Dengan blog ini saya bermaksud untuk berbagi pemikiran mengenai masalah-masalah keluarga dan masalah-masalah filosofis dan teologis.
Jumat, 28 Juni 2013
LANSIA DAN MASA DEPAN: DI ANTARA KEGELISAHAN DAN KEGEMBIRAAN. TERBERSIT HARAPAN?
Manusia bukan makhluk yang sudah jadi melainkan makhluk yang menjadi,
dengan perkataan lain manusia merupakan makhluk yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
Maka tidak mengherankan bila banyak orang yang berpandangan bahwa hidup manusia itu tidak lain merupakan suatu petualangan, suatu perziarahan, suatu perjalanan, menuju ke mana? Menuju ke kepenuhannya, ke-keutuhan pribadi-nya, menuju ke integritas diri. Integritas diri – bagi saya – tercapai bila kita sudah mampu mensinergikan kelima talenta dasar kita: kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, dan kecerdasan mencari, menemukan makna dan akhirnya memaknai kehidupannya. Bila kita sudah mampu mensinergikan kelima kecerdasan itu maka kita akan mampu memiliki sikap mental yang positif. Bila kita sudah memiliki sikap mental yang positif maka kita pasti melihat ke masa depan dengan penuh kepercayaan, keyakinan dan harapan.
Namun bagaimana petualangan, perziarahan dan perjalanan itu harus berlangsung, lewat mana? Lewat penemuan-penemuan, lewat pencarian-pencarian terus menerus, dalam rangka itu saya menemukan seorang pemikir dan sekaligus seorang praktisi dalam bidang psikologi yang pasti bisa menyumbang sesuatu yang positif dalam usaha kita mencari dan menemukan diri kita sendiri, sesama kita dan Tuhan. Pemikir dan praktisi yang saya maksud adalah Erik H. Erikson (1902-1994), Erikson adalah orang pertama yang menemukan dan menggunakan istilah krisis identitas, Erikson seorang psikoanalisis yang sangat peka terhadap multidimensionalitas manusia, dengan kata lain bagi Erikson manusia adalah makhluk yang berwajah majemuk dan sangat rumit. Hal ini tentu tidak mengherankan, betapa tidak, manusia adalah citra Allah. Bagi Erikson pendekatan yang digunakan Sigmund Freud yang berangkat dari dan berakhir pada psikoseksual, perlu diperluas dan diperkaya dengan apa yang disebut Erikson sebagai psikososial, bagi Erikson perkembangan biologis manusia tidak bisa dilepaskan/diceraikan dari perkembangan relasi sosialnya.
Seperti kita ketahui bersama Erikson dalam menjelaskan perkembangan manusia berangkat dari suatu studi dan penelitian-penelitian yang sangat intensif. Salah satu pemikirannya yang paling menarik adalah perkembangan manusia berlangsung dalam tahapan-tahapan, dan ada delapan tahap. Kedelapan tahap tersebut tetap sama dan bersifat universal, kalau meminjam istilah Piaget, tahapannya berciri invarian. Kedelapan tahap tersebut berawal dari masa prakanak-kanak dan berakhir dengan periode akhhir masa dewasa. Selain itu bagi Erikson perkembangan manusia membutuhkan sejumlah besar hubungan timbal-balik antara subyek dengan lingkungannya. Dan akhirnya perkembangan manusia berciri relatif, dalam arti setiap perkembangan baru memperbaharui tahapan sebelumnya, dengan demikian terjadilah suatu suatu proses transformasi terus menerus. Dalam rangka transformasi tersebut sering subyek mengalami regresi sementara, ada yang ahli yang menyebut regresi yang membantu perkembangan subyek. Dengan demikian perziarahan hidup manusia sejauh digambarkan oleh Erikson bukanlah suatu jalan yang lurus, mulus dan tanpa hambatan, perziarahan manusia dalam hidupnya merupakan perziarahan yang berciri zig-zag, banyak tikungan-tikungan yang berbahaya, diperlukan pengelolaan dan ketrampilan yang tepat dan baik. berkaitan dengan ketrampilan mengelola diri ini sangat tergantung pada interaksi antara manusia, khususnya pada masa-masa awal kehidupannya, di mana interaksi subyek dengan orang-orang dekatnya, khususnya orangtuanya dan lebih khusus lagi ibunya menjadi sangat-sangat menentukan.
Bila pada masa pra-kanak-kanak (usia 0-2 tahun) orangtua memberikan ’pupuk’ yang berupa ketersalingan yang sangat diwarnai kasih-sayang, pemenuhan kebutuhan secara utuh, baik lahir maupun batin maka dalam diri ’subyek’ akan tumbuh kepercayaan dasar, baik terhadap diri sendiri maupun dengan orang lain. Di lain pihak ’subyek’ mengalami timbulnya krisis yang akan menimbulkan luka batin yang bisa menjadi gawat, bila orangtua (khususnya ibu) sering menarik diri dan tidak hadir pada waktu ’subyek’ membutuhkan kehadirannya, ’subyek’ yang tidak memperoleh apa yang dibutuhkan akan mengalami ketidakpercayaan dasar. Pada periode ini ’subyek’ akan membentuk diri sesuai dengan apa yang diterimanya. Pada periode ini akan terbentuk ’subyek’ yang memiliki pengharapan atau keputusasaan, dengan kata lain akan terbentuk subyek yang percaya-diri atau yang-tidak-percaya-diri.
Selanjutnya tahap kedua merupakan tahap akhir masa pra-kanak-kanak (usia 2-3 tahun). Pada tahap ini subyek mulai belajar melepaskan diri dari orang-orang dekatnya, orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Subyek mulai menumbuhkembangkan kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, menghayati kebebasannya, di sini peran orangtua hendaknya mulai bersikap tut wuri handayani. Orangtua hendaknya mulai memberikan sayap kepada anaknya, karena menurut Erikson konflik yang akan dialami saat ini adalah timbulnya keragu-raguan dan rasa malu yang berlebihan. Bila periode ini bisa dikelola dengan baik, maka subyek akan tumbuh menjadi subyek yang saya kehendaki dengan sadar dan penuh pertimbangan.
Tahap ketiga merupakan awal masa kanak-kanak (usia 4-5 tahun). Bagi Erikson tahap ini ditandai dengan konflik antara prakarsa/inisiatif dengan rasa bersalah (guilty feeling). Pada tahap ini subyek mulai menyadari kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya (baik inderawi, motoris maupun kognitif). Pada tahap ini subyek mulai mencoba-coba, mengembangkan fantasinya, keinginan tahu baik yang seksual maupun intelektual. Namun di lain pihak pada periode ini subyek berhadapan dengan aturan-aturan, maka subyek juga mulai ’dihantui’ rasa bersalah bila melanggar aturan dan norma yang ada.baik itu dilihat maupun tidak dilihat oleh orang lain. Bila orangtua mampu memberikan bimbingan yang tepat maka suara hati subyek akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Dengan kata lain subyek yang terbimbing dengan tepat akan memiliki kemampuan merencanakan dengan tepat dan baik, mulai mampu merumuskan tujuan-tujuannya. Maka subyek akan tumbuh menjadi subyek yang dapat/mampu merencanakan dengan tepat.
Tahap keempat merupakan periode pertengahan masa kanak-kanak (usia 6-11 tahun). Bagi Erikson subyek dengan bimbingan yang tepat, pada periode ini subyek akan menumbuhkembangkan kerajinan, daya konstruksi dan semangat berkegiatan, dengan kata lain mulai mengembangkan kompetensi dirinya. Namun di lain pihak bila pendampingan kurang tepat maka subyek justru akan terjebak pada rasa rendah diri, bila hal ini yang terjadi maka subyek akan mengalami hambatan-hambatan dan kalau tidak terdeteksi dengan tepat maka subyek akan berkembang menjadi pribadi yang rendah diri, menjadi pribadi yang minder. Sebaliknya bila berhasil mengatasi konflik atau krisis pada tahap ini maka subyek akan mampu menciptakan semboyan diri aku adalah apa yang saya pelajari.
Tahap kelima merupakan periode akil balik atau pubertas (usia 12-19 tahun), periode ini bagi Erikson merupakan periode yang sangat menentukan. Karena pada periode ini subyek akan menemukan identitasnya atau justru sebaliknya mengalami kekacauan identitas. Masa pubertas merupakan masa yang kritis, karena subyek akan menghadapi tantangan-tantangan yang lahir dari proses pematangan fisiologis dan seksualnya. Kalau pada masa ini subyek tidak mendapat bimbingan yang tepat dan tidak menemukan peer groupnya yang baik maka subyek akan semakin menemukan keruwetan dan pertentangan, dan kemungkinan subyek akan terjebak pada kerapuhan pribadi atau dengan kata lain menjadi pribadi yang terpecah. Di lain pihak kalau mendapat bimbingan yang tepat dan sekaligus menemukan peer-group yang baik maka subyek akan bertumbuh menjadi pribadi yang penuh dan utuh. Bagi Erikson pribadi tersebut akan diwarnai dengan sikap pengabdian dan kesetiaan.
Tahap keenam merupakan periode awal masa dewasa (usia 20-30 tahun), bagi Erikson orang dewasa yang berada pada periode ini akan menghadapi krisis atau konflik antara keintiman/intimitas dan keterasingan/isolasi. Periode ini menuntut usaha yang keras dan cerdas untuk dapat membangun relasi afektif yang mantap, dengan peer-groupnya, dan lebih khusus dengan yang berlawanan jenis kelaminnya. Subyek yang berhasil akan mampu mengembangkan sikap kasih/cinta dan unitas/persatuan. Selain itu subyek juga mampu bertanggungjawab. Sebaliknya yang gagal maka akan bertumbuh menjadi pribadi yang terasing, terisolasi, mengundurkan diri dari peer-groupnya bahkan menjauhkan diri. Menurut Erikson kegagalan ini akarnya pada kegagalan pada tahap kelima, tahap penemuan identitas diri yang mantap.
Tahap ketujuh merupakan periode pertengahan masa dewasa (usia 30-65 tahun), periode ini ditandai dengan produktivitas dan kreativitas, atau istilah yang digunakan oleh Erikson adalah generativitas. Sebaliknya lawan dari generativitas adalah stagnasi (kemandekan). Yang dimaksud dengan produktivitas oleh Erikson dalam arti yang paling luas, dalam rangka merealisasikan diri seseorang sebagai makhluk sosial, ke-sosial-annya, dalam diri orang itu muncul tanggungjawab sosialnya, dan penuh perhatian dengan semua pihak yang terkait dengannya. Sedang yang dimaksud dengan stagnasi oleh Erikson harus dimengerti dalam arti paling luas juga, yaitu seseorang yang berhenti pada ke-aku-annya, terjebak pada egosentrismenya saja. Yang lebih gawat lagi – sejauh pengalaman klinis dari Erikson – seseorang cenderung melihat bahwa hidupnya menjadi jenuh dan tidak bermakna lagi., lalu mencoba menciptakan keintiman palsu,dan akhirnya seseorang itu mengalami kecemasan.
Tahap kedelapan merupakan periode akhir masa dewasa (usia 65 tahun ke atas) atau dengan kata lain periode lansia. Pada tahap ini ’pertarungan akhir’ yang terjadi adalah pertarungan antara integritas atau kalau meminjam istilah yang dipakai oleh John Powell, SJ (alm.): fully human, fully alive dengan despair (keputusasaan). Seorang yang sudah memasuki periode akhir masadewasa pasti mengalami/merasakan keterbatasan dirinya, bahkan sudah ada yang mulai berpikir masalah kematian. Pada periode ini bila seseorang dalam perziarahan sudah berhasil mencapai kepecayaan pada diri sendiri dan sesamanya dan Tuhan; kemudian juga berhasil menghayati otonomi dirinya; menghayati inisiatif, prakarsa, ketekunan, memiliki identitas diri yang jelas dan utuh, serta mampu menghayati intimitas dengan sesamanya, maka dengan agak mudah membangun integritas dirinya, karena orang itu sudah mulai mengalami keharmonisan, keselarasan dirinya dengan sesama dan Tuhan. Subyek sampai saat ini sudah mampu menghargai kesinambungan masa lampaunya dengan masa depan, dengan masa yang akan datang, dia juga akan mampu menerima keterbatasannya, dan sadar bahwa tugasnya saat ini adalah mewariskan apa yang dia capai, yang telah dia miliki kepada sesamanya, kepada keluarganya, kepada semua pihak yang terkait dengan dirinya. Lain halnya dengan subyek yang dalam perziarahannya pernah mengalami kegagalan-kegagalan, perziarahannya tidak mulus. Namun mereka yang mengalami ketidakmulusan ini masih bisa berharap bahwa kegagalan-kegagalan selama ini bukanlah akhir segalanya, memang kegagalan-kegagalan ini menimbulkan luka, namun luka-laku tersebut dapat disembuhkan, kami di Bogor sudah mengembangkan sebuah program yang berlangsung selama tiga hari dua malam untuk melakukan peroses penyembuhan tersebut, program tersebut kami beri nama Pengutuhan diri lewat tahap-tahap perkembangan manusia dengan terang spiritualitas Ignatian. Suatu program yang sudah bisa membantu mereka yang mengalami perziarahan hidup secara kurang mulus.
Dengan harapan dan kepercayaan yang telah kita miliki maka kita pasti akan berhasil mencapai Fully Human, Fully Alive. (Stanislaus Nugroho)
Langganan:
Postingan (Atom)