daripada sabda kesedihan karena akan berpisah.
Begitu pula penginjil Lukas mengakhiri Injilnya dengan teriakan sukacita, ketika Yesus bangkit dan menampakkan diri kepada murid-muridNya yang ketakutan, mula-mula mereka ”belum percaya karena girangnya” (Lk.24:41). Begitu Yesus naik ke surga para murid pulang ke Yerusalem ”dengan sangat bersukacita” (Lk.24:52). Berkaitan dengan ini semua saya jadi teringat ucapan Santo Thomas Aquinas bahwa ”dalam Allah ada dua hal yang tidak pernah berubah, yakni kasih dan sukacitaNya”.
Berkaitan dengan itu semua maka kita – sebagai umat beriman, sebagai anggota Tubuh Mistik Kristus – seharusnya juga menjadi Umat Paskah, yang ditandai kesukacitaan kristiani. Namun dalam kehidupan sehari-hari sejauh pengalaman saya mendampingi keluarga-keluarga kristiani, maka masih cukup banyak keluarga kristiani yang penuh dengan kekhawatiran, ketakutan dan penderitaan, kekecewaan dan lain sebagainya. Biarpun secara manusiawi semua ketidaksukacitaan itu dapat dimengerti, betapa tidak. Dewasa ini hidup berkeluarga memiliki tantangan, kesulitan dan godaan yang tidak ringan, namun sebagai orang beriman, saya pikir ada sesuatu yang perlu direfleksikan secara mendalam!!!!!
Bagi rasul Paulus, sebagai pengikut Kristus Yesus hanya mengharapkan satu hal saja, yaitu: mengambil bagian dalam kemulian Allah. Namun harapan itu bagaikan pelita yang tentunya tidak seterang dunia gemerlap yang ditawarkan di sekitar kita. Bahkan harapan itu mengandung ketidakpastian, karena harapan itu terdapat dalam tubuh-dosa kita, yang sudah ditebus namun belumlah tuntas, masih dalam peziarahan menuju kepenuhannya. Kita masih berada – di satu pihak – ”telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm.3:23), kita tidak mempunyai bagian dalam cahaya sendiri; tetapi – di lain pihak – kita ”bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah” (Rm.5:2). Sebab rasul Paulus memiliki keyakinan yang kuat bahwa ”... penderitaan jaman sekarang tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm.8:18). Untuk itu maka rasul Paulus berdoa bagi kita yang masih dalam perziarahan ini ”Supaya Ia menjadikan matahatimu terang agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilanNya: Betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukanNya bagi orang-orang Kudus” (Ef.1:18).
Yesus yang bangkit telah memberikan kepada kita – para pengikutNya – suatu anugerah tertinggi yaitu: Roh Kudus. Hal itu dijanjikan pada saat Yesus hendak pergi kepada BapaNya ”Ia melarang mereka meninggalkan Yerusalem, dan menyuruh mereka tinggal di sini menantikan janji Bapa , ....karena kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus” (Kis.1:4-5). Pencurahan Roh Kudus tersebut berlangsung pada hari Pentakosta, dan yang menarik rasul Petrus memperluas janji yang serupa kepada semua orang yang dibaptis: ”Maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus. Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu ....” (Kis.2:38-39). Maka tidaklah mengherankan bila Perjanjian Baru berbicara tentang ”Roh Kudus adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemulianNya” (Ef.1:14). Dengan kata lain penebusan kita belum lengkap dan utuh, selama kita hidup maka penebusan kita masih berupa uang muka, baru lengkap pada saat parousia. Namun biarpun masih berupa uang muka namun kita mendapat kurnia yang luar biasa, yang bisa menjadi bekal dalam perziarahan kita di dunia, betapa tidak. Kita mendapat pengudusan, keputeraan, dan kemerdekaan. Dengan demikian maka menjadi pekerjaan rumah bagi kita – para pengikut Kristus Yesus – untuk berusaha menumbuhkembangkan ketiga kurnia tersebut dalam kerjasama dengan Roh Kudus, Roh Penolong dan sekaligus Roh Sukacita, sebagaimana ditegaskan oleh rasul Paulus ”Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih-kurnia ini. Di dalam kasih-kurnia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Dan bukan itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan-uji dan tahan-uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikurniakan kepada kita” (Rm.5:2-5).
