Pemberdayaan Keluarga Miskin Dalam Konteks Globalisasi Ekonomi
Oleh: Stanislaus Nugroho
Sampai dengan akhir tahun 2005 jumlah angkatan kerja di Indonesia adalah 106,9 juta jiwa. Dari jumlah tersebut maka ada 11.654.293 yang merupakan penganggur terbuka, bila mereka masing-masing mempunyai 3 orang tanggungan maka ada 46.617.172 anggota masyarakat Indonesia yang tidak memiliki prospek ekonomis. Di samping itu masih ada 30 juta yang menjadi penganggur setengah terbuka dan 36 juta merupakan penganggur dengan pendapatan di bawah Rp. 150.000,-- per bulan. Dengan perkataan lain sekitar 50% penduduk Indonesia mengalami kondisi ekonomis yang (sangat) memprihatinkan.
Biarpun demikian kita masih boleh berharap bahwa kondisi yang (sangat) memprihatinkan itu akan dapat ditanggulangi, karena pada dasarnya mereka bukan orang yang malas, pada dasarnya sebagian besar dari mereka mau bekerja keras, hanya masalahnya mereka tidak memiliki ketrampilan yang memadai dan tidak memiliki akses ke sistem ekonomi yang berlaku dewasa ini, dengan demikian mereka tidak bisa keluar dari kesulitan mereka. Di lain pihak arus globalisasi ekonomi, di mana sistem ekonominya yang semata-mata berpihak pada kaum kapitalis dan tidak berpihak pada kaum marjinal, menjadi semakin nyata, dan semakin tidak terbendung. Sehingga arus tersebut bila tidak diwaspadai akan dapat mengikis harapan tersebut di atas. Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut di atas maka salah satu jalan yang dapat digunakan adalah dengan membentuk apa yang saya sebut sebagai Paguyuban Swadaya Masyarakat (PSM). Mengapa kita perlu membentuk PSM? Jawabannya jelas bahwa arus globalisasi ekonomi tidak mungkin dihadapi secara perorangan, melainkan harus bersama-sama. Kita harus bergandengan tangan dan maju bersama untuk menyatakan eksistensi kita.
Sebagaimana kita ketahui dewasa ini selain ada Forum Ekonomi Dunia yang mewakili pihak penggagas dan pendorong globalisasi ekonomi, muncullah sebagai pesaing Forum Sosial Dunia (pertemuan terakhir terjadi di Mumbai, India) yang mewakili mereka yang termarjinalisasi, di sini Gereja yang memiliki option for the poor dapat ikut berkiprah. Gereja (sebagai Umat Allah) dapat mendorong terbentuknya PSM dan sekaligus dapat memfasilitasi, memotivasi PSM agar dapat bertumbuhkembang.
Apa itu PSM?
PSM (merupakan komunitas basis yang berfokus pada pembangunan ekonomi sosial/yang manusiawi ) adalah suatu organisasi akar rumput yang demokratis dan partisipatif; yang mengadakan pertemuan secara teratur; melakukan kaderisasi secara terus menerus; pemilihan pengurus dilakukan dari dan oleh anggota; melakukan administrasi secara tertib, teratur dan terbuka; dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program secara partisipatif.
Selain daripada itu PSM berorientasi pada pengaturan ekonomi rumah tangga secara dialogis; peningkatan pendapatan keluarga; pemupukan modal bersama dan pengembangan usaha bersama. Untuk itu perlu membangun wawasan yang terbuka terhadap gagasan-gagasan baru dan terhadap bentuk-bentuk kerjasama yang baru. Dalam kaitan ini Gereja dapat menjadi fasilitator yang handal dalam usaha untuk membangun kader-kader, yaitu orang-orang muda yang memiliki idealisme dan bersedia dididik untuk menjadi pendamping bagi paguyuban swadaya masyarakat, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang. Tanpa pemberdayaan dan pendampingan yang sungguh-sungguh oleh mereka yang memiliki kepedulian dan kemauan untuk berbagi, maka mereka yang termarjinalisasi hampir dapat dipastikan tidak akan mungkin bangkit.
Keberhasilan PSM
Keberhasilan PSM berkaitan dengan tiga faktor yang saling terkait satu sama lainnya. Ketiga faktor tersebut adalah:
1. Faktor-faktor internal, seperti faktor kelembagaan kelompok yang menyangkut masalah keanggotaan, kepengurusan, kegiatan kelompok dan mekanisme kerja kelompok.
2. Faktor-faktor eksternal, seperti faktor lingkungan sosial-ekonomi; hubungan dengan aparat pemerintah se tempat; serta faktor dukungan lembaga bisnis setempat.
3. Faktor-faktor yang berkaitan dengan lembaga-lembaga pendamping, seperti integritas, kompetensi, komitmen dan subsidiaritas dalam usaha mendampingi dan memfasilitasi PSM yang berusaha untuk meningkatkan kemampuannya untuk semakin berhasil (di sinilah peran Gereja (cq kaum muda dan mereka yang masih merasa muda menjadi sangat konkret).
Peranan pendamping dan pendampingan
Pendamping berperan sebagai mitra kelompok, dan bersedia menghadiri setiap pertemuan para anggota PSM. Selain daripada itu pendamping juga berperan sebagai fasilitator dalam usaha membantu kelancaran pemecahan masalah yang dihadapi oleh PSM; selain daripada itu pendamping juga berperan sebagai pembimbing dalam hal berorganisasi, melakukan tertib administrasi, menyusun anggaran belanja dan dalam melakukan usaha bisnis. Pendamping juga harus bersedia untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pengembangan usaha kecil dan juga bersedia tinggal di lokasi binaan. Dengan demikian pendampingan dimaksudkan sebagai upaya memberikan bantuan yang sifatnya teknis agar PSM yang didampingi dapat mencapai dan meningkatkan kemandirian ekonomisnya. Kemandirian merupakan kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri dari kelompok yang didampingi, serta mampu memperhitungkan kesempatan dan ancaman yang ada dihadapannya, serta mampu melihat berbagai alternatif yang ada serta mampu memilih alternatif yang paling tepat.
Langkah-langkah pemberdayaan
Proses penyadaran dan perubahan paradigma baik bagi para mitra PSM (yang tidak lain adalah aparat pemerintah yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dan para pendamping di lapangan) maupun para anggota PSM (end users) sendiri.
Proses penyadaran dan perubahan paradigma bagi para mitra PSM terdiri dari pelatihan-pelatihan yang memungkinkan peserta memiliki paradigma yang utuh dan penuh tentang dirinya, kelompoknya dan pelatihan-pelatihan yang memberikan ketrampilan dasar dalam hal manajemen usaha. Adapun pelatihan-pelatihan tersebut saya susun berdasarkan pengalaman kami, sebagai berikut:
a. Bina pribadi unggul:
Pelatihan ini merupakan suatu pelatihan yang bertujuan untuk menyadarkan para peserta bahwa dirinya memiliki kemampuan-kemampuan yang diberikan secara gratis oleh Sang Pencipta, namun sekaligus sebagai manusia yang tidak sempurna kita juga perlu mengenali kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri kita. Dengan perkataan lain pelatihan ini mengajak para peserta untuk menjawab pertanyaan paling mendasar yaitu “siapakah aku ini”. Pelatihan ini diilhami oleh ungkapan yang ditulis pada kuil dewa-dewi di Delphi, Yunani dan di tempat lain yang berbunyi Gnothi se auton yang kurang lebih berarti kenalilah dirimu sendiri. Dengan pelatihan ini diharapkan para peserta termotivasi untuk mengembangkan kemampuannya dan mengurangi kelemahannya, dan dengan demikian dirinya semakin berkembang baik integritasnya, kompetensinya dan komitmennya dalam membantu orang-orang yang selama ini termarjinalisasikan.
b. Bina pribadi utuh:
Pelatihan ini merupakan suatu pelatihan yang bertujuan untuk menyadarkan para peserta bahwa dirinya adalah makhluk sosial. Artinya dalam usaha mengembangkan dirinya manusia tidak bisa tidak harus bersama dengan orang lain, dengan lingkungan hidup yang sehat. Dalam kaitan dengan itu maka perlu suatu penyadaran akan paradigma yang selama ini dipakai dalam hubungan kita dengan orang lain dan lingkungan hidup, dan kemudian berani melakukan koreksi terhadap paradigma yang selama ini kita anut namun sebenarnya salah.
c. Bina kepemimpinan diri:
Setelah kita menyadari siapa diri kita dan juga telah memiliki paradigma yang tepat tentang orang lain dan lingkungan hidup, maka tibalah saatnya kita sampai pada kesadaran bahwa untuk semakin mengembangkan dan menumbuhkan temuan-temuan selama ini maka kita perlu mengembangkan dalam diri kita suatu kepemimpinan diri, di mana kita mampu mengembangkan kebijaksanaan, keberanian untuk mengambil risiko yang telah diperhitungkan secara tepat, mampu mengendalikan diri dari dorongan-dorongan yang tidak sehat dan mampu bertindak secara adil terhadap relasi kita dengan orang lain dan juga lingkungan hidup.
d. Bina kepemimpinan berdasarkan visi:
Bila kita mampu memimpin diri sendiri dengan mengembangkan empat keutamaan di atas maka kita mampu untuk memimpin (pada setiap tingkatan kepemimpinan) orang lain menuju masa depan yang lebih baik. Masa depan yang lebih baik merupakan cita-cita atau impian seorang pemimpin hendaknya dirumuskan secara realistis, menarik dan dapat dipercaya. Maka dengan pelatihan ini para peserta dilatih untuk dapat merumuskan visinya secara tepat, sehingga dapat menarik para pengikutnya.
e. Bina layanan unggul:
Dewasa ini mutu merupakan salah satu unsur yang paling pokok yang dituntut oleh masyarakat pada umumnya. Namun, mutu berwajah ganda, artinya kita bisa berbicara tentang mutu produk atau jasa tetapi kita juga dapat berbicara tentang mutu pelayanan. Berbicara tentang mutu produk atau jasa kita dibantu oleh kecanggihan teknologi yang bisa kita beli, namun berbicara tentang mutu pelayanan maka kita berbicara tentang mutu manusia. berbicara tentang mutu manusia maka kita akan berbicara tentang sistem pengembangan insani secara terpadu, mulai dari perekrutannya sampai saat orang yang bersangkutan tiba pada saat terminalisasi. Atau perkataan lain kita harus berbicara tentang budaya layanan, lewat pelatihan ini kita akan dilatih untuk sampai pada pengertian, penerapan dan pengembangan budaya layanan yang unggul.
Setelah kita melakukan penyadaran dan perubahan paradigma maka kita perlu membekali para mitra PSM dan para end-users dengan beberapa ketrampilan mendasar, seperti:
1. Dasar-dasar manajemen umum bagi usaha kecil:
Melalui pelatihan ini para mitra PSM dan para end-users dilatih untuk memahami karakteristik usaha kecil di mana produknya adalah khusus, unik dan khusus sehingga tidak akan mengalami persaingan dari usaha besar yang biasa menggunakan pendekatan produksi massal, kemudian usaha kecil cakupan daerah pemasarannya tidak terlalu besar sehingga dapat memahami dengan sungguh-sungguh tabiat dan kehendak konsumen, namun biasanya usaha kecil lemah dalam administrasi dan permodalan. Maka para mitra PSM dilatih untuk dapat memiliki ketrampilan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kekuatan usaha kecil dan sekaligus mampu mengurangi kelemahannya.
2. Dasar-dasar manajemen keuangan:
Salah satu kelemahan dari usaha kecil adalah bidang pengelolaan keuangan, oleh karena itu dengan memperhatikan karakteristik usaha kecil para mitra PSM dilatih untuk mampu mendampingi usaha kecil dalam mengelola keuangannya. Salah satu hal yang paling penting adalah memahami aliran uang dalam usaha kecil dan juga pengendalian biaya dan mampu membedakan macam-macam biaya.
3. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan:
Salah satu tugas seorang pemimpin adalah memecahkan masalah dan kemudian mengambil keputusan. Agar dapat memecahkan masalah dan mengambil keputusan maka seorang pemimpin membutuhkan informasi yang up-to-date, relevan dan akurat dan kemudian dengan kemampuan penalarannya serta pengalamannya pemimpin tersebut dapat mengolah informasi yang diterimanya untuk memecahkan masalah yang dihadapi dan kemudian mengambil keputusan. Tujuan dari pelatihan ini adalah melatih para peserta untuk dapat mengolah informasi yang dimiliki agar dapat memecahkan masalah dan mengambil keputusan secara tepat.
4. Manajemen Keuangan Keluarga:
Salah satu kelemahan pengusaha kecil adalah mencampur-adukkan keuangan usaha dengan keuangan rumah tangga. Selain daripada itu mereka sering terjebak pada paradigma berhemat dulu baru menabung, padahal seharusnya menabung dulu baru berhemat . Melalui pelatihan ini para pengusaha kecil diharapkan dapat mengubah paradigmanya dan memiliki ketrampilan untuk melakukan pengelolaan yang berdayaguna sehingga dapat memperbaiki ekonomi keluarganya.
Demikianlah beberapa butir pemikiran yang dapat saya sumbangkan dalam rangka membangun kesejahteraan bersama, semoga berguna. (Bogor, 16 Nopember 2007).
Dengan blog ini saya bermaksud untuk berbagi pemikiran mengenai masalah-masalah keluarga dan masalah-masalah filosofis dan teologis.
Jumat, 17 Desember 2010
Pendidikan nilai
Keluarga sebagai wahana yang pertama dan utama dalam proses pendidikan iman dan nilai .
Stanislaus Nugroho
Dewasa ini kita sedang hidup dalam suatu masyarakat/bangsa/negara yang sedang mengalami krisis berkepanjangan, yang diawali dengan krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 dan kemudian menjalar ke hampir seluruh aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, dan yang akhirnya bermuara pada krisis nilai/moral, hilangnya bahkan matinya hati nurani . Berkaitan dengan itu maka tidaklah mengherankan bila KWI melalui Nota Pastoralnya tahun 2004 menyatakan bahwa “Masalah-masalah yang menyangkut ranah publik bangsa Indonesia dewasa ini terdiri dari korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan. Ketiga penyakit sosial ini benar-benar membuat ruang publik tidak berdaya untuk mengembangkan keadaban bahkan meningkatkan jumlah maupun jenis kerusakan-kerusakan lain dalam masyarakat” . Berkaitan dengan itu maka para Uskup mengungkapkan pentingnya keteladanan dan mengusulkan hal-hal yang amat konkret sebagai berikut :
1. “Gereja ingin menjadi sahabat bagi semua kalangan,
2. Gereja ingin mengembangkan modal-modal sosial amat bernilai seperti: kekayaan budaya nasional ….., terutama mengenai keadilan sosial bagi seluruh bangsa, solidaritas, kesejahteraan umum, cinta damai …..
3. Gereja mau ikut serta dalam prakarsa-prakarsa pemberdayaan masyarakat akar rumput …..
4. Gereja ingin mendorong umat yang mampu dalam bidangnya untuk masuk ke dalam jejaring yang sudah terbangun misalnya penggerak swadaya masyarakat, …..
5. Gereja merasa wajib untuk memberi perhatian khusus pada pelayanan pendidikan, …..
6. Gereja menyadari bahwa usaha pembaharuan mesti mulai dari diri sendiri. ….. memberi perhatian pada pembinaan administrasi dan disiplin yang bersih di dalam lembaga-lembaga gerejani sendiri terlebih dahulu.
7. Sementara itu prakarsa-prakarsa lain harus ditemukan dalam pencarian bersama, ….. dalam berbagai komunitas basis, yang terus menerus perlu mengembangkan diri dan merupakan tempat yang subur bagi terjadinya penegasan bersama”.
Berkaitan dengan itu maka sesuai dengan judul tulisan ini maka kami ingin memfokuskan diri pada butir 5, yang berbicara tentang pendidikan, bahkan kami ingin lebih fokus pada masalah pendidikan non-formal, yang dilakukan oleh dan dalam keluarga. Karena bagaimanapun juga keluarga merupakan benteng yang pertama dan yang terakhir dari tegaknya nilai-nilai kemanusiaan dasar, seperti tanggungjawab, kejujuran, kesetiaan, keadilan dan lain-lain. Namun, sebagaimana dicatat oleh Anthony Giddens bahwa “Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi kita – dalam seksualitas, hubungan pribadi, perkawinan, dan keluarga. Ada sebuah revolusi global yang tengah berlangsung mengenai bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita membangun ikatan dan hubungan dengan orang lain. Inilah revolusi yang merebak dalam takaran yang berbeda-beda di berbagai wilayah dan budaya, dengan banyak perlawanan terhadapnya” . Dengan perkataan lain perkawinan dan keluarga mengalami tantangan yang bersifat global. Untuk itu ada baiknya bila kita back to basic, yaitu ke iman kita dan ajaran-ajaran yang telah dikemukakan oleh Gereja, khususnya sejak Konsili Vatikan II.
Konsili Vatikan II melalui Pernyataan tentang Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis) dengan tegas menyatakan bahwa “Karena orangtua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Maka orangtualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama” . Pengakuan terhadap orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama khususnya yang berkaitan dengan iman dan nilai-nilai . Selanjutnya Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini (Gaudium et Spes) menyatakan bahwa “Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan , kesepakatan suami-isteri, dan kerjasama orangtua yang tekun dalam pendidikan anak-anak” . Dengan perkataan lain keluarga hendaknya menjadi sekolah kemanusiaan yang pertama dan utama.
Namun, peranan yang sedemikian hakiki dari para orangtua – dewasa ini – rasanya kurang disadari , lebih-lebih perhatian orangtua dewasa ini sebagian besar tercurah pada masalah ekonomi keluarga, mereka harus mengerahkan tenaga, pikiran dan waktu mereka untuk mendapatkan penghasilan demi kehidupan keluarganya, ‘tidak punya waktu lagi’ untuk berpikir tentang ‘pendidikan’ anak-anaknya dan relasinya baik sebagai suami-isteri maupun sebagai orangtua. Rumah tangga telah berubah menjadi rumah kost. Relasi antar pribadi, yang akrab, mesra dan bertanggungjawab sering sudah menjadi barang luks, yang sulit diperoleh karena sudah sangat ‘mahal’ untuk diperoleh.
Padahal Linda & Richard Eyre dalam bukunya dengan tegas menyatakan bahwa “Rumah atau keluarga tidak akan pernah – tidak boleh – dan tidak dapat digantikan sebagai lembaga tempat nilai-nilai dasar dipelajari dan diajarkan. Anak-anak boleh tumbuh dan akhirnya mengembangkan nilai-nilai yang berbeda dari nilai-nilai anda, juga berbeda dari yang anda coba ajarkan kepada mereka; tetapi paling tidak mereka akan berbuat demikian dengan sadar, menggunakan nilai-nilai anda sebagai pembanding dan titik tolak untuk tinggal landas. Jika anak-anak berangkat dari kondisi tanpa nilai – tanpa seorangpun yang mengajari, tanpa sesuatu yang dapat dipelajari – mereka akan terkatung-katung tak tentu arah, dan hidup mereka tidak akan pernah menjadi milik sendiri” .
Dewasa ini – saya pikir – sudah cukup sulit untuk menemukan orang tua menjadi pendongeng bagi anak-anak mereka pada saat anak-anak mau tidur, menjadi pendamping bagi anak-anak mereka pada saat anak-anak menonton televisi dan bermain komputer, mengajak anak-anak berbagi pengalaman sehari-hari, mengajak anak-anak berdiskusi tentang masalah-masalah sehari-hari. Padahal melalui hal-hal kecil tersebut orangtua bisa melakukan komunikasi nilai dan iman. Berkaitan dengan ini maka saya teringat pada seorang pendidik yang sangat terkenal, yaitu Pater Christopher Gleeson, SJ yang menulis “Dalam kehidupan ini hanya terdapat dua hal yang dapat kita berikan – kita, orangtua dan guru – yakni akar dan sayap. ….. Memberikan akar kuat untuk kehidupan kepada anak-anak muda berarti (a) memberikan kepada mereka seperangkat nilai yang akan menolong mereka untuk menghadapi badai kehidupan yang terhindarkan, (b) berarti memisahkan mana yang pokok, mana yang bukan pokok, mana barang yang sesungguhnya, mana yang hanya merupakan bayangan, dan (c) berarti membeda-bedakan mana yang abadi mana yang hanya berupa mode. ….. sayap, mengenai kebebasan, anugerah besar yang dapat kita berikan kepada anak-anak muda kita. Namun kita harus mengingatkan diri kita bahwa kebebasan dapat dengan mudah diidealisasikan dan diromantisasikan sebagai kemerdekaan tanpa beban, tanpa kewajiban. Dalam kenyataannya kebebasan merupakan pengorbanan yang jauh lebih susah dimengerti dari pada nilai-nilai. Mengapa? Karena kebebasan sebenarnya adalah usaha tak kunjung henti dalam diri kita untuk secara bertanggungjawab memilih nilai-nilai yang kita hargai, kita junjung tinggi di dalam hati dan untuk selalu setia membela nilai-nilai itu. Nilai dan kebebasan adalah dua sejoli yang tak dapat dipisah-pisahkan. Nilai dan kebebasan itu layaknya sebuah buku pribadi. Dari sini kita belajar nilai dan kebebasan dari orang-orang yang mengilhami kita, yang menawan hati kita, yang memiliki akar kuat dan yang menemukan sayap untuk menjadi dirinya sendiri di dalam kehidupan. Oleh karenanya mengajarkan nilai dan kebebasan secara luas adalah tindakan luhur, suatu latihan dalam ilham”. Persoalannya bagaimana itu bisa dilaksanakan oleh para orang tua? Memang perlu pelatihan untuk menjadi orangtua yang berdayaguna, mengingat selama ini belum pernah ada ”sekolah” menjadi orang tua, menjadi orangtua semata-mata berlangsung dengan pendekatan ”trial and error”. Dalam dunia yang begitu cepat berubah yang menimbulkan tantangan tidak kecil maka pendekatan ”trial and error” sungguh sangat tidak memadai.
Berkaitan dengan itu maka saya punya impian sebagai berikut ”setiap lingkungan mengirim 1 sampai 2 orang ke Komisi Keluarga Keuskupan Bogor (yang mulai tahun 2008 akan menyelenggarakan pelatihan secara periodik), agar mereka siap menjadi tim tingkat Paroki. Mereka kemudian menyelenggarakan pelatihan-pelatihan di parokinya kepada pengguna terakhir yaitu keluarga-keluarga , yakni keluarga-keluarga kristiani di akar rumput. Memang kami sadar untuk melakukan ini semua dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun bila kita ingin membangun ”habitus baru” atau ”budaya alternatif” maka marilah kita jadikan program ini sebagai program yang diprioritaskan , lebih-lebih Keuskupan Bogor dalam SagKi 2005 menjadi pendidikan nilai dalam keluarga sebagai salah satu fokus gerakan, selain itu masih ada dua yang lain yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat marginal dan kerukunan hidup beragama.
Bogor, 24 Juni 2007
Stanislaus Nugroho
Dewasa ini kita sedang hidup dalam suatu masyarakat/bangsa/negara yang sedang mengalami krisis berkepanjangan, yang diawali dengan krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 dan kemudian menjalar ke hampir seluruh aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, dan yang akhirnya bermuara pada krisis nilai/moral, hilangnya bahkan matinya hati nurani . Berkaitan dengan itu maka tidaklah mengherankan bila KWI melalui Nota Pastoralnya tahun 2004 menyatakan bahwa “Masalah-masalah yang menyangkut ranah publik bangsa Indonesia dewasa ini terdiri dari korupsi, kekerasan dan kehancuran lingkungan. Ketiga penyakit sosial ini benar-benar membuat ruang publik tidak berdaya untuk mengembangkan keadaban bahkan meningkatkan jumlah maupun jenis kerusakan-kerusakan lain dalam masyarakat” . Berkaitan dengan itu maka para Uskup mengungkapkan pentingnya keteladanan dan mengusulkan hal-hal yang amat konkret sebagai berikut :
1. “Gereja ingin menjadi sahabat bagi semua kalangan,
2. Gereja ingin mengembangkan modal-modal sosial amat bernilai seperti: kekayaan budaya nasional ….., terutama mengenai keadilan sosial bagi seluruh bangsa, solidaritas, kesejahteraan umum, cinta damai …..
3. Gereja mau ikut serta dalam prakarsa-prakarsa pemberdayaan masyarakat akar rumput …..
4. Gereja ingin mendorong umat yang mampu dalam bidangnya untuk masuk ke dalam jejaring yang sudah terbangun misalnya penggerak swadaya masyarakat, …..
5. Gereja merasa wajib untuk memberi perhatian khusus pada pelayanan pendidikan, …..
6. Gereja menyadari bahwa usaha pembaharuan mesti mulai dari diri sendiri. ….. memberi perhatian pada pembinaan administrasi dan disiplin yang bersih di dalam lembaga-lembaga gerejani sendiri terlebih dahulu.
7. Sementara itu prakarsa-prakarsa lain harus ditemukan dalam pencarian bersama, ….. dalam berbagai komunitas basis, yang terus menerus perlu mengembangkan diri dan merupakan tempat yang subur bagi terjadinya penegasan bersama”.
Berkaitan dengan itu maka sesuai dengan judul tulisan ini maka kami ingin memfokuskan diri pada butir 5, yang berbicara tentang pendidikan, bahkan kami ingin lebih fokus pada masalah pendidikan non-formal, yang dilakukan oleh dan dalam keluarga. Karena bagaimanapun juga keluarga merupakan benteng yang pertama dan yang terakhir dari tegaknya nilai-nilai kemanusiaan dasar, seperti tanggungjawab, kejujuran, kesetiaan, keadilan dan lain-lain. Namun, sebagaimana dicatat oleh Anthony Giddens bahwa “Di antara semua perubahan yang berlangsung di dunia, tidak ada yang lebih penting daripada yang terjadi dalam kehidupan pribadi kita – dalam seksualitas, hubungan pribadi, perkawinan, dan keluarga. Ada sebuah revolusi global yang tengah berlangsung mengenai bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita membangun ikatan dan hubungan dengan orang lain. Inilah revolusi yang merebak dalam takaran yang berbeda-beda di berbagai wilayah dan budaya, dengan banyak perlawanan terhadapnya” . Dengan perkataan lain perkawinan dan keluarga mengalami tantangan yang bersifat global. Untuk itu ada baiknya bila kita back to basic, yaitu ke iman kita dan ajaran-ajaran yang telah dikemukakan oleh Gereja, khususnya sejak Konsili Vatikan II.
Konsili Vatikan II melalui Pernyataan tentang Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis) dengan tegas menyatakan bahwa “Karena orangtua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Maka orangtualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama” . Pengakuan terhadap orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama khususnya yang berkaitan dengan iman dan nilai-nilai . Selanjutnya Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini (Gaudium et Spes) menyatakan bahwa “Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan , kesepakatan suami-isteri, dan kerjasama orangtua yang tekun dalam pendidikan anak-anak” . Dengan perkataan lain keluarga hendaknya menjadi sekolah kemanusiaan yang pertama dan utama.
Namun, peranan yang sedemikian hakiki dari para orangtua – dewasa ini – rasanya kurang disadari , lebih-lebih perhatian orangtua dewasa ini sebagian besar tercurah pada masalah ekonomi keluarga, mereka harus mengerahkan tenaga, pikiran dan waktu mereka untuk mendapatkan penghasilan demi kehidupan keluarganya, ‘tidak punya waktu lagi’ untuk berpikir tentang ‘pendidikan’ anak-anaknya dan relasinya baik sebagai suami-isteri maupun sebagai orangtua. Rumah tangga telah berubah menjadi rumah kost. Relasi antar pribadi, yang akrab, mesra dan bertanggungjawab sering sudah menjadi barang luks, yang sulit diperoleh karena sudah sangat ‘mahal’ untuk diperoleh.
Padahal Linda & Richard Eyre dalam bukunya dengan tegas menyatakan bahwa “Rumah atau keluarga tidak akan pernah – tidak boleh – dan tidak dapat digantikan sebagai lembaga tempat nilai-nilai dasar dipelajari dan diajarkan. Anak-anak boleh tumbuh dan akhirnya mengembangkan nilai-nilai yang berbeda dari nilai-nilai anda, juga berbeda dari yang anda coba ajarkan kepada mereka; tetapi paling tidak mereka akan berbuat demikian dengan sadar, menggunakan nilai-nilai anda sebagai pembanding dan titik tolak untuk tinggal landas. Jika anak-anak berangkat dari kondisi tanpa nilai – tanpa seorangpun yang mengajari, tanpa sesuatu yang dapat dipelajari – mereka akan terkatung-katung tak tentu arah, dan hidup mereka tidak akan pernah menjadi milik sendiri” .
Dewasa ini – saya pikir – sudah cukup sulit untuk menemukan orang tua menjadi pendongeng bagi anak-anak mereka pada saat anak-anak mau tidur, menjadi pendamping bagi anak-anak mereka pada saat anak-anak menonton televisi dan bermain komputer, mengajak anak-anak berbagi pengalaman sehari-hari, mengajak anak-anak berdiskusi tentang masalah-masalah sehari-hari. Padahal melalui hal-hal kecil tersebut orangtua bisa melakukan komunikasi nilai dan iman. Berkaitan dengan ini maka saya teringat pada seorang pendidik yang sangat terkenal, yaitu Pater Christopher Gleeson, SJ yang menulis “Dalam kehidupan ini hanya terdapat dua hal yang dapat kita berikan – kita, orangtua dan guru – yakni akar dan sayap. ….. Memberikan akar kuat untuk kehidupan kepada anak-anak muda berarti (a) memberikan kepada mereka seperangkat nilai yang akan menolong mereka untuk menghadapi badai kehidupan yang terhindarkan, (b) berarti memisahkan mana yang pokok, mana yang bukan pokok, mana barang yang sesungguhnya, mana yang hanya merupakan bayangan, dan (c) berarti membeda-bedakan mana yang abadi mana yang hanya berupa mode. ….. sayap, mengenai kebebasan, anugerah besar yang dapat kita berikan kepada anak-anak muda kita. Namun kita harus mengingatkan diri kita bahwa kebebasan dapat dengan mudah diidealisasikan dan diromantisasikan sebagai kemerdekaan tanpa beban, tanpa kewajiban. Dalam kenyataannya kebebasan merupakan pengorbanan yang jauh lebih susah dimengerti dari pada nilai-nilai. Mengapa? Karena kebebasan sebenarnya adalah usaha tak kunjung henti dalam diri kita untuk secara bertanggungjawab memilih nilai-nilai yang kita hargai, kita junjung tinggi di dalam hati dan untuk selalu setia membela nilai-nilai itu. Nilai dan kebebasan adalah dua sejoli yang tak dapat dipisah-pisahkan. Nilai dan kebebasan itu layaknya sebuah buku pribadi. Dari sini kita belajar nilai dan kebebasan dari orang-orang yang mengilhami kita, yang menawan hati kita, yang memiliki akar kuat dan yang menemukan sayap untuk menjadi dirinya sendiri di dalam kehidupan. Oleh karenanya mengajarkan nilai dan kebebasan secara luas adalah tindakan luhur, suatu latihan dalam ilham”. Persoalannya bagaimana itu bisa dilaksanakan oleh para orang tua? Memang perlu pelatihan untuk menjadi orangtua yang berdayaguna, mengingat selama ini belum pernah ada ”sekolah” menjadi orang tua, menjadi orangtua semata-mata berlangsung dengan pendekatan ”trial and error”. Dalam dunia yang begitu cepat berubah yang menimbulkan tantangan tidak kecil maka pendekatan ”trial and error” sungguh sangat tidak memadai.
Berkaitan dengan itu maka saya punya impian sebagai berikut ”setiap lingkungan mengirim 1 sampai 2 orang ke Komisi Keluarga Keuskupan Bogor (yang mulai tahun 2008 akan menyelenggarakan pelatihan secara periodik), agar mereka siap menjadi tim tingkat Paroki. Mereka kemudian menyelenggarakan pelatihan-pelatihan di parokinya kepada pengguna terakhir yaitu keluarga-keluarga , yakni keluarga-keluarga kristiani di akar rumput. Memang kami sadar untuk melakukan ini semua dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun bila kita ingin membangun ”habitus baru” atau ”budaya alternatif” maka marilah kita jadikan program ini sebagai program yang diprioritaskan , lebih-lebih Keuskupan Bogor dalam SagKi 2005 menjadi pendidikan nilai dalam keluarga sebagai salah satu fokus gerakan, selain itu masih ada dua yang lain yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat marginal dan kerukunan hidup beragama.
Bogor, 24 Juni 2007
Langganan:
Postingan (Atom)