Hanya ada satu tantangan berat – yang dewasa ini – berada di depan kita, yaitu adanya perubahan yang sangat luar biasa cepat dan sangat mendasar dalam kehidupan kita berkat kemajuan sains dan teknologi, bagi mereka yang tidak bisa mengelola perubahan itu dengan baik, maka banyak orang yang terjangkit ’penyakit mengkonsumsi kehampaan di era globalisasi’, sebagaimana di tulis oleh George Ritzer dalam bukunya The Globalization of Nothing, (2006). Yang dimaksud Ritzer dengan kehampaan adalah bentuk sosial yang umumnya disusun dan dikendalikan secara terpusat, dan termasuk tanpa isi substantif yang berbeda, dalam kaitan dengan rumusan tersebut Ritzer mengacu pada maraknya kartu kredit. Kartu kredit sering membuat pemakainya kurang mampu lagi membedakan antara kebutuhan dan keinginan dan lupa pada kemampuan ekonomisnya. Kejadian seperti ini hampir setiap kali saya temukan waktu memberikan lokakarya tentang manajemen keluarga. Para ahli seperti F. Jameson (1984); R.J. Lifton (1976) mensinyalir bahwa dewasa ini banyak orang mengalami kehilangan baik pada tataran kognitif berupa kekaburan sistem nilai; baik pada tataran penghendakan berupa kelesuan (burn-out), maupun pada tataran afeksi berupa kemenduaan hati, kekeruhan batin yang akhirnya melahirkan kegelisahan, kekhawatiran yang obsesif. Dan yang lebih parah lagi banyak orang dewasa ini kehilangan relasi vertikal dalam arti mereka kehilangan pengalaman akan Yang Ilahi, pengalaman akan Allah, kehilangan relasi horisontal dalam arti tidak merasakan lagi – sebagai orang kristiani – panggilan kenabiannya, yang berarti mereka kehilangan tanggungjawab sosial, untuk berperanserta dalam menegakkan kebenaran, keadilan dan kehidupan. Dan akhirnya banyak juga orang yang kehilangan relasi kedalaman, dalam arti usaha mematangkan diri, mendewasakan diri, mensinergikan kelima talenta dasar manusiawi, yaitu kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan kemampuan mencari dan menemukan makna kehidupan agar menjadi fully human, full alive.
Maka sebagai sebuah pekerjaan rumah bagi keluarga-keluarga kristiani dalam rangka menyambut Paskah 2013 (Masa Prapaskah) yang akan datang tidak lain adalah menciptakan suasana yang menguntungkan untuk menemukan yang hilang, baik pada tataran vertikal, dengan mengisi masa prapaskah dan dilanjutkan terus membangun relasi dengan Tritunggal Mahakudus, khususnya dengan dengan Roh Kudus, Roh Penolong dan roh Sukacita. Menemukan kembali yang hilang pada tataran horisontal dengan pendidikan suara hati, lebih-lebih pada kesadaran akan panggilan kenabian yang berkaitan dengan penegakan kebenaran, keadilan dan kehidupan. Akhirnya menemukan kembali yang hilang pada tataran kedalaman, dengan pertobatan dan kembali membangun suasana keteladanan yang utuh dalam keluarga kita masing-masing. Dan ini berarti kita menyambut dan mengisi Tahun Iman secara efektif. Selamat Paskah 2013.
Saya pikir kutipan di atas – yang diambil dari surat rasul Paulus kepada jemaat di Roma – sangat baik untuk dipakai sebagai motivasi kita semua dalam usaha mengelola keluarga kita masing-masing dalam usaha merealisasikan panggilan kita sebagai tanda kasih Allah kepada manusia (lihat Ef. 5:22-33, khususnya`ayat 31-32).
Lewat suratnya rasul Paulus ingin menyakinkan kita semua bahwa dengan percaya kepada Kristus Yesus, dan kemudian menerima Sakramen Permandian, maka yang bersangkutan telah dipersatukan dengan Kristus Yesus dan kasihNya secara dengan sangat erat. Sebagaimana Yesus telah wafat, maka dengan menerima Sakramen Baptis seseorang telah mati (= dibebaskan) dari cengkeraman belenggu dosa. Di lain pihak dengan menerima Sakramen Baptis maka seseorang telah memiliki hidup baru, hidup dalam Roh, dengan kata lain kuasa kebangkitan telah meraja dalam diri kita, diri kita telah menjadi Bait Allah. Namun, di lain pihak sebagai manusia biasa yang berdaging maka rasul Paulus juga berbicara tentang tubuh-dosa, biarpun tubuh dosa itu sudah ditebus namun penebusan itu belumlah tuntas.
Misteri Paskah memiliki dua wajah, wajah yang pertama adalah Yesus wafat, wajah kedua adalah Yesus Bangkit, dengan kata lain wajah pertama adalah penderitaan, wajah kedua adalah sukacita (Stanislaus Nugroho, aktivis Kerasulan Keluarga, tinggal di Bogor).
Langganan:
Postingan (Atom